Jumat, 27 Agustus 2010

FENOMENA GUNUNG ES: PENDIDIKAN KARAKTER DALAM SISDIKNAS (Sebuah Analisis Sistem)

I.             PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah

Sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 UU Sisdiknas Tahun 2003[1] bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan fungsi pendidikan nasional tersebut dapat disarikan setidaknya ada sepuluh aspek yang diharapkan berkembang dalam diri peserta didik. Kesepuluh aspek tersebut adalah:
·         beriman
·         bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
·         berakhlak mulia
·         sehat
·         berilmu
·         cakap
·         kreatif
·         mandiri
·         menjadi warga negara yang demokratis
·         bertanggung jawab
Terdapat tujuh dari sepuluh aspek tersebut lebih dekat dengan pembentukan karakter. Hal ini menjadi penting untuk diperhatikan bahwa pembentukan karakter siswa jauh lebih penting dari pada menyehatkan badannya, mengisi otaknya dan membuatnya menjadi manusia yang cakap.
Namun, kenyataan yang terjadi setelah beberapa kali pergantian kurikulum pendidikan nasional dengan setumpuk konsekuensi yang mengikutinya, kualitas “jati diri” manusia Indonesia disinyalir semakin menurun. Alhasil, aspek pendidikan selalu menjadi tonggak pertama yang disalahkan. Sekalipun selama di sekolah anak-anak menjadi pribadi-pribadi anggun yang penurut, namun setelah keluar, setelah mereka berinteraksi dengan masyarakat yang sebenarnya, jati diri sebagian dari mereka berubah. Pola pikir dan pola tindak mereka sepertinya berbalik 180 derajat dengan apa yang ditanamkan oleh guru dan dosen di sekolah. Karakter mereka goyah.
Statistik mencatat bahwa rata-rata setiap satu menit 34 detik terjadi satu kejahatan di Indonesia.[2] Terdapat berbagai motif timbulnya kejahatan sebagaimana beragamnya pelaku. Hal ini memberikan sinyal bahwa karakter manusia Indonesia memang sedang labil dan perlu segera dicarikan solusi penguatannya. Berbagai bentuk penyimpangan karakter misalnya: bunuh diri, penyimpangan seks, hipnotis, penyalahgunaan internet, kejahatan anak, kekerasan pada wanita, korupsi, mutilasi, penyalahgunaan narkotika, paedofilia, pelanggaran HAM, pembunuhan, pemerkosaan, penculikan, penganiayaan, penipuan, penyelundupan, perampokan, perjudian, perzinahan, pornografi, prostitusi, psikopat, tabrak lari, terorisme dan sebagainya. Semua bentuk penyelewengan ini merupakan wujud dari ketidakpatuhan manusia pada fitrahnya dan sebagai bentuk nyata labilnya karakter manusia sebagai akibat dari kekalahannya dalam pertarungannya dengan tuntutan kondisi lingkungan yang menurut mereka tidak berterima.
Berdasarkan fenomena tersebut, maka salah satu masalah penting yang dapat diidentifikasi dalam konteks ini adalah perlunya pendidikan karakter dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengembangan kemampuan, pembentukan watak, serta peningkatan martabat dan peradaban bangsa.

B.   Rumusan Masalah

Menyadari betapa pentingnya menyelamatkan karakter manusia Indonesia melalui pendidikan, maka para praktisi pendidikan menyadari demikian pentingnya pendidikan karakter bagi siswa di tiap tingkat pendidikan. Namun demikian, sampai saat ini bentuk pendidikan karakter tersebut hanya sering diucap. Diperlukan seperangkat alat dan cara yang sistematis sehingga pendidikan karakter tersebut memberikan warna dan makna bagi perbaikan karakter bangsa, yaitu manusia Indonesia yang berkarakter dalam berkata, berbuat dan bertindak.

Permasalahan yang dirumuskan dalam tulisan ini dan diharapkan dapat terjawab melalui pembahasan adalah sebagai berikut:

1.     Mengapa pendidikan karakter penting dalam sistem pendidikan nasional?

2.    Bagaimana grand design pendidikan karakter dalam Sistem Pendidikan Nasional bila dirancang dengan Model Input-Output?
3.    Bagaimana peluang implementasi pendidikan karakter dengan menggunakan model Input-Output?

C.   Tujuan Penulisan

Secara umum tulisan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang jelas dan lengkap tentang grand design pendidikan karakter yang hendak diberlakukan dalam Sistem Pendidikan Nasional. Secara khusus, pembahasannya diharapkan dapat memberikan pencerahan dalam hal:
1.    Pemahaman tentang pentingnya pendidikan karakter.
2.    Pemahaman yang holistik tentang pendidikan karakter bila dipetakan dengan model sistem Input-Output.
3.    Pemahaman tentang peluang implementasi pendidikan karakter bila dilihat dari model analisis sistem Input-Output.

