Senin, 01 Agustus 2022

GERAKAN 1000 GURU PRO-MULIA UNTUK NTB GEMILANG


NTB Gemilang adalah tagline bagi Pembangunan Nusa Tenggara Barat tahun 2019 – 2024. Salah satu program NTB Gemilang adalah NTB Sehat dan Cerdas yang diharapkan dapat dicapai melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pondasi daya saing daerah. Program-program unggulannya adalah: (a) Literasi Digital; (b) Rumah Bahasa; (c) Revitalisasi Posyandu; (d) NTB Juara; (e) Air Bersih Untuk Semua;  (f) Jamban Keluarga; (g) Re-engineering SMK; (h) Generasi Emas NTB; dan (i) Rumah Layak Huni, dan (j) NTB 1.000 cendekia. Proyek ini diharapkan dapat mendukung ikhtiar tersebut. Sebab, Program yang digelontorkan Pemerintah NTB salah satunya dapat diwujudkan dengan penguatan kapasitas SDM di sekolah, khususnya guru dan kepala sekolah. 

Tahun Pelajaran 2019/2020, Provinsi NTB mendidik 1.055.384 peserta didik pada semua jenjang Pendidikan. Siswa sebanyak itu, tergabung dalam 47.052 rombongan belajar yang tersebar pada 8.903 sekolah. Terdapat 84.022 Tenaga Pendidik dan 14.032 Tenaga kependidikan. 
Pada Jenjang SMP, terdapat 17.197 guru dengan 923 Kepala Sekolah. Dari jumlah tersebut, 96,6% telah mengantongi ijazah S1/DIV dan sebanyak hanya 36,6% yang sudah bersertifikat pendidik. Sementara 63,4% belum mengantongi Sertifikat Pendidik. Kondisi tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung bertalian dengan perolehan rerata Ujian Nasional tahun 2019 yang masih 7,20 digit di bawah rerata nasional. Jika rerata nasional 52,82 maka rerata Ujian Nasional jenjang SMP di NTB sebesar 45,62.  
Kondisi demikian tentu saja memberikan gambaran tantangan untuk menggerakkan guru dan kepala sekolah agar menjadi pionir bagi guru lain di sekolahnya dan sekolah lain di sekitarnya. 
Namun demikian, potensi dan harapan selalu ada. Di setiap sekolah, ada saja guru dan kepala sekolah yang memiliki wawasan terbuka, progresif dan MULIA. Guru-guru ini nantinya diberikan ruang, difasilitasi dan akan dibangun kapasitasnya agar menjadi lebih baik lagi. Setelah para pionir ini kuat dan mampu, maka diharapkan dapat menguatkan dan membuka wawasan guru-guru lainnya, sehingga akan tersedia semakin banyak guru dan kepala sekolah penggerak di Nusa Tenggara Barat. 
Gerakan 1000 Guru NTB PRO-MULIA merupakan sebuah variabel besar dalam upaya membangun kapasitas Guru NTB yang sesuai dengan corak, budaya dan kemampuan guru dan kepala sekolah di NTB saat ini. Setelah melalui berbagai macam pola pembinaan guru yang selama ini dilaksanakan baik oleh LPMP NTB (sebelum berganti nama), Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi maupun Kabupaten/Kota, hasilnya benar-benar tidak mampu mendongkrak profesionalisme guru lebih-lebih kompetensi siswa. 
Program PRO-MULIA adalah sebuah program yang saling terkait dan saling mendukung satu sama lain dalam konteks membangun Kemampuan Literasi Guru dan Literasi Siswa. PRO-MULIA adalah akronim dari Progresif (PRO), Motivator (M), Unggul (U), Literatif (L), Inovatif (I) dan Adaptif (A). Kelima poin besar tersebut diharapkan dimiliki oleh 1000 Guru  NTB, sehingga pada saatnya nanti akan ada 1000 guru progresif yang mampu menjadi motivator bagi guru lainnya. 1000 Guru unggul di sekolah tempatnya bertugas. 1000 Guru yang menjadi penyangga bagi pengembangan literasi siswa dan semua civitas akademik di sekolah. 1000 Guru yang memiliki inovasi-inovasi hebat dalam merencanakan, melaksanakan dan melakukan evaluasi pembelajaran, mengelola kelas, mensukseskan program Merdeka Belajar, sekolah ramah dan sekolah berkarakter kuat. 1000 Guru yang peka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Guru yang diharapkan mampu menjadi pionir bagi sebagian guru “gaptek” yang saat ini masih sangat kuat mewarnai kompetensi guru di Nusa Tenggara Barat.
Tahun Pelajaran 2021/2022, Provinsi NTB mendidik 1.055.384 peserta didik pada semua jenjang Pendidikan. Siswa sebanyak itu, tergabung dalam 47.052 rombongan belajar yang tersebar pada 8.903 sekolah. Terdapat 84.022 Tenaga Pendidik dan 14.032 Tenaga kependidikan. 
Pada Jenjang SMP, terdapat 17.197 guru dengan 923 Kepala Sekolah. Dari jumlah tersebut, 96,6% telah mengantongi ijazah S1/DIV dan sebanyak hanya 36,6% yang sudah bersertifikat pendidik. Sementara 63,4% belum mengantongi Sertifikat Pendidik. Kondisi tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung bertalian dengan perolehan rerata Ujian Nasional tahun 2019 yang masih 7,20 digit di bawah rerata nasional. Jika rerata nasional 52,82 maka rerata Ujian Nasional jenjang SMP di NTB sebesar 45,62.  
Kondisi demikian tentu saja memberikan gambaran tantangan untuk menggerakkan guru dan kepala sekolah agar menjadi pionir bagi guru lain di sekolahnya dan sekolah lain di sekitarnya. 
Namun demikian, potensi dan harapan selalu ada. Di setiap sekolah, ada saja guru dan kepala sekolah yang memiliki wawasan terbuka, progresif dan MULIA. Guru-guru ini nantinya diberikan ruang, difasilitasi dan akan dibangun kapasitasnya agar menjadi lebih baik lagi. Setelah para pionir ini kuat dan mampu, maka diharapkan dapat menguatkan dan membuka wawasan guru-guru lainnya, sehingga akan tersedia semakin banyak guru dan kepala sekolah penggerak di Nusa Tenggara Barat. 





