Jumat, 18 Juni 2010

SERTIFIKASI UNTUK MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN



Oleh:

Corry Yohana, Tri Irfa Indrayani, Mansur Sapparang

A. Latar Belakang


Dimulainya Asean Free Trade Area (AFTA) pada Januari 2003 dan berlanjut dengan Free Trade Area (FTA) Asean-China yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2010 dimana Indonesia telah sepakat untuk turut serta, menandakan bahwa bangsa Indonesia memasuki babak baru yang dikenal dengan globalisasi. Globalisasi membuka kesempatan bagi kita untuk berkiprah didunia dimanapun kita kehendaki, pada sisi lain “rumah kita Indonesia” menjadi terbuka bagi bangsa-bangsa lain. Dengan demikian globalisasi menimbulkan persaingan pada berbagai bidang, bukan hanya pada bidang ekonomi tetapi hampir pada semua sektor dan sendi kehidupan, termasuk dalam bidang pendidikan.


Dalam buku Pendidikan untuk Pembangunan Nasional, Prof. Muhammad Ali menyatakan “ kunci kemenangan suatu negara dalam kompetisi era global adalah kemampuannya mengelola dan memberdayakan SDM dalam menguasai sains dan teknologi. (http://beritapendidikan.com.diunduh 15-01-2010), pada sisi lain kemampuan mengelola dan memberdayakan SDM di Indonesia tampaknya masih belum seperti yang diharapkan, hal ini dapat kita lihat dari hasil penelitian United Nation Development Program (UNDP) pada tahun 2007 tentang Indeks Pengembangan Manusia yang menunjukan Indonesia berada pada peringkat bawah yaitu peringkat ke-107 dari 177 negara yang diteliti (http://mediaindonesia.com, diakses15Januari 2010). Indonesia memperoleh indeks 0,728. Dan jika dibanding dengan negara-negara ASEAN Indonesia berada pada peringkat ke-7 dari sembilan negara ASEAN. Salah satu unsur utama dalam penentuan komposit Indeks Pengembangan Manusia ialah tingkat pengetahuan bangsa atau pendidikan bangsa. Peringkat Indonesia yang rendah dalam kualitas sumber daya manusia ini adalah gambaran mutu pendidikan Indonesia yang rendah.

Keterpurukan mutu pendidikan di Indonesia juga dinyatakan oleh United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO)-Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurus bidang pendidikan. Menurut Badan PBB itu, peringkat Indonesia dalam bidang pendidikan pada tahun 2007 adalah 62 di antara 130 negara di dunia. Education development index (EDI) Indonesia adalah 0.935, di bawah Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam (0.965).

Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tercermin dari daya saing di tingkat internasional. Daya saing Indonesia menurut Wordl Economic Forum, 2007-2008, berada di level 54 dari 131 negara, jauh di bawah peringkat daya saing sesama negara ASEAN seperti Malaysia yang berada di urutan ke-21 dan Singapura pada urutan ke-7.

Organisasi memerlukan keunggulan untuk tetap dapat bertahan diindustri dimana ia berada, demikian juga organisasi pendidikan memerlukan kinerja unggul untuk dapat bertahan dan bersaing. Kinerja organisasi akan ditentukan oleh kinerja sumber daya manusia yang ada dalam organisasi. Dalam organisasi pendidikan, sumber daya manusia yang utama adalah guru dan dosen.

Guru dan Dosen adalah komponen esensial dalam sistem pendidikan di sekolah/perguruan tinggi. Peranan, tugas, dan tanggungjawab guru dan dosen sangat penting dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan kualitas manusia Indonesia, meliputi kualitas iman/takwa, akhlak mulia, dan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta mewujudkan masyarakat Indonesia yang maju, adil, makmur, dan beradab. Untuk melaksanakan fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis tersebut, diperlukan guru dan dosen yang profesional.

Sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dosen dinyatakan sebagai pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Bab 1 Pasal 1 ayat 2). Sementara itu, profesional dinyatakan sebagai pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.

Salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia adalah komponen mutu guru. Rendahnya profesionalitas guru di Indonesia dapat dilihat dari kelayakan guru mengajar. Menurut Balitbang Depdiknas, guru-guru yang layak mengajar untuk tingkat SD baik negeri maupun swasta ternyata hanya 28,94%. Guru SMP negeri 54,12%, swasta 60,99%, guru SMA negeri 65,29%, swasta 64,73%, guru SMK negeri 55,91 %, swasta 58,26 %.

Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan rendahnya kualitas guru ini adalah dengan mengadakan sertifikasi. Dengan adanya sertifikasi, pemerintah berharap kinerja guru/dosen akan meningkat dan pada gilirannya mutu pendidikan nasional akan meningkat pula.


B. Permasalahan


Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka yang akan menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini, adalah apakah upaya pemerintah melaksanakan program sertifikasi merupakan jawaban untuk peningkatan mutu pendidikan


C. Pembahasan


1. Mutu Pendidikan Nasional


Mutu pendidikan nasional yang tercermin dalam kompetensi lulusan satuan-satuan pendidian dipengaruhi oleh berbagai komponen seperti proses, isi, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan, yang dapat digambarkan dalam konstelasi mutu pendidikan sebagai berikut.

Mutu pendidikan dicerminkan oleh kompetensi lulusan yang dipengaruhi oleh kualitas proses dan isi pendidikan. Pencapaian kompetensi lulusan yang memenuhi standar harus didukung oleh isi dan proses pendidikan yang juga memenuhi standar. Perwujudan proses pendidikan yang berkualitas dipengaruhi oleh kinerja pendidik dan tenaga kependidikan, kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana, kualitas pengelolaan, ketersediaan dana, dan sistem penilaian yang valid, obyektif dan tegas. Oleh karena itu perwujudan pendidikan nasional yang bermutu harus didukung oleh isi dan proses pendidikan yang memenuhi standar, pendidik dan tenaga kependidikan yang memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi agar berkinerja optimal, serta sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan yang memenuhi standar.

Kinerja pendidik dan tenaga kependidikan, khususnya guru, selain ditentukan oleh kualifikasi akademik dan kompetensi juga ditentukan oleh kesejahteraan, karena kesejahteraan yang memadai akan memberi motivasi kepada guru agar melakukan tugas profesionalnya secara sungguh-sungguh.

Kesungguhan seorang guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya akan sangat menentukan perwujudan pendidikan nasional yang bermutu, karena selain berfungsi sebagai pengelola kegiatan pembelajaran, guru juga berfungsi sebagai pembimbing kegiatan belajar peserta didik dan sekaligus sebagai teladan bagi peserta didiknya, baik di kelas maupun di lingkungan sekolah.

Selain ditentukan oleh kinerja guru, upaya peningkatan mutu pendidikan nasional juga akan sangat ditentukan oleh pelaksanaan penilaian yang valid, obyektf dan tegas, baik penilaian oleh guru dan satuan pendidikan maupun penilaian oleh pemerintah. Khusus penilaian oleh guru dan satuan pendidikan mempunyai peran yang sangat penting dalam peningkatan mutu pendidikan, karena selain bertujuan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan, juga bertujuan untuk meningkatkan motivasi belajar peserta didik dalam rangka memelihara kontinuitas proses belajar peserta didik.

Jika kita mencermati Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, jelas bahwa undang-undang tersebut berintikan peningkatan kesejateraan guru yang ditandai oleh adanya tunjangan khusus, tunjangan fungsional dan tunjangan profesi pendidik. Namun harus disadari bahwa peningkatan kesejahteraan guru yang diamanatkan oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bukan merupakan tujuan, tetapi lebih sebagai instrumen untuk meningkatkan kinerja guru agar berdampak terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional. Peningkatan kesejahteraan bagi guru yang telah memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi akan berfungsi meningkatkan kinerja, tetapi peningkatan kesejahteraan bagi guru yang kualifikasi akademik dan kompetensinya belum memenuhi standar sulit diharapkan untuk berdampak terhadap peningkatan kinerja sesuai yang diharapkan. Oleh karena itu, khusus untuk tunjangan profesi pendidik hanya akan diterima oleh guru profesional yang ditandai dengan kepemilikan sertifikat profesi guru melalui program sertifikasi.

2. Apakah Yang dimaksudkan dengan Sertifikasi Guru/Dosen ?


Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar profesional guru. Guru profesional merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), mewajibkan guru memiliki kualifikasi akademik, kompetesi, dan sertifikat pendidik. Kualifikasi akademik guru pada semua jenis dan jenjang pendidikan diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau diploma empat (S1/D-IV). Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam UUGD Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan baik kualifikasi akademik maupun kompetensi.


Sertifikasi guru sebagai upaya peningkatan mutu guru dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan guru, sehingga diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di Indonesia secara berkelanjutan. Bentuk peningkatan kesejahteraan guru yaitu berupa pemberian tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok kepada guru yang memiliki sertifikat pendidik. Tunjangan tersebut berlaku untuk semua guru, baik guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) maupun guru yang berstatus non-pegawai negeri sipil (non PNS/swasta).

Di beberapa negara, sertifikasi guru telah diberlakukan secara ketat, misalnya di Amerika Serikat, Inggris dan Australia (Wang, dkk., 2003). Sementara di Denmark baru mulai dirintis dengan sungguh-sungguh sejak 2003 (www.lld.dk/laerercertificering). Di samping itu, ada beberapa negara yang tidak melakukan sertifikasi guru, tetapi melakukan kendali mutu dengan mengontrol secara ketat terhadap proses pendidikan dan kelulusan di lembaga penghasil guru, misalnya di Korea Selatan dan Singapura. Semua itu mengarah pada tujuan yang sama, yaitu upaya agar menghasilkan guru yang bermutu.

Dewasa ini ada sebanyak sekitar 2,3 juta guru binaan Depdiknas (data dari Ditjen PMPTK). Terhadap jumlah guru tersebut, pemerintah melalui Depdiknas secara bertahap akan melakukan sertifikasi guru, dimulai tahun 2007 sebanyak 190.450 guru dan diharapkan rampung pada tahun 2015.


3. Landasan Hukum Sertifikasi Guru


Beberapa landasan hukum untuk penyelenggaraan sertifikasi guru ini adalah sebagai berikut :

1. UU RI No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional :

a. Pasal 42 ayat (1), Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

b. Pasal 43 ayat (2), Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi.

2. UU RI No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

a. Pasal 8, Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
3. Peraturan Mendiknas RI No 18 Tahun 2007 : Tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan
4. Keputusan Mendiknas Nomor 057/O/2007 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Penyelenggara Sertifikasi Guru dalam Jabatan yang sedang dalam proses perubahan Kepmendiknas yang baru

4. Tujuan dan Manfaat Sertifikasi Guru


Terdapat setidaknya tiga tujuan sertifikasi guru yaitu untuk :

(1) menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional,

(2) peningkatan proses dan mutu hasil pendidikan, dan

(3) peningkatan profesionalitas guru.

Adapun manfaat sertifikasi guru dapat dirinci sebagai berikut.

a. Melindungi profesi guru dari praktik-praktik yang tidak kompeten, yang dapat merusak citra profesi guru.

b. Melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan tidak profesional.

c. Menjaga lembaga penyelenggara pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) dari keinginan internal dan tekanan eksternal yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang berlaku.

d. Meningkatkan kesejahateraan guru.


5. Apakah Sertifikasi Menjamin Peningkatan Kualitas Guru ?


Sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk mencapai suatu tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Perlu ada kesadaran dan pemahaman dari semua fihak bahwa sertifikasi adalah sarana untuk menuju kualitas. Kesadaran dan pemahaman ini akan melahirkan aktivitas yang benar, bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk mencapai kualitas.

Kalau seorang guru kembali masuk kampus untuk meningkatkan kualifikasinya, maka belajar kembali ini bertujuan untuk mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dan ketrampilan, sehingga mendapatkan ijazah S-1. Ijazah S-1 bukan tujuan yang harus dicapai dengan segala cara, termasuk cara yang tidak benar melainkan konsekuensi dari telah belajar dan telah mendapatkan tambahan ilmu dan ketrampilan baru.

Demikian pula kalau guru mengikuti sertifikasi, tujuan utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam standar kompetensi guru. Tunjangan profesi adalah konsekuensi logis yang menyertai adanya kemampuan yang dimaksud. Berdasarkan hal tersebut, maka sertifikasi akan membawa dampak positif, yaitu meningkatnya kualitas guru.


6. Sertifikasi Guru Dengan Penilaian Portofolio


Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikat pendidik ini diberikan kepada guru yang memenuhi standar profesional guru. Standar profesioanal guru tercermin dari uji kompetensi. Uji kompetensi dilaksanakan dalam bentuk penilaian portofolio. Penilaian portofolio merupakan pengakuan atas pengalaman profeisonal guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen yang mendeskripsikan kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan penghargaan yang relevan.

Sertifikasi guru dalam bentuk penilaian portofolio ini ternyata menimbulkan polemik. Banyak pengamat pendidikan yang menyangsikan keefektifan pelaksanaan sertifikasi dalam rangka meningkatkan kinerja guru. Bahkan ada yang berhipotesis bahwa sertifikasi dalam bentuk penilaian portofolio tak akan berdampak sama sekali terhadap peningkatan kinerja guru, apalagi dikaitkan dengan peningkatan mutu pendidikan nasional.