  II.          LANDASAN TEORETIK

A.   Pendidikan Karakter
Terdapat banyak teori yang mendukung pendidikan karakter baik di lingkungan sekolah, di rumah maupun di masyarakat. Teori-teori tersebut pada umumnya mengangkat tentang pentingnya karakter yang kuat dan jati diri yang terintegrasi dalam diri setiap tindakan manusia yang terintegrasi dengan pola-pola kehidupan individu dan kemasyarakatannya. Teori-teori tersebut dikemukakan sebagai berikut:
1)    Ki Hadjar Dewantara
Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita.[3]
Pendapat ini mengisyaratkan pada pendidik dan pengelola pendidikan bahwa pendidikan karakter merupakan bagian penting dan hendaknya terintegral dalam perilaku pendidikan di negara ini. Selain itu, pendidikan karakter merupakan bentuk asli dari budaya Indonesia, di mana budaya Indonesia mengutamakan penanaman jati diri, karena jati diri itu adalah fitrah manusia dari Allah SWT. Jati diri itu pula lah yang melahirkan adanya karakter dan perilaku yang tentu saja tidak sepi dari pengaruh budaya bangsa dan pengaruh-pengaruh lingkungan lainnya. Apapun bentuk pengaruh tersebut, yang tentu saja ada yang baik dan tidak sedikit yang buruk, menguji ketangguhan jati diri yang diejawantahkan dalam bentuk karakter yang kuat dan perilaku yang sehat.
Berikut diilustrasikan.


 