QEDO_IDEAS




PARADIGMA GANDA PENDIDIKAN PRA SEKOLAH: Tanggung Jawab Keluarga dan Investasi Generasi Masa Depan

 


Pendidikan Anak Usia Dini pada prinsipnya merupakan tanggung jawab keluarga namun negara juga harus hadir ketika menginginkan generasi masa depan yang bersahaja. Mewujudkan dua paradigma tersebut, pengelolaan Pendidikan Anak Usia Dini hendaklah dilaksanakan sesuai dengan kebijakan nasional sekaligus upaya mewujudkan komitmen internasional. Asesor PAUD dan PNF hendaklah cerdas mempertimbangkan kedua paradigma tersebut dengan menunaikan norma-norma akreditasi sekolah dengan baik sehingga diperoleh pengelolaan pendidikan anak usia dini yang layak, bermartabat dan profesional. 

 

Tulisan ini merupakan refleksi logis dari kebijakan pendidikan pra sekolah baik dilihat dari kebijakan nasional yaitu Amandemen UUD 1945, pasal 28 C ayat 2 dan komitmen internasional sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Dakar tahun 2000 tentang education for all and all for education. Tertuang jelas dalam Amandemen UUD 1945, pasal 28 C ayat 2 bahwa setiap anak berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya. Berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Sementara itu, Deklarasi Dakar yang merupakan penegasan dari komitmen Jomtien, menekankan perlunya memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan/pengasuhan dan pendidikan anak usia dini terutama bagi anak yang sangat rawan dan kurang beruntung.  

Paradigma pendidikan pra sekolah selain sebagai tanggung jawab keluarga juga merupakan upaya-upaya dini dan terstruktur untuk dalam melakukan proses investing the children. Pertama, keluarga memiliki tanggung jawab besar pada anak usia dini. Keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama, paling mendasar dan menempati posisi yang sangat strategis dalam pengembangan sumber daya manusia. Mengingat anak usia dini yaitu anak yang berada pada rentang usia lahir sampai dengan enam tahun merupakan rentang usia kritis dan sekaligus strategis dalam proses pendidikan yang dapat mempengaruhi proses serta hasil pendidikan pada tahap selanjutnya. Artinya periode ini merupakan periode kondusif untuk menumbuhkembangkan berbagai kemampuan fisiologis, psikologis, kognitif, bahasa, sosioemosional dan spiritual. 

Kedua, anak-anak usia dini merupakan aset masa depan yang harus dirawat, dibina dan ditumbuhkembangkan secara hati-hati tetapi berwawasan masa akan datang. Dalam konteks ini, kehadiran negara melalui pemerintah mutlak ada dan hendaknya ditunaikan secara serius. Dalam konteks inilah konsep “social investment state” sebagaimana dikemukakan oleh Saint-Martin, 2000 ketika negara benar-benar hendak menginvestasikan anak-anak usia dini demi masa depan bangsa dan negara yang lebih bersahaja.

Pendidikan adalah hal yang sangat penting untuk diperoleh semua anak, karena pendidikan merupakan salah satu modal yang harus dimiliki setiap individu untuk meraih kesuksesan dalam hidupnya. Keberlangsungan pendidikan bagi setiap warga negara perlu mendapat perhatian yang serius dari berbagai pihak terutama pemerintah. Peran dan tanggung jawab pemerintah terhadap pengasuhan, pendidikan dan pengembangan anak  usia dini di Indonesia  hendaklah mengacu pada berbagai kebijakan dan kesepakatan  baik dalam lingkup nasional maupun sebagai wujud komitmen internasional.

