KEBIJAKAN PENDIDIKAN DAN PENDIDIKAN DEMOKRASI SALAH SATU UPAYA MELURUSKAN PENDIDIKAN INDONESIA



I.       PENDAHULUAN
Dalam era reformasi dewasa ini telah diberlakukan kebijakan otonomi yang seluas-luasnya dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Otonomi daerah merupakan distribusi kekuasaan secara vertikal. Distribusi kekuasan itu dari pemerintah pusat ke daerah, termasuk kekuasaan dalam bidang pendidikan. Dalam pelaksanaan otonomi daerah di bidang pendidikan tampak masih menghadapi berbagai masalah. Masalah itu diantaranya tampak pada kebijakan pendidikan yang tidak sejalan dengan prinsip otonomi daerah dan masalah kurang adanya koordinasi dan sinkronisasi.

Kondisi yang demikian dapat menghadirkan beberapa hal, seperti : kesulitan pemerintah pusat untuk mengendalikan pendidikan di daerah; daerah tidak dapat mengembangkan pendidikan yang sesuai dengan potensinya. Apabila hal ini dibiarkan berbagai akibat yang tidak diinginkan bisa muncul. Misalnya, kembali pada kebijakan pendidikan yang sentralistis, tetapi sangat dimungkinkan juga daerah membuat kebijakan pendidikan yang dianggapnya paling tepat meskipun sebenarnya bersebrangan dengan kebijakan pusat. Kalau hal ini terjadi maka konflik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sulit dihindari. Dalam sejarah konflik kepentingan pusat dan daerah memicu terjadinya upaya – upaya pemisahan diri yang tentunya mengancam disintegrasi bangsa.
Dengan perkataan lain apabila kebijakan pendidikan dalam konteks otonomi daerah tidak dilakukan upaya sinkronisasi dan koordinasi dengan baik, tidak mustahil otonomi tersebut dapat mengarah pada disintegrasi bangsa. Dalam kondisi demikian diperlukan cara bagaimana agar kebijakan pendidikan di daerah dengan pusat ada sinkronisasi dan koordinasi. Juga perlu diusahakan secara sistematis untuk membina generasi muda untuk tetap memiliki komitmen yang kuat untuk tetap dibawah naungan NKRI. Masalah sinkronisasi dan koordinasi kebiajakan pendidikan dan upaya membina generasi muda yang berorientasi memperkuat integrasi bangsa menjadi fokus dalam makalah ini.
II.            MENGEMBANGKAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN YANG DEMOKRATIS
Peran negara dalam bidang pendidikan di negara demokrasi seharusnya bersifat akomodatif terhadap kepentingan warga negaranya di bidang pendidikan. Namun peran negara dalam bidang pendidikan bisa saja dilaksanakan dalam rangka melegitimasi dan mempertahankan status-quo. Upaya ini biasanya dilakukan merasuk dalam sistem pendidikan dalam hidden curriculum. Atau menurut Michael W. Aplle politik kebudayaan suatu negara disalurkan melalui lembaga – lembaga pendidikan (Tilaar, 2003 : 145). Tentang bagaimana perubahan peran negara dalam pendidikan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Di era reformasi dan globalisasi dewasa ini, ada kecenderungan kekuasaan negara melemah di desak oleh kekuasaan ekonomi. Indikasinya bisnis pendidikan mulai dirasakan. Maraknya pembukaan program ekstensi atau non-reguler di PTN (Perguruan Tinggi Negeri) ada kecenderungan untuk memperoleh dana ketimbang untuk demokratisasi pendidikan. Sehingga pendidikan semakin elitis. Membesarnya pemungutan biaya yang relatif tinggi tampaknya belum diikuti dengan peningkatan mutu pendidikan. Karena nuansa bisnisnya semakin menguat, maka orang juga mulai mempertanyakan eksistensi lembaga pendidikan sebagai lembaga pelayanan publik.
Fenomena lain berbagai gedung pendidikan beralih fungsi menjadi pusat bisnis. Meskipun pemerintah dikritik bahkan didemo oleh masyarakat yang keberatan, tetapi kebijakan itu tetap berlangsung. Pemerintah dalam hal ini tampak tidak berdaya menghadapi para pemilik modal.
