Jumat, 11 Juni 2010

BEBERAPA MASALAH DALAM TEORI ADMINISTRASI


I. PENDAHULUAN
A. Rasional
Makalah diskusi ini kami awali dengan sebuah kisah yang dituturkan oleh Profesor Sune Carlson dari Royal Academy of Sciences yang ia kutip dari Le Petit Prince ketika acara pemberian Hadiah Nobel kepada Simon sekaligus mengenang Alfred Noble 1978 yang diselenggarakan oleh Bank Swiss. Diceritakan tentang kisah seorang pangeran kecil selama perjalanannya melalui kosmos melihat sebuah planet yang dihuni oleh seorang laki-laki tua dan terpelajar. Dia adalah seorang ahli geografi. Menulis buku yang sangat besar dan tahu segala hal tentang danau, sungai, kota, gunung dan padang pasir. Tapi ketika sang pangeran bertanya apakah ada sungai yang airnya mengalir, danau yang tenang atau padang pasir yang ganas di planet ini? Orang tua itu menjawab bahwa ia tidak tahu sama sekali. Profesor geografi ini sibuk dan tenggelam dalam rutinitas tugas-tugas yang terlalu serius ia kerjakan sehingga ia lupa melangkah dan melihat kehidupan yang penuh dengan fact dan values di luar ruang kerjanya.
Jika kita menganggap bahwa pangeran kecil itu sebagai pelanggan atau orang dari luar organisasi dan tiba di sebuah lembaga bisnis atau organisasi non profit yang dihuni oleh seorang ekonom klasik yang lama atau neoklasik sekolah dan bahwa ia telah bertanya bagaimana perusahaan/lembaga ini membuat keputusan-keputusan tentang fenomena yang terjadi, dia mungkin akan mendapat jawaban yang sama. Seorang ekonom mempunyai tugas rutin menghitung, mengkaji, menganalisis langkah-langkah utama dalam meningkatkan laba perusahaan sehingga ia tidak memiliki waktu yang cukup untuk melihat perusahaannya secara seksama. Bahwa ternyata ada banyak kenyataan (facts) dan tujuan-tujuan lainnya (values) yang harus segera dicapai dan membutuhkan pengambilan keputusan yang cepat, tepat dan akurat.
Herbert A Simon melihat dengan sangat jeli fenomena ini dan mengangkatnya menjadi penelitian untuk disertasinya dan sekaligus menggugatnya. Bahwa banyak ekonom handal hanya terus dan harus duduk di ruang kerjanya, mengembangkan teori-teori dengan sistem persamaan yang rumit dan memperkirakan konsekuensi bagaimana memaksimalkan keuntungan.
Bagi Simon, pengambilan keputusan adalah jantungnya administrasi dan hendaknya dilakukan dengan arif. Bahasa dan kerangka kerja konseptual untuk mendeskripsikan administrasi hendaknya didasarkan pada logika dan psikologi pilihan manusia. Misalnya, teori ekonomik dan psikologi.
Dalam buku Administrative Behavior, yang pertama kali muncul pada 1947 dan yang telah diterjemahkan ke dalam hampir selusin bahasa, maupun dalam sejumlah karya-karya berikutnya, Simon menggambarkan perusahaan sebagai sebuah sistem adaptif fisik, pribadi dan komponen sosial yang diselenggarakan bersama oleh jaringan interkommunikasi dan oleh kesediaan anggotanya untuk bekerjasama dan bekerja menuju tujuan yang sama.
Agar dapat bertahan dan berkembang, perusahaan harus berusaha menuju suatu kesetimbangan tidak hanya dalam kaitannya dengan dunia luar tetapi juga secara internal sebagai perantara bagi berbagai komponen dalam organisasi. Simon menolak asumsi yang dibuat dalam teori klasik perusahaan yang serba tahu, rasional, memaksimalkan laba pengusaha. Sebaliknya, ia mulai dari belajar psikologi, dengan aturan yang tidak terlalu rumit pilihan dan tuntutan yang lebih moderat di memori dan menghitung kapasitas pembuat keputusan. Ia menggagas paradigma pengusaha sekolah klasik dengan sejumlah paradigma lain diantaranya kerjasama para pengambil keputusan yang memiliki kapasitas untuk menjamin keseluruhan konsekuensi dari keputusan mereka baik secara pribadi maupun kelompok.
Teori dan pengamatan Simon tentang pengambilan keputusan dalam organisasi juga berlaku pada sistem dan teknik perencanaan, penganggaran dan kontrol yang digunakan dalam bisnis dan administrasi publik serta merupakan landasan terbaik untuk riset empiris. Oleh sebab itu, sejak pertengahan abad XX Ekonomi bisnis modern dan penelitian administrasi sebagian besar didasarkan pada ide-ide Simon.
Minat Simon dalam menyederhanakan pengertian pengambilan keputusan yang kompleks telah membawa dia ke beberapa bidang penelitian dengan masalah yang sama, baik di bidang ekonomi dan dalam disiplin lain. Jika pangeran kecil punya kesempatan untuk bertemu dengannya, mereka pasti memiliki kesempatan berdiskusi yang sangat panjang dan menggairahkan.

B. Permasalahan
Mempermudah pemahaman makalah ini, berikut diajukan dua permasalahan utama yang diharapkan dapat ditemukan jawabannya dalam pembahasan. Permasalahan tersebut mengacu pada empat poin utama yaitu hakekat teori administrasi, teori administrasi yang dikritisi Simon dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan dilihat dari teori administrasi menurut Simon.
  1. Apa saja teori administrasi yang dominan digunakan dalam organisasi?
  2. Apa alasan Herbert Alexander Simon menganggap teori-teori administrasi perlu diluruskan dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan pada organisasi (bisnis dan non profit)?
Guna memperkaya pembahasan dan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, maka buku Perilaku Administratif yang merupakan disertasi doktoral Herbert Alexander Simon tahun 1947 dan sekaligus sebagai buku pertamanya ini digunakan sebagai referensi utama. Alasannya, selain buku ini berfungsi sebagai dasar bagi karya hidup Simon selanjutnya, juga karena Buku Perilaku Administrasi ini menjadi rujukan bagi penyelenggaraan administrasi pada organisasi-organisasi dunia sampai hari ini.

II. PEMBAHASAN
Hidup adalah pilihan. Manusia menjalani hidup dan dibumbui dengan berbagai pilihan. Kemampuan seseorang membuat keputusan yang tepat dan mampu memilih yang terbaik atas berbagai alternatif yang ada merupakan langkah berani yang hampir dipastikan memberikan keyakinan bahwa seseorang berada pada track yang benar. Kesuksesan yang diperoleh tergantung sungguh pada bagaimana ia merealisasikan pilihan yang diyakininya dengan keberanian, kesungguhan dan kerja keras.
Kajian utama makalah ini adalah masalah-masalah teori administrasi yang berhubungan dengan perilaku dan proses-proses kognitif manusia dalam membuat pilihan rasional, yaitu keputusan. Keputusan administratif operasional harus benar dan efisien. Dan itu harus praktis untuk mengimplementasikan seperangkat kegiatan koordinasi yang bermakna. Keputusan melibatkan sebuah pilihan yang dipilih dari sejumlah alternatif, diarahkan kepada tujuan organisasi atau subgoal. Pilihan realistis akan memiliki konsekuensi nyata personel yang terdiri dari tindakan atau non-tindakan diubah oleh fakta-fakta dan nilai-nilai lingkungan. Dalam praktiknya, beberapa alternatif mungkin sadar atau tidak sadar; memerlukan beberapa konsekuensi yang mungkin tidak diinginkan; beberapa sarana berbeda yang mungkin tidak sempurna, atau mungkin keterkaitannya yang tidak sempurna atau kurang rinci.