Terakhir, terwujudnya pengelolaan pendidikan formal anak usia dini yang baik dan berkeadilan, perlu dilihat, dimonitor dan dikawal secara serius. Asesor sebagai salah satu instrumen inti yang bertanggung jawab dalam melihat kelayakan sebuah lembaga pendidikan pra sekolah, hendaklah berpedoman kepada norma-norma yang sesuai dengan tujuan dan fungsi akreditasi sekolah. Norma-norma ini harus menjadi pegangan dan komitmen bagi semua pihak yang terlibat di dalam proses akreditasi, yaitu: kejujuran, independensi, profesionalisme, keadilan, kesejajaran, keterbukaan, akuntabilitas, bertanggung jawab, bebas intimidasi, menjaga kerahasiaan dan keunggulan mutu. Mengejawantahkan norma-norma tersebut, seorang assesor juga perlu melihat dengan baik kedua paradigma pengelolaan pendidikan anak usia dini yang terpenuhi marwah sejatinya. Bahwa pendidikan anak usia dini selain sebagai tanggung jawab keluarga, juga merupakan upaya terstruktur dan masif dari negara guna menginvestasikan sebesar mungkin sumber daya untuk pendidikan anak-anak usia dini, sehingga di masa depan, negara layak mendapatkan sumber daya manusia unggul yang akan menjadi pionir pembangunan.

Semoga!!!

PELAYANAN PUBLIK, REFORMASI PELAYANAN PUBLIK DAN KULITAS PELAYANAN PADA BIDANG GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN DINAS PENDIDIKAN

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang 

Pelayanan publik pada dasarnya menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pemerintah memiliki fungsi memberikan berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat. Pelayanan tersebut dalam bentuk pengaturan, pengelolaan ataupun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan. Pelayanan publik demikian merupakan segala kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak dasar setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang, jasa dan atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan yang terkait dengan kepentingan publik.

Fakta bahwa pelayanan publik di Indonesia belum menunjukan kinerja yang efektif sering menjadi bahasan, baik dari segi tulisan maupun penelitian. Permasalahan pelayanan publik yang tidak efektif, misalnya dipicu oleh beberapa hal yang kompleks. Mulai dari budaya organisasi yang masih bersifat paternalistik, lingkungan kerja yang tidak kondusif terhadap perubahan zaman, rendahya sistem reward dalam birokrasi Indonesia, mengemukanya mekanisme punishment bagi aparat birokrasi, rendahnya kemampuan aparat birokrasi untuk melakukan tindakan diskresi, serta kelangkaan komitmen pimpinan daerah untuk menciptakan pelayanan publik yang responsif, akuntabel, dan transparan. Di masa otonomi daerah yang memberi keleluasaan bagi setiap kabupaten/kota untuk menjalankan pemerintahan atas dasar kebutuhan dan kepentingan daerah sendiri ternyata juga belum mampu mewujudkan pelayanan publik yang efektif. 

Kegagalan birokrasi pemerintahan dalam menyelenggarakan pelayanan publik yang menghargai hak dan martabat warga negara sebagai pengguna pelayanan tidak hanya melemahkan legitimasi pemerintahan di mata publik. Namun, hal itu juga berdampak pada hal yang lebih luas, yaitu ketidakpercayaan pihak swasta dan pihak asing untuk menanamkan investasinya di suatu daerah karena ketidakpastian dalam pemberian pelayanan publik. 

Atas dasar kondisi tersebut dan untuk menjawab tantangan zaman yang bergerak ke arah globalisasi, maka perlu dilakukan suatu tindakan yang dapat memutus sistem yang selama ini diterapkan di Indonesia yaitu perlunya upaya reformasi dalam pelayanan publik. Hal ini bertujuan untuk mengubah dan memperbaiki tatanan birokrasi pelayanan yang terkesan lamban, berbelit-belit dan diskriminatif, menuju ke arah pemerintahan yang baik (good governance). 

Reformasi birokrasi merupakan konsekuensi dari perubahan di bidang politik, ekonomi dan sosial yang begitu cepat. Representasi organisasi yang lamban, kaku, berbelit-belit dan terpusat, serta rantai hierarki komando sudah menjadi ciri khas birokrasi di Indonesia. Sehingga birokrasi menjadi bengkak, boros, dan tidak efektif. Untuk itu diperlukan suatu kesadaran untuk memperbaiki birokrasi sebagai organisasi publik. Reformasi merupakan perubahan terhadap suatu sistem yang telah ada pada suatu masa. Upaya reformasi birokrasi yang dilakukan berhadapan langsung dengan keterbatasan pada sumber daya manusia, dana, sarana prasarana, keuangan dan iklim kerja kondusif serta berbagai persoalan lainnya, sehingga menghasilkan kebijakan, perilaku, program dan sesuatu yang berbeda pula.

Ketika masih muncul permasalahan-permasalahan sekecil apapun dalam pengelolaan Guru dan Tenaga Kependidikan di Kota Mataram, itu merupakan ranah Bidang GTK. Permasalahan-permasalahan seperti kekosongan kepemimpinan sekolah, mutasi, promosi dan demosi yang masih menyisakan masalah, progres pengelolaan aneka tunjangan, penempatan staf serta pengelolaan administrasi yang tidak tepat sasaran merupakan hal-hal penting untuk diperbaiki. 