Apa yang menjadi keprihatinan banyak pihak ini dapat dimaklumi. Hal ini dikarenakan pelaksanaan sertifikasi dalam bentuk penilaian portofolio tidak lebih dari penilaian terhadap tumpukan kertas. Kelayakan profesi guru dinilai berdasarkan tumpukan kertas yang mampu dikumpulkan. Padahal untuk membuat tumpukan kertas itu pada zaman sekarang amatlah mudah. Tidak mengherankan jika kemudian ada beberapa kepala sekolah yang menyetting berkas portofolio guru di sekolahnya tidak mencapai batas angka kelulusan. Mereka berharap guru-guru tersebut dapat mengikuti diklat sertifikasi. Dengan mengikuti diklat sertifikasi, maka akan banyak ilmu baru yang akan didapatkan secara cuma-cuma. Dan pada gilirannya, ilmu yang mereka dapatkan di diklat sertifikasi akan diterapkan di sekolah atau di kelas.

Hipotesis bahwa pelaksanaan sertifikasi dalam bentuk penilaian portofolio tidak akan berdampak sama sekali terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional terasa akan menjadi kenyataan bila dibandingkan dengan pelaksanaan sertifikasi di beberapa negara maju, khusunya dalam bidang pendidikan. Hasil studi Educational Testing Service (ETS) yang dilakukan di delapan negara menunjukkan bahwa pola-pola pembinaan profsesionalisme guru di negara-negara tersebut dilakukan dengan sangat ketat (Samami dkk., 2006:34).

Sebagai contoh, Amerika Serikat dan Inggris yang menerapkan sertifikasi secara ketat bagi calon guru yang baru lulus dari perguruan tinggi. Di kedua negara tersebut, setiap orang yang ingin menjadi guru harus mengikuti ujian untuk memperoleh lisensi mengajar. Ujian untuk memperoleh lisensi tersebut terdiri dari tiga praksis, yaitu tes keterampilan akademik yang dikenakan pada saat seseorang masuk program penyiapan guru, penilaian terhadap penguasaan materi ajar yang diterapkan pada saat yang bersangkutan mengikuti ujian lisensi, dan penilaian performance di kelas yang diterapkan pada tahun pertama mengajar.Mereka yang memiliki lisensi mengajarlah yang berhak menjadi guru.


D. Penutup


Keterpurukan mutu pendidikan Indonesia di dunia internasional memang amat memprihatinkan. Akan tetapi, keprihatinan ini jangan sampai membuat kita putus harapan. Keterpurukan ini hendaknya membuat kita sungguh-sungguh terdorong mencari jalan yang tepat, bukan dengan cara-cara instan dan mengutamakan kepentingan pribadi.

Pelaksanaan sertifikasi guru merupakan komitmen pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, untuk mengimplementasikan amanat Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Keberhasilan pelaksanaan sertifikasi dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan secara nasional, juga menjadi harapan nyata bagi pembangunan pendidikan, dan pembangunan guru yang profesional menuju pembangunan “Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif”.

Program sertifikasi guru bertujuan untuk meningkatkan kualitas tenaga pendidik dan kesejahteraannya yang berujung pada peningkatan kualitas pendidikan secara berkelanjutan. Keberhasilan pelaksanaan sertifikasi guru sangat bergantung pada pemahaman, kesadaran, keterlibatan dan upaya sungguh-sungguh dari segenap unsur pelaksana program.

Berkaca pada pelaksanaan sertifikasi negara-negara maju, terutama dalam bidang pendidikan, peningkatkan mutu pendidikan hanya dapat dicapai dengan pola-pola dan proses yang tepat. Dengan demikian perlu dicari pola-pola yang dapat lebih efektif dan efisien dan tidak sekedar penilaian secara portofolio yang dikhawatirkan banyak pihak tidak dapat menyentuh substansi untuk peningkatan kualitas guru

KONSEP MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

 
Oleh:
Sri Rakhmawanti, Nur Kumala Dewi, Hendra Kesuma

 
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) atau School Based Management (SBM) merupakan strategi untuk mewujudkan sekolah yang efektif dan produktif. MBS merupakan paradigma baru manajemen pendidikan, yang memberikan otonomi yang luas pada sekolah dan pelibatan masyarakat dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah leluasa mengelola sumber daya, sumber dana, sumber belajar dan mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat.

MBS merupakan salah satu wujud reformasi pendidikan yang memberikan otonomi kepada sekolah untuk mengatur kehidupan sesuai dengan potensi, tuntutan dan kebutuhannya. Otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para tenaga kependidikan, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan. Pada sistem MBS, sekolah memiliki full authority and responsibility dalam menetapkan program-program pendidikan dan berbagai kebijakan sesuai dengan visi, misi dan tujuan pendidikan (Mohrman and Wihlsetter, 1994). Untuk mewujudkan visi, misi dan tujuan tersebut, sekolah dituntut untuk menetapkan berbagai program dan kegiatan, menentukan prioritas, mengendalikan pemberdayaan berbagai potensi sekolah dan lingkungan sekitar, serta mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat dan pemerintah.

Dalam sistem MBS, semua kebijakan dan program sekolah ditetapkan oleh Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan. Badan ini merupakan lembaga yang ditetapkan berdasarkan musyawarah dari pejabat daerah setempat, komisi pendidikan pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), pejabat pendidikan daerah, kepala sekolah, tenaga kependidikan, perwakilan orangtua peserta didik, dan tokoh masyarakat. Lembaga inilah yang menetapkan segala kebijakan sekolah berdasarkan ketentuan-ketentuan tentang pendidikan yang berlaku. Selanjutnya, komite sekolah perlu merumuskan dan menetapkan visi, misi dan tujuan sekolah dengan berbagai implikasinya terhadap program-program kegiatan operasional untuk mencapai tujuan sekolah.

Berikut ini beberapa ciri MBS :

1. Pemberian otonomi luas kepada sekolah

Dengan adanya otonomi yang memberikan tanggung jawab pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategi sesuai kondisi setempat, sekolah dapat lebih memberdayakan tenaga kependidikan, guru agar berkonsentrasi pada tugas utamanya, yaitu mengajar.

2. Partisipasi masyarakat dan orangtua

Melalui komite sekolah dan dewan pendidikan, bersama merumuskan dan mengembangkan program yang dapat meningkatkan kualitas sekolah.

Peran serta masyarakat diperlukan dalam rangka peningkatan mutu pelayanan pendidikan agar kondisi sekolah dapat memenuhi standar minimal dan peningkatan mutu pendidikan dapat dicapai.

Di setiap sekolah dapat dibentuk organisasi seperti badan peran serta masyarakat/komite sekolah/BP3 atau organisasi lain yang bertujuan:

· Membantu kelancaran pendidikan di sekolah.
· Memelihara,meningkatkan dan mengembangkan sekolah.
· Memantau mengawasi dan mengevaluasi penyelenggaraan pendidikan disekolah. (Kepmendiknas)

3. Kepemimpinan yang demokratis dan profesional

Kepala sekolah adalah manajer pendidikan profesional yang direkrut komite sekolah untuk mengelola segala kegiatan sekolah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan. Dalam proses pengambilan keputusan, kepala sekolah mengimplementasikan proses bottom-up secara demokratis sehingga semua pihak memiliki tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil beserta pelaksanaannya.

4. Teamwork yang kompak dan transparan

Dewan pendidikan dan komite sekolah bekerjasama secara harmonis sesuai dengan posisinya masing-masing. Mereka tidak saling menunjukkan kuasa atau paling berjasa, tetapi masing-masing memberikan kontribusi terhadap upaya peningkatan mutu dan kinerja sekolah secara kaffah. Dalam pelaksanaan program misalnya, pihak-pihak terkait bekerjasama secara profesional untuk mencapai tujuan-tujuan atau target yang disepakati bersama. Dengan demikian, keberhasilan MBS merupakan hasil sinergi dari kolaborasi tim yang kompak dan transparan.

Menurut Ir. Budi Rahardji dalam bukunya “Manajemen Berbasis Sekolah”, MBS adalah model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan secara bersama/partisipatif dari semua warga sekolah dan masyarakat berdasarkan kebijakan nasional pendidikan.

Otonomi sekolah diartikan sebagai kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kebutuhan warga sekolah yang didukung kemampuan tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.

Empat faktor penting yang perlu diperhatikan dalam implementasi MBS yaitu kekuasaan, pengetahuan dan keterampilan, sistem informasi, serta sistem penghargaan (Depdiknas, 2002).

a. Kekuasaan yang dimiliki sekolah

Kepala sekolah memiliki kekuasaan yang lebih besar untuk mengambil keputusan berkaitan dengan kebijakan dibandingkan dengan sistem manajemen pendidikan yang dikontrol oleh pusat. Besarnya kekuasaan sekolah bergantung bagaimana MBS dapat diimplementasikan.

Kekuasaan lebih besar yang dimiliki oleh kepala sekolah dalam pengambilan keputusan perlu dilaksanakan secara demokratis, antara lain dengan melibatkan semua pihak khususnya guru dan orangtua peserta didik; membentuk pengambilan keputusan dalam hal-hal yang relevan dengan tugasnya; serta menjalin kerjasama dengan masyarakat dan dunia kerja.

b. Pengetahuan dan keterampilan

Kepala sekolah beserta seluruh warganya harus menjadi ”learning person”, yang senantiasa belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya secara terus menerus. Untuk itu sekolah harus memiliki sistem pengembangan sumberdaya manusia yang diwujudkan melalui pelatihan.

c. Sistem informasi yang jelas

Sekolah yang melaksanakan MBS perlu memiliki informasi yang jelas tentang program yang netral dan transparan, karena dari informasi tersebut seseorang akan mengetahui kondisi sekolah. Informasi ini diperlukan untuk monitoring, evaluasi dan akuntabilitas sekolah. Informasi yang amat penting untuk dimiliki sekolah, antara lain berkaitan dengan kemampuan guru, prestasi peserta didik, kepuasan orangtua dan peserta didik, serta visi dan misi sekolah.

d. Sistem Penghargaan

Sekolah yang melaksanakan MBS perlu menyusun sistem penghargaan bagi warganya yang berprestasi untuk mendorong kariernya. Sistem ini diharapkan mampu meningkatkan motivasi dan produktivitas kerja dari kalangan warga sekolah. Oleh karena itu, sistem penghargaan yang dikembangkan harus bersifat proporsional, adil, dan transparan.

IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH


Otonomi sekolah ditandai dengan diterapkan kebijakan mengenai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yaitu perangkat kurikulum yang memuat Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar secara umum yang dapat dikembangkan oleh sekolah sesuai dengan kemampuan sekolah dan kondisi lingkungan dan masyarakat tempat sekolah berada. Namun penerapan KTSP pun mengalami kendala yang dialami mayoritas sekolah. Kendalanya antara lain kepala sekolah dan guru belum memiliki kompetensi yang cukup untuk bisa mengembangkan dokumen KSTP bagian pembelajaran seperti silabus dan RPP secara mandiri sesuai dengan karakteristik sekolah. Umumnya sekolah masih mengadopsi atau istilahnya ”copy paste” dari contoh yang ada, sehingga terkadang menimbulkan kesulitan bagi kepala sekolah dan guru ketika akan melakukan penilaian karena kesesuaiannya dengan karakteristik sekolah masih rendah. Kesulitan dalam hal penilaian juga disebabkan karena kemampuan kepala sekolah dan guru yang belum memadai. Selain itu, kewenangan diberikan kepada kepala sekolah dan perangkatnya untuk mengatur manajemen sekolah termasuk pengelolaan pembelajaran, pengelolaan kelas, pengelolaan organisasi dan pengelolaan keuangan. Untuk pengelolaan keuangan, kewenangan sekolah negeri ditandai dengan disediakannya dana BOS dan BOP untuk sekolah yang hitungan adalah nominal rupiah per peserta didik. Namun, ini pun menimbulkan persoalan. Hitungan BOS dan BOP berdasarkan jumlah peserta didik yang ada di sekolah. Untuk mendapatkan dana BOS dan BOP yang banyak maka sekolah menyiasati dengan menerima banyak peserta didik meskipun jumlah rombongan belajar nantinya melebihi kapasitas yang dipersyaratkan standar. Ada kebijakan yang kontradiktif di sini, yaitu kepala sekolah diberi kewenangan untuk mengelola sekolah termasuk keuangan (artinya termasuk mencari sumber dana) namun untuk sekolah negeri tidak diperkenankan memungut uang dari manapun karena sudah ada BOS dan BOP.

Partisipasi masyarakat ditandai dengan dibentuknya Komite Sekolah yang berfungsi sebagai mitra sekolah dalam pengambilan keputusan berkenaan dengan efektifitas proses pembelajaran. Meskipun demikian, partisipasi masyarakat dalam pengembangan dan pelaksanaan program sekolah masih relatif rendah. Partisipasi masyarakat dalam hal ini orang tua peserta didik masih terbatas pada pemberian bantuan finansial untuk mendukung kegiatan operasional sekolah. Para orang tua peserta didik belum dilibatkan secara langsung untuk duduk bersama-sama merencanakan dan mengembangkan program-program pendidikan.