Masalah mahalnya pendidikan antara lain disebabkan kurang adanya komitmen dari pemerintah maupun partai politik untuk memprioritaskan bidang pendidikan. Ini terlihat dari anggaran pendidikan yang sangat minim. Negara sebagai penanggung jawab utama pendidikan nasional seharusnya menyediakan fasilitas pendidikan yang realistik dan memadai. Secara normatif dalam sejarah pernah ada kebijakan negara yang mengamanatkan anggaran pendidikan 25% dari APBN (Tap MPRS No. XXVII/MPRS/1966). Begitu pula di era reformasi UUD 1945 mengamanatkan anggaran pendidikan 20 % dari APBN. Dalam kenyataan empirik dana pendidikan dewasa ini diperkirakan hanya sekitar 4 % dari APBN. Ironisnya DPR dan partai politik tidak ada yang protes.
Pemerintah Indonesia sampai sekarang belum memiliki political will untuk memprioritaskan pendidikan untuk perbaikan ekonomi dan sumber daya manusia. Sesungguhnya telah banyak bukti seperti dinyakatan Lauritz-Holm Nielson (Lead Specialist for Higher Education, Science and Technology the World Bank) pada acara International Conference Higher Education Reform 2001 di Jakarta bahwa pendidikan tinggi merupakan kunci terpenting dalam pembangunan ekonomi secara global. Akumulasi penguasaan pengetahuan dapat menjadi keunggulan kompetitif suatu negara. Selanjutnya Nielson menyatakan di negara – negara maju, investasi di bidang penelitian dan pengembangan (litbang) bisa mencapai 85 % dari total anggaran litbang seluruh dunia. Di India, Brasil, Cina, dan negara-negara Asia Timur lainnya, anggaran litbangnya mencapai 11 % dari total anggaran litbang dunia. Hanya tersisa 4 % yang dibagi oleh negara – negara sedang berkembang. Dalam kondisi dana litbang yang sangat minim di negara sedang berkembang, Nielson melihat negara –negara sedang berkembang tidak memahami strategi pertumbuhan ekonomi melalui penguasaan pengetahuan. Padahal penguasaan pengetahuan melalui pendidikan pada akhirnya dapat meningkatkan kapasitas keuntungan kompetitif negaranya (http: / / www. yahoo. com , 1 September 2004).
Begitu pula dewasa ini partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan mulai cenderung memiliki orientasi bisnis yang kuat. Tidak mudah bagi mereka yang berada pada level menengah ke bawah bisa menikmati pendidikan di sekolah swasta. Partisipasi masyarakat dalam menuntaskan wajib belajarpun masih memprihatinkan. Misalnya bisa dilihat indikatornya masih banyaknya usia wajib belajar belum memperoleh pendidikan. Pada tahun 2004 menurut Depdiknas dari 13 juta anak usia 13 – 15 tahun atau usia SMP yang belum tertampung masih sekitar 2, 5 juta anak. Pendidikan alternatif program paket belajar belum mampu mengatasi anak yang belum tertampung. Karena baru sekitar 245.000 yang terlayani melalui 12.871 TBK (Tempat Kegiatan Belajar) di bawah naungan 2 870 sekolah. Kondisi ini masih diperparah sekitar 97 % pelajar SMP terbuka tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dikarenakan faktor ekonomi atau tidak adanya sekolah lanjutan di tempat tinggal mereka (Kompas, 19 Juli 2004).
Dalam era reformasi ada kesan pengembangan kebijakan pendidikan tampak demokratis. Misalnya, antara lain tampak dengan dikembangkannya Kurikulum 2004 (Kurikukulum Berbasis Kompetensi), MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), Komite Sekolah. Hal ini merupakan upaya penerapan secara konkrit otonomi pendidikan. Tetapi dalam pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Kebijakan pelaksanaan UAN (Ujian Akhir Nasional) sebagai dasar untuk menentukan kelulusan dinilai tidak sinkron dengan otonomi daerah. Karena berakibat dapat mengurangi otonomi kewenangan akademik guru dan daerah (Cholisin : 2004b) . Coba bandingkan dengan negara tetangga Vietnam yang menganut sistem politik otoriter, tetapi dalam hal penentuan kelulusan siswa diserahkan sepenuhnya kepada sekolah. Sekolah menyelenggarakan ujian berdasarkan standar nasional.