Kata kunci dari pendapat Ki Hadjar Dewantara adalah pendidikan karakter itu penting bagi siswa. Pendidikan yang selama ini dilaksanakan di Indonesia sepertinya belum mengarah kepada pembentukan karakter sebagaimana jati diri bangsa Indonesia dan bahkan cenderung menurun.
2)    John Dewey (1961)[4]
Dalam bukunya yang berjudul Democracy and Education John Dewey mengemukakan empat konsep pokok dalam belajar yang harus dilalui oleh seorang pembelajar sehingga dapat menjadi manusia yang memiliki karakter dan berperilaku sehat. Keempat aspek tersebut adalah: (1) Learning to know, (2) Learning to do, (3) Learning to be, dan (4) Learning to live together. Dua konsep terakhir sangat dekat dengan upaya pendidikan karakter dan itulah corak akhir dari kehidupan manusia. Sedangkan untuk mencapai dua yang terakhir, maka siswa perlu melewati dua jenis belajar sebelumnya yaitu learning to know dan learning to do.
3)    Jacques Delors, 1996.[5]
Dalam bukunya: Learning : The Treasure Within, menulis bahwa the essential features of basic education that teaches pupils how to improve their lives through knowledge, through experiment, and through the development of their own personal cultures are preserved. Hal ini mengandung makna bahwa pendidikan itu hanya akan bermakna jika pembelajar selain memiliki kemampuan otak, juga memiliki kemampuan memaknai nilai-nilai dari belajarnya.
4)    Permen 23 Tahun 2006 tentang standar Kompetensi Lulusan[6]
Dalam SKL (Standar Kompetensi Lulusan) SMA sebagaimana tertuang dalam Permen 23 Tahun 2006 yang dikeluarkan oleh BNSP terdapat 22 kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh siswa setelah menamatkan pendidikannya di tingkat SMA. Ke 22 SKL tersebut adalah:
1.       Berperilaku sesuai dengan ajaran agama yang dianut sesuai dengan perkembangan remaja
2.       Mengembangkan diri secara optimal dengan memanfaatkan kelebihan diri serta memperbaiki kekurangannya
3.       Menunjukkan sikap percaya diri dan bertanggung jawab atas perilaku, perbuatan, dan pekerjaannya
4.       Berpartisipasi dalam penegakan aturan-aturan sosial
5.       Menghargai keberagaman agama, bangsa,  suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup global
6.       Membangun dan menerapkan informasi dan pengetahuan secara logis, kritis, kreatif, dan inovatif
7.       Menunjukkan  kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif dalam pengambilan keputusan
8.       Menunjukkan kemampuan mengembangkan budaya belajar untuk pemberdayaan diri
9.       Menunjukkan sikap kompetitif & sportif untuk mendapatkan hasil yang terbaik
10.     Menunjukkan kemampuan  menganalisis dan memecahkan masalah kompleks
11.     Menunjukkan kemampuan menganalisis gejala alam dan sosial
12.     Berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara demokratis dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia
13.     Mengekspresikan diri melalui kegiatan seni dan budaya
14.     Mengapresiasi karya seni dan budaya
15.     Menghasilkan karya kreatif, baik individual maupun kelompok.
16.     Menjaga kesehatan dan keamanan diri, kebugaran jasmani, serta kebersihan lingkungan.
17.     Berkomunikasi lisan dan tulisan secara efektif dan santun.
18.     Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat.
19.     Menghargai adanya perbedaan pendapat dan berempati terhadap orang lain.
20.     Menunjukkan keterampilan membaca dan menulis naskah secara sistematis dan estetis.
21.     Menunjukkan keterampilan menyimak, membaca, menulis, dan berbicara dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
22.     Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan tinggi
 Melihat SKL tersebut maka terdapat 13 (tiga belas) SKL yang menuntut adanya pendidikan karakter (berwarna merah). Hal ini memberikan keyakinan bahwa pendidikan karakter itu memang penting adanya alam system pendidikan nasional.
5)    Thomas Lickona
Seorang Profesor pada Fakultas Pendidikan pada State University of New York ini dalam salah satu artikelnya tentang pendidikan karakter mengemukakan sebagai berikut: In character education, it’s clear we want our children are able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right-even in the face of pressure form without and temptation from within.[7]
Ahli ini pun bertumpu pemikirannya pada pendidikan karakter. Dimana ia menginginkan adanya nilai-nilai seperti: trustworthiness, respect, responsibility, fairness, caring, honesty,  courage,  diligence,  integrity dan citizenship senantiasa hadir dalam setiap diri siswa.
B. Konsep tentang Analisis Sistem Input - Output
Ilmu merupakan keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan untuk mengetahui sesuatu dengan memperhatikan obyek (ontologi), cara (epistemologi), dan kegunaannnya (aksiologi).[8] Berangkat dari tiga kerangka tersebut, dengan memanfaatkan kemampuan akal untuk memahami fenomena alam semesta (keseluruhan ciptaan atau makhluk Allah) sebagai objek pemahaman yang pada akhirnya hasil pemahaman tersebut dipergunakan untuk memberikan nilai manfaat sebesar-besarnya bagi kemanusiaan.[9] Dengan kata lain, sifat-sifat Pemikiran Sistem berhubungan dengan tiga persoalan filsafat yaitu apa dan berapa banyak yang ingin diketahui, serta seberapakah nilainya pengetahuan bagi umat manusia. Inti utama dari pemikiran sistem merupakan pewujudan dasar dari pemikiran sistem sebagai konsep teori sistem umum yaitu sebagai teori sistem terbuka.[10]
Ciri dasar yang membedakan pemikiran sistem dari pemikiran kontemporer adalah logika metafisika. Holisme, yang melengkapi dasar ontology dan epistemology menghasilkan sistem logika sebagai dasar metafisika.[11] Dari pandangan ini pemikiran sistem dapat dipahami sebagai meta science titik kedudukan yang dibenarkan oleh pendukung pemikiran sistem. Pada permulaan abad sembilan belas karya Auguste Comte sampai pada pemikir kontemporer seperti Karl R Poper, Arthur Eddington dan James Jean mereka mengusulkan ide metafisika untuk mengikuti tempat pengesahan dalam penyelidikan ilmiah.[12] Kenyataan menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan memainkan dua peran penting yang berbeda pada satu sisi sebagai metafisika dan di sisi lain sebagai pengertian umum terdidik. Dasar metafisika pemikiran sistem adalah sistem logis. Hierarki sistem menurut Boulding adalah sebagai berikut:[13]
1.     Struktur statis--- keteraturan planet sistem tata surya.
2.     Sistem yang dinamis, sederhana---sebagian besar mesin dan fisika Newtonian.
3.     Sistem cybernetic---mekanisme kontrol, seperti termostat.
4.     Sistem terbuka---struktur yang mengekalkan diri, seperti sel tunggal.
5. Genetika---sistem masyarakat---divisi tenaga kerja, termasuk subsistem seperti sebuah tanaman.
6.     Sistem binatang---termasuk kesadaran diri dan mobilitas, begitu juga subsistem spesial untuk menerima dan mengolah informasi dari dunia luar.
7. Sistem kemanusian---termasuk kapasitas kesadaran diri, dan penggunaan simbolisme untuk menyampaikan gagasan-gagasan.
8.     Organisasi sosial---manusia sebagai subsistem dalam organisasi atau sistem yang lebih besar, atau sistem.
9.     Sistem transendental---alternatif dan hal-hal yang tidak dikenal yang telah ditemukan.
Dari sembilan tingkatan sistem yang di kemukakan oleh Boulding ada beberapa yang sesuai dengan penelitian ilmiah. Menurut pendapat Boulding pengetahuan yang ada saat ini umumnya tidak memadai untuk membangun model ilmiah dibawah sistem dinamis (tingkat dua). Oleh karena sekarang di fokuskan pada studi tingkat tiga dan tingkat empat, dan untuk tingkatan selanjutnya belum di temukan dasar model teorinya.[14]
Dalam perkembangannya, Sistem terbuka lebih banyak digunakan dengan ciri-ciri sebagai berikut:[15]
1.    Input merupakan sistem terbuka yang mengimpor enegi dari lingkungan eksternal.
2.    Throughput merupakan proses transformasi energy yang tersedia pada sistem.
3.    Output merupakan energy yang diekspor pada lingkungan setelah input di proses menjadi output
4.    Siklus peristiwa merupakan aktivitas pertukaran energi yang memiliki pola siklus.
5.    Entropi negative merupakan proses penetralan proses entropik untuk tetap hidup.
6.    Sibernetika dan teleologis merupakan karakteristik perilaku sistem dan mekanisme umpan balik data untuk mengendalikan sistem ini selama waktu krisis.
7.    Perbedaan merupakan karakteristik yang selam proses pertumbuhan bergerak pada perbedaan dan perluasan.
8.    Ekuifinalitas merupakan kemampuan sistem untuk mencapai bagian final dari kondisi permulaan berbeda dan dengan variasi bagian.