Kepemimpinan ditandai dengan berubahnya paradigma mengenai peran kepala sekolah. kepala sekolah bukan lagi merupakan guru dengan tugas tambahan administrasi tetapi peran kepala sekolah lebih luas lagi yaitu sebagai educator, manager, administrator, supervisor, leader, innovator dan motivator pendidikan (EMASLIM). Dalam implementasi MBS, kepala sekolah merupakan ”the key person” keberhasilan peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Perubahan paradigma menuntut kepala sekolah menjadi seorang yang profesional. Namun pada kenyataannya, kepala sekolah di Indonesia belum dapat dikatakan sebagai manajer profesional, karena pengangkatannya tidak didasarkan pada kemampuan dan pendidikan profesional, tetapi lebih pada pengalaman sebagai guru. Hal ini disinyalir pula oleh laporan Bank Dunia (1999) bahwa salah satu penyebab makin menurunnya mutu pendidikan persekolahan di Indonesia adalah kurang profesionalnya para kepala sekolah sebagai manajer pendidikan di tingkat lapangan. Dengan demikian, pelaksanaan MBS memerlukan perubahan sistem pengangkatan kepala sekolah dari pengangkatan karena kepangkatan atau pengalaman sebagai guru menuju pengangkatan berdasarkan kemampuan dan ketrampilan profesional bidang manajemen pendidikan. Beberapa tahun terakhir ini, suatu upaya mulai dikembangkan dan diimplementasikan yaitu program pemilihan guru berprestasi. Program ini dimaksudkan untuk memotivasi para guru agar lebih giat meningkatkan kompetensinya semaksimal mungkin. Pemilihan guru berprestasi dilakukan dengan serangkaian tes antara lain tes tertulis, unjuk kerja (performance), portofolio dengan metode studi dokumen dan observasi. Guru berprestasi berpotensi untuk dijadikan kepala sekolah. Selain itu, dikembangkan dan diimplementasikan pula program pemilihan kepala sekolah dan pengawas sekolah berprestasi

Hasil penelitian penerapan MBS

Penelitian penerapan MBS ini dilaksanakan oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2007 untuk memotret profil penerapan MBS di SMPN Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan. Berikut ini hasil penelitian tersebut :

· Penerapan MBS

Rata-rata penerapan MBS di SMPN Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan mencapai 85,5%. Ini berarti tiga perempat indikator penerapan MBS telah dilaksanakan dengan optimal.

· Manajemen Kepala Sekolah.

Rata-rata keterlaksanaan manajemen kepala sekolah di SMPN Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan mencapai 91,7%.

· Manajemen Guru.

Rata-rata keterlaksanaan manajemen guru di SMPN Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan mencapai 84,2%.

· Peranserta Masyarakat.

Rata-rata peranserta masyarakat pada penyelenggaraan kegiatan sekolah di SMPN Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan mencapai 64,5%.

· Pengelolaan/penataan Kelas.

Rata-rata keterlaksanaan pengelolaan/penataan kelas di SMPN Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan mencapai 83,5%.

· Pemanfaatan Sumber Belajar.

Rata-rata keterlaksanaan pemanfaatan sumber belajar di SMPN Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan mencapai 80,9%.

· Pengorganisasian Siswa.

Rata-rata keterlaksanaan pengorganisasian siswa di SMPN Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan mencapai 89,4%.

· Metode Pembelajaran.

Rata-rata penggunaan metode pembelajaran di SMPN Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan mencapai 96,7%.

· Penilaian.

Rata-rata keterlaksanaan penilaian di SMPN Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan mencapai 69,7%.

· Sikap dan Perilaku Siswa.

Rata-rata peningkatan sikap dan perilaku siswa di SMPN Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan mencapai 89,4%.

Melihat hasil analisis data dari setiap indikator penerapan MBS, indikator yang rata-ratanya belum mencapai 65% adalah peranserta masyarakat dan penilaian. Hal-hal yang belum terpenuhi dalam indikator partisipasi masyarakat antara lain:

1. Masyarakat belum ikut serta mensosialisasikan program sekolah ke masyarakat sekitar.
2. Belum adanya kelompok orang tua siswa (paguyuban kelas) yang membantu di kelas.
3. Belum adanya guru intip (orang tua yang membantu di kelas, contoh sebagai guru tamu).
4. Masyarakat belum ikut serta menyediakan peralatan sekolah.
5. Belum adanya bukti fisik saran-saran (komunikasi) dg ortu/toga/tomas guna perbaikan kelas (proses PBM).

Hal-hal yang belum terpenuhi dalam indikator penilaian antara lain:

1. Belum digunakannya berbagai bentuk penilaian. Penilaian yang biasa digunakan mayoritas dalam bentuk tes baik ulangan harian, ulangan umum maupun ulangan akhir semester. Untuk penilaian perilaku dan portofolio belum dilakukan. Ini dikarenakan kepala sekolah dan guru belum memiliki kompetensi yang cukup untuk dapat melakukan penilaian perilaku dan portofolio. Kepala sekolah dan guru merasa kesulitan dengan bentuk penilaian tersebut.

2. Umpan balik dari hasil penilaian juga belum tampak sehingga program tindak lanjut menjadi terabaikan. Program tindak lanjut yang biasa dilakukan sekolah adalah ujian perbaikan jika nilai ujian kurang. Sedangkan program pengayaan atau remedial untuk mencapai ketuntasan minimal terabaikan. Alasan yang dikemukakan adalah waktu pembelajaran efektif di sekolah sangat terbatas.

DAFTAR PUSTAKA


Fiedler, Fred E, Martin M. Chamers. (1974). Leadership and Effective Management. Illinois: Scott, Foresman and Company.
Fullan, Michael, The New Meaning Educational Change, Teachers College Press, Columbia University, New York, 2007.

Gilbert, Christine, Local Management of Schools, Kogan Page Ltd, 1990.

Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI tentang Pedoman Penyusunan Standar Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun 2002, CV. Mini Jaya Abadi Jakarta, 2002.

Murgatryod, Stephen and Colin Morgan, Total Quality Management and the School, Philadelpia : Open University Press, 1994.

Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah : konsep, strategi dan implementasi, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2003.

Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional : dalam konteks menyukseskan MBS dan KBK, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005.

Mohrman, Wihlsetter and Associaties. (1994). School-Based Management: Organizing for High Performance. San Francisco: Jossey Bass Pub.

Sagala, Syaiful, Manajemen Berbasis Sekolah & Masyarakat : strategi memenangkan persaingan mutu, PT. Nimas Multima, Jakarta, 2006.

Stenhouse, Lawrence, An Introduction to Curriculum Research and Development, Heinemann Eductional Books Ltd, London, 1978.

Stewart, Aileen Mitchell (1978). Empowering People. Singapore: Institute of Management

Williams, Vivian, Towards Self-Managing Schools, Redwood Books. 
 





Pendidikan: Sektor Pembangunan yang Tercecer



ABSTRAK:
Siapa pun akan menganggukkan kepala bila ditanya tentang pentingnya pendidikan bagi sebuah peradaban, bagi kokohnya sebuah nation state, atau bagi semakin bermartabatnya umat manusia. Indonesia adalah satu-satunya negara yang mencantumkan tujuan pendidikan secara lengkap, terang dan jelas dalam Undang-Undang Dasar 1945. Tidak satu pun negara di dunia ini seperti Indonesia. Amerika Serikat pun hanya menetapkan tujuan pendidikannya diantara baris-baris Declaration of Independence. Tapi, mengapa justru Indonesia yang terpuruk pendidikannya? Apa yang salah dengan pendidikan negeri ini? Tanpa bermaksud mencari siapa yang salah dan siapa yang benar,. Kenyataan di depan kita bahwa pendidikan negeri ini belum mampu memenuhi pencapaian tujuan yang telah disepakati. Aplikasi proses pendidikan tidak konsisten dengan tujuan yang telah menjadi konvensi bangsa Indonesia. Pemerintah harus bertanggung jawab karena tujuan yang telah tertuang jelas tersebut tidak dilaksanakan secara paripurna. Menurut penulis, satu-satunya jalan keluar terbaik adalah menjadikan Pendidikan sebagai Agenda Nasional Utama.

I. RASIONAL
Bilamana Jacques Delors mengingatkan kita semua bahwa pendidikan adalah harta karun yang tiada ternilai harganya “Education is the treasure”,[1] Paulo Freire menuntut bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalan terang untuk memanusiakan manusia[2], Aristoteles mengatakan pada muridnya bahwa Education is the best provision for old age”, [3] atau yang lebih menyentuh nurani para orang tua bahwa ”didiklah anak-anakmu karena mereka akan hidup di zaman yang berbeda denganmu, dan janganlah kamu meninggalkan generasi yang lemah di belakangmu.”[4]

Enam puluh empat tahun sudah langkah negeri ini seperti terseok bahkan seringkali tampak bergerak membelakangi arah yang semestinya dituju. Fenomena ini tentu saja merupakan perolehan kumulatif yang berkorelasi dengan Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan kita rupanya belum berhasil mencerdaskan dan membangun karakter bangsa yang kuat. Gagal memenuhi tujuan yang diamini bersama dalam konstitusi.

Bersyukur setahun terakhir ini pembangunan pendidikan mulai serius diperhatikan walaupun masih sangat jauh dari harapan pendidikan yang seutuhnya. Rupa-rupanya para profesor, cerdik pandai dan pemerhati pendidikan sudah mulai gerah dengan sikap pemerintah yang seakan-akan menempatkan pembangunan aspek pendidikan pada urutan kesekian di belakang pembangunan ekonomi, kesehatan, infrastruktur, pertahanan keamanan dan politik. Perjuangan anggaran pendidikan 20%, misalnya, memaksa para guru keluar dari ruang kelasnya. Dosen segera menutup laptop dan memenuhi amanah hakekat sejati dari pengabdian masyarakatnya, atau pemerhati pendidikan menunda jadwal rapatnya. Turun ke jalan.

Masih terngiang pula di telinga kita debat panjang Ujian Nasional yang oleh sebagian besar akademisi dianggap sebagai kekeliruan terbesar pemerintah yang memaksakan perilaku Ujian Nasional yang sudah nyata-nyata bertentangan dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Sebagian yang lain melihat bahwa Ujian Nasional itu sesungguhnya penting sebagai salah satu alat untuk mengukur kemajuan pendidikan negeri ini.

Contoh lain, pada tataran praktik kita diembuskan pula dengan bermacam ragam berita yang memilukan hati tentang perilaku menyimpang civitas akademik. Guru yang menghukum siswanya[5]. Kepala sekolah yang menilep dana BOS bagai drakula yang bertengger di balik pilar-pilar kokoh sekolah.[6] Kepala Dinas nepotis yang merupakan kepanjangan tangan dari birokrat pemenang Pilkada. Mahasiswa anarkis yang mudah terprovokasi. Perguruan Tinggi yang melaksanakan kelas jauh dan menjajakan gelar akademik instan walau perkuliahan hanya dilaksanakan di gedung balai desa. Dan masih banyak lagi wajah bopeng pendidikan yang lainnya.[7]

Pendidikan yang berkualitas dalam ranah manusia yang cerdas. Sebuah ungkapan yang sangat mudah diucap namun membutuhkan jutaan tetes keringat untuk merealisasikannya, ratusan ribu kesabaran untuk membedahnya, atau puluhan ribu prihatin yang dapat menyentuh filosofinya. Mengapa? Sebab hanya dengan tetesan keringat yang memadai, kesabaran dan prihatin yang mengakar yang dapat menguatkan otot kakinya agar dapat mengejar ketertinggalannya yang terpaut begitu renggang.

Bangsa ini bukan hanya tertinggal dalam angka-angka sebagaimana yang tercantum dalam hasil Survey Bank Dunia, akan tetapi lebih dari itu. Pendidikan kita kehilangan kesejatiannya. Tugas kita semua, guru, dosen, orang tua, masyarakat, media massa, akademisi, birokrat, teknokrat, aristokrat, sekolah, perguruan tinggi dan sebagainya adalah mengawal pendidikan negeri ini yang memenuhi entitas ’marwah” (harga dirinya).

Bagaimana menegakkan, mewariskan, membudayakan dan melestarikan nilai-nilai fundamental kebangsaan dan kenegaraan Indonesia sebagaimana demikian terang bagai buku yang terbuka diamanatkan dalam fungsi sistem pendidikan nasional; termasuk kewajiban semua keluarga warga negara Indonesia yang memiliki kesetiaan dan kebanggaan nasional; juga merupakan kewajiban semua infrastruktur dan suprastruktur dalam sistem bangsa yang besar ini, bilamana pendidikan yang menjadi roh bangsa ini dikesampingkan, dinomorduakan walaupun secara akal sehat setiap pengambil kebijakan yang beradab adalah berkat pendidikan yang pernah diampunya.

II. PERMASALAHAN
Demikian peliknya simpul problem yang dihadapi bangsa ini dalam mengelola pendidikan sehingga hampir sulit mengurainya. Permasalahan terbesar adalah bahwa pendidikan negeri ini merupakan salah satu sektor emas pembangunan bangsa yang tercecer. Masih dipandang sebelah mata. Makalah ini diharapkan dapat memberikan solusi tentang Pembangunan Pendidikan. Namun, agar makalah ini dapat lebih mudah dipahami, berikut disederhanakan arah pembahasannya untuk menemukan jawaban-jawaban dari permasalahan dominan berikut.

1. Bagaimana hubungan pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional dengan Pembangunan Sektor Pendidikan di Indonesia?

2. Apakah langkah-langkah strategis dalam mengembangkan sektor pembangunan pendidikan dalam mendukung akselerasi pembangunan bangsa?

III. PEMBAHASAN

A. Tujuan Pendidikan dan Hubungannya dengan Pembangunan Sektor Pendidikan

C.E. Beeby (1975) mengilustrasikan bahwa sejak awal kemerdekaan tidak tampak adanya bukti-bukti pemikiran atau kebijakan yang serius dan sistematis mengenai cocok-tidaknya sistem pendidikan dan persekolahan kita dengan kebutuhan bangsa merdeka yang dilayaninya. Gagasan-gagasan pendidikan negeri ini kabur dan hampir tidak beranjak dari konsep kebijakan politik etis pemerintah kolonial Belanda.[8]

Apanya yang tidak berubah? Terjadi pengabaian terhadap pendidikan yang mengakibatkan kemerosotan kualitas kehidupan bangsa yang berlarut (Soedijarto, 2008). Semasa Orde Baru, karena diawali situasi keuangan yang sulit, upaya pencerdasan bangsa dimaknai sebagai pengembangan SDM di bawah payung pertumbuhan ekonomi semata. Meskipun pertambahan jumlah sekolah cukup tinggi dan hampir berbanding sejajar dengan pertumbuhan penduduk, namun penurunan mutu terus berlangsung sehingga menghasilkan kualitas manusia Indonesia yang di era reformasi ini semakin jelas kelemahannya.[9]

Perlu diperjelas bahwa permasalahan pendidikan di negeri ini bermula dari ketidakpedulian, ketidaktahuan atau mungkin ketidakmautahuan para penyelenggara Negara tentang peran penting pendidikan dalam kemajuan bangsa. Pendidikan selalu digampangkan dengan dianggap sebatas sekolah atau pemberantasan buta huruf. Akhirnya kini pendidikan kita mengalami masalah kronis pada setiap ranahnya.