A. Hakekat Administrasi dan Teori Administrasi
Administrasi berasal dari kata “Ad” dan “Ministro” (Latin) yang berarti “melayani” atau “menyelenggarakan” (Webster, 1974). Administrasi ialah proses kegiatan penyelenggaraan yang dilakukan oleh seorang administrator secara teratur dan diatur menerusi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Administrasi ialah proses kerja sama secara rasional untuk mencapai tujuan secara efisien dan efektif. Administrasi adalah pengkoordinasian dan pengarahan sumber-sumber tenaga manusia dan material untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Administrasi menekankan kepada kegiatan pengkoordinasian orang-orang yang berkerjasama, alat-alat dan dana yang digunakan untuk mencapai tujuan yang inginkan. Administrasi adalah pengarahan, kepemimpinan, dan pengendalian dari usaha-usaha kelompok orang dalam rangka pencapaian tujuan yang umum atau pokok.
Pelaksana administrasi adalah seorang yang disebut administrator. Ketika organisasi belum maju dan belum terlalu kompleks, seorang administrator melaksanakan fungsi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Tetapi ketika kegiatannya telah maju dan bersifat kompleks, maka tugas administrator lebih ditumpukan kepada pengawasan dan koordinasi. Tugas seorang administrator dalam melakukan administrasi mencakup koordinasi dan pengawasan/pengendalian. Pada saat kegiatan administrasi telah maju, maka pelaksanaan administrasi dilaksanakan oleh orang-orang yang bekerjasama dalam melaksanakan tugas untuk mencapai tujuan bersama, dan untuk itulah diperlukan organisasi dan manajemen.
Berikut dikemukakan teori-teori administrasi yang dikutip dari beberapa sumber berbeda. Namun sebelum sampai pada rumusan teori-teori tersebut akan diklarifikasi terlebih dahulu konsep tentang teori.
Pendefinisian mengenai teori telah disampaikan oleh beberapa ahli. Salah satunya menurut Kerlinger, ia menyatakan bahwa teori adalah serangkaian konstruk atau konsep yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan fokus yang merinci hubungan antarvariabel dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi gejala tersebut. Sementara itu, menurut Moh. Nazir ada tiga hal yang harus diperhatikan untuk mengenal teori, yaitu; (1) teori merupakan seperangkat proposisi yang terdiri dari konsep yang sudah didefinisikan secara luas dan dengan hubungan unsur-unsur dalam seperangkat proposisi tersebut. (2) teori menjelaskan hubungan antar variable atau antar konsep sehingga pandangan terhadap suatu fenomena dapat diterangkan oleh variable dengan jelas.
Fungsi teori menurut Walter L. Wallace yaitu: (1). Menjelaskan generalisasi empiris yang telah diketahui, yakni meringkaskan masa lalu suatu ilmu. (2). Meramalkan generalisasi empiris yang belum diketahui, yakni mengarahkan masa depan suatu ilmu. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa teori adalah pernyataan atau konsep yang telah diuji kebenarannya melalui riset.
Teori administrasi telah dikemukakan oleh beberapa ahli, diantaranya William L. Morrow, Stephen P. Robbins, K. Bailey, dan Herbert A. Simon.
Pemikiran tentang administrasi dan manajemen dikemukakan oleh Henry Fayol dan Frederick W. Taylor. Tiga hal yang dikemukakan oleh Fayol terkait administrasi dan manajemen adalah aktivitas organisasi, fungsi atau tugas pimpinan, dan prinsip-prinsip administrasi atau manajemen.
Fayol mengemukakan sebanyak 14 prinsip administrasi yaitu sebagai berikut:
  1. Pembagian pekerjaan, spesialisasi ini dapat meningkatkan hasil yang membuat tenaga kerja lebih efisien.
  2. Wewenang, wewenang akan membuat mereka melakukan sesuatu dengan baik.
  3. Disiplin, tenaga kerja harus melaksanakan aturan yang ditentukan organisasi.
  4. Kesatuan komando, setiap tenaga kerja hanya menerima perintah dari yang berkuasa.
  5. Kesatuan arah, aktivitas organisasi yang setujuan dapat diperintah oleh manajer menggunakan satu rencana
  6. Mengalahkan kepentingan individu untuk kepentingan bersama
  7. Pemberian upah terhadap pekerja harus sesuai dengan pelayanan mereka
  8. Pemusatan, berhubungan pada keterlibatan dalam pengambilan keputusan
  9. Rentang kendali, garis wewenang dari manajemen puncak pada tingkatan dibawahnya merepresentasikan rantai scalar
  10. Tata tertib, orang dan bahan-bahan dapat ditempatkan dalam hal yang tepat dan dalam waktu yang tepat
  11. Keadilan, manajer dapat berbuat baik dan terbuka pada bawahannya
  12. Stabilitas pada jabatan personal,
  13. Inisiatif, tenaga kerja yang menyertai untuk memulai dan membawa rencana yang akan menggunakan upaya pada tingkat tinggi
  14. Rasa persatuan, kekuatan promosi tim akan tercipta dari keharmonisan dan kesatuan dalam organisasi.
Menurut William, teori administrasi adalah sebagai berikut:
  1. teori deskriptif, yaitu teori yang menggambarkan sesuatu yang nyata terjadi dalam organisasi dan memberikan postulat mengenai factor yang mendorong orang berperilaku.
  2. teori perspektif, teori yang menggambarkan perubahan-perubahan dalam arah kebijakan publik dengan mengeksploitasi birokrasi.
  3. teori normative, teori yang mempersoalkan masalah peranan birokrasi. Apakah peranan tersebut dipandang dalam pengembangan kebijakan dan pembangunan politik,atau peranan birokrasi seharusnya dimantapkan, diperluas atau dibatasi.
  4. teori asumtif, yakni teori yang memusatkan perhatiannya pada usaha-usaha untuk memperbaiki praktik administrasi.
  5. teori instrumental, adalah teori yang bermaksud untuk melakukan konseptualisasi mengenai cara-cara untuk memperbaiki teknik manajemen dengan menekankan alat, teknik, dan peluang sehingga dapat dibuat sasaran kebijakan secara lebih realistis.
Teori administrasi menurut Stephen yaitu sebagai berikut:
  1. teori hubungan manusia, teori ini awalnya dirintis oleh Elton Mayo untuk menguji hubungan antara produktivitas dengan lingkungan fisik.
  2. teori pengambilan keputusan, teori ini berasumsi bahwa yang menjadi inti administrasi adalah pengambilan keputusan.
  3. teori perilaku, teori ini memahami akan pentingnya factor perilaku manusia sebagai alat utama dalam upaya mencapai tujuan.
  4. teori system, teori yang memandang organisasi sebagai suatu system yang menampilkan karakteristik sebagai penerima masukan, pengolah, dan penghasil kebijakan.
  5. teori kontingensi, teori ini diangkat untuk mencari beberapa karakteristik umum yang melekat pada situasi-aituasi tertentu yang memungkinkan melakukan kualifikasi pada situasi khusus.
Teori administrasi menurut K. Bailey yaitu sebagai berikut:
  1. teori deskriptif, teori yang mendeskriptifkan struktur bertingkat dan berbagai hubungan dengan lingkungan kerjanya.
  2. teori normatif, teori yang mengutamakan nilai-nilai pada penyelenggara administrasi.
  3. teori asumtif, yakni teori yang memahami realitas seorang administrator.
  4. teori instrumen, yaitu peningkatan teknik-teknik manajerial dalam rangka efisiensi dan efektifitas pencapaian tujuan publik.
B. Masalah-Masalah Teori Administrasi Menurut Herbert Alexander Simon (1946)
Herbert A. Simon cenderung melihat bahwa administrasi sebagai kegiatan-kegiatan kelompok kerjasama untuk mencapai tujuan-tujuan bersama. Administrasi pada hakekatnya menyangkut batas-batas aspek perilaku manusia yang rasional dan yang tidak rasional. Teori ini menurutnya juga merupakan teori rasionalitas yang diharapkan dan terbatas teori mengenai perilaku manusia yang mementingkan kepuasan karena ia tak memiliki kecerdasan untuk berusaha mencapai titik maksimum.
Kesulitan utama dalam teori organisasi klasik yang menurut Simon keasyikan dengan menemukan kategori "prinsip" organisasi, berlaku untuk semua organisasi yang tidak qualified setiap saat. "Prinsip-prinsip organisasi" masih muncul dengan teratur dalam buku pada organisasi besar, tetapi mereka secara bertahap telah dinisbikan oleh aliran kritik dan riset empiris yang menunjukkan bahwa desain organisasi yang berbeda dibutuhkan untuk fungsi yang berbeda dalam lingkungan yang berbeda.
Misalnya saja, studi yang dilakukan ECA menekankan pada aspek rancangan organisasi, seperti langkah-langkah memecahkan masalah. Organisasi memulainya dengan mencari cara yang tepat untuk mewakili situasi masalah. Para perancang tidak datang ke masalah dengan representasi siap pakai (yaitu jenis masalah yang mereka hadapi sebelumnya). Bagi Simon, dari awal mereka hendaknya memperhatikan hal-hal yang representatif sebagai penyebabnya kemudian menemukan langkah-langkah strategis untuk memecahkan masalah tersebut.
Fenomena lain misalnya sebuah studi ekstensif berusaha untuk menentukan bagaimana sistem akuntansi perusahaan harus diatur agar mencapai manfaat terbesar untuk para eksekutif dalam membuat keputusan-keputusan mereka dan memecahkan masalah-masalah mereka. Menjawab pertanyaan ini dibutuhkan penentuan jenis keputusan penting dibuat oleh eksekutif operasional. Bagaimana data akuntansi mungkin berguna dalam membuat keputusan ini? Dan pada titik apa dalam proses pengambilan keputusan data bisa paling berguna jika disuntikkan? Dengan mengamati proses pengambilan keputusan yang sebenarnya secara rinci, dan di sejumlah perusahaan, kebutuhan data spesifik diidentifikasi pada tingkat organisasi penting - tingkat wakil presiden, tingkat manajer pabrik, dan tingkat kepala departemen pabrik, misalnya - Setiap departemen akuntansi mengajukan masalah komunikasi yang berbeda.
Namun, dengan berbagai kegiatan pengembangan yang dilakukan organisasi, mereka justru menghadapi berbagai permasalahan yang tidak habis-habisnya. Keputusan yang dibuat lebih cenderung pada “memperkaya” pengusaha tanpa memberikan jaminan yang cukup bagi organisasi, administrasi, manajemen dan sumber daya manusia yang ada. Sejatinya, penyelenggaraan administrasi yang baik, baik bagi organisasi bisnis maupun organisasi non profit (publik) memperhatikan dengan seksama keterlibatan berbagai unsur baik dari dalam organisasi maupun dari luar organisasi. Sumber daya internal seperti karyawan, kondisi manajemen, sarana prasarana, keseimbangan proses komunikasi yang berlangsung, dan aspek-aspek lainnya. Sedangkan dari luar organisasi misalnya relasi yang harmonis, media massa, penggunaan informasi dan teknologi serta aspek-aspek lingkungan eksternal lainnya. Singkatnya, dalam mengambil keputusan yang tepat, sebuah organisasi mutlak membutuhkan facts (fakta-fakta) dan Values (nilai-nilai) yang berkembang baik dari dalam maupun dari luar organisasi yang dapat mengantarkan organisasi tersebut dalam mencapai tujuannya.
Berikut teori Simon tentang tiga langkah-langkah pengambilan keputusan:

Tugas pengambilan keputusan rasional adalah untuk memilih alternatif yang lebih disukai dengan mengumpulkan semua kemungkinan konsekuensinya. Tugas ini dapat dibagi menjadi tiga langkah-langkah yang diperlukan: (1) identifikasi dan daftar semua alternatif; (2) penentuan segala akibat yang dihasilkan dari masing-masing alternatif; dan (3) perbandingan ketepatan dan efisiensi masing-masing set konsekuensi. Setiap individu tertentu atau organisasi berusaha untuk menerapkan model ini dalam situasi yang nyata tidak akan mampu untuk memenuhi tiga persyaratan. Hal ini sangat tidak mungkin bahwa seseorang dapat mengetahui semua alternatif, atau semua konsekuensi yang mengikuti setiap alternatif.
Hal ini juga dikemukakan oleh Bakka dan Fivesdal bahwa:
Simon’s theories is based on a classical, ideal, and rational model of human decision-making The rational model does not exist in reality, and it is very easy to criticize. According to Simon the problem is not to criticise the model but to understand how decisions are made in organizations and to design organizations with a rationality as reflected in this model in mind. As a startingpoint you have to have some ideas of rationality. Rationality, however, must be seen as a variable. No one (individual or organization) can fulfil the requirements in the classic model of decisions processes. The model can be used in enquiries, to study how individuals and organizations develop goals and values, describe and judge different alternatives, gather and make use of information, and make conclusions – decisions.
Pertanyaannya di sini adalah: diberikan batas-batas yang tak terhindarkan pada pengambilan keputusan rasional, apa teknik lain atau perilaku seseorang bisa memproses atau mengarahkan organisasi untuk mencapai hasil yang terbaik? Simon menulis: "Manusia berusaha untuk rasional dan terbatas dalam batas-batas pengetahuannya telah mengembangkan beberapa prosedur kerja yang sebagian mengatasi kesulitan-kesulitan ini. Terdiri dari prosedur ini mengasumsikan bahwa ia dapat mengisolasi dari seluruh dunia sistem tertutup yang berisi sejumlah variabel dan konsekuensi yang terbatas."
Herbert Simon membagi empat prinsip administrasi yang lebih umum, yaitu :
  1. efisiensi administrasi dapat ditingkatkan melalui spesialisasi tugas.
  2. efisiensi administrasi dapat ditingkatkan dengan anggota kelompok didalam suatu hierarki yang pasti yaitu melalui hierarki komando.
  3. efisiensi administrasi dapat ditingkatkan dengan membatasi jarak pengawasan pada setiap sektor dalam organisasi.
  4. efisiensi administrasi dapat ditingkatkan dengan mengelompokkan pekerjaan untuk maksud-maksud pengawasan, berdasarkan tujuan, proses, langganan dan tempat.
Keempat prinsip tersebut justru bagi Simon juga masih perlu ditinjau kembali, karena ada hal-hal tertentu yang perlu dipenuhi. Meninjau kembali prinsip-prinsip tersebut merupakan dasar bagi perumusan teori Simon tentang perilaku organisasi dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan. Keempat prinsip tersebut adalah:

1. Spesialisasi Tugas
Efisiensi administrasi diperkirakan akan meningkat sejalan dengan peningkatan spesialisasi. Dengan kata lain bahwa efisiensi administrasi dapat ditingkatkan melalui spesialisasi tugas diantara kelompok untuk menghasilkan suatu efisiensi yang lebih besar. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa seseorang tidak dapat mengerjakan dua hal yang berbeda pada waktu bersamaan. Jadi kriteria spesialisasi tersebut hendaknya mengacu pada empat aspek yaitu, tujuan, proses, langganan dan tempat (purpose, proces, clientele and place).

2. Kesatuan Komando
Efisiensi administrasi diperkirakan dapat ditingkatkan dengan mengatur anggota-anggota organisasi dalam suatu hierarki wewenang yang pasti untuk mempertahankan “kesatuan komando.” Hal ini diasumsikan bahwa tidak mungkin bagi seseorang untuk mematuhi dua perintah yang berlawanan, ketika pemberi perintah tersebut memiliki wewenang yang sama.