Hubungan antara input dan output sangat bermanfaat untuk menganalisa fenomena yang sangat kompleks. Bisa dikatakan bahwa sistem terbuka membawa perhatian pada kegunaan pemikiran sistem dalam bidang ilmiah kontemporer.[16] Contohnya bila dilihat dari organisasi sebagai sebuah sistem terbuka sebagai berikut:[17]
Pemodelan pendekatan sistem dalam mengatasi persoalan-persoalan dalam organisasi dan manajemen adalah Model Input-Output. Model August Smith dan Model Struktur-Metode-Fungsi (SMF) merupakan model yang cocok untuk mendukung pendekatan sistem terhadap masalah organisasi dan manajemen.[18] Kedua model ini dapat menggambarkan dengan jelas seluruh pa­rameter penting yang perlu diperhatikan dari suatu sistem organisasi seperti faktor-faktor lingkungan, sumber-sumber input dan inputnya sendiri yang mempengaruhi proses dan transformasi sistem dalam menghasilkan output untuk disampaikan kepada penggunanya.[19]
Dalam model Smith, semua parameter penting dari sistem dijelas­kan. Parameter tersebut mencakup: sumber (sources), masukan (inputs), prosesor (transformation process), keluaran (outputs), pengguna output (receiver utilities), dan umpan balik (feedback).[20]
Umpan balik dari kegiatan sistem dapat dibagi dalam dua jenis, umpan balik internal yang terjadi masih dalam sistem dan umpan balik eksternal yang datang dari hasil evaluasi lingkungan sistem. Kedua jenis umpan balik ini selanjutnya mempengaruhi kegiatan sistem dalam bentuk masukan kepada struktur sistem atau proses subsistem.

Model Smith[21] ini akan memudahkan kita dalam memahami dan mengidentifikasi komponen-­komponen dan faktor-faktor apa saja yang terkait dengan sistem organisasi yang sedang kita selidiki. Untuk memecahkan masalah dari suatu sistem atau organisasi tertentu, maka isi dan keadaan dari para­meter sistem yang bersangkutan harus diketahui terlebih dahulu, baru setelah itu kita dapat melakukan perbaikannya.
Dengan pendekatan sistem model Input-Output, kita mencoba memahami organisasi sebagai suatu sistem dengan cara antara lain:[22]
1.    Memperhatikan keseluruhan dari struktur sistem atau organisasi yang terkait.
2.    Memperhatikan semua hubungan yang ada dalam sistem organisasi itu.
3.    Mencari tahu faktor-faktor yang menyebabkan persoalan dalam organisasi.
4.    Memahami bagaimana suatu fungsi atau kegiatan suatu organisasi tertentu mempengaruhi atau memberi dampak kepada sistem secara keseluruhan baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang.
5.    Secara sadar mencegah upaya perbaikan pada suatu bagian yang dapat menimbulkan persoalan baru di bagian lain.
6.    Mencari penyebab hambatan utama dari suatu upaya perubahan, dari pada mencoba memaksa mengatasi hambatan dengan cara melakukan tekanan.
7.    Mencari hal-hal yang menghambat perubahan, yang sulit dan susah diketahui serta mempunyai pengaruh besar.