Disamping itu dilihat dari segi cakupan kompetensi yang diuji dalam UAN dinilai tidak valid, karena hanya mengungkap aspek kognitif. Hal ini dinilai telah mereduksi tuntutan kompetensi dalam KBK yang mengharuskan ketiga aspek kompetensi yakni kognitif, afektif dan psikomotorik untuk dievaluasi.
Di berbagai daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota masih enggan untuk melaksanakan ketentuan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBD. Oleh karena itu dewasa ini biaya pendidikan dirasakan oleh masyarakat semakin relatif mahal. Meskipun pengeluaran penduduk untuk pendidikan di Indonesia (tahun 2001 – 2002) masih rendah yakni 1,3 % dari total PDB sebesar 662,9 miliar dollar AS (lihat Tabel 2.). Pada sisi lain banyak fasilitas pendidikan yang jauh dari layak. Sementara itu rakyat tidak banyak bisa berbuat banyak untuk mempengaruhi perumusan kebijakan pendidikan.
Muchtar Bukhori salah seorang pakar pendidikan Indonesia menilai” Kebijakan pendidikan kita tak pernah jelas. Pendidikan kita hanya melanjutkan pendidikan yang elite dengan kurikulum yang elitis yang hanya bisa ditangkap oleh 30 % anak didik”, sedangkan 70% lainnya tidak bisa mengikuti. (Kompas, 4 September 2004). Padahal kondisi daerah di Indonesia dilihat dari sisi SDM-nya sangat kompleks. Maka tidak mengherankan apabila banyak terjadi kejanggalan, misalnya daerah yang SDA-nya tinggi tetapi SDM-nya rendah. Papua, Kalimantan Tengah dapat dicontohkan dalam kasus ini. Kondisi ini semakin mempersulit mewujudkan pendidikan yang egalitarian dan SDM yang semakin merata di berbagai daerah.
Kesenjangan di atas, apabila tidak segera dilakukan pembuatan kebijakan pendidikan yang jelas orientasinya dapat memicu disintegrasi. Orientasi kebijakan pendidikan yang diperkirakan dapat memperkuat integrasi nasional adalah meningkatkan mutu SDM dan pemerataannya di daerah. Pengembangan SDM menjadi kebutuhan mendesak, karena dibandingkan dengan negara tetangga masih rendah (lihat Tabel. 1 di bawah ini).

Tabel.
1. Human Developmen Index (UNDP : 2004)
001. Norway
002. Sweden
003. Australia
004.Canada
__________
009. Japan
025. Singapura
033. Brunai Darussalam
___________________
058. Malaysia
076. Thailand
083. Philippines
111. Indonesia

Sumber : Ki Supriyoko (2004). “Meningkatkan Profesionalisme
Membangun Citra Guru di Indonesia”, p. 1.


Dengan demikian kebijakan pemerintah pusat lebih pada pengendalian mutu, sedangkan daerah diberikan keluasan untuk secara kreatif mengembangkan berbagai kebijakan teknis yang dianggap tepat dengan berpedoman pada mutu standar nasional.
III.    PENDIDIKAN DEMOKRASI DALAM RANGKA INTEGRASI BANGSA

Adalah John Dewey (dalam Tilaar, 2003) filosof pendidikan yang melihat hubungan yang begitu erat antara pendidikan dan demokrasi. Dewey mengatakan bahwa apabila kita berbicara mengenai demokrasi maka kita memasuki wilayah pendidikan. Pendidikan merupakan sarana bagi tumbuh dan berkembangnya sikap demokrasi. Oleh karena itu, pendidikan tidak dapat dilepaskan dari penyelenggaraan negara yang demokratis.