Secara fundamental pendidikan kita belum memiliki kejelasan filosofi yang mampu menjawab pertanyaan mengenai untuk apa pendidikan/ persekolahan diselenggarakan. Kita memang memiliki UUD 1945, UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen beserta anak-pinaknya sebagai formulasi aspirasi yang memandu segenap aktivitas pendidikan. Tetapi objektivikasi perangkat normatif itu kedalam politik dan operasi pendidikan kita senantiasa samar. Kekaburan paradigma ini menyebabkan penyelenggaraan pendidikan kita mengalami ketidaktepatan sasaran (mismatch).[10] Tidak menjawab kebutuhan dan persoalan masyarakat pendukungnya.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa Tujuan pendidikan Nasional sudah termaktub secara jelas baik dalam Preambule UUD 1945 “Mencerdaskan kehidupan bangsa” dan pengejawantahannya tertuang dalam Bab XII Pasal 31 dan 32. Tujuan pendidikan kita sebenarnya sudah sangat jelas. “... sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.”[11] Tujuan pendidikan ini demikian menjanjikan bahwa manusia-manusia Indonesia berpotensi menjadikan negara ini sebagai sebuah nation state yang kuat dan bermartabat. Alhasil, penyelenggaraan pendidikan nasional tidak didukung sepenuhnya kepada pencapaian tujuan tersebut. Impian founding fathers tentang masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, dan cerdas baik kognitif, afektif maupun psikomotoriknya justru tidak tepat sasaran. Gejala umum mismatch tersebut ditunjukkan oleh kapabilitas lulusan yang selain tidak memiliki kesesuaian kualifikasi dalam konteks perekonomian, juga ketidaksiapan mental; misalnya nalar dan etos kerja, keterampilan, entrepreneurship, dan leadership untuk menangani keberlangsungan sebuah tatanan masyarakat yang semakin kompleks, maju dan modern yang beradab.[12]

Tujuan-tujuan apa saja yang terkandung di dalamnya? Tujuan mulia bagai sepuluh jari yang menjadi impian tertinggi dan agung bagi pendidikan negeri ini. Berikut penulis coba petakan.[13]

Bila dikaitkan dengan tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh para pemikir dan ahli pendidikan dunia, maka tujuan pendidikan Indonesia demikian berkilau. Phenix mengemukakan bahwa sesunguhnya tujuan pendidikan itu adalah proses yang diharapkan mampu melahirkan makna-makna utama dari eksistensi kemanusiaan “General education is the process of engendering essential meanings.” (Phenix, 1964).[14] Sedangkan Delors mengatakan bahwa pendidikan tidak hanya harus beradaptasi dengan perubahan dunia secara alamiah, tetapi harus juga merupakan proses yang terus-menerus membentuk manusia - seluruh pengetahuan dan bakat mereka, serta kritis dan memiliki kemampuan untuk bertindak. Pendidikan adalah kekayaan yang tiada ternilai harganya. “Education is not only must it adapt to changes in the natural of work, but it must also constitute a continuous process of forming whole human beings- their knowledge and aptitudes, as well as the critical faculty and the ability to act. Education is a treasure.” (Delors, 1996) Pernyataan ini selanjutnya dirumuskan kedalam empat pilar utama pendidikan, yaitu learning to know, learning to do, learning to live together dan learning to be.[15] Sementara itu, Dewey (1964) secara singkat merumuskan tujuan pendidikan adalah memungkinkan individu untuk melanjutkan pendidikan mereka - atau bahwa muaranya adalah kemampuan untuk terus-menerus menyuburhidupkan pengembangan kapasitas. “the aim of education is to enable individuals to continue their education - or that the object and reward of learning is continued capacity for growth.”[16]

Tujuan Pendidikan Nasional di atas selanjutnya diejawantahkan kedalam tujuan institusi dan dilaksanakan secara integratif oleh lembaga-lembaga mata pisau di bawahnya dalam bentuk kurikulum (Sekarang menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang disempurnakan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Lembaga-lembaga seperti keluarga, sekolah, diklat, kursus, dan sejenisnya baik melalui pendidikan formal, informal maupun nonformal. Baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.

Penanganan pembangunan sektor pendidikan bila dikaitkan dengan pencapaian tujuan pendidikan nasional dapat dilihat dari tiga ranah utama yaitu, ranah struktural, finansial, dan ranah kultural (Brunner, 1973).[17]

1. Ranah Struktural

Aplikasi penanganan pendidikan pada ranah struktural, politik pendidikan kita dari masa ke masa dijalankan dengan orientasi kekuasaan. Tidak mengacu pada prinsip-prinsip ilmiah ilmu pengetahuan, ilmu pendidikan, kearifan budaya lokal, dan pengalaman negara-negara maju. Kebijakan pendidikan nasional seringkali didasarkan atas trial and error, hit and run (tidak konseptual) dan kick and rush (plesetan dari “cekik dan peras” atau proyekisme) sehingga menghasilkan berbagai anomali dalam dalam operasinya. Munculnya BHP, SSN, RSBI, BNSP yang super power, ujian nasional, dll. merupakan peradangan sebagai akibat langsung dari bisul politik pendidikan yang tidak mendasarkan diri pada pencapaian tujuan pendidikan secara paripurna.[18]

Birokrasi pendidikan hendaknya tidak dikelola oleh kebanyakan orang yang tidak memiliki kompetensi, track record dan pemihakan pada masalah pendidikan; tidak memuliakan ilmu pengetahuan, pendidikan dan guru. Perilakunya berorientasi kekuasaan, kepentingan dan masih bersemangat korupsi. Akibatnya, berbagai kebijakan dalam tataran implementasinya seringkali mengalami kendala pada meja birokrat pendidikan.

2. Ranah Finansial

Secara finansial, meskipun ketentuan UUD 45 pasal 31 ayat 4 berbunyi “memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD,” pemerintah terkesan segan memenuhinya. Setelah berkali-kali Mahkamah Konstitusi (MK) memutus pemerintah bersalah, barulah setahun terakhir ini anggaran pendidikan mencapai 20% APBN, itu pun termasuk gaji guru dan anggaran pendidikan kedinasan. Pada tingkat daerah, tidak lebih dari 10% pemerintah daerah yang telah mengalokasikan 20% APBD untuk pendidikan dalam skema perhitungan yang benar.[19]

Bukanlah ketiadaan dana yang melatari keengganan pemerintah meningkatkan anggaran pendidikan. Tetapi lebih disebabkan kekeliruan memaknai hakikat pendidikan. Pendidikan dipersepsi “an-sich,” terlepas dari pembangunan ekonomi dan budaya sehingga belanja bidang pendidikan dianggap bukan “investasi” yang berimplikasi pada bidang lainnya. Selain itu, ada pikiran bahwa tanggung jawab pemerintah terhadap pembiayaan pendidikan tidaklah sepenuhnya, karena pasal 36 UU Sisdiknas mengharuskan adanya peran serta masyarakat. Padahal dalam penjelasan ayat tersebut, peran masyarakat sebenarnya lebih bersifat filantrofi.

3. Ranah kultural


Masyarakat kita belum menjadi sebuah masyarakat pembelajar (learning society). Belajar dan sekolah masih sebatas formalitas karena gelar dan sertifikat merupakan status sosial dan persyaratan utama dalam mencari pekerjaan. Mudah dipahami jika masyarakat kita sekarang mudah terserang “diploma diseases” yang melahirkan praktik perdagangan ijazah, jual beli nilai, kelas jauh, dan praktik-praktik irrasional lainnya yang serba instan.

B. Langkah-Langkah Strategis Penguatan Pembangunan Sektor Pendidikan dalam Mendukung Akselerasi Pembangunan Bangsa
Ada sepenggal besar yang hilang dari pendidikan kita yaitu pendidikan karakter. Hal ini menurut penulis yang turut memberikan andil terpuruknya pendidikan. Karakter kuat untuk membangun bangsa yang dimiliki para pemimpin bangsa menjadi masukan mentah bagi tidak diperhatikannya pendidikan. William J. Bennett (Ed., 1997) mengemukakan bahwa dalam pendidikan moral, pendidik perlu mengajarkan tentang nilai-nilai moral seperti: rasa hormat kepada orang tua dan guru, jujur, terbuka, toleransi, adil, religius, bertanggung jawab terhadap masyarakat dan negara, serta memiliki rasa kasih sayang dan cinta terhadap Tuhan, masyarakat, dan lingkungan. [20] Dengan menggunakan ilustrasi cerita-cerita, Bennett mengungkapkan beberapa cara untuk mengembangkan karakter bangsa yang baik, antara lain sebagai berikut.

1. Self-discipline (disiplin diri) perlu ditanamkan pada peserta didik, para pendidik/guru, para pelatih, pembimbing, dan pada semua komponen yang terkait dengan kegiatan proses pembelajaran.

2. Compassion (rasa terharu) yang disertai rasa kasih. Di samping disiplin diri, kita sering menyaksikan adanya rasa keterharuan, yang kadang-kadang menutup hati atau kesadaran moral. Bagaimana caranya untuk meningkatkan rasa kasihan kepada orang lain pada peserta didik? Dalam hal ini, berikanlah mereka cerita-cerita dan pribahasa yang bermanfaat sebanyak mungkin.

3. Responsibility (tanggung jawab). Orang yang tidak bertanggung jawab adalah suatu ciri bahwa orang itu belum matang, sebaliknya adanya rasa tanggung jawab adalah ciri kematangan seseorang. Jika kita berupaya untuk membantu peserta didik menjadi orang yang bertangung jawab, maka sesungguhnya kita membantu mereka menjadi matang. Tanggung jawab, dan upaya untuk menjadi bertanggung jawab, harus menggunakan kekuatan yang ada pada setiap orang; dan setiap orang harus melakukannya terus-menerus.

4. Friendship (persahabatan). Cerita-cerita mengenai persahabatan yang baik merupakan paradigma moral bagi semua hubungan antarmanusia. Pengertian persahabatan ini lebih luas daripada kenalan dan di dalamnya termasuk lebih luas dari afeksi.

5. Work (pekerjaan), apa yang harus dikerjakan supaya kita meningkat? Ini pertanyaan yang menyangkut pekerjaan, dan sekaligus pertanyaan yang menyangkut kehidupan.

6. Courage (keberanian dan keteguhan hati). Di samping bekerja, menghayati dan menikmati makna kerja bagi kehidupan manusia, perlu menanamkan keberanian dan keteguhan hati atau ketekunan dalam menghadapi perasaan takut, sifat ragu-ragu, gugup, bimbang, dan sifat-sifat lainnya yang sering mengganggu.

7. Perseverance (ketekunan), perlu dibina terus. Bagaimana caranya mendorong peserta didik supaya tekun dan tetap melaksanakan usaha-usaha untuk meningkatkan keberanian dan ketekunannya sendiri? Dalam hal ini, peserta didik harus melaksanakan sendiri, dan orang tua/pendidik berada bersama-sama mereka, serta mengawasi dari belakang (Tut Wuri Handayani), dengan membimbing dan mengarahkan serta memberikan contoh-contoh yang positif.

8. Honesty (kejujuran). Supaya bisa menjadi orang jujur, berbuatlah secara nyata, secara murni, dan bisa dipercaya. Kejujuran ini bisa diwujudkan atau diekspresikan dalam bentuk rasa hormat kepada diri sendiri dan pada orang lain. Hal ini perlu dilatih dan dipelajari sepanjang hidup supaya menjadi orang yang memiliki integritas dan kemauan yang mulia.

9. Loyality (loyalitas). Faktor kejujuran harus diiringi dengan prinsip loyalitas, sehingga persahabatan dan hubungan-hubungan antar manusia bisa diterima dengan baik. Loyalitas atau kesetiaan berkaitan dengan hubungan kekeluargaan, persahabatan, afiliasi keagamaan, kehidupan profesional dan lain-lain, yang kesemuanya itu dapat berubah atau berkembang.

10. Faith (keyakinan/kepercayaan). Hal terakhir yang sangat penting bagi kehidupan manusia adalah keyakinan atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Hal ini merupakan dimensi yang sangat penting yang merupakan sumber moral manusia.

Menurut Sommers (1993) bahwa salah satu metode penting dalam penguatan karakter bangsa adalah metode “values clarification” (klarifikasi nilai).[21] Dengan menggunakan metode ini, pendidik/guru tidak secara langsung menyampaikan kepada peserta didik tentang “benar” atau “salah”, tetapi sebaliknya peserta didik harus diberikan kesempatan untuk menyatakan nilai-nilai dengan caranya sendiri. Lebih lanjut disarankan, bahwa (1) sekolah harus memiliki aturan-aturan tingkah laku yang menekankan pada kesopanan, kebaikan-kebaikan, disiplin diri, dan kejujuran; (2) pendidik/guru-guru jangan mengindoktrinasi peserta didik, jika mereka minta dengan tegas atas dasar kesopanan, kejujuran, dan keterbukaan; (3) peserta didik harus diberikan ceritra-ceritra yang menekankan pada prinsip-prinsip kebaikan, dan para peserta didik hendaknya gemar membaca, mempelajari dan mendiskusikan tentang isu-isu moral. Dalam kaitan ini, para pendidik harus membantu peserta didik agar mengenal nilai-nilai moral yang diwariskan melalui literatur, internet, agama, dan filsafat. Hal ini penting karena hal-hal yang berkaitan dengan kebaikan dapat dipikirkan dan dipelajari melalui pendidikan moral.