Reformasi pelayanan publik di bidang Pendidikan dalam membangun kepercayaan dari masyarakat atas pelayanan publik Dinas Pendidikan Kota Mataram yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik khususnya Bidang Guru dan Ketenagaan Dinas Pendidikan Kota Mataram seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga Kota  Mataram tentang peningkatan pelayanan publik di bidang Guru dan Tenaga Kependidikan. Reformasi merupakan upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk serta terwujudnya tanggung jawab negara dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Dalam reformasi diperlukan norma hukum yang memberi pengaturan secara jelas, sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik serta untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik di Kota Mataram. 

1.2  Rumusan Masalah 

1.     Apa yang dimaksud dengan pelayanan publik, reformasi pelayanan publik dan kualitas pelayanan?

2.     Apa saja kendala dalam pelayanan publik pada Bidang GTK Dinas Pendidikan Kota Mataram?

3.     Bagaimana tindakan reformasi pelayanan yang sudah diterapkan pada Bidang GTK Dinas Pendidikan Kota Mataram?

4.     Apa saja tindakan yang perlu dilakukan dalam mereformasi pelayanan publik tersebut?

 

1.3  Tujuan 

1.     Mengetahui apa yang dimaksud dengan pelayanan publik, reformasi pelayanan publik dan kualitas pelayanan.

2.     Mengetahui permasalahan ataupun kendala-kendala yang terjadi dalam pelayanan public pada Bidang GTK Dinas Pendidikan Kota Mataram.

3.     Mengetahui tindakan yang sudah dilakukan dalam mereformasi pelayanan publik pada Bidang GTK Dinas Pendidikan Kota Mataram.

4.     Mengetahui tindakan apa saja yang perlu dilakukan dalam mereformasi pelayanan publik.

 


BAB II

PEMBAHASAN 

2.1  Pengertian Pelayanan Publik, Reformasi Pelayanan Publik dan Kualitas Pelayanan

a.     Pelayanan Publik

Pelayanan publik atau pelayanan umum adalah segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di pusat, di daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelayanan publik oleh birokrasi publik merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat di samping sebagai abdi negara untuk menyejahterakan masyarakat (warga negara). Apalagi saat ini masyarakat semakin sadar apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 

Pelayanan publik menurut UU Nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik adalah suatu kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. 

Menurut Sinambela (dalam Herbani Pasalog, 2007: 128) mengatakan bahwa pelayanan publik adalah sebagai setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terkait pada suatu produk secara fisik. sedangkan menurut Departemen Dalam Negeri (Pengembangan Kelembagaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu) bahwa pelayanan publik adalah suatu proses bantuan kepada orang lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kesepakatan dan hubungan interpersonal tercipta kepuasan dan keberhasilan, setiap pelayanan menghasilkan produk baik berupa barang ataupun jasa. 

Dari beberapa pengertian pelayanan publik yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa pelayanan publik sebagai pemberian layanan atau melayani keperluan orang atau masyarakat dan/atau organisasi lain yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu, sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang ditentukan dan ditujukan untuk memberikan kepuasan kepada penerima pelayanan. 

b.    Reformasi Pelayanan Publik

Menurut Pollit  dan  Bouckaert  (dikutip  dari Manurung  2010: 189)  mendefinisikan reformasi pelayanan publik seperti di bawah ini:

Reformasi  pelayanan  publik  adalah  perubahan  sistematis,  menyeluruh  dan  berkesinambungan  agar  kinerja  sektor  publik  semakin  baik.  Reformasi  sektor  publik  mencakup  bukan  saja  unsur  organisasi  dan manajemen,  tetapi  juga  sumber daya  manusia. Perubahan-perubahan  tersebut  tidak  hanya terfokus  pada perubahan  kuantitas,  namun juga  kualitas.  Suatu  ketika,  reformasi  yang dilakukan akan berdampak terhadap melebar dan menebalnya  struktur  birokrasi,  tetapi  di masa  yang  lain  menuntut  birokrasi  menjadi lebih ramping  dan  pipih.  Reformasi  juga dapat  menyebabkan  penambahan  administrator publik, namun juga dapat mengakibatkan pengurangan administrator publik.  

Menurut Islamy 1994 (dalam Sinambela 2010: 10) memaparkan beberapa prinsip pokok yang bisa dijadikan pedoman dalam mengoptimalkan kinerja birokrasi di tingkat lokal, yang berkaitan erat pula dengan perbaikan kondisi internal organisasi. Prinsip-prinsip tersebut diantaranya:

1)      Prinsip Aksesibilitas. Artinya semua pelayanan harus dapat dijangkau secara mudah oleh setiap pengguna pelayanan, hal ini terkait dengan problem tempat, jarak dan prosedur pelayanan.

2)      Prinsip Kontinuitas. Artinya upaya mengedepankan jenis pelayanan harus secara terus menerus tersedia bagi masyarakat, dengan kepastian dan kejelasan tertentu yang berlaku bagi proses pelayanan tersebut.

3)      Prinsip Teknikalitas. Prinsip ini berkaitan dengan proses pelayanan yang harus ditangani oleh aparat yang benar-benar memahami secara tenis pelayanan tersebut berdasarkan kejelasan, ketetapan, dan kemantapan sistem , prosedur dan pelayanan.

4)      Prinsip ProfitabilitasPelayanan sebisa mungkin dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, serta memberikan keuntungan ekonomis dan sosial baik bagi pemerintah maupun bagi masyarakat luas.