Karakteristik/sifat dari suatu system Model Input-output adalah sebagai berikut:[23]
1.    Keseluruhan, lebih dari sekedar penjumlahan atau susunan unsur yaitu terletak pada kekuatan yang dihasilkan oleh keseluruhan itu jauh lebih besar dari suatu penjumlahan atau susunan unsur.
2.    Saling pengaruh, adalah pengikat atau penghubung antarunsur yang membentuk rangkaian sebuah rangka dari obyek, membedakan dengan obyek lain, dan mempunyai kelakuan dari obyek
3.    Unsur, adalah benda baik nyata atau bayangan, yang memiliki fungsi tertentu, menyusun sistem ini disebut juga bagian sistem atau sub sistem.
4.    Obyek adalah system yang menjadi perhatian dalam suatu batas tertentu sehingga dapat dibedakan antara sistem dengan lingkungan sistem, dimana semua yang di luar batas sistem adalah lingkungan sistem, dan semakin luas obyek perhatian, semakin kabur batas sistem atau semakin sempit obyek perhatian, semakin jelas batas sistem.
5.    Batas adalah pembeda antara system yang satu dengan lingkungan, yang mencirikan sistem tertutup dan sistem terbuka, dimana sistem tertutup memilki batas yang dianggap kedap terhadap pengaruh lingkungan, dan sistem terbuka memilki batas yang tembus terhadap pengaruh lingkungan.
6.    Tujuan, adalah kinerja sistem yang teramati ataupun diinginkan, dimana kinerja yang teramati merupakan hasil yang sudah dicapai oleh kerja sistem, dan kinerja yang diimginkan merupakan hasil yang akan diwujudkan oleh kerja sistem.
Sementara   itu menurut Yogiyanto[24] dan Cleland dkk.[25], karakteristik yaitu:
1.    Komponen, terdiri dari sejumlah komponen yang saling berinteraksi, dan bekerjasama membentuk satu kesatuan. Komponen- komponen dapat terdiri dari beberapa subsistem atau sub bagian, dimana setiap subsistem tersebut memilki fungsi khusus dan akan mempengaruihi proses sistem secara keseluruhan.
2.    Batas sistem (boundary)
Merupakan daerah yang membatasi antara suatu sistem dengan sistem lainnya atau dengan  dengan lingkungan luarnya. Batas sistem ini memungkinkan suatu sistem dipandang sebagai satu kesatuan. Batas suatu sistem menunjukkan ruang lingkup dari sistem tersebut.
3.    Lingkungan luar sistem (environments)
Adalah apapun diluar batas dari sistem yang mempengaruhi operasi sistem. Lingkungan luar dapat bersifat menguntungkan dan merugikan. Lingkungan yang menguntungkan harus tetap dijaga dan dipelihara, sebaliknya lingkungan yang merugikan harus ditahan dan dikendalikan, kalau tidak ingin terganggu kelangsungan hidup sistem[26].
4.    Penghubung (interface)
Merupakan media penghubung antar subsistem, yang memungkinkan sumber sumber daya mengalir dari satu subsistem ke subsistem lainnya. Keluaran (output) dari satu subsistem akanmenjadi masukan (input) untuk subsistem lainnya melalui penghubung disamping sebagai penghubung untuk mengintegrasikan subsistem subsistem menjadi satu kesatuan.
5.    Masukan (input)
Adalah energi yang dimasukan kedalam sistem, yang dapat berupa masukan perawatan (maintenance input) dan masukan signal (sinyal input) masukan perawatan adalah energi yang dimasukkan supaya sistem dapat beroperasi, sedangkan masukan signal adalah energi yang diproses untuk mendapatkan keluaran.
6.    Keluaran (output)
Adalah hasil dari energi yang diolah dan diklasifikasikan menjadi keluaran yang berguna dari sisa pembuangan. Keluaran dapat merupakan masukan untuk subsistem yang lain. Misalnya untuk sistem computer, panas yang dihasilkan adalah keluaran yang tidak berguna dan merupakan hasil sisa pembuangan, sedangkan informasi adalah keluaran yang dibutuhkan.[27]
7.    Pengolah  (process)
Suatu sistem dapat mempunyai suatu bagian pengolah yang akan merubah masukan menjadi keluaran. Suatu sistem proses pembiasaan dan peningkatan kualitas akan mengolah masukan menjadi keluaran berupa perilaku berkarakter.
8.    Sasaran (objectives) atau tujuan (goal)
Suatu sistem pasti mempunyai tujuan atau sasaran . Kalau suatu sistem tidak mempunyai sasaran, maka operasi tidak akan ada gunanya. Sasaran dari sistem sangat menetukan sekali masukan yang dibutuhkan sistem dan keluaran yang akan dihasilkan sistem. Suatu sistem dikatakan berhasil bila mengenai sasaran atau tujuannya. 
Dari karakteristik tersebut kita dapat membedakan dan mengetahui sebuah sistem dan cara berpkir yang saling terkait untuk mendapatkan hasil yang  maksimal.[28] Hal terpenting lainnya adalah hendaknya setiap aspek yang terlibat dalam system yang bernama sub-system hendaknya memiliki entitas (entity).

  III.        DESKRIPSI FAKTUAL PERMASALAHAN

Permasalahan pendidikan karakter dalam konstelasi Sistem Pendidikan Nasional tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kecenderungan semakin melemahnya jati diri bangsa mengusik pemerintah, penggiat pendidikan dan stakeholder untuk memikirkan secara serius pendidikan karakter bagi pembentukan karakter bangsa.