Terakhir, Alfie Kohn (1991) antara lain menyebutkan bahwa untuk membantu peserta didik supaya bisa tumbuh menjadi dewasa, kepada mereka harus ditanamkan nilai-nilai disiplin sejak dini melalui proses interaksi antarpeserta didik, dengan guru-guru, dan orang tua. Melalui interaksi dengan teman sejawat, dengan guru-guru, orang tua, pembuat kebijakan dan lain-lain, akan dapat ditumbuhkan nilai-nilai prososial. Dalam hubungan ini dapat digunakan diantara empat pendekatan untuk mengubah perilaku dan sikap, sebagai berikut: (1) Punishing (menghukum), (2) bribing (menyogok/menyuap), (3) encouraging commitment to values (mendorong komitmen terhadap nilai).[22]

Untuk menjawab permasalahan terakhir, diperlukan reformasi total pendidikan. Salah satu contoh adalah pencanangan Guru sebagai Profesi merupakan gagasan reformasi dalam bidang pendidikan. Namun, bila pemerintah sudah merasa puas dengan gerakan itu saja, pendidikan nasional dapat dipastikan kurang memiliki efektifitas dan makna yang menyentuh sebelum pemerintah menjadikannya sebagai sebuah Gerakan Nasional dengan gerbangnya PENDIDIKAN SEBAGAI AGENDA NASIONAL UTAMA. Setelah itu barulah langkah-langkah terpadu dijalankan seperti:

(1) Meletakkan pendidikan nasional yang berkeadilan dan hak semua warga negara sebagai bagian dari strategi pembangunan ekonomi dan kebudayaan jangka menengah dan jangka panjang. Sistem pendidikan nasional hendaknya memiliki rancang bangun yang relevan dengan kepentingan membangun negara bangsa (nation state) yang modern di era milenium ini.

(2) Tindak politik pendidikan hendaklah selalu didahului oleh studi dan kajian terhadap situasi dan teori. Misalnya, Gubernur, Bupati/Walikota memiliki staf khusus bidang pendidikan.

Bila dipandang perlu ada komisi yang independen yang bertugas sebagai pemikir dan pengawas kebijakan pendidikan di daerah. Bukankah Restorasi Meiji Jepang diawali pembentukan tim yang dipimpin Pangeran Iwakura Tomomi. Tim berkeliling dunia selama dua tahun (1871-1873) dengan misi mencari blue print untuk memodernisasi Jepang secepat mungkin, termasuk cetak biru sistem pendidikan yang terbaik bagi Jepang.

Jabatan Kepala Dinas Dikpora janganlah dijadikan sekedar hadiah hiburan untuk sebuah partai politik karena pendidikan adalah pertaruhan masa depan bangsa. Kepala Dinas Dikpora dan struktur ke samping dan ke bawahnya haruslah personal yang bukan sekedar memiliki kapabilitas, tetapi juga memiliki ideologi pendidikan yang memadai.

(3) Membuat rencana jangka panjang kebijakan pembangunan pendidikan di Provinsi, Kabupaten/Kota tentang guru dan tenaga kependidikan yang terintegrasi dengan berbagai sektor. Jati diri guru harus segera dikembalikan sebagai profesi yang bermartabat dan berbudaya. Model rekrutmen, pengembangan karir dan penggajian guru diatur dalam undang-undang tersendiri. Hal-hal yang melecehkan profesi guru seperti diseret dalam kepentingan politik penguasa, proyekisme, honor guru tidak tetap/swasta yang sangat rendah dan berbagai bentuk anomali lainnya harus dihentikan. Organisasi profesi guru/PGRI menjadi mitra strategis pemerintah dalam merumuskan, mengimplementasikan dan mengevaluasi kebijakan tentang guru.

(4) Merombak kurikulum, orientasi dan metodologi pembelajaran. Jumlah mata pelajaran harus dikurangi, menempatkan pendidikan yang membentuk karakter sebagai acuan utama dan porsi yang cukup, pengadaan buku, sarana dan prasarana diwajibkan melalui uji kelayakan.

(5) Mengefektifkan penggunaan dana pendidikan melalui penertiban proyek-proyek yang ada. Quality and relevance of spending menjadi acuan dalam alokasi anggaran. Melakukan kerjasama dengan KPK dan berbagai lembaga penegak hukum untuk memberantas korupsi di jajaran Dikpora dan sekitarnya. Melibatkan berbagai komponen masyarakat termasuk organisasi profesi seperti PGRI dalam melakukan pengawasan eksternal dalam penggunaan dana pendidikan. Menetapkan sekolah gratis hingga jenjang pendidikan menengah dengan baik sesuai unit cost yang dibutuhkan, tanpa mengurangi kesejahteraan guru. Mencapai Angka Partisipasi Pendidikan Tinggi sekurang-kurangnya 50%.

(6) Mengubah paradigma masyarakat terhadap pendidikan melalui pengembangan pendidikan diploma atau politeknik yang difasilitasi dengan lapangan kerja sejalan dengan visi dan kebijakan dalam bidang perekonomian dan ketenagakerjaan.

(7) Karena masyarakat juga merupakan ranah pendidikan, maka lakon para pemimpin, media massa dan masyarakat itu sendiri perlu pembudayaan penggunaan akal sehat. Learning society tidak mungkin tercipta jika negeri ini tidak mengedepankan pendidikan.

(8) Mengupayakan satu sistem pendidikan nasional yang relevan terhadap manajemen, pembiayaan, proses pembelajaran dan sistem evaluasi yang mampu menanamkan jati diri bangsa yang utuh. Sebab, bilamana sistem pendidikan tidak dilaksanakan secara nyata dengan mengesampingkan filosofi pendidikan dan kebudayaan nasional maka akan berpengaruh secara sistemik terhadap berbagai pola pikir dan pola tindak masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan.

IV. PENUTUP

Terakhir, harapan kita semua untuk Pemerintah, Pemerintah Daerah, Anggota Dewan, praktisi pendidikan, akademisi dan segenap komponen, bahwa pendidikan adalah sebuah kompleksitas yang berhubungan dengan kemanusiaan dalam dimensi-dimensi ruang dan waktu. Maka menangani pendidikan memerlukan kesungguhan dan kearifan. Hanya dengan demikian derajat bangsa ini akan terangkat. Arti 64 tahun akan membawa makna yang dalam sehingga jati diri bangsa ini dapat segera menjelang, terpatri dalam setiap sanubari masyarakat Indonesia yang cerdas dan berbudi pekerti luhur.

Amin!

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Faudzi, (2008). Pemikiran Ali Bin Abi Thalib, Bandung : PT. Angkasa. Hal. 25.

Beeby, C.E. (1975). The Quality of Education in Developing Countries, Cambridge Mass: Harvard University Press.

Bennett, William J. (1997). The Book of Virtues for Young People: A Treasury of Great Moral Stories. New York: Simon & Schuster

Brunner, S. Jerome, (1973) . The Relevance of Education, New York : Norton Company Inc.

Darmaningtyas, (2006). Menggugat Pendidikan Indonesia, Yogyakarta : LP3ES.

Delors, Jacques, (19..) Learning: The Treasure Within, Report to UNESCO of the International Commision on Education for Twenty-First Century, France : UNESCO Publishing.


Dewey, John, (1964). Democracy and Education, Introduction of the Philosophy of Education, New York : The Macmillan Company.

http://bsnp-indonesia.org/id/?cat=5, Banner, Download tanggal 7 Pebruari 2010.

Kohn, Alfie. (1991). Caring Kids: The Role of The School. California: Phi Delta Kappa.

Metro TV, Metro Malam, 12 Januari 2010.

Paulo Freire, (2003). Education For Critical Consciousness, New York: The Seabury Press. Hal. 24.

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2008 tentang Guru dan Dosen.

Phenix, Philip H., (1964). Realms of Meaning, A Philosophy of the Curriculum for General Education, New York : McGraw-Hill Book Company.

Soedijarto, (2008). Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara.

Soedijarto, (2010). Pendidikan Nasional dan Pembangunan Kebudayaan dan Karakter Bangsa (Jati Diri Bangsa) dan Implikasinya terhadap Sistem Kurikulum dan Proses Pembelajaran, Makalah Sarasehan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Depdiknas, 14 Januari 2010.

Sommers, Ch. H. (1993). Teaching Te Virtues: A Blueprint for Moral Education. Chicago Tribune Magazine, September 12, 1993.

Suara NTB, (12 Desember 2009), NTB : 5000 Ijazah Ilegal Kelas Jauh, Halaman 3.

Tilaar, H.A.R., (2002). Perubahan Sosial dan Pendidikan, Jakarta : Grasindo.

Tilaar, H.A.R. (2009), Membenahi Pendidikan Nasional, Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Guru dan Dosen.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

[1]
Jacques Delors, (1996) Learning: The Treasure Within, Report to UNESCO of the International Commision on Education for Twenty-First Century, France : UNESCO Publishing. Hal. 14.
[2]
Paulo Freire, (2003). Education For Critical Consciousness, New York: The Seabury Press. Hal. 24.
[3]
http://bsnp-indonesia.org/id/?cat=5, Banner, Download tanggal 7 Pebruari 2010.
[4]
Ahmad Faudzi, (2008). Pemikiran Ali Bin Abi Thalib, Bandung : PT. Angkasa. Hal. 25.
[5]
Metro TV, Metro Malam, 12 Januari 2010.
[6]
Darmaningtyas, (2006). Menggugat Pendidikan Indonesia, Yogyakarta : LP3ES.
[7]
Suara NTB, (12 Desember 2009), NTB : 5000 Ijazah Ilegal Kelas Jauh, Halaman 3.
[8]
C.E. Beeby, (1975). The Quality of Education in Developing Countries, Cambridge Mass: Harvard University Press.
[9]
Soedijarto, (2008). Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara
[10]
Tilaar, H.A.R. (2009), Membenahi Pendidikan Nasional, Jakarta : PT. Rineka Cipta.
[11]
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
[12]
Tilaar, H.A.R., (2002). Perubahan Sosial dan Pendidikan, Jakarta : Grasindo.
[13]
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[14]
Phenix, Philip H., (1964). Realms of Meaning, A Philosophy of the Curriculum for General Education, New York : McGraw-Hill Book Company.
[15]
Delors, Jacques, (19..) Learning: The Treasure Within, Report to UNESCO of the International Commision on Education for Twenty-First Century, France : UNESCO Publishing.
[16]
Dewey, John, (1964). Democracy and Education, Introduction of the Philosophy of Education, New York : The Macmillan Company.
[17]
Brunner, S. Jerome, (1973). The Relevance of Education, New York: Norton Library.
[18]
Darmaningtyas, (2006) Op Cit hal. 23.
[19]
Darmanigtyas, (2006). Op Cit 32.
[20]
Bennet, William J., (1997).The Book of Virtues: A Treasury of Great Moral Stories, New York: Simon & Schuster
[21]
Sommers, McCrock, (1993). Teaching the Virtue, a Blueprint for Moral Education.
[22]
Alfie Kohn (1991). Caring Kids:The Role of School, California: Phi Delta Kappa.

Kamis, 17 Juni 2010

PARADIGMA PENDIDIKAN YANG HUMANIS: SOLUSI BAGI PENGUATAN KARAKTER BANGSA (Berkaca pada Pemikiran Paulo Freire)



I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang


 
Akhir-akhir ini semakin nyaring terdengar “teriakan” masyarakat Indonesia yang mendambakan perubahan yang signifikan. Masyarakat juga sudah mulai menyadari bahwa perubahan-perubahan tersebut hanya dapat dicapai melalui pendidikan yang sejati. Pendidikan yang memiliki dasar pijakan yang kuat dan menghasilkan output yang layak diperhitungkan. Paling tidak ada tiga hal utama yang selalu dijadikan “tema diskusi” mereka yaitu: pendidikan yang berkualitas, pendidikan yang menanamkan karakter bagi peserta didik, dan pendidikan yang humanis.[1]

Salah satu fenomena yang menarik adalah pendidikan yang humanis. Yaitu pendidikan yang memanusiakan manusia dalam arti yang sesungguhnya. Manusia perlu memiliki kesadaran yang cukup untuk memahami bahwa dengan ilmu yang dimilikinya dapat membuatnya sejahtera lahir dan batin. Ilmu yang dapat membantu agar hidup berdampingan secara harmonis dan arif dengan manusia lainnya. Manusia yang memahami bahwa dirinya adalah mahluk beradab dan dalam peradaban itulah tersua kebenaran-bebenaran yang hakiki.