5)      Prinsip AkuntabilitasArtinya proses produk dan mutu pelayanan yang telah diberikan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat karena aparat pemerintah itu pada hakekatnya mempunyai tugas memberikan pelayanan sebaik-baiknya.

c.     Kualitas Pelayanan

Konsep kualitas pelayanan sangatlah bersifat relatif, karena penilaian kualitas sangat ditentukan oleh perspektif yang digunakan. Menurut Samapara 1994 (dalam Herdiansyah 2011:35) mengemukakan bahwa kualitas pelayanan adalah pelayanan yang diberikan kepada pelanggan sesuai standar pelayanan yang telah dibakukan sebagai pedoman dalam memberikan layanan. Kualitas juga diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan terpenuhinya harapan/kebutuhan pelanggan, dimana pelayanan dikatakan berkualitas apabila dapat menyediakan produk dan jasa (pelayanan) sesuai dengan kebutuhan dan harapan pelanggan ( LAN 2003:17).

Menurut Fandhy Tjiptono 1994 (dalam Herdiansyah 2011: 53) dalam bukunya “Prinsip-Prinsip Total Quality Service,” menyebutkan bahwa terdapat lima dimensi atau ukuran kualitas pelayanan, yang dapat menilai kepuasan pelanggan diantaranya :

1)    Bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi.

2)    Keandalan (reliability), yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan.

3)    Daya tanggap (responsiveness), yaitu keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dalam memberikan pelayanan dengan tanggap.

4)    Jaminan (assurance), mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, risiko atau keragu-raguan.

5)    Empati, meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik, perhatian pribadi dan memahami kebutuhan para pelanggan.

Intinya pelayanan dapat dikatakan berkualitas atau memuaskan apabila pelayanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan harapan masyarakat, dengan memperhatikan kelima dimensi di atas. Sedangkan bila masyarakat tidak puas terhadap suatu pelayanan yang disediakan maka pelayanan tersebut dapat dipastikan tidak berkualitas dan tidak efisien.

2.2  Kendala dalam Pelayanan Publik 

Masalah utama pelayanan publik sebenarnya adalah peningkatan kualitas pelayanan publik itu sendiri. Pelayanan publik yang berkualitas dipengaruhi oleh berbagai aspek, yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya,sumber daya manusia yang mendukung, dan kelembagaan. Beberapa kelemahan pelayanan publik berkaitan dengan pola penyelenggaraannya antara lain sebagai berikut : 

a.   Sukar Diakses. Unit pelaksana pelayanan publik terletak sangat jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga mempersulit mereka yang memerlukan pelayanan publik tersebut. 

b.   Belum informatif. Informasi yang disampaikan kepada masyarakat cenderung lambat atau bahkan tidak diterima oleh masyarakat. 

c.   Belum bersedia mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat. Biasanya aparat pelayanan publik belum bersedia mendengar keluhan/saran/ aspirasi dari masyarakat. Sehingga, pelayanan publik dilaksanakan semau sendiri dan sekedarnya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu.

d.   Belum responsif. Hal ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan publik, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (frontline) sampai dengan tingkatan penanggungjawab instansi. Tanggapan terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan tidak dihiraukan sama sekali

e.   Belum saling berkoordinasi. Setiap unit pelayanan yang berhubungan satu dengan lainnya belum saling berkoordinasi. Dampaknya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.

f.    Tidak Efisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan perijinan) seringkali tidak ada hubungannya dengan pelayanan yang diberikan. 

g.   Birokrasi yang bertele-tele. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya dilakukan melalui proses yang terdiri dari berbagai tingkatan, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama.

Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan (front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan di lain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan. Berkaitan dengan sumber daya manusia, kelemahan utamanya adalah berkaitan dengan profesionalisme, kompetensi, empati dan etika. Berbagai pandangan juga setuju bahwa salah satu dari unsur yang perlu dipertimbangkan adalah masalah sistem kompensasi yang tepat. Berkaitan dengan kelembagaan, kelemahan utama terletak pada desain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hierarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien

2.3  Tindakan Reformasi Pelayanan Publik yang sudah dilakukan 

Pelaksanaan reformasi birokrasi di masing-masing instansi pemerintah dilakukan berdasarkan kebijakan/program/kegiatan yang telah digariskan dalam Grand Design Reformasi Birokrasi dan Road Mapreformasi Birokrasi, serta berbagai pedoman pelaksanaannya. Berikut ini beberapa tindakan yang sudah diterapkan dalam upaya reformasi pelayanan publik di Indonesia, namun tindakan reformasi tersebut belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Diantaranya: 

1)   Penetapan Standar Pelayanan (SPM dan SOP)

Standar pelayanan memiliki arti yang sangat penting dalam pelayanan publik. Standar pelayanan merupakan suatu komitmen penyelenggara pelayanan untuk menyediakan pelayanan dengan suatu kualitas tertentu yang ditentukan atas dasar perpaduan harapan-harapan masyarakat dan kemampuan penyelenggara pelayanan. Penetapan standar pelayanan yang dilakukan melalui proses identifikasi jenis pelayanan, identifikasi pelanggan, identifikasi harapan pelanggan, perumusan visi dan misi pelayanan, analisis proses dan prosedur, sarana dan prasarana, waktu dan biaya pelayanan.