Permasalahan tersebut nyata dihadapi oleh Indonesia ketika negara ini sedang dalam masa transisi. Sebuah era dimana aspek-aspek pemerataan pembangunan pendidikan sedang diupayakan disambut upaya peningkatan kualitas pendidikan yang juga mendesak untuk segera ditangani. Dalam kondisi yang demikian, jati diri bangsa yang utamanya diusung melalui pembinaan generasi muda melalui jalur pendidikan tidak boleh diabaikan. Sebab, apapun hasil yang diperoleh ke depan harus dilakoni oleh pelaku-pelaku pembangunan yang berkarakter Indonesia. Figur-figur yang memiliki jati diri.

Guna mewujudkan cita-cita yang demikian diperlukan seperangkat alat dan cara yang terintegrasi, holistik dan direncanakan dengan baik. Program ini hendaknya dilaksanakan dengan memahami benar permasalahan faktual pendidikan karakter dilihat dari lima aspek mendasar dalam sebuah sistem yang holistik yaitu aspek-aspek input,  proses, produk, output dan outcome yang selanjutnya dapat dideskripsikan sebagai berikut:


1.    Input: Permasalahan faktual yang dihadapi dalam hal input adalah nilai-nilai luhur yang selama ini diagung-agungkan oleh bangsa ini sebagai sebuah bangsa yang beradab belum dapat dikaji dan mendarah daging dalam setiap aspek kehidupan oleh warga negara. Amanat UUD 1945, berbagai peraturan yang tertulis dengan baik seperti tujuan negara, tujuan pendidikan dan tujuan-tujuan luhur lainnya sepertinya hanya sebuah retorika yang tertulis dengan manis di atas kertas. Selain itu, permasalahan yang penting untuk segera dibenahi adalah muatan yang terkandung dalam cita-cita dan tujuan tersebut belum dapat diejawantahkan, terlalu luas dan belum mengerucut kepada arah aplikasi yang padu. Jadi tidak heran bilamana praktek-praktek di lapangan demikian beraga. Semakin beragam pula di era otonomi daerah saat.
2.    Proses: Permasalahan faktual dalam proses dapat dilihat dari aspek sumber daya manusia, manajemen pendidikan, fasilitas, kurikulum, pembiayaan dan evaluasi serta tindak lanjut (delapan standar nasional pendidikan). Permasalahan tersebut semakin diperparah oleh belum terpenuhinya tiga tujuan pembangunan pendidikan nasional tahun 2004 – 2010. Aspek-aspek seperti perluasan akses, tata kelola dan akuntabilitas serta pencitraan publik belum sepenuhnya dicapai. Sekolah-sekolah dari TK s.d PT yang dijadikan “kawah candradimuka” bagi pendadaran generasi muda bangsa saat ini juga membawa permasalahan masing-masing yang juga tidak kalah kompleksnya.
3.    Produk: Permasalahan faktual dalam kaitannya dengan produk adalah sampai hari ini tersirat di sekolah-sekolah di Indonesia adalah lulusan yang mampu menjawab soal dan dapat melanjutkan ke jenjang selanjutnya. Padahal sebenarnya yang dibutuhkan adalah warga negara muda yang memiliki integritas Indonesia, hebat dalam kognitif, afektif maupun psikomotoriknya.
4.    Output: Permasalahan faktual dalam kaitannya dengan keluaran adalah siswa dan alumni sekolah-sekolah yang kadang tidak mampu mengaplikasikan ilmu dan amal yang diperolehnya di bangku sekolah, yang belum mampu mewarnai tingkah lakunya sehari-hari. Belum menjadi integritas dirinya sehingga membentuk jati dirinya yang berkarakter. Pembentukan jati diri yang demikian memerlukan proses panjang yang tentu saja berkesinambungan dan bermakna.
5.    Outcome: Permasalahan faktual dari aspek dampak adalah kondisi ipoleksosbud yang saat ini dalam kondisi turbulensi. Masyarakat sebagai ajang pembuktian sejati dari hasil pendidikan saat ini dalam beberapa aspek juga sedang mengalami degradasi. Selain itu, dampak yang ditimbulkan oleh alumni-alumni terdahulu memberikan pelajaran yang sangat beragam bagi keseluruhan empat aspek lainnya dalam menentukan langkah yang paling tepat selanjutnya.