3. Membatasi Jarak dan Pengawasan
Efisiensi administrasi diperkirakan dapat ditingkatkan dengan membatasi bawahan yang melapor langsung kepada pengelolanya masing-masing. Tingkat-tingkat organisasi berada pada jumlah yng minimal dan tingkat-tingkat yang sedikit ini harus dilalui dulu sebelum bertindak. Selain itu, jika seorang pejabat diperlukan untuk mengawasi terlalu banyak pekerja, maka pengawasan terhadap orang-orang itu menjadi lemah.

4. Pengelompokkan Pekerjaan
Efisiensi administrasi juga diduga meningkat dengan mengelompokkan karyawan menurut: (a) tujuan, (b) proses, (c) langganan dan (d) tempat pekerjaan. Hal ini berkaitan dengan spesialisasi pekerjaan pada nomor sebelumnya bahwa organisasi dapat mengelompokkan karyawan sesuai dengan kapabilitas dan keterampilan mereka masing-masing.
Sebagaimana dikemukakan pada bagian awal Buku “Perilaku Administratif” bahwa bagian ini (Bagian II) tentang “Masalah-masalah dalam Teori Administrasi” berfungsi sebagai langkah awal dalam membangun kerangka metodologis bagi perumusan teori administrasi pada bab-bab berikutnya. Namun demikian, ada satu hal yang perlu dipegang bahwa kita tidak bisa mengharapkan akan dapat menemukan satu “ukuran” tetap (tak berubah-ubah) yang dapat diterapkan pada semua organisasi dalam segala situasi. Maka riset-riset tentang administrasi perlu lebih diarahkan untuk mengenal dan memahami mekanisme dasar yang ada di dalam sistem-sistem perilaku administrasi. &
Keempat prinsip tersebut selanjutnya pun tidak dapat diterima begitu saja secara simultan. Pertama, tentang spesialisasi. Secara intern prinsip ini tidak konsisten mengingat tujuan, proses, langganan dan tempat merupakan basis-basis yang bersaing dalam organisasi, dan pada titik-titik pembagian tertentu yang manapun keuntungan yang dapat diperoleh dari yang tiga harus dikorbankan untuk memperoleh keuntungan dari yang keempat. Spesialisasi juga tetap dibutuhkan pada sebuah organisasi besar yang terdiri atas beberapa sub bagian yang membawahi tugas dan tanggung jawab yang berbeda-beda.
Kedua, dari prinsip kesatuan komando. Kesatuan komando akan menjadi sulit bilamana dilaksanakan prinsip spesialisasi. Bilamana kita asumsikan bila spesialisasi dilaksanakan maka ada pembagian divisi-divisi dalam organisasi. Lalu bagaimana kesatuan komando dapat dilaksanakan dengan efisien bilamana wewenang dikotak-kotakkan, dan melalui garis-garis apa wewenang itu dijalankan. Akhirnya, konsep kesatuan perintah yang lebih sempit ini pun berpeluang konflik dengan prinsip-prinsip spesialisasi karena setiap terjadi ketidakcocokan, anggota organisasi pasti harus kembali pada garis-garis wewenang yang formal.
Ketiga, dari prinsip jarak pengawasan. Dikemukakan sebelumnya bahwa jarak pengawasan itu hendaknya semakin sempit semakin baik. Dilema yang muncul kemudian adalah di dalam suatu organisasi besar dimana terdapat hubungan timbal balik antara anggotanya, jarak pengawasan yang dibatasi ini tidak dapat tidak menimbulkan formalitas-formalitas yang berlebihan, karena setiap hubungan antara anggota organisasi harus dibawa ke atas sampai ditemukan seorang atasan yang disepakati. Akibatnya adalah birokrasi yang panjang dan berbelit-belit merupakan kendala terparah dalam upaya menciptakan sebuah administrasi yang efisien.
Solusi sementara yang ditawarkan di sini yaitu: melihat efisiensi administrasi dari sudut individu karyawan, meminimalisir munculnya penggunaan istilah-istilah pokok yang bermakna ganda dengan pemberian nilai dan memantapkan kriteria spesialisasi, dan menghilangkan batas-batas rasionalitas individu.
Solusi tersebut dapat dipetakan sebagai berikut:



III. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan paparan di atas maka dapat disimpulkan dua hal pokok yang berkaitan dengan masalah-masalah teori administrasi khususnya dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan.
  1. Terdapat berbagai teori administrasi yang sampai saat ini digunakan dalam organisasi-organisasi baik organisasi bisnis maupun organisasi non profit. Namun, teori-teori administrasi yang dikemukakan oleh Hendry Fayol dan Frederick W. Taylor, William L. Morrow, Stephen P. Robbins, K. Bailey dan ahli-ahli lainnya dikritisi oleh Herbert Alexander Simon. Misalnya, Teori administrasi yang dikemukakan oleh Hendry Fayol dan Taylor yang menekankan pada pengelompokkan pekerjaan dan spesialisasi tidak dapat digunakan secara serta merta untuk semua organisasi. Alasannya, bahwa terdapat berbagai perbedaan yang harus segera dibenahi terlebih dahulu, mengingat pelaksana administrasi adalah manusia yang memang berbeda secra alamiah. Selain itu, organisasi dapat dipahami dari cara mereka membuat keputusan.
  2. Herbert Alexander Simon mengemukakan setidaknya tiga alasan mengapa teori-teori administrasi yang dianut dalam organisasi perlu diluruskan yang ia sebut dengan Teori Rasionalitas. Pertama: Organisasi hendaknya mampu melihat efisiensi administrasi dari sudut individu karyawan yaitu pada aspek-aspek: (a) batas-batas kemampuannya menjalankan tugas. (b) batas-batas kemampuannya membuat keputusan yang benar. Kedua, Perlu ada pemberian nilai kepada kriteria-kriteria dengan cara memberikan bobot pada kriteria yang telah ditentukan yang diformulasikan berdasarkan fakta dan nilai tentang perilaku administrasi dalam sebuah organisasi. Ketiga, Menghilangkan Batas-batas bagi rasionalitas individu. (a) Individu dibatasi oleh keterampilan-keterampilan, kebiasaan-kebiasaan, dan refleks-refleks yang tidak lagi berada di dalam daerah kesadarannya. (b) Individu dibatasi oleh nilai-nilai serta konsepsi-konsepsi tujuan yang mempengaruhinya dalam mengambil keputusan. Dan (c) Individu dibatasi oleh batas-batas pengetahuan mengenai hal-hal yang relevan dengan pekerjaannya.
B. Rekomendasi
Membaca bukunya Herbert Alexander Simon “Administrative Behavior” khususnya bab II bukan hanya sulit dipahami, juga membutuhkan pengkajian sungguh-sungguh. Sebab, apa yang menjadi judul bab ternyata sulit untuk diuraikan dan dicerna dengan hanya membaca bab tersebut. Misalnya ingin menemukan permasalahan apa sesungguhnya tentang teori administrasi tidak tercantum secara eksplisit. Namun demikian, pernyataan-pernyataan dan contoh-contoh yang diberikan memang terbukti benar adanya sampai hari ini.
Untuk itu, kami rekomendasikan beberapa hal berikut:
  1. Mengingat Herbert A Simon adalah ahli administrasi, ekonom handal yang sekaligus psikolog, maka untuk memahami cara pandang Simon tentang teori administrasi maka kita harus merujuk pada disiplin ilmu yang ia kuasai.
  2. Organisasi dapat mudah dipahami melalui teori-teori administrasi sebagai kerangka metodologis, dan cara organisasi mengambil keputusan menunjukkan perilaku administratif organisasi tersebut. Untuk itu direkomendasikan agar dalam memahami organisasi hendaknya mengkaji teori-teori administrasi yang dianutnya, dan memahami bahwa perilaku administratif sebuah organisasi dapat dikaji secara bijak melalui cara-cara pengambilan keputusannya yang tepat, tajam dan akurat.
  3. Teori-teori administrasi yang dikemukakan oleh beberapa ahli administrasi lainnya bukannya tidak benar namun bukannya tidak bisa dikritisi. Untuk itu, Simon memberikan kepada pembaca cara memandang dan mengkritisi teori-teori tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Assar Lindbeck, Nobel Lectures, Economics 1969-1980, Editor, World Scientific Publishing Co., Singapore. (1992) pp. 1
Bakka, Jørgen Frode and Egil Fivesdal: Organisations Theory. Structure, Culture, Processes, (Nordisk Forlag, Arnold Busck, Denmark, 1986.) Pp. 168
Cyert, R.M. and DeGroot, M.H., Bayesian Analysis and Uncertainty in Economic Theory, (Totowa NJ : Rowman and Litt lefield, 1987) pp 72.
Frederick W. Taylor, Shop Management (Harper & Bros., I~I!)..p. gg; Macmahon, Millett, and Ogden The Admrnastratton of Federal Work Relief (Public Administration Service, 1941).pp. 265-268. http://links.jstor.org/sici?sici=3E2.0.CO%3B2-J
Frederick W. Taylor, The Principles of Scientific Management (New York: Harper Bros., 1911): 5-29 http://www.cba.neu.edu/~ewertheim /introd/history.htm#Theoryx
Gulick, Luther. Notes on the Theory of Organization, in Luther Gulick and L. Urwick (eds.), Papers onthe Science of Administration (Institute of Public Administration, Columbia University, 1937)pp. 9. http://links.jstor.org/sici?sici=.0.CO%3B2-J
Henry Fayol, Theory and Analysis of Public Management, (New York: Harper Bros., 1911): 5-29
Herbert A. Simon "Decision-Making and Administrative Organization," Public Administration Review 20-21 (Winter, 1944) pp. 4 cited in Herbert A. Simon, The Proverbs of Administration, Public Administration Review, Vol. 6, No. 1.
Herbert A. Simon, The Proverbs of Administration, Public Administration Review, Vol. 6, No. 1. (Winter, 1946), pp. 53-67.
Herbert A Simon, Administrative Behavior. A Study of Decision-Making Processes in Administrative Organization, Third Edition, The Free Press, Collier Macmillan Publishers, London, UK, 1976.
Herbert A Simon, Altruims and Economics, Eastern Economic Journal, Vol. 18 No. 1 Winter 1992.
Jesper Simonsen, Herbert A. Simon: Administrative Behavior – How organizations can be understood in terms of decision processes, Computer Science Journal, Roskilde University, Spring 1994, pp. 1
John M. Phiffner and RV Presthus, Public Administration, New York: The Ronald Press Co. http://www.accel-team.com/scientific/scientific_02.html
Kerlinger, Fred N., Foundations of Behavioral Research, Third Edition, (Chicago :Holt, Rinehart and Winston. 1986), pp.54.
Mario Teguh, Motivasi untuk Hidup yang Lebih Baik, The Golden Ways, Metro TV, 24 Desember 2009.
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta : PT. Ghalia Indonesia), pp. 7
Newstrom, J. W., & Davis, K. A. (1997). Organizational behavior: Human behavior at work (10th ed.). New York: McGraw-Hill.
R:Webster NCD 1974” in the Webster's New Collegiate Dictionary, Merriam-Webster, 1974 edition.
Stephen P. Robbins, Organizational Behavior, 9th edition Prentice Hall International http://bzupages.com/f238/pdf-book-stephen-p-robbins-organizational-behaviour-9th-edition-5293/
Walter L. Wallace, Principles of Scientific Sociology (Aldine, 1983) http://www.accel-team.com/scientific/scientific_02.html
William H. Newman, Administration Action the technique of Organization and Management, Prentice Hall Inc. http://www.accel-team.com/scientific/scientific_02.html
William L. Morrow., An Introduction to Public Administration, Policy, Politics and Bureucracy, (New York, the Free Press, 1974) 336. http://www.jstor.org/pss/974286