2)    Pelayanan Terpadu ( One Stop Service)

Permendagri No.24 tahun 2006 mengenai Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Dalam peraturan ini, pelayanan atas permohonan perizinan dan non perizinan dilakukan oleh Perangkat Daerah Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) yaitu perangkat pemerintah daerah yang memiliki tugas pokok dan fungsi mengelola semua bentuk pelayanan perizinan dan non perizinan di daerah dengan sistem satu pintu. Pembinaan sistem ini dilakukan secara berjenjang dan berkesinambungan oleh Menteri Dalam Negeri dan Kepala Daerah sesuai dan kewenangan masing-masing.

Program PTSP sudah dilaksanakan di beberapa kantor/dinas, seperti Dinas Pendidikan yaitu menggabungkan pelayanan dalam bidang perijinan dan pelayanan pendidikan dalam satu tempat. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dan mempercepat pelayanan. Tujuan lainnya adalah kelancaran dan keteraturan.

3)    Pengembangan Sistem Pengelolaan Pengaduan Pengaduan Masyarakat

Merupakan satu sumber informasi bagi upaya-upaya pihak penyelenggara pelayanan untuk secara konsisten menjaga pelayanan yang dihasilkannya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu perlu didisain suatu sistem pengelolaan pengaduan yang secara efektif dan efisien mampu mengolah berbagai pengaduan masyarakat menjadi bahan masukan bagi perbaikan kualitas pelayanan. Seperti adanya kotak-kotak saran/pengaduan di instansi atau kantor pelayanan, pengaduan langsung terhadap instansi yang memberikan pelayanan buruk.

4)    Pelayanan yang bersifat jemput bola (mobile

Paradigma pemerintah saat ini memberikan pelayanan publik, termasuk pelayanan administrasi, yang baik dan prima. Tidak harus menunggu bola, tapi jemput bola. Pelayanan publik pemerintah harus mendekat kepada rakyat, bukan malah menjauh dari rakyat. Jika melihat kondisi geografis Kota Mataram yang demikian kompleks,  membuat sebagian masyarakat kurang mendapatkan akses pelayanan publik yang merata. Untuk dapat memberikan pelayanan kepada semua masyarakat khususnya masyarakat marginal pemerintah lebih gencar melakukan pendekatan kepada masyarakat melalui program-program pelayanan yang bersifat mobile yaitu penyelenggaraan pelayanan yang datang kepada masyarakat. Demi terciptanya good governance.

Berikut ini contoh pelayanan pemerintah yang berisifat jemput bola:

·      Pelayanan Guru Datang ke Rumah di Masa Pandemi.

·      Pelaksanaan PPBD Online

·      Pengumuman Kelulusan atau kenaikan kelas secara online

·      Pemberian bantuan kepada siswa yang tidak terjangkau pelayanan daring baik berupa materi ajar maupun dalam bidang penilaian.

2.4  Tindakan yang perlu dilakukan dalam mencapai Reformasi Pelayanan Publik pada Bidang GTK Dinas Pendidikan Kota Mataram

Agar reformasi birokrasi dapat berjalan baik, perlu dilakukan langkah-langkah manajemen perubahan. Manajemen perubahan adalah proses mendiagnosis, menginisiasi, mengimplementasi, dan mengintegrasi perubahan individu, kelompok, atau organisasi dalam rangka menyesuaikan diri dan mengantisipasi perubahan lingkungannya agar tetap tumbuh, berkembang, dan menghasilkan keuntungan. Ada tujuh langkah manajemen perubahan yang dikutip dari Harvard Business Essentials tahun 2005. 

Langkah pertama, memobilisasi energi dan komitmen para anggota organisasi melalui penentuan cita-cita, tantangan, dan solusinya oleh semua anggota organisasi. Pada tahap ini, setiap lini dalam instansi pemerintah harus tahu apa yang dicita-citakan instansi, apa yang mereka hadapi, dan cara menghadapi atau menyelesaikan masalah itu secara bersama-sama. Agar mereka tergerak untuk menjalankan solusi bersama, mereka perlu dilibatkan dalam diskusi dan pengambilan keputusan.

Langkah kedua, mengembangkan visi bersama, bagaimana mengatur dan mengorganisasi diri maupun organisasi agar dapat mencapai apa yang dicita-citakan.

Langkah ketiga, menentukan kepemimpinan. Di dalam instansi pemerintahan, kepemimpinan biasanya dipegang para pejabat eselon. Padahal, kepemimpinan harus ada pada semua level agar dapat mengontrol perubahan. Pemimpin tertinggi harus memastikan orang-orang yang kompeten dan jujurlah yang berperan sebagai pemimpin pada level-level di bawahnya.

Langkah keempat, fokus pada hasil kerja. Langkah itu dilakukan dengan membuat mekanisme asessmentyang dapat mengukur hasil kerja tiap pegawai atau tiap tim yang diberi tugas tertentu. 