Telah banyak pemikir-pemikir genius yang mendasarkan kajiannya pada pendidikan humanis. Sebut saja di jazirah Arab Nabi Muhammad SAW., dari kalangan gereja seperti Ivan Illich, Carl Rogers dan Harry Broudy, dari politikus Paulo Freire dan Thomas Amstrong. Sedangkan dari tanah air seperti Ki Hajar Dewantara, KH. Ahmad Dahlan, dan RA Kartini.[2]
 
Mereka semua memiliki satu kesamaan pola pikir bahwa pendidikan itu harus bebas nilai (value free). Pendidikan itu harus mampu membebaskan masyarakat dari kungkungan ketidakmampuan dirinya. Pendidikan harus mampu membuka mata manusia bahwa di luar dirinya ada rahasia-rahasia yang perlu dipikirkan, dikaji tindak secara kritis, dan ditemukan maknanya. Pendidikan harus mampu membebaskan manusia dari kungkungan manusia lain, dan bahkan pendidikan itu adalah hak asasi setiap manusia. Siapapun, apapun warna kulit, latar belakang ideologi, sosial, ekonomi, geografis dan politisnya. Budaya apapun yang dianutnya. Apapun kondisi fisik dan mentalnya. Semua berhak mendapatkan pendidikan yang layak.[3]
 
Pendidikan sebenarnya dapat dipahami sebagai rangkaian usaha pembaharuan. Pendidikan pada hakikatnya tidak mengenal akhir karena kualitas kehidupan manusia terus meningkat. Whitehead bahkan menganalogikan bahwa pendidikan setara dengan sebuah pengembaraan. “Education is discipline for the adventure of life; research is intellectual adventure; and the universities should be homes of adventure shared in common by young and old.”[4] Pada bagian lain tulisannya Whitehead menyatakan bahwa pendidikan itu hendaklah diselenggarakan secara murni dan sederhana, dengan istilah lain bukannya justru bersuka-suka, tidak melempar tanggung jawab, dan tidak meninggalkan bekas hitam yang harus menjadi tanggung jawab generasi berikutnya untuk membersihkannya kembali.[5]
 
Lalu bagaimana dengan pendidikan kita? Pendidikan di Indonesia mengalami proses “dehumanisasi”.[6] Dikatakan demikian karena pendidikan mengalami proses kemunduran dengan terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya. Nilai-nilai sejati yang telah ditanamkan oleh para founding fathers seperti “Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, Ketuhanan yang menghormati satu sama lain”[7] semakin meredup dari penyelenggaraan kelas-kelas di Indonesia. Kenyataan ini telah menjadi keprihatinan bersama masyarakat kita. Jangan sampai kondisi demikian akan selalu menggelapkan raut muka dan wajah buruk pendidikan kita. Sudah saatnya, reformasi pendidikan perlu untuk segera dan secara massif diupayakan, yaitu gagasan dan langkah untuk menuju pendidikan yang berorientasi kemanusiaan. Pendidikan perlu segera ditangani serius sebab pemimpin masa depan tergantung pada hasil pendidikan hari ini.
 
Mencetak calon pemimpin bangsa tidak bisa lepas dari peran dan fungsi pendidikan. Siapa saja yang kini telah menjadi orang-orang sukses adalah berkat hasil dari produk pendidikan yang bisa diandalkan. Praktik korupsi yang dilakukan oleh beberapa oknum penguasa adalah cermin dari buram dan minimnya produk pendidikan kita. Pendidikan bukan hanya berupa transfer ilmu (pengetahuan) dari satu orang ke satu (beberapa) orang lain, tapi juga mentransformasikan nilai-nilai (bukan nilai hitam di atas kertas putih) ke dalam jiwa, kepribadian, dan struktur kesadaran manusia itu. Hasil cetak kepribadian manusia adalah hasil dari proses transformasi pengetahuan dan pendidikan yang dilakukan secara humanis.[8]
 
Tapi, selama ini kita hanya melihat pendidikan hanya sebagai momen “ritualisasi” makna baru yang dirasakan cenderung tidak begitu signifikan. Apalagi, menghasilkan insan-insan pendidikan yang memiliki karakter manusiawi. Pendidikan kita sangat miskin dari sarat keilmuan yang meniscayakan jaminan atas perbaikan kondisi sosial yang ada. Pendidikan hanya menjadi “barang dagangan” yang dibeli oleh siapa saja yang sanggup memperolehnya. Akhirnya, pendidikan belum menjadi bagian utuh dan integral yang menyatu dalam pikiran masyarakat keseluruhan.[9]
 
Paulo Freire, kritikus pendidikan yang banyak melakukan gugatan atas konsep sekolah dan kapitalisasi pendidikan, mengatakan bahwa kita harus mengenali keterasingan manusia dari belajarnya sendiri ketika pengetahuan menjadi produk sebuah profesi jasa (guru) dan murid menjadi konsumennya. Kapitalisme pengetahuan pada sejumlah besar konsumen pengetahuan, yakni orang-orang yang membeli banyak persediaan pengetahuan dari sekolah akan mampu menikmati keistimewaan hidup, punya penghasilan tinggi, dan punya akses ke alat-alat produksi yang hebat. Pendidikan kemudian dikomersialkan. Sehingga tidak ada kepedulian seluruh elemen pendidikan untuk lebih memperhatikan nasib pendidikan bagi kaum tertindas (The Oppressed).[10]
 
Sistem pendidikan nasional yang ada selama ini mengandung banyak kelemahan terlebih bagi separoh besar masyarakatnya yang tertindas. Dari soal buruknya manajemen pendidikan sampai pada soal mengenai minimnya dana untuk pengembangan pendidikan. Penulis buku-buku pendidikan, Tilaar menyebut ada beberapa kelemahan dalam sistem pendidikan nasional. Pertama, sistem pendidikan itu kaku dan sentralistik. Pola uniformitas dalam tubuh persekolahan, misalnya dalam pembuatan kurikulum yang tidak dipahami menurut kebutuhan masing-masing penyelenggara pendidikan. Kedua, sistem pendidikan nasional tidak pernah mempertimbangkan kenyataan yang ada di masyarakat. Di sini masyarakat hanya dianggap sebagai obyek saja. Masyarakat tidak pernah diperlakukan atau diposisikan sebagai subyek dalam pendidikan. Ketiga, dua problem di atas didukung oleh sistem birokrasi kaku yang dijadikan alat kekuasaan atau alat politik penguasa.[11]
 
Tokoh pendidikan lain dalam tulisannya yang bertajuk Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita demikian gundah dan menulis bahwa pendidikan di negeri ini hanya dilaksanakan sebatas legal formal saja, yaitu pendidikan yang hanya merupakan serangkaian proses pemberian pelajaran untuk dihafal dan dipahami dalam waktu yang sangat terbatas. Akibatnya, pendidikan kita belum dapat berfungsi sebagai wahana transformasi budaya di segala jenjangnya. Jadi, sangatlah sulit bagi bangsa ini untuk menuntut peran sentral pendidikan sebagai bagian dari pembangunan karakter bangsa.[12]
 
Di saat bangsa kita sedang mengalami devaluasi nilai dan moralitas maka sangat diperlukan wacana mengenai pendidikan yang memberdayakan. Nilai-nilai kemanusiaan perlu dimasukkan ke dalam karakter pendidikan sehingga akan menghasilkan kualitas manusia yang berwawasan dan berorientasi kemanusiaan. Pendidikan yang humanis adalah harapan besar kita.

B. Permasalahan

1. Mengapa pendidikan yang humanis itu perlu?
2. Bagaimana sesungguhnya konteks pendidikan yang humanis?
3. Bagaimana langkah-langkah operasional pendidikan yang humanis di dalam maupun di luar kelas sehingga mampu memperkuat karakter bangsa?
4. Bagimana solusi untuk mengatasi dehumanisasi pendidikan kita?

II. PEMBAHASAN

 

A. Pentingnya Pendidikan yang Humanis Dilihat dari Pandangan Paulo Freire
 

Untuk menggambarkan betapa pentingnya Freire dan pendapatnya dalam dunia pendidikan bisa disimak dari statemen Moacir Gadotti dan Carlos Alberto Torres "Educators can be with Freire or against Freire, but not without Freire."[13]
Mengapa Freire punya banyak pengikut? Menurut kesaksian Martin Carnoy, dikarenakan dia mempunyai arah politik pendidikan yang jelas. Inilah yang membedakannya dengan Ivan Illich.[14]
 
Paling tidak ada dua ciri orang tertindas. Pertama, mereka mengalami alienasi dari diri dan lingkungannya. Mereka tidak bisa menjadi subyek otonom, tetapi hanya mampu mengimitasi orang lain. Kedua, mereka mengalami self-depreciation, merasa bodoh, tidak mengetahui apa-apa. Padahal, saat mereka telah berinteraksi dengan dunia dan manusia lain, sebenarnya mereka tidak lagi menjadi bejana kosong atau empty vessel, tetapi telah menjadi makhluk yang mengetahui.
 
Pertanyaannya, bagaimana mengemansipasi mereka yang tertindas? Untuk menjawab pertanyaan itu, Freire berangkat dari konsep tentang manusia. Baginya, manusia adalah incomplete and unfinished beings. Untuk itulah manusia dituntut untuk selalu berusaha menjadi subyek yang mampu mengubah realitas eksistensialnya. Menjadi subyek atau makhluk yang lebih manusiawi, dalam pandangan Freire, adalah panggilan ontologis (ontological vocation) manusia.[15] Pernyataan ini menunjukkan signifikansi Freire dalam diskursus pendidikan di dunia, termasuk di Indonesia (ada sembilan buku yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia). Sebagai seorang humanis-revolusioner, Freire menunjukkan kecintaannya yang tinggi kepada manusia. Dengan kepercayaan ini ia berjuang untuk menegakkan sebuah dunia yang "menos feio, menos malvado, menos desumano" (less ugly, less cruel, less inhumane). Arah politik pendidikan Freire berporos pada keberpihakan kepada kaum tertindas (the oppressed). Kaum tertindas ini bisa bermacam-macam, tertindas rezim otoriter, tertindas oleh struktur sosial yang tak adil dan diskriminatif, tertindas karena warna kulit, jender, ras, dan sebagainya.
 
Sebaliknya, dehumanisasi adalah distorsi atas panggilan ontologis manusia. Filsafat pendidikan Freire bertumpu pada keyakinan, manusia secara fitrah mempunyai kapasitas untuk mengubah nasibnya. Dengan demikian, tugas utama pendidikan sebenarnya mengantar peserta didik menjadi subyek. Untuk mencapai tujuan ini, proses yang ditempuh harus mengandaikan dua gerakan ganda: meningkatkan kesadaran kritis peserta didik sekaligus berupaya mentransformasikan struktur sosial yang menjadikan penindasan itu berlangsung. Sebab, kesadaran manusia itu berproses secara dialektis antara diri dan lingkungan. Ia punya potensi untuk berkembang dan mempengaruhi lingkungan, tetapi ia juga bisa dipengaruhi dan dibentuk oleh struktur sosial atau miliu tempat ia berkembang. Untuk itulah emansipasi dan transendensi tingkat kesadaran itu harus melibatkan dua gerakan ganda ini sekaligus.[16]
 
Idealitas itu bisa dicapai jika proses pembelajaran mengandaikan relasi antara guru/dosen dan peserta didik yang bersifat subyek-subyek, bukan subyek-obyek. Tetapi, konsep ini tidak berarti hanya menjadikan guru sebagai fasilitator an sich, karena ia harus terlibat (bersama- sama peserta didik) dalam mengkritisi dan memproduksi ilmu pengetahuan.
Guru, dalam pandangan Freire, tidak hanya menjadi tenaga pengajar yang memberi instruksi kepada anak didik, tetapi mereka harus memerankan dirinya sebagai pekerja kultural (cultural workers). Mereka harus sadar, pendidikan itu mempunyai dua kekuatan sekaligus: sebagai aksi kultural untuk pembebasan atau sebagai aksi kultural untuk dominasi dan hegemoni; sebagai medium untuk memproduksi sistem sosial yang baru atau sebagai medium untuk mereproduksi status quo.[17]
 
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan yang humanis itu sangat penting. Alasannya, melalui pendidikan yang humanis maka pendidikan itu sendiri telah menempatkan dirinya sebagai wadah untuk membangun karakter manusia agar mampu mengembangkan eksistensi dirinya sehingga mampu menjadi subyek dan mengenal serta membangun kapasitas dirinya.

B. Hakekat Pendidikan yang Humanis


Jika pendidikan dipahami sebagai aksi kultural untuk pembebasan, maka pendidikan tidak bisa dibatasi fungsinya hanya sebatas area pembelajaran di sekolah. Ia harus diperluas perannya dalam menciptakan kehidupan publik yang lebih demokratis. Untuk itu, dalam pandangan Freire, "reading a word cannot be separated from reading the world and speaking a word must be related to transforming reality."[18] Dengan demikian, harus ada semacam kontekstualisasi pembelajaran di kelas. Teks yang diajarkan di kelas harus dikaitkan kehidupan nyata. Dengan kata lain, harus ada dialektika antara teks dan konteks, teks dan realitas.
 
Paulo Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi empat golongan, yakni: Kesadaran Magis (magical consciousness), Kesadaran Naif (naival consciousness), Kesadaran Kritis (critical consciousness) dan kesadaran transformasi (transformation consciousness).[19]
1. Kesadaran Magis yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lain. Misalnya, masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan kemiskinan mereka dengan system politik dan kebudayaan. Kesadaran Magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supra-natural) sebagai penyebab ketidakberdayaan.
2. Kesadaran Naif: keadaan yang dikatergorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat “aspek manusia” sebagai akar penyebab masalah masyarakat. Masalah etika, kreativitas dan need for achievement dalam kesadaran ini di anggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis penyebab kemiskinan masyarakat, kesalahannya terletak di masyarakat sendiri. Masyarakat dianggap malas, tidak memiliki kewiraswastaan atau tidak memiliki budaya membangun dan seterusnya.
3. Kesadaran Kritis, kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari “blaming the victims” (menyalahkan korban) dan melakukan analisis kritis untuk menyadari struktur dan system sosial, politik, ekonomi dan budaya serta akibatnya terhadap keadaan masyarakat.
4. Kesadaran transformasi adalah puncak dari kesadaran kritis. Dalam istilah lain kesadaran ini adalah "kesadarannya kesadaran" (the consice of the consciousness). Orang makin praksis dalam merumuskan suatu persoalan. Antara ide, perkataan dan tindakan serta progresifitas dalam posisi seimbang. Kesadaran transformative akan menjadikan manusia itu betul-betul dalam derajat sebagai manusia yang sempurna.