PENGAWASAN PUSAT TERHADAP DAERAH MENURUT UU No. 32 TAHUN 2004





I. RASIONAL
Negara Indonesia sebagai negara kesatuan yang berbentuk republik melandasi pelaksanaan pemerintahan di daerah pada asas desentralisasi. Kaidah asas inilah yang kemudian melahirkan makna otonom, dengan substansi penyerahan kewenangan dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah. Di samping asas desentralisasi dikenal juga asas dekonsentrasi dengan substansi yang agak berbeda yaitu penugasan dari pemerintah pusat. Makna kewenangan yang diserahkan, dilimpahkan dan ditugaskan sifatnya untuk mengatur dan mengurus pelaksanaan pemerintahan di daerah.
Penyerahan, pelimpahan dan penugasan kewenangan kepada pemerintah daerah dari waktu ke waktu selalu mengalami dinamika yang secara langsung mempengaruhi konsep hubungan pusat dan daerah dalam pelaksanaan pemerintahan. Terkadang, daerah diposisikan hanya sebagai “wakil” pemerintah pusat di daerah dan bukan sebagai “institusi otonom” yang berfungsi sebagai penyalur aspirasi rakyat di daerah.[1] Formulasi hubungan yang demikian memberikan ruang penonjolan asas dekonsentrasi daripada desentralisasi dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah. Kenyataan ini kemudian membawa pemahaman ekstrim bahwasannya otonomi daerah hanya merupakan bentuk manipulasi dari demokrasi atau justru merupakan penguatan sentralisasi yang terbingkai dalam demokrasi.
Hal tersebut menjadi sangat vital karena sesungguhnya roh desentralisasi merupakan sendi pemerintahan demokratis, yang secara langsung akan memberikan kesempatan atau keleluasaan pada daerah yang dimaknai dengan kebebasan berotonomi. Kewenangan daerah tidak terlepas dari ikatan kesatuan pemerintah di pusat yang harus diatur secara tegas dalam bingkai aturan hukum mengenai pendelegasian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pemerintahan. Implikasi penyerahan atau pelimpahan kewenangan tersebut tidak melepaskan campur tangan secara intensif dari pemerintah pusat dalam mengawasi perkembangan pelaksanaan pemerintahan di daerah karena hal tersebut merupakan prinsip yang tersimpul pada negara kesatuan.[2]
Dalam konsep otonomi daerah pelaksanaan pengawasan tidak boleh mengakibatkan pengurangan atau penggerogotan terhadap nilai-nilai yang berlaku dan terkandung dalam dasar-dasar desentralisasi yaitu kebebasan dan inisiatif daerah dalam berprakarsa. Tanpa pengawasan yang tepat maka disinyalir akan dapat mengakibatkan terancamnya brandol kesatuan NKRI, dan kalau pengawasan terlalu kuat justru akan membuat nafas desentralisasi menjadi tersengal-sengal.[3]
Dalam makalah singkat ini dibahas tentang pengawasan pelaksanaan pemerintahan daerah oleh pusat terhadap daerah dalam kerangka otonomi daerah. Dihasratkan untuk memaksimalkan pemahaman tentang konsepsi pengawasan pusat terhadap daerah dengan mengacu pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
II. FOKUS MASALAH
Bagaimana pelaksanaan pengawasan pusat terhadap daerah dalam proses pelaksanaan pemerintahan daerah dengan mengacu pada UU No. 32 tahun 2004?
III. PEMBAHASAN
A. Konsep Pengawasan
Pengawasan secara umum diartikan sebagai aktivitas pokok dalam manajemen untuk mengusahakan sedemikian rupa agar pekerjaan-pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana serta sesuai dengan hasil yang dikehendaki.[4] Pada dasarnya pengawasan berlangsung mengikuti pola sebagai berikut:
1. menetapkan standar atas dasar kontrol
2. mengukur hasil pekerjaan secepatnya
3. membandingkan hasil pekerjaan dengan standar atau dasar yang telah ditentukan semula
4. mengadakan tindakan koreksi[5]
Dalam bahasa Indonesia seringkali controlling diterjemahkan dengan pengendalian. Sedangkan pengendalian sering diartikan sebagai usaha pengawasan disertai dengan tindakan lanjutan dengan tujuan agar suatu kegiatan yang sedang dilaksanakan dapat mencapai sasaran menurut rencana yang telah ditetapkan. Dengan demikian pengendalian mempunyai lingkup yang lebih luas dari pengawasan. Pengendalian mencakup: (1) pengawasan, baik preventif maupun represif; (2) petunjuk pengarahan/instruksi dari pimpinan; (3) peninjauan dari pengamatan secara langsung di tempat kegiatan; (4) menghimpun dan menganalisis semua informasi yang berhubungan dengan kegiatan proyek yang bersangkutan dan (5) menentukan kebijakan lebih lanjut.[6]
Jadi pada hematnya pengawasan dan pengendalian dalam pelaksanaan pemerintahan sesungguhnya berasal dari kata yang sama controlling yang dapat dimaknai sebagai aktivitas pokok dalam manajemen yang disertai tindakan lanjutan dengan tujuan agar pelaksanaan pemerintahan berlangsung efisien, efektif dan etis untuk mencapai sasaran menurut rencana yang telah ditetapkan dengan hasil yang dikehendaki. Dalam konsep otonomi daerah pengawasan pelaksanaan pemerintahan daerah dilakukan oleh pemerintah pusat dengan berpijak pada peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU Nomor 32 tahun 2004).
B. Fenomena Pengawasan Pelaksanaan Pemerintahan Daerah
Dalam era otonomi daerah sekarang, ada kecenderungan otonomi ditafsirkan sebagai kebebasan daerah untuk melakukan apa saja tanpa campur tangan Pemerintah Pusat. Padahal dalam negara kesatuan, Pemerintah Daerah merupakan subordinasi dari Pemerintah Pusat dimana pada tingkat terakhir Pemerintah Pusat-lah yang akan mempertanggungjawabkan segala sesuatunya kepada Parlemen. Kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat harus tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Untuk itu perlu adanya pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dalam Undang-undang telah dinyatakan dilakukan dengan dua cara yaitu dengan preventif dan represif.
Hasil penelitian[7] menunjukkan bahwa dengan hanya menekankan pada pengawasan represif ternyata mengandung segi-segi negatif, yaitu menimbulkan banyak kerugian bagi masyarakat, disamping kurang terjaminnya kepastian hukum. Ini terbukti dengan banyaknya Perda yang dikembalikan dan dibatalkan oleh Pemerintah Pusat karena merugikan masyarakat.
Pengawasan represif yang dilakukan dalam bentuk pembatalan Peraturan Daerah dapat dilakukan baik oleh Pemerintah Pusat maupun oleh Mahkamah Agung. Oleh Mahkamah Agung dilakukan melalui penggunaan hak uji materiil dengan dasar pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Tetapi melalui Pasal 24 Amandemen Ketiga UUD 1945 dinyatakan bahwa dasar pengujian yang dapat digunakan Mahkamah Agung hanyalah Undang-Undang. Berbeda dengan pengawasan oleh Pemerintah Pusat yang menggunakan dasar pengujian yang lebih luas yakni atas dasar bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi dan bertentangan dengan kepentingan umum. Dan ternyata tidak terbatas pada Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 218 UU No. 32/2004 jo Pasal 114 UU No. 22/1999, tetapi juga terhadap semua kebijakan daerah termasuk Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengacu pada PP No. 20/2001.
Dalam proses implementasinya, Pemerintah Pusat tidak langsung membatalkan Perda yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum, melainkan mengembalikannya terlebih dahulu kepada Pemerintah Daerah untuk direvisi ataupun dicabut. Dengan demikian Pemerintah telah memperluas prosedur/mekanisme pembatalan yang telah diatur dalam Pasal 145 UU No. 32 Tahun 2004. Di samping itu, terhadap Perda yang telah dibatalkan, ternyata selama ini tidak ada daerah yang menggunakan prosedur keberatan baik kepada Pemerintah Pusat maupun ke Mahkamah Agung. Dengan kata lain, sampai saat ini ketentuan yang terdapat pada Pasal 145 UU No. 32 Tahun 2004 belum diterapkan secara maksimal.
Di sisi lain, sebagian pihak mensinyalir bahwa berbagai upaya pengawasan yang telah dilakukan selama ini memberikan hasil yang cukup baik, dalam artian dapat memberikan sikap kehati-hatian dan disiplin terhadap aturan yang berlaku. Selanjutnya yang dibutuhkan hanyal optimalisasi dan kesungguhan aparat pengawasan pada seluruh jenjang/strata menurut tugas, fungsi dan tanggung jawab masing-masing.[8] Pernyataan ini kontradiktif dengan kenyataan di lapangan karena sebagian besar Gubernur (Bupati) merasa terganggu kenyamanannya dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan daerah karena proses pengawasan yang terkadang tidak sesuai.[9] Keluhan yang dikemukakan antara lain seringnya aparat pengawasan, penyelidik dan penyidik melakukan tugas dan fungsinya secara bertubi-tubi dan cenderung tumpang-tindih. Di lain pihak, manfaat hasil pengawasan aparat pengawasan, penyelidik dan penyidik belum dirasakan memenuhi harapan.
Selama ini pengawasan pelaksanaan pemerintahan daerah diwarnai oleh berbagai fenomena yang stagnan dari masa ke masa[10], misalnya:
1. pengawasan yang dilaksanakan oleh DPRD cenderung ke arah pengawasan yang bersifat teknis; yang seyogyanya harus tetap berada dalam koridor peraturan perundangan yang berlaku, yaitu peraturan perundangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum.
2. pengawasan yang dilaksanakan oleh APIP cenderung bertubi-tubi dan terjadinya tumpang tindih; yang antara lain disebabkan perpedaan persepsi atas istilah bertubi-tubi, dan segera dituntaskan melalui pengawasan secara terpadu yang dikordinasikan sesuai UU No. 32 Tahun 2004.
3. pengawasan yang dilaksanakan oleh APIP tampaknya belum dapat dilaksanakan atas seluruh program pemerintah, pemerintah daerah, dan urusan pemerintahan lainnya.
Meminimalisir kesenjangan tersebut, selanjutnya Pemerintah kemudian mengagendakan adanya pengawasan terpadu oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP, sejak tahun 2006), yang merupakan kebijakan pengawasan yang harus disepakati bersama, serta disusun dalam suatu grand design atau pun framework tentang pengawasan terpadu yang dijabarkan ke dalam perencanaan jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek. Implementasi pengawasan terpadu ini dilakukan dengan mengacu pada ketentuan[11]:
1. sinergi pengawasan sebagai kebutuhan profesi APIP agar terus dikembangkan serta koordinasi dengan Aparat Penegak Hukum (APH) perlu ditingkatkan guna percepatan pemberantasan KKN;
2. sosialisasi kebijakan pengawasan kepada semua pihak agar jajaran birokrasi dan masyarakat dapat melaksanakan secara profesional dan proporsional;
3. meningkatkan kemampuan teknis dan intelektual pengawas sesuai tuntutan profesi dan kebutuhan masing lembaga APIP;
4. koordinasi pengawasan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pelaporan dan tindak lanjut hasil pengawasan agar kegiatan pengawasan mempunyai daya cegah, daya tangkal dan menimbulkan dampak jera kepada para pelaku penyimpangan dalam melaksanakan tupoksinya serta pengelolaan sumberdaya yang berada di bawah tanggung jawabnya;
5. mengkoordinasikan pengawasan masyarakat dan hasil pengawasan APIP dengan unsur Muspida yang terkait secara arif dan bijaksana agar semua pihak termotivasi untuk melaksanakan pemerintahan daerah ke arah terciptanya pemerintahan yang baikl dan bersih;
6. melaksanakan pemeriksaan khusus dan atau pemeriksaan serentak terhadap permasalahan yang menjadi perhatian pemerintah dan atau masyarakat dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan dan atau pemerintah daerah yang belum tertampung dalam program kerja pengawasan rutin/reguler.
Berpijak pada fenomena pengawasan yang ada dewasa ini, yang terkesan belum dilakukan dengan maksimal terkait dengan mekanisme maupun implikasi logisnya pada pelaksanaan pemerintahan daerah, maka perlu kiranya pemerintah pusat melakukan restrukrurisasi sistematika pengawasan baik dalam aspek organisasi maupun administrasi. Pada hematnya hal ini dapat dilakukan melalui (1) penguatan kelembagaan Bawasda (Inspektorat) sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagai auditor internal pemerintah daerah yang mendorong terwujudnya tata kepemerintahan yang baik (good governance); (2) pembagian sasaran audit reguler terpadu dan prioritas berdasarkan pendekatan indikator kinerja tahunan secara berjenjang sehingga mereduksi duplikasi atau tumpang tindih audit; dan (3) penguatan kapasitas APIP untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi auditor atau pemeriksa.
C. Bentuk dan Jenis Pengawasan Pusat terhadap Daerah dalam Kerangka Otonomi Daerah
Humes IV mengatakan bahwa sesungguhnya bentuk pengawasan terhadap pemerintahan daerah terdiri dari pengawasan hirarki dan pengawasan fungsional.[12] Pengawasan hirarki berarti pengawasan terhadap pemerintahan daerah yang dilakukan oleh otoritas yang lebih tinggi dan organisasi baik organisasi yang terdapat dalam pemerintaha itu sendiri (DPRD) dan organisasi kemasyarakatan di luar DPRD. Sedangkan pengawasan fungsional adalah pengawasan terhadap pemerintah daerah yang dilakukan secara fungsional baik dilakukan oleh departemen sektoral maupun oleh departemen yang menyelenggarakan pemerintahan umum (Departemen Dalam Negeri).
Di Indonesia hubungan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan hubungan desentralistik sesuai dengan UUD 1945.[13] Hubungan ini mengandung arti bahwa hubungan antara pemerintah pusat dan daerah adalah hubungan antara dua badan hukum yang diatur dalam undang-undang tentang desentralisasi, tidak semata-mata hubungan antara bawahan dan atasan. Dengan demikian maka pengawasan terhadap pemerintahan daerah dalam sistem pemerintahan di Indonesia lebih ditujukan untuk memperkuat ekonomi daerah, bukan untuk mengekang ataupun membatasi.
Pengawasan terhadap segala tindakan Pemerintah Daerah oleh Pemerintah Pusat termasuk juga keputusan-keputusan Kepala Daerah dan Peraturan Daerah sejak Otonomi Daerah diberlakukan pertama kali (UU No. 1 tahun 1945) sampai saat ini (UU No. 32 tahun 2004), mengenal tiga macam jenis pengawasan yaitu:
1. Pengawasan umum
Pengawasan umum adalah suatu jenis pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap segala kegiatan Pemerintah Daerah untuk menjamin penyelenggaraan Pemerintah Daerah dengan baik. Pengawasan umum terhadap Pemerintah Daerah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan Gubernur/Bupati/Walikota[madya] Kepala Daerah sebagai Wakil Pemerintah di daerah yang bersangkutan.[14] Pengawasan ini juga dapat dipahami sebagai pengawasan terhadap keseluruhan pelaksanaan tugas dan wewenang Pemerintah Daerah dan komponen dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri.[15]
Jenis pengawasan ini diberlakukan pertama kali berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 Tentang Penetapan Aturan-aturan Pokok mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri. Selanjutnya diberlakukan lagi pada tahun 1959 (berdasarkan Penpres No. 6/1959 dan Penpres No. 5 Tahun 1960, tahun 1965 (berdasarkan UU No. 18/1965), dan terakhir Tahun 1974 (berdasarkan UU No. 5/1974 dan UU No. 5/1979).
Konsep pengawasan jenis ini adalah dalam melakukan pengawasan umum Menteri Dalam Negeri dibantu oleh Inspektur Jendral meliputi bidang pemerintahan, kepegawaian, keuangan dan peralatan, pembangunan, Perusahaan Daerah dan yayasan dan lain-lain yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.
2. Pengawasan preventif
Secara harfiah pengawasan preventif berarti pengawasan yang bersifat mencegah (pengawasan yang dilakukan sebelum kegiatan dilaksanakan).[16] Artinya, pengawasan ini dilakukan untuk mencegah agar pemerintah daerah tidak mengambil kebijakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam pemahaman yang lebih operasional, yang dimaksud dengan pengawasan prevntif adalah pengawasan terhadap pemerintahan daerah agar pemerintah daerah tidak menetapkan kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Bentuk pengawasan ini berupa ketentuan-ketentuan yang berlaku atau prosedur-prosedur yang harus dilalui dalam menyelenggarakan pekerjaan. Lebih khusus lagi dinyatakan bahwa pengawasan jenis ini mengandung prinsip bahwa Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah mengenai pokok tertentu baru berlaku setelah ada pengesahan pejabat yang berwenang.[17] Pejabat yang berwenang dalam hal ini adalah Menteri Dalam Negeri bagi Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, Tingkat I bagi Peraturan Daerah dan Keputusan Daerah Tingkat II. Diatur lebih lanjut pada Pasal 144 dan 145 UU No. 32 tahun 2004.
Dalam sejarah Otonomi Daerah sejak era Kemerdekaan (UU No. 1 Tahun 1945) sampai saat ini (UU No. 32 Tahun 2004) jenis pengawsan ini pernah tidak diberlakukan pada otonomi tahun 1959 (Penpres No. 6/1959) yang hanya melakukan pengawasan umum dan represif dan pada tahun 1999 (UU No. 22 Tahun 1999) yang hanya menganut pengawasan jenis represif.
3. Pengawasan represif
Pengawasan represif adalah bentuk pengawasan yang dilaksanakan setelah keputusan/ketentuan itu dilaksanakan. Wujudnya adalah berupa tindakan membandingkan apakah pekerjaan yang sedang/telah dilaksanakan menurut kenyataan telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan atau prosedur-prosedur yang berlaku/ditetapkan. Dalam konsep otonomi daerah maka jenis pengawsan ini dipahami sebagai pengawasan yang berupa penangguhan atau pembatalan terhadap kebijakan yang telah ditetapkan daerah baik berupa Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah, Keputusan DPRD, maupun Keputusan Pimpinan DPRD dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.[18]