Langkah kelima, mulai mengubah unit-unit kecil di instansi kemudian dorong agar perubahan itu menyebar ke unit-unit lain di seluruh instansi.

Langkah keenam, membuat peraturan formal, sistem, maupun struktur untuk mengukuhkan perubahan, termasuk cara untuk mengukur perubahan yang terjadi.

Langkah ketujuh, mengawasi dan menyesuaikan strategi untuk merespons permasalahan yang timbul selama proses perubahan berlangsung.

Selain melakukan restrukturisasi manajemen, dalam meningkatkan reformasi birokrasi diperlukan upaya-upaya stategis yang disebut juga dengan Strategi reformasi birokrasi diantaranya: 

a.     Pada level kebijakan, harus diciptakan berbagai kebijakan yang mendorong Birokrasi yang berorientasi pada pemenuhan hak-hak sipil warga (kepastian hukum, batas waktu, prosedur, partisipasi, pengaduan bahkan gugatan).

b.     Pada level organisasional, dilakukan melalui perbaikan proses rekrutmen berbasis kompetensi, pendidikan dan latihan yang sensitif terhadap kepentingan masyarakat, penciptaan Standar Kinerja Individu, Standar Kinerja Tim dan Standar Kinerja Instansi Pemerintah.

c.     Pada level operasional, dilakukan perbaikan melalui peningkatan service quality meliputi dimensi tangibles, reliability, responsiveness, assurance dan emphaty.

d.     Instansi Pemerintah secara periodik melakukan pengukuran kepuasan pelanggan dan melakukan perbaikan.

2.4.1      Solusi Masalah pelayanan publik

Tuntutan masyarakat saat ini terhadap pelayanan publik yang berkualitas akan semakin menguat. Oleh karena itu, kredibilitas pemerintah sangat ditentukan oleh kemampuannya mengatasi berbagai permasalahan yang telah disebutkan di atas sehingga mampu menyediakan pelayanan publik yang memuaskan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dari sisi mikro, hal-hal yang dapat diajukan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut antara lain adalah sebagai berikut 

1)      Membuat Kontrak Pelayanan (Citizens’ Charter)

Kontrak pelayanan adalah suatu pendekatan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang menempatkan pengguna layanan sebagai pusat perhatian. Kontrak pelayanan diperlukan karena beberapa hal: (1) untuk memberikan kepastian pelayanan yang meliputi waktu, biaya, prosedur dan cara pelayanan. (2) memberikan informasi mengenai hak dan kewajiban pengguna layanan, penyedia layanan, dan stakeholder lainnya dalam keseluruhan proses penyelenggara pelayanan, (3) mempermudah pengguna layanan, warga, dan stakeholder lainnya dalam mengontrol praktik penyelenggara pelayanan, (4) untuk mempermudah manajemen pelayanan memperbaiki kinerja penyelenggara pelayanan, serta (5) membantu manajemen pelayanan mengidentifikasi kebutuhan, harapan, dan aspirasi pengguna layanan.

2)      Pengembangan Survei Kepuasan Pelanggan

Untuk menjaga kepuasan masyarakat, maka perlu dikembangkan suatu mekanisme penilaian kepuasan masyarakat atas pelayanan yang telah diberikan oleh penyelenggara pelayanan publik Dinas Pendidikan khususnya Bidang GTK. Dalam konsep manajemen pelayanan, kepuasan pelanggan dapat dicapai apabila produk pelayanan yang diberikan oleh penyedia pelayanan memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu, survei kepuasan pelanggan memiliki arti penting dalam upaya peningkatan pelayanan publik.

3)      Penerapan E-government dalam manajemen pelayanan publik

Dalam hal ini lembaga-lembaga pemerintah makin didorong untuk mengembangkan model-model transaksi dan berkomunikasi yang sepenuhnya memanfaatkan jaringan internet untuk mengurangi biaya dan mentransformasikan penyelenggara pelayanan kepada masyarakat dengan mengurangi tatap muka yang sebenarnya merupakan sumber korupsi.

Berikut ini keuntungan yang diperoleh dari implementasi e-government di kab/kota antara lain :

·        Peningkatan kualitas pelayanan: layanan publik 24 jam, dapat dikases dimana saja (berkat adanya teknologi internet)

·        Dengan menggunakan teknologi online, banyak proses yang dapat dilakukan dalam format digital, hal ini akan banyak mengurangi penggunaan kertas (paperwork), sehingga proses akan menjadi lebih efisien dan hemat

·        Database dan proses terintegrasi: akurasi data lebih tinggi, mengurangi kesalahan identitas dan lain-lain.

·        Semua proses transparan karena semua berjalan secara online

·        Mengurangi tindakan KKN (karena terbatasnya pelayanan yang besifat tatap muka­)

4)      Penerapan Sistem Manajemen Mutu Pelayanan (Total Quality Management/ TQM)

TQM merupakan paradigma dalam manajemen yang berusaha memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan secara berkesinambungan atas mutu barang, jasa, manusia dan lingkungan organisasi. TQM dapat dicapai dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut : berfokus pada pelanggan, obsesi terhadap mutu, pendekatan ilmiah, komitmen jangka panjang, kerjasama tim, perbaikan sistem berkesinambungan, pendidikan dan pelatihan (Tjiptono, 1997 ). Sementara Gaspersz (1997) menyatakan bahwa mutu pelayanan harus memperhatikan: ketepatan waktu pelayanan, akurasi pelayanan, kesopanan dan keramahan, tanggung jawab, kelengkapan, kemudahan mendapat pelayanan.