 IV.        ANALISIS PERMASALAHAN DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan fenomena di atas maka dapat dilakukan analisis masalah pendidikan karakter dengan melihat enam elemen utama, yaitu:
1)    Input
Nilai-nilai luhur yang terintegrasi, yang sesuai dengan teori pendidikan, psikologi, nilai-nilai sosial budaya, dan siswa didik.
2)    Process
Terjadi proses intervensi dan habituasi yang dilakukan baik di lingkungan sekolah, di rumah maupun di lingkungan masyarakat.
3)    Instrumental input
Agama yang dianut, Pancasila, UUD 1945, UU Nomor 20 Tahun 2003 dan tata aturan lainnya yang dipedomani oleh masyarakat dan bangsa Indonesia.
4)    Environmental input
Adanya keterlibatan pendidik dengan berbagai pengalaman terbaik yang pernah terjadi, adanya kebijakan, pedoman, sumber daya, sarana prasarana, kebersamaan dan komitmen yang tingi dari para pemangku kepentingan.
5)    Output
Hasil yang diharapkan adalah munculnya perilaku yang berkarakter dari peserta didik kapan pun dan di manapun ia berada.
6)    Outcome
Efektifnya penyelenggaraan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

 V.   PEMECAHAN MASALAH


Guna memecahkan masalah pelik tentang pendidikan karakter digunakan analisis sistem Model Input-Output. Model Input-Output yang digunakan dalam mengatasi masalah ini dapat dirancang sebagai berikut:


System Input-output yang digunakan di atas dapat dikembangkan dengan mengaplikasikannya dalam proses belajar mengajar di kelas (disekolah) yang terintegrasi dengan kebiasaan sehari-hari di rumah dan di masyarakat. Pengembangan tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Agar pembinaan karakter tersebut dapat berhasil dengan baik, maka diperlukan kerjasama yang saling mendukung antara kegiatan KBM di kelas, atmosfir sekolah yang mengedepankan pembinaan budi pekerti, kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang memberikan kesempatan bagi siswa untuk mencoba hal-hal baru dalam berkreasi dan berinovasi, serta kegiatan keseharian di rumah dan di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu, kerjasama yang apik dari pihak sekolah dan keluarga menjadi sangat penting.
Sementara itu, pelaksanaannya di sekolah diharapkan dapat dilakukan secara berjenjang, mulai dari TK/SD sampai Perguruan Tinggi.

Pembinaan karakter ini merupakan sebuah perjalanan panjang dan membutuhkan bukan hanya waktu tetapi juga ketekunan, perencanaan yang baik, dukungan dari berbagai pihak baik pemerintah, sekolah, masyarakat dan pemangku kepentingan, proses yang terintegrasi dan pemberdayaan berbagai aspek yang harus dilakukan sedemikian rupa.

VI.       DAFTAR RUJUKAN

Bertalanffy, Ludwig Von. (1968). General System Theory. New York: Braziler
BNSP, Permen 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan.
Bounds Greg etal. (1994). Beyond Total Quality Management: Toward Emerging Paradigm, New York: McGraw-Hill.
Chau, P. YK [and] Tam, K. Y. (2000). Organizational Adoption of Open Systems: a Tecnologypush, Need-pull Perspective, Journal Information & Management, vol.37(5).
Cleland, David I & King, William R. (1975). System Analysis and Project Management, New York: McGraw-Hill.
Georgantzas Nicholas C and Acer, William.(1995). Skenario-driven Planning, Learning to Manage Strategic Uncertainty. London: Wesport
http://detektifromantika.wordpress.com/2008/07/01/ Kejahatan Di Indonesia Meningkat Terutama Yang Berbau SARA – Setiap 1 Menit 34 Detik Terjadi Satu Tindak Kejahatan, diakses 6 Juni 2010, pukul 00.01.
Haines, Stephen G., (2000). The System Thinking Approach: To Strategic Planning and Management. Boca-Raton: Florida.
Jacques Delors, (1996).  Learning : The Treasure Within, Unesco Publishing Company.
John Dewey, (1961). Democracy and Education, Introduction to the Philosophy of Education, New York: Macmillan Comp.
Johnson, Richard A; Kast, Fremon E and Rosenzweig, James E.(1973). The Theory and Management of Systems. London :McGraw-Hill.
Jones, Garet R et.al. (2000). Contemporary Management. Boston:McGraw-Hill.
Kast, James R. (1968). General System Theory. Dalam Theories of Human Communication. (Littlejohn, Stephen W., ed.). Belmont: Wadsworth.
Ki Hadjar Dewantara, http://www.bruderfic.or.id/h-59/pemikiran-ki-hajar-dewantara-tentang-pendidikan.html  Diakses Kamis, tanggal 6 Mei 2010.
Kosecoff, Jacqueline and Arlene Fink. (1982). Basic Evaluation. Sage Publication.
McLeod Jr, Raymond. (1995). Management Information Systems. Prentice-Hall,Inc, New Jersey.
Nisjar Karhi dan Winardi. (1997). Teori Sistem dan Pendekatan Sistem dalam Bidang Manajemen. Bandung: Mandar Maju.
Rossi, Peter & Freeman Howard E. (1998). Evaluation A Systematic Approach. Sage Publication.
Salam, Rahmat. (2002). System Thinking dalam Penerapan Otonomi Daerah. Dalam Majalah Forum Inovasi Capacity Building & Good Governance, Vol.3, Juni/Agustus 2002
Schoderbek [et.al].(1985). Management system conseptual considerations, Business Publications. [Vol.17][93].
Stephen P. Robbin and Marry Coulter, (2002) Management. New York: Prentice Hall.
Suriasumantri, Jujun S., (1981), System Thinking, Binacipta: Bandung.
Thomas Lickona, The Content of Our Character: Ten Essential Virtues, Journals of Character Education, http://www.character-education.info/resources/articles.htm Diakses Kamis, 6 Mei 2010.
Tunas, Billy. (2007). Memahami dan Memecahkan Masalah dengan Pendekatan Sistem. PT. Nimas Multima, Jakarta.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Winardi. (1980). Pengantar Teori Sistem dan Analisa Sistem. Jakarta: Karya Nusantara.