Pengawasan ini dilakukan dalam konteks jika peraturan yang dibuat tersebut dinilai bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya (pasal 145 ayat 2 UU No. 32 tahun 2004). Kepentingan umum yang dimaksud adalah kepentingan masyarakat luas yang mencakup hal-hal yang bekaitan dengan kepatutan atau kebiasaan yang berlaku di suatu derah seperti norma agama, adat istiadat, budaya serta susila serta hal-hal yang membebani masyarakat dan menimbulkan biaya ekonomi tinggi. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah UUD 1945, TAP MPR, Undang-Undang, PP, Kepres dan Kepmen. Sedangkan peraturan perundang-undangan lainnya adalah Peraturan Daerah Provinsi dan/atau Keputusan Gubernur serta Peraturan Daerah Kabupaten/Kota atau Keputusan Bupati/Walikota yang mengatur hal sejenis.
Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah maka pengawasan merupakan hal yang bersifat kontinum dari longgar ke ketat. Makin ketat pengawasan makin kecil otonomi daerah, sebaliknya makin longgar pengawasan makin besar otonomi daerah. Sejalan dengan paradigma demokratisasi pada pemerintahan daerah maka pengawasan tidak lagi dilakukan secara ketat tapi di tengah-tengah. Dengan demikian, diharapkan daerah tetap dapat mengembangkan otonominya dan tetap dalam bingkai NKRI.
Bagaimanapun juga dalam sistem unitary, pemerintah daerah bukanlah negara bagian yang mempunyai kedaulatan sendiri sebagaimana dalam sistem federal, namun pemerintah daerah adalah subsistem pemerintahan pusat (nasional). Oleh karena itu, ia bersifat dependent dan subordinate karenanya pemerintah pusat mempunyai kewenangan melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintah daerah agar pemerintah daerah tidak menyimpang dari sistem pemerintahan nasional, tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat, dan tidak membuat kebijakan yang meluncur pada pemisahan diri. Dengan adanya pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dapat menyelenggarakan pemerintahannya sendiri sesuai dengan koridor konstitusi dan undang-undang dalam sistem pemerintahan nasional dan dapat mencapai tujuan negara pada tingkat daerah secara efektif dan efisien.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa tujuan pembinaan dan pengawasan pemerintah pusat terhadap daerah sesungguhnya bukan untuk mengekang kinerja akan tetapi untuk meningkatkan kinerja. Pengawasan ini sepanjang pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia pernah dilakukan dengan tiga cara yaitu pengawasan secara umum, preventif dan refresif.
D. Pengawasan Pusat terhadap Daerah berdasarkan UU No. 32/2004
Aspek pengawasan seyogyanya memperhatikan du hal yang mendasar yaitu aspek yang mengancam keutuhan kesatuan dan aspek pembelengguan desentralisasi dihilangkan. Karena pengawasan kekuasaan pemerintahan merupakan tujuan dasardari konstitusi yang merupakan usaha pembatasan kekuasaan yang cendrung mengarah pada kesewenang-wenangan.[19] Pembatasan kekuasaan dengan sistem constitutionalism memiliki tiga makna yang berbeda;[20] pertama, suatu negara hukum, kekuasaan yang digunakan di dalam negara menyesuaikan diri pada aturan dan prosedur hukum yang pasti; kedua, struktur pemerintahan harus memastikan bahwa kekuasaan terletak dengan atau di antara cabang kekuasaan yang berbeda yang saling mengawasi penggunaan kekuasaannya dan yang berkewajiban untuk bekerja sama. Ketiga, hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya harus diatur dengan menyerahkan hak-hak dasar dengan tidak mengurangi kebebasan individu.
Sesuai konsep tersebut, dalam usaha menjembatani keutuhan NKRI dan penguatan pemerintahan daerah, maka akan menjadi unsur yang memegang peranan penting adalah aspek pengawasan dalam pelaksanaan pemerintahan, baik di tingkat pemerintahan pusat maupun di tingkat pemerintahan daerah. Pengawasan ini akan menjadi wadah dalam menciptakan check and balances system pelaksanaan pemerintahan sampai pada tingkat terendah.
Seperti dipahami bersama, bahwa pemerintahan daerah adalah sub sistem dari sistem pemerintahan nasional dalam struktur NKRI. Konsekwensi logisnya adalah penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak boleh menyimpang dari sistem nasional (pusat). Pada tataran ideal pelaksanaan otonomi, berarti semua kegiatan kenegaraan di daerah dilaksanakan oleh pemerintahan daerah yang bersangkutan, akan tetapi kenyataannya di tataran implementasi masih banyak terjadi penyimpangan atau salah tafsir atau perbedaan persepsi antara “das sollen” dan ”das sein”.[21]
Berdasarkan fakta tersebut yaitu bahwa selama pelaksanaan UU No 22 tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999, hingga 2004, terdapat begitu banyak Peraturan Daerah, praktek birokrasi di daerah yang salah kaprah, maka dalam UU No 32 tahun 2004 dan UU No 33 Tahun 2004, hal itu dicoba diatasi dengan rumusan pengawasan dari pusat yang lebih jelas dengan diikuti oleh program pembinaan.
Dalam UU No. 32 Tahun 2004, pengawasan dapat dilihat dalam beberapa hal yaitu evaluasi rancangan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah tentang APBD, perubahan APBD dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan rancangan Perda Provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh gubernur disampaikan kepada Mendagri untuk dievaluasi. Hasil evaluasi kemudian disampaikan oleh Mendagri kepada gubernur.[22]
Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintah daerah dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Koordinasi dilakukan secara berkala pada tingkat nasional, regional dan provinsi. Pemberian pedoman dan standar mencakup aspek perencanaan, pelaksanaan, tata laksana, pendanaan, kualitas, pengendalian dan pengawasan, pemberian bimbingan, sipervisi dan konsultasi dilaksanakan secara berkala dan sewaktu-waktu, baik secara menyeluruh kepada seluruh daerah maupun kepada daerah tertentu sesuai dengan kebutuhan.
Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh pemerintah (pusat) yaitu oleh aparat pengawas intern pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban memberikan penghargaan dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah (Pasal 185 UU No 33 Tahun 2004). Sedangkan sanksi diberikan pemerintah dalam rangka pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sanksi dapat diberikan kepada pemerintahan daerah, kepala daerah atau wakil kepala daerah, anggota DPRD, perangkat daerah, PNS daerah, dan kepala desa. Hasi lpembinaan dan pengawasan digunakan sebagai bahan pembinaan selanjutnya oleh pemerintah dan dapat digunakan sebagai bahan pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).[23]
Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah secara nasional dikoordinasikan oleh Mendagri. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota dikoordinasikan oleh gubernur. Pembinaan dan pengawasan untuk penyelenggaraan pemerintahan desa dikoordinasikan oleh Bupati/Walikota. Bupati dan walikota dalam pembinaan dan pengawasan dapat melimpahkannya pada camat. Pedoman pembinaan dan pengawasan yang meliputi standar, norma, prosedur, penghargaan dan sanksi diatur dalam peraturan pemerintah.[24]
Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan atau gubernur selaku wakil pemerintah di daerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam rangka pembinaan oleh pemerintah, menteri dan pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen melakukan pembinaan sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh Mendagri untuk pembinaan dan pengawasan provinsi serta oleh gubernur untuk pembinaan dan pengawasan kabupaten/kota.
Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daeah berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan yang dilaksanakan oleh pemerintah terkait dengan penyelengaraan urusan pemerintahan dan utamanya terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Dalam hal pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah, pemerintah melakukan dengan dua cara yaitu:
1. Pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah (Raperda) yaitu terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan RUTR sebelum disahkan oleh kepala daerah, terlebih dahulu dievaluasi oleh Mendagri untuk Raperda Provinsi dan oleh gubernur terhadap Raperda kabupaten/kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hal tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal.
2. Pengawasan terhadap semua peraturan daerah di laur yang termasuk dalam angka 1, yaitu setiap peraturan daerah wajib disampaikan pada Mendagri untuk provinsi dan gubernur untuk kabupaten/kota untuk memperoleh klarifikasi. Terhadap peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi dapat dibatalkan sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
Sedangkan untuk optimalisasi fungsi pembinaan dan pengawasan, pemerintah dapat menerapkan sanksi kepada penyelenggara pemerintahan daerah apabila ditemukan adanya penyimpangan dan pelanggaran oleh penyelenggara pemerintahan daerah tersebut.[25]

PENELITIAN KUALITATIF DALAM ILMU-ILMU SOSIAL

A. Pendahuluan   Ketika kita bergaul sehari-hari seringkali kita berargumen satu sama lain. Kita bercakap-cakap untuk mempe...