Untuk bisa mencapai kesadaran kritis dibutuhkan pendidikan kritis yang berbasis pada realitas sosial. Paulo Freire menilai bahwa konsep pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah adalah pendidikan “gaya bank”, menganggap murid sebagai obyek, tidak memiliki potensi dan murid tersebut harus diberikan (ditransfer) dengan ilmu/teori-teori. Pendidikan seperti ini tidak dapat menimbulkan atau menumbuhkan kesadaran kritis bagi murid-muridnya dan hanya menjadikan murid sebagai robot-robot yang tidak mengerti akan realitas sosial yang dihadapinya. Dalam pandangan kritis, tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap sistem dan “ideologi dominan” yang tengah berlaku di masyarakat, menantang sistem yang tidak adil serta memikirkan sistem alternatif ke arah transformasi sosial menuju suatu masyarakat yang adil. Dengan kata lain, tugas utama pendidikan adalah “memanusiakan” kembali manusia yang mengalami “dehumanisasi” karena sistem dan struktur yang tidak adil.[20]
 
Berdasarkan pemaparan di atas maka hakekat pendidikan yang humanis adalah pendidikan yang mampu berperan maksimal dalam upaya “memanusiakan” kembali manusia yang mengalami “dehumanisasi” karena sistem dan struktur yang tidak berpihak pada masyarakat secara komprehensif.

C. Langkah-langkah Operasional Pendidikan yang Humanis sehingga mampu Memperkuat Karakter Bangsa


Pandangan Paulo Freire tentang pendidikan tercermin dalam kritikannya yang tajam terhadap sistem pendidikan dan dalam pendidikan alternatif yang ia tawarkan. Ia menyebutnya dengan kebudayaan “bisu”.[21] Kesadaran refleksi kritis dalam budaya seperti ini tetap tidur dan tidak tergugah. Akibatnya waktu lalu hanya dilihat sebagai sekat hari ini yang menghimpit. Manusia tenggelam dalam “hari ini” yang panjang, monoton dan membosankan. Sedangkan eksistensi masa lalu dan masa akan datang belum disadari. Dalam kebudayaan bisu yang demikian itu kaum tertindas hanya menerima begitu saja segala perlakuan dari kaum penindas. Bahkan, ada ketakutan pada kaum tertindas akan adanya kesadaran tentang ketertindasan mereka. Itulah dehumanisasi karena bahasa sebagai prakondisi untuk menguasai realitas hidup telah menjadi kebisuan. Diam atau bisu dalam konteks yang dimaksud Freire bukan karena protes atas perlakuan yang tidak adil. Itu juga bukan strategi untuk menahan intervensi penguasa dari luar. Tetapi, budaya bisu yang terjadi adalah karena bisu dan bukan membisu.[22]
 
Mereka dalam budaya bisu memang tidak tahu apa-apa. Mereka tidak memiliki kesadaran bahwa mereka bisu dan dibisukan. Karena itu, menurut Freire untuk menguasai realitas hidup ini termasuk menyadari kebisuan itu, maka bahasa harus dikuasai. Menguasai bahasa berarti mempunyai kesadaran kritis dalam mengungkapkan realitas. Untuk itu, pendidikan yang dapat membebaskan dan memberdayakan adalah pendidikan yang melaluinya naradidik dapat mendengar suaranya yang asli. Pendidikan yang relevan dalam masyarakat berbudaya bisu adalah mengajar untuk memampukan mereka mendengarkan suaranya sendiri dan bukan suara dari luar termasuk suara sang pendidik. [23]
 
Pentingnya bahasa (symbolics) sebagaimana dikemukakan Freire tersebut merupakan unsur terpenting dari enam realm of meanings menurut Phenix. Phenix mengemukakan bahwa:[24]

“ ... these meanings are contained in arbitrary symbolic structures, with socially accepted rules of formation and transformation, created as instruments for the expression and communication of any meaning whatsoever. These symbolic system is one respect constitute the most fundamental of all the realms of meaning in that they must be employed to express the meanings in each of the other realms.”

Dalam konteks yang demikian itulah Freire bergumul. Ia terpanggil untuk membebaskan masyarakatnya yang tertindas dan yang telah “dibisukan”. Pendidikan “gaya bank” dilihatnya sebagai salah satu sumber yang mengokohkan penindasan dan kebisuan itu. [25] Karena itulah, ia menawarkan pendidikan “hadapmasalah” sebagai jalan membangkitkan kesadaran masyarakat bisu.
 
Pendidikan “hadap-masalah” sebagai pendidikan alternatif yang ditawarkan oleh Freire lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan hadap-masalah. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada naradidik supaya ada kesadaran akan realitas itu.
 
Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi dan politik.
Kesadaran tumbuh dari pergumulan atas realitas yang dihadapi dan diharapkan akan menghasilkan suatu tingkah laku kritis dalam diri naradidik. Freire membagi empat tingkatan kesadaran manusia, yaitu:[26]

1) Kesadaran intransitif dimana seseorang hanya terikat pada kebutuhan jasmani, tidak sadar akan sejarah dan tenggelam dalam masa kini yang menindas.
2) Kesadaran semi intransitif atau kesadaran magis. Kesadaran ini terjadi dalam masyarakat berbudaya bisu, dimana masyarakatnya tertutup. Ciri kesadaran ini adalah fatalistis. Hidup berarti hidup di bawah kekuasaan orang lain atau hidup dalam ketergantungan.
3) Kesadaran Naif. Pada tingkatan ini sudah ada kemampuan untuk mempertanyakan dan mengenali realitas, tetapi masih ditandai dengan sikap yang primitif dan naif, seperti: mengindentifikasikan diri dengan elite, kembali ke masa lampau, mau menerima penjelasan yang sudah jadi, sikap emosi kuat, banyak berpolemik dan berdebat tetapi bukan dialog.
4) Kesadaran kritis transitif. Kesadaran kritis transitif ditandai dengan kedalaman menafsirkan masalah-masalah, percaya diri dalam berdiskusi, mampu menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog. Pada tingkat ini orang mampu merefleksi dan melihat hubungan sebab akibat. Bagi Freire pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis transitif. Memang ia tidak bermaksud bahwa seseorang langsung mencapai tingkatan kesadaran tertinggi itu, tetapi belajar adalah proses bergerak dari kesadaran naradidik pada masa kini ke tingkatan kesadaran yang di atasnya.

Dalam proses belajar yang demikian kontradiksi guru-murid (perbedaan guru sebagai yang menjadi sumber segala pengetahuan dengan murid yang menjadi orang yang tidak tahu apa-apa) tidak ada. Naradidik tidak dilihat dan ditempatkan sebagai obyek yang harus diajar dan menerima. Demikian pula sebaliknya guru tidak berfungsi sebagai pengajar. Guru dan murid adalah sama-sama belajar dari masalah yang dihadapi. Guru dan naradidik bersama-sama sebagai subyek dalam memecahkan permasalahan. Guru bertindak dan berfungsi sebagai koordinator yang memperlancar percakapan dialogis. Ia adalah teman dalam memecahkan permasalahan. Sementara itu, naradidik adalah partisipan aktif dalam dialog tersebut.
 
Materi dalam proses pendidikan yang demikian tidak diambil dari sejumlah rumusan baku atau dalil dalam buku paket tetapi sejumlah permasalahan. Permasalahan itulah yang menjadi topik dalam diskusi dialogis itu yang diangkat dari kenyataan hidup yang dialami oleh naradidik dalam konteksnya sehari-hari, misalnya dalam pemberantasan buta huruf. Pertama-tama peserta didik dan guru secara bersama-sama menemukan dan menyerap tema-tema kunci yang menjadi situasi batas (permasalahan) naradidik.[27]
 
Sesungguhnya apa yang terkandung dari maksud Freire tersebut diejawantahkan secara operasional dan sistematis dalam empat pilar pendidikan menurut UNESCO.[28] Agar dapat membantu pencapaian pribadi yang adhi luhung/Lelananging Jagad atau manusia yang paripurna maka pendidikan hendaklah menciptakan sebuah atmosfir yang mengarahkan pembelajarnya pada learning how to learn. Pembelajar tidak hanya akan mengejar nilai-nilai akademik semu dalam tataran kognisi akan tetapi lebih pada upaya belajar dari segala sumber termasuk alam sekitarnya. Orang Bima mengatakan “Doro ra wuba ma kantore, langi ma dantau hampa, ro moti ma lembo, ederu sapoda-poda kai na guru.”[29] (Gunung dan hutan yang berbukit-bukit, langit tanpa tepi, laut yang membentang luas, adalah guru yang sejati).
 
Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah operasional dalam kelas maupun di luar kelas dalam upaya untuk memperkuat karakter bangsa dalam filosofi pendidikan humanis adalah dengan menerapkan secara arif dan kompehensif empat pilar Unesco, yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Dengan kata lain, pendidikan tidak hanya bertumpu pada penguasaan kognitif akan tetapi pada tataran penguasaan skill dan kompetensi yang berlandaskan asas-asas demokratis dan humanis.

D. Solusi Dehumanisasi Pendidikan Di Indonesia

Pelajaran yang bisa ditarik Freire untuk konteks pendidikan kita paling tidak adalah komitmennya terhadap kaum marjinal. Lewat perspektif Freirean kita bisa bertanya: kepada siapa sesungguhnya pendidikan kita saat ini berpihak? Apakah negara sudah sungguh-sungguh mengamalkan salah satu pasal UUD 1945 kita yang berbunyi "anak-anak telantar dipelihara oleh negara"? Mengapa ada kesenjangan yang luar biasa tinggi dalam pendidikan kita, di satu sisi ada sekolah yang luar biasa mahal, dengan fasilitas lengkap, dan hanya orang kaya yang mampu menyekolahkan anaknya ke sekolah itu, namun di sisi yang lain ada sekolah dengan fasilitas seadanya yang dihuni kaum marjinal?[30]
 
Bukankah dengan membiarkan kesenjangan itu terus berlangsung sama dengan membenarkan tesisnya Samuel Bowles dan Herbert Gintis dalam Schooling in Capitalist America (1976), bahwa sekolah hanya berfungsi sebagai alat untuk melayani kepentingan masyarakat dominan dalam rangka mempertahankan dan mereproduksi status quo?[31]
Ada dua kelompok kaum marjinal yang tereksklusi dan jarang mendapatkan perhatian serius oleh publik dalam hal pendidikan:
 
Pertama, penyandang cacat. Kelompok ini termasuk mereka yang kurang beruntung mendapatkan pendidikan yang memadai. Mereka mengalami apa yang disebut segregasi pendidikan. Pendidikan mereka dibedakan dengan kaum "normal." Segregasi pendidikan ini telah berlangsung sekian lama dengan asumsi, mereka yang cacat tidak mampu bersaing dengan yang normal karena ada bagian syaraf tertentu yang tidak bisa bekerja maksimal.
 
Jika asumsi ini benar, bukankah tugas sekolah untuk memaksimalkan mereka yang tidak mampu? Jika ada yang tidak mampu, mengapa solusinya dengan cara pengeksklusian, bukan dengan pemberdayaan? Jika asumsi itu salah, bukankah itu sama saja menutup peluang mereka untuk mendapat pendidikan yang sama seperti yang diperoleh orang normal? Tidakkah ini berarti diskriminasi?
 
Dampak lain dari segregasi pendidikan adalah para penyandang cacat menjadi terasing dari lingkungan sosial, mereka tereksklusi dari sistem sosial orang-orang normal. Jadilah mereka sebagai warga kelas dua. Anak-anak normal juga tidak mendapat pendidikan pluralitas yang memadai. Bagaimana mereka bisa berempati dan bersimpati kepada penyandang cacat, jika mereka tidak pernah bergaul dengan kelompok ini karena hanya bergaul dengan sejenisnya di sekolah.
 
Kedua, anak-anak jalanan. Secara kuantitas kelompok ini kian banyak, terutama di kota-kota besar. Mereka adalah kaum miskin kota dan sudah terbiasa dengan kekerasan, seks dan mabuk-mabukan. Di mana peran negara dalam memberi pendidikan yang layak buat mereka? Meski negara bukan satu-satunya aktor yang bertanggung jawab, tetapi bukankah negara telah diamanati UUD?

Jika kita memakai perspektif Paulo Freire, maka dapat disimpulkan bahwa solusi yang dapat diambil terhadap praktik dehumanisasi pendidikan di Indonesia adalah menciptakan pendidikan yang mampu membantu the learners menjadi subyek yang otonom dan bisa mengkritisi realitas eksistensialnya adalah dengan cara mengembangkan kesadaran kritisnya dan mentransformasi struktur sosial yang tidak adil. Kaum marjinal harus diyakinkan bahwa mereka berhak dan mampu menentukan nasib sendiri, berhak mendapatkan keadilan, berhak melawan segala bentuk diskriminasi.