[1] Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

[2]   http://detektifromantika.wordpress.com/2008/07/01/ Kejahatan Di Indonesia Meningkat Terutama Yang Berbau SARA – Setiap 1 Menit 34 Detik Terjadi Satu Tindak Kejahatan, diakses 6 Juni 2010, pukul 00.01.


[3] Ki Hadjar Dewantara, http://www.bruderfic.or.id/h-59/pemikiran-ki-hajar-dewantara-tentang-pendidikan.html  Diakses Kamis, tanggal 6 Mei 2010.
[4]   John Dewey, 1961. Democracy and Education, Introduction to the Philosophy of Education, New York: Macmillan Comp.
[5]   Jacques Delors, 1996.  Learning : The Treasure Within, Unesco Publishing Company.
[6]   BNSP, Permen 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan.
[7]   Thomas Lickona, The Content of Our Character: Ten Essential Virtues, Journals of Character Education, http://www.character-education.info/resources/articles.htm Diakses Kamis, 6 Mei 2010.
[8]   Haines, Stephen G., (2000). The System Thinking Approach: To Strategic Planning and Management. Boca-Raton: Florida.
[9]  Suriasumantri, Jujun S., (1981), System Thinking, Binacipta: Bandung. 
[10] Rossi, Peter & Freeman Howard E. (1998). Evaluation A Systematic Approach. Sage Publication.
[11]   Kast, James R. (1968). General System Theory. Dalam Theories of Human Communication. (Littlejohn, Stephen W., ed.). Belmont: Wadsworth.
[12] McLeod Jr, Raymond. (1995). Management Information Systems. Prentice-Hall,Inc, New Jersey.
[13] Tunas, Billy. (2007). Memahami dan Memecahkan Masalah dengan Pendekatan Sistem. PT. Nimas Multima, Jakarta.
[14]   Heckscher, Charles & Donnellon, Ane. (1994). The Post Bureaucratic Organization, New Perspective on Organizational Change. London: Sage Publication.
[15]    Winardi. (1980). Pengantar Teori Sistem dan Analisa Sistem. Jakarta: Karya Nusantara.
[16] Bertalanffy, Ludwig Von. (1968). General System Theory. New York: Braziler
[17] Stephen P. Robbin and Marry Coulter, (2002) Management. New York: Prentice Hall.
[18]     Salam, Rahmat. (2002). System Thinking dalam Penerapan Otonomi Daerah. Dalam Majalah Forum Inovasi Capacity Building & Good Governance, Vol.3, Juni/Agustus 2002
[19]     Nisjar Karhi dan Winardi. (1997). Teori Sistem dan Pendekatan Sistem dalam Bidang Manajemen. Bandung: Mandar Maju.
[20]     Schoderbek [et.al].(1985). Management system conseptual considerations, Business Publications. [Vol.17][93].

[21] Kosecoff, Jacqueline and Arlene Fink. (1982). Basic Evaluation. Sage Publication.
[22] Johnson, Richard A; Kast, Fremon E and Rosenzweig, James E.(1973). The Theory and Management of Systems. London :McGraw-Hill.
[23] Kast, James R. (1968). General System Theory. Dalam Theories of Human Communication. (Littlejohn, Stephen W., ed.). Belmont: Wadsworth.
[24] Yogiyanto, Analisa System Informasi, Jakarta: Grasindo, h. 4
[25]   Cleland, David I & King, William R. (1975). System Analysis and Project Management, New York: McGraw-Hill.
[26] Chau, P. YK [and] Tam, K. Y. (2000). Organizational Adoption of Open Systems: a Tecnologypush, Need-pull Perspective, Journal Information & Management, vol.37(5).
[27] Bounds Greg etal. (1994). Beyond Total Quality Management: Toward Emerging Paradigm, New York: McGraw-Hill.
[28] Georgantzas Nicholas C and Acer, William.(1995). Skenario-driven Planning, Learning to Manage Strategic Uncertainty. London: Wesport

PENELITIAN KUALITATIF DALAM ILMU-ILMU SOSIAL

A. Pendahuluan   Ketika kita bergaul sehari-hari seringkali kita berargumen satu sama lain. Kita bercakap-cakap untuk mempe...