5)      Kemitraan Pemerintah dan Swasta.

Perkembangan paradigma pemerintahan dewasa ini telah mengubah tata kelola pemerintahan menjadi lebih terbuka, sehingga ada pembagian peran dan kerjasama antara unsur-unsur pemerintah, swasta, dan masyarakat. Tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan publik yang semakin meningkat mendorong pemerintah untuk berbagi peran dengan unsur-unsur non pemerintah. Pemerintah tidak mungkin lagi mengerjakan semua urusan karena keterbatasan dana dan sumber daya manusia, sehingga kerjasama dan kemitraan dengan pihak-pihak lain harus dilakukan agar kualitas pelayanan publik tetap dapat dipenuhi sesuai dengan tuntutan masyarakat. Berbagai bentuk kerjasama sebenarnya telah dipraktikan sejak lama, antara lain dalam bentuk privatisasi, contracting outbuild operation transferbuild own operates, dan model public and private partnership (PPP).

 

 

 BAB III

PENUTUP 

3.1 Kesimpulan

Untuk Mengubah dan memperbaiki tatanan birokrasi pelayanan yang terkesan lamban, berbelit-belit dan diskriminatif, menuju ke arah pemerintahan yang baik (good governancekhususnya pada Bidang Guru dan Tenaga Kependidikan Dinas Pendidikan Kota Mataram diperlukan keseriusan dan upaya konkrit untuk melakukan reformasi dalam bidang pelayanan publik. Reformasi Pelayanan Publik adalah perubahan sistematis, menyeluruh dan  berkesinambungan  agar  kinerja  sektor  publik  semakin  baik.  Reformasi sektor publik  bukan  saja mencakup  unsur  organisasi  dan manajemen,  tetapi  juga  sumber daya  manusia. 

Dalam melaksanakan reformasi pelayanan publik kendala yang sering dihadapi adalah kurangnya SDM penyelenggara pelayanan, pemberian pelayanan masih bersifat lama, dan mahal, pemberian pelayanan masih bersifat diskriminatif, tidak adanya kepastian dari penyelenggara pelayanan terkait teknis pelayanan, pola pikir para aparatur masih menginginkan dilayani bukan untuk dilayani, dan masih banyak dijumpai  tindakan/praktek KKN dalam proses penyelengaraan pelayanan publik pada Bidang GTK Dinas Pendidikan Kota Mataram.

3.2 Saran 

Diharapkan kepada pemerintah dalam memberikan pelayanan publik dapat mencerminkan lima dimensi kualitas pelayanan menurut Thjiptono yaitu Tangibel (bukti fisik), Reliability (kemampuan), Responsiveness(ketanggapan), Assurance (Jaminan), Empathy (empati).

Untuk memperbaiki pola penyelenggaraan dapat dilakukan dengan menetapkan standar pelayanan, membuat kontrak pelayanan yang menguntungkan semua pihak yang terlibat di dalamnya, mengembangkan survei kepuasan pelanggan, pengelolaan sistem pengaduan masyarakat, dan penerapan E-government dalam manajemen pelayanan yang bertujuan memudahkan proses pelayanan, menjalin kerjasama dengan swasta dan menerapan sistem manajemen mutu pelayanan.

Diharapkan juga kepada masyarakat agar lebih berpartisipatif dalam pelaksanaan reformasi birokrasi, prinsip-prinsip good governance, pelayanan publik, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang baik, bersih, dan berwibawa, serta pencegahan dan percepatan pemberantasan korupsi.

DAFTAR PUSTAKA

Sinambela, Lijan Poltak. 2010. Reformasi Pelayanan Publik. Jakarta: Bumi Aksara.

Hardiansyah. 2011. Kualitas Pelayanan Publik. Yogyakarka: Gava Media.

Azizy A. Qodri. 2007. Change Management dalam Reformasi Birokrasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Purwanto, Erwan Agus dkk. 2005. Birokrasi Publik dalam Sistem Politik Semi Parlementer. Yogyakarta: Gava Media.

Larasati, Endang. (2013). Jurnal Reformasi Pelayanan Publik (Public Service Reform) dan Partisipasi masyarakat. Dalamhttp://eprints.undip.ac.id/41101/1/artikel_reformasi_pelayanan_publik__public_services_reform__dan_partisipasi_publiK.pdf  diunduh pada tanggal 20 Juni 2020 pukul 20:30 Wita.

Reformasi Birokrasi. (2012) Dalam  http://rushdyms.blogspot.com/2012/03/reformasi-birokrasi.html diunduh pada 20Juni 2020 pukul 20.00 Wita.

 

PENELITIAN KUALITATIF DALAM ILMU-ILMU SOSIAL

A. Pendahuluan   Ketika kita bergaul sehari-hari seringkali kita berargumen satu sama lain. Kita bercakap-cakap untuk mempe...