III. PENUTUP

A. Simpulan


Berdasarkan latar belakang dan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan empat poin berikut:
1. Pendidikan yang humanis itu sangat penting. Alasannya, melalui pendidikan yang humanis maka pendidikan itu sendiri telah menempatkan dirinya sebagai wadah untuk membangun karakter manusia agar mampu mengembangkan eksistensi dirinya sehingga mampu menjadi subyek dan mengenal serta membangun kapasitas dirinya.
2. Hakekat pendidikan yang humanis adalah pendidikan yang mampu berperan maksimal dalam upaya “memanusiakan” kembali manusia yang mengalami “dehumanisasi” karena sistem dan struktur yang tidak berpihak pada masyarakat secara komprehensif.
3. Langkah-langkah operasional dalam kelas maupun di luar kelas dalam upaya untuk memperkuat karakter bangsa dalam filosofi pendidikan humanis adalah dengan menerapkan secara arif dan kompehensif empat pilar Unesco, yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Dengan kata lain, pendidikan tidak hanya bertumpu pada penguasaan kognitif akan tetapi pada tataran penguasaan skill dan kompetensi yang berlandaskan asas-asas demokratis dan humanis.
4. Solusi dehumanisasi pendidikan di Indonesia adalah menciptakan pendidikan yang mampu membantu the learners menjadi subyek yang otonom dan bisa mengkritisi realitas eksistensialnya adalah dengan cara mengembangkan kesadaran kritisnya dan mentransformasi struktur sosial yang tidak adil. Kaum marjinal harus diyakinkan bahwa mereka berhak dan mampu menentukan nasib sendiri, berhak mendapatkan keadilan, berhak melawan segala bentuk diskriminasi.

B. Rekomendasi


Pembaharuan pendidikan nasional persekolahan harus didasarkan pada paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan nasional yang tepat, sesuai dengan realitas masyarakat dan kultur bangsa sendiri. Berikut rekomendasi yang penulis tawarkan bila dilihat dari beberapa paradigma utama yang sangat erat kaitannya dengan akselerasi kualitas pendidikan di Indonesia yang tentu saja humanis dan memberdayakan semua pihak.
1. Paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan tidak bersifat linier dan unidimensional dan tidak kehilangan roh budaya bangsa sebagai sebuah nation state. Seharusnya, peranan pendidikan dalam pembangunan sangat kompleks dan bersifat interaksional dengan kekuatan-kekuatan pembangunan yang lain.
2. Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) dari pada mengajar (teaching), (2) Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel; (3) Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri, dan, (4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinam-bungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan. Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menuntut pendidikan bersifat double tracks. Artinya, pendidikan sebagai suatu proses tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakatnya.
3. Paradigma memahami kebutuhan masyarakat. Berbagai problem yang muncul di masyarakat, khususnya ketimpangan antara kualitas pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja merupakan refleksi adanya kelemahan yang mendasar dalam dunia pendidikan kita. Setiap upaya untuk memperbaharui pendidikan akan sia-sia, kecuali menyentuh akar filosofis dan teori pendidikan.
4. Paradigma pendidikan yang memiliki kualitas dan berkaitan erat dengan motivasi orang yang bekerja di dunia pendidikan. Motivasi, dari kacamata humanis hanya akan muncul apabila ada persaingan yang sehat dan menjunjung tinggi aspek kemanusiaan.
5. Paradigma pentingnya peran guru. Peran guru tidak bisa lepas dari karakteristik pekerja profesional. Artinya, pekerjaan guru akan dapat dilakukan dengan baik dan benar apabila seseorang telah melewati suatu proses pendidikan yang dirancang untuk itu dan harus secara terus-menerus ditingkatkan.
6. Paradigma pendidikan yang berwajah Indonesia. Pendidikan hendaknya mampu menangani persoalan di masyarakat seperti pengangguran, karena semua itu tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sistem pendidikan yang tidak “pas” dengan budaya Indonesia. Untuk menemukan pendidikan yang berakar budaya bangsa perlu dilaksanakan penajaman penelitian pendidikan. Namun dalam mencari pendidikan yang berakar pada budaya bangsa tidak berarti bahwa pendidikan harus bersifat ekslusif. Hal ini bertentangan dengan realitas globalisasi.
7. Paradigma kultur sekolah yaitu bagaimana pembentukan serta peran kepala sekolah. Dan sudah barang tentu, kualitas pendidikan tidak hanya dapat diartikan pencapaian prestasi akademik semata, untuk itu perlu dibahas tentang prestasi atau hasil pendidikan yang utuh. Sekolah dan seluruh civitas akademiknya hendaknya mampu memahami dan meberikan solusi bagaimana reformasi pendidikan harus dilaksanakan.
8. Paradigma manajemen pendidikan yang menawarkan perubahan manajemen pendidikan ke arah: pertama desentralisasi pengelolaan pendidikan adanya perubahan paradigma dari orientasi manajemen pemerintahan yang otoritarian menjadi berorientasi pada demokrasi. Kedua, manajemen berbasis sekolah sebagai sub sistem pendidikan nasional maka harus menerapkan sistem ini meski ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam penerapannya yaitu kewajiban sekolah. Kebijakan dan priotitas pemerintah. Partisipasi masyarakat dan orang tua. Peranan profesionalisme dan manajerial serta pengembangan profesi. Ketiga manajemen pendidikan tinggi menekankan kemandirian lebih besar dalam pengelolaan atau otonomi, untuk dapat menyelenggarakan pengelolaan manajemen perguruan tinggi yang baik perlu memperhatikan kualitas, otonomi, akuntabilitas (pertanggung-jawaban), evaluasi dan akreditasi.
....Wallahu’alam!


DAFTAR PUSTAKA


Alfred North Whitehead, 1929. The Aims of Education and Other Essays, dalam The Adventure of Education: Process Philosophers on Learning, Teaching and Research, Adam S. Scarfe, (2009) Amsterdam : Editions Rodopi B.V. Amsterdam.

Aloys Maryoto, (2004). “Pendidikan Sebagai Proses Penyadaran Menurut Paulo Freire” dalam “Fenomena” Edisi 2/Th.V/2004.

Brunner, S. Jerome, (1973) . The Relevance of Education, New York : Norton Company Inc.

Delors, Jacques, (1996) Learning: The Treasure Within, Report to UNESCO of the International Commision on Education for Twenty-First Century, France : UNESCO Publishing.

Dewey, John, (1964). Democracy and Education, Introduction of the Philosophy of Education, New York : The Macmillan Company.

Daniel S.Schipani, (1988). Religious Education Encounters Liberation Theology, Alabama: Religious Education Press.

Denis Colins, (2007) Paulo Freire His Life, Works and Thought, New York: Paulist Press.

Gatut Saksono, (2009). Pendidikan yang Memerdekakan Siswa, Yogyakarta : CV. Diandra Primamitra Media.

Happy Susanto, (2007). Menuju Pendidikan yang Humanis, BruderFIC.or.id © 2002-2008 http://bruderfic.or.id/, (Download 14 Desember 2009).

HAR Tilaar, (2006). Pendidikan Pasca Amandemen (Refleksi Kritis atas Nasib Bangsa), Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Henry Chamber-Loir dan Siti Maryam Salahuddin, (1999). Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

L. Subagi, (1985). “Kritik Atas: Konsientisasi dan Pendidikan. Teropong Paulo Freire dan Ivan Illich”, dalam Martin Sardy (ed.),Pendidikan Manusia, Bandung: Alumni.

M Agus Nuryatno, (2007). Refleksi Pendidikan Bersama Paulo Freire, Artikel,. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/05/opini/ 275458.htm. (Download 15 Desember 2009.)

M. Escobar dkk (2008). Sekolah Kapitalisme yang Licik, cet. III, Yogyakarta: LKiS,.

M. Yunus, Firdaus, (2005). Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, Yogjakarta: Logung Pustaka.

Moacir Gadotti dan Carlos Alberto Torres, (1997). Paulo Freire, Education and Humanism, Canada : Irvin Publishing Comp.

Munif Chatib, (2009). Sekolahnya Manusia : Sekolah Berbasis Multiple Intelligence di Indonesia, Bandung : Kaifa.

Paulo Freire, (2000). Cultural Action for Freedom, Baltimore:Penguin Book.

Paulo Freire, (2003). Education For Critical Consciousness, New York: The Seabury Press.

Paulo Freire, (2007). “Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan yang Memanusiakan”, dalam Menggugat Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Paulo Freire, (2009). Pendidikan Kaum Tertindas, Edisi Revisi, Jakarta: LP3S.

R. Vance Peavy,. (2006). Humanistic Education: A Manifesto, Columbia : University of British Columbia..

Samuel Bowles dan Herbert Gintis, (2006). Schooling in Capitalist America Nevada : Pergamon Press.

Phenix, Philip H., (1964). Realms of Meaning, A Philosophy of the Curriculum for General Education, New York : McGraw-Hill Book Company.

Soedijarto, (1993a). Menuju Pendidikan Nasional Yang Relevan dan Bermutu. Jakarta: Balai Pustaka

Soedijarto, (1993b). Memantapkan Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.

Soedijarto, (2008). Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara.

Soedijarto, (2010a). Pendidikan Nasional dan Pembangunan Kebudayaan dan Karakter Bangsa (Jati Diri Bangsa) dan Implikasinya terhadap Sistem Kurikulum dan Proses Pembelajaran, Makalah Sarasehan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Depdiknas, 14 Januari 2010.

Soedijarto, (2010b). Ujian Nasional (UN) pada Hakekatnya Tidak Sesuai dengan Hakekat, Tujuan dan Prinsip Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional, Makalah, disajikan dalam Diskusi UN Menuju Pendidikan Bermutu Fraksi PPP DPR RI tanggal 15 Januari 2010.

Sumaryo, (2001). “Pendidikan Yang Membebaskan” dalam Martin Sardy, Mencari Identitas Pendidikan, Bandung: Alumni.

UNESCO, (1994). The Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education. Paris: CSIE.

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Guru dan Dosen.

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2008 tentang Guru dan Dosen.

 

[1] M Agus Nuryatno, Refleksi Pendidikan Bersama Paulo Freire, Artikel, 2007. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/05/opini/275458.htm. (Download 15 Februari 2010.)
[2]
Gatut Saksono, Pendidikan yang Memerdekakan Siswa, (Yogyakarta : CV. Diandra Primamitra Media. 2009). Pp. 223.
[3]
UNESCO, The Salamanca Statement and Framework for Action
on Special Needs Education. (Paris: CSIE, 1994) Pp. 7).
[4]
Alfred North Whitehead, 1929. The Aims of Education and Other Essays, Fifth Edition (1967) New York : The Free Press. Page 98.
[5]
Ibid, Alfred North Whitehead, page 104.
[6]
Happy Susanto, Menuju Pendidikan yang Humanis, BruderFIC.or.id © 2002-2008
http://bruderfic.or.id/
, (Download 18 Februari 2009). Pp. 1.
[7]
Soedijarto, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, (Jakarta, PT. Kompas Media Nusantara, 2008) pp. 9.
[8]
R. Vance Peavy,. Humanistic Education: A Manifesto, (Columbia : University of British Columbia, 1976) Pp 6.
[9]
M. Escobar dkk (ed.), Sekolah Kapitalisme yang Licik, cet. III, (Yogyakarta: LKiS, 2008), Pp. xvi.
[10]
Paulo Freire, “Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan yang Memanusiakan”, dalam Menggugat Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Pp. 457.
[11]
HAR Tilaar, Pendidikan Pasca Amandemen (Refleksi Kritis atas Nasib Bangsa), (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2006) Pp. 103.
[12]
Soedijarto, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, (Jakarta, PT. Kompas Media Nusantara, 2008) pp. 14-15.
[13]
Moacir Gadotti dan Carlos Alberto Torres, Paulo Freire, Education and Humanism, (Canada : Irvin Publishing Comp, 1997) Pp. 95.
[14]
Munif Chatib, Sekolahnya Manusia : Sekolah Berbasis Multiple Intelligence di Indonesia (Bandung : Kaifa, 2009) Pp. 69.
[15]
Paulo Freire, “Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan yang Memanusiakan”, dalam Menggugat Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Pp. 459.
[16]
M. Yunus, Firdaus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005) Pp. 19.
[17]
Op cit, Paulo Freire, 2007 pp. 469.
[18]
Daniel S.Schipani, Religious Education Encounters Liberation Theology (Alabama: Religious Education Press, 1988), Pp. 12.
[19]
Paulo Freire, Education For Critical Consciousness, (New York: The Seabury Press, 1973), p. 18.
[20]
Sumaryo, “Pendidikan Yang Membebaskan” dalam Martin Sardy, Mencari Identitas Pendidikan (Bandung: Alumni, 2001), Pp. 29. Cf Aloys Maryoto, “Pendidikan Sebagai Proses Penyadaran Menurut Paulo Freire” dalam “Fenomena” Edisi 2/Th.V/2004, Pp.18.
[21]
Paulo Freire, Cultural Action for Freedom (Baltimore:Penguin Book, 1970 ), p. 51.
[22]
Ibid Paulo Freire pp. 55
[23]
Ibid Paulo Freire pp. 57
[24]
Philip H. Phenix, Realms of Meaning, A Philosophy of the Curriculum for General ducation, (New York : McGraw-Hill Book Company, 1964) Pp. 6
[25]
L. Subagi, “Kritik Atas: Konsientisasi dan Pendidikan. Teropong Paulo Freire dan Ivan Illich”, dalam Martin Sardy (ed.), Pendidikan Manusia (Bandung: Alumni, 1985), pp. 104-105.
[26]
Paulo Freire, “Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan yang Memanusiakan”, dalam Menggugat Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Pp. 457.
[27]
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas (Jakarta: LP3S, 1972), p. xii.
[28]
Jacques Delors, Learning the Treasure Within: Report to Unesco of the International Commission on education for the Twenty-First Century, (France : Unesco Publishing, 1996) Pp 86 – 96.
[29]
Henry Chamber-Loir dan Siti Maryam Salahuddin, Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1999) pp. 13.
[30]
Munir Chatib, Sekolahnya Manusia, (Bandung, Kaifa, 2009). Pp. 12.
[31]
Samuel Bowles dan Herbert Gintis, Schooling in Capitalist America (Nevada : Pergamon Press, 1976) Pp. 331

PENELITIAN KUALITATIF DALAM ILMU-ILMU SOSIAL

A. Pendahuluan   Ketika kita bergaul sehari-hari seringkali kita berargumen satu sama lain. Kita bercakap-cakap untuk mempe...