Pendidikan demokrasi sebagai upaya sadar untuk membentuk kemampuan warga negara berpartisipasi secara bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangat penting. Kemampuan partisipasi politik warga negara ini diperlukan agar demokrasi dalam arti pemerintahan dari mereka yang diperintah bisa berkembang secara maksimal. Karena kalau hanya mempercayakan kepada para pelaku dalam sistem politik dirasa kurang efektif. Lebih-lebih dewasa ini ada kecenderungan melemahnya moralitas publik di kalangan pejabat publik/ politisi. Melemahnya moralitas publik ditandai dengan merembaknya ‘demokratisasi korupsi’. Begitu pula dalam konteks otonomi daerah, ruhnya ada pada partisipasi masyarakat dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik di daerah masing-masing.Tanpa partisipasi masyarakat otonomi itu akan mati. Dengan kata lain demokrasi itu dapat diumpamakan sebagai jiwa dan otonomi daerah itu adalah pengejawantahannya.
Dengan tingginya partisipasi rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka dapat mendorong pada terwujudnya pemerintah yang transparans dan akuntabel. Pemerintah yang demikian merupakan pemerintah yang demokratis, dekat dengan rakyat sehingga menjadi perekat bangsa.
Sedangkan pentingnya pendidikan demokrasi antara lain dapat dilihat dari nilai – nilai yang terkandung di dalam demokrasi. Nilai-nilai demokrasi dipercaya akan membawa kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik dalam semangat egalitarian dibandingkan dengan ideologi non-demokrasi.
Menurut Dahl (2001) keuntungan dari demokrasi sebagai berikut :
1.    Demokrasi menolong mencegah tumbuhnya pemerintahan oleh kaum otokrat yang kejam dan licik.
2.    Demokrasi menjamin bagi warga negaranya dengan sejumlah HAM yangtidak diberikan dan tidak dapat diberikan oleh sistem-sitem yang tidak demokratis.
3.    Demokrasi menjamin kebebasan pribadi yang lebih luas bagi warga negaranya daripada alternatif lain yang memungkinkan.
4.    Demokrasi membantu rakyat untuk melindungi kepentingan dasarnya.
5. Hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat memberikan kesempatan sebesar – besarnya bagi orang – orang untuk menggunakan kebebasab untuk menentukan nasibnya sendiri, yaitu untuk hidup di bawah hukum yang mereka pilih sendiri.
6. Hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk menjalankan tanggungjawab moral.
7.    Demokrasi membantu perkembangan manusia lebih total daripada alternatif lain yang memungkinkan.
8. Hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat membantu perkembangan kadar persamaan politik yang relatif tinggi.
9.    Negara – negara demokrasi perwakilan modern tidak berperang satu sama lain.
10. Negara – negara dengan pemerintahan demokratis cenderung lebih makmur daripada negara – negara dengan pemerintahan yang tidak demokratis.
Dalam pendidikan demokrasi menekankan pada pengembangan ketrampilan intelektual (intellectual skill), ketrampilan pribadi dan sosial (personal and social skill) (Zamroni, 2003). Ketrampilan intelektual menekankan pada pengembangan berpikir kritis siswa. Selama ini tampak ditekankan pada kegiatan mengakumulasi/menabung pengetahuan sebanyak mungkin kepada siswa (knowledge deposite).
Ketrampilan pribadi ditekankan pada pengembangan kepercayaan diri dan harapan-harapan diri terhadap sistem politiknya. Harapan itu misalnya bahwa sistem politik akan mengakomodasi berbagai kepentingan dirinya sebagai warga negara. Dalam kenyataan ada kecenderungan siswa dipolakan pada ketergantungan yang sangat tinggi terhadap pemerintah atau pihak lain. Sedangkan ketrampilan sosial ditekankan pada kemampuan emphatic dan respek pada orang lain, berkomunikasi dan toleransi.
Dalam pendidikan demokrasi tampak ada tuntutan kepada sekolah untuk mentransfer pengajaran yang bersifat akademis ke dalam realitas kehidupan yang luas di masyarakat. Dengan perkataan lain praktek pembelajaran dilakukan dengan materi yang substansial (konsep teori yang sangat selektif) tetapi kaya dalam implementasi. Di masa lalu pendidikan demokrasi tidak berkembang. Hal ini bisa dicontohkan pada kasus PPKn/PKn. (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan/ Pendidikan Kewarganegaraan). PPKn (versi Civic Education Indonesia) dikembangkan secara indoktrinasi, mengakumulasi pengetahuan yang kurang bermakna, bersifat hegemonic dan sering dikritik anti realitas. Nilai – nilai pluralisme di abaikan. PKn yang seharusnya dikembangkan sebagai pendidikan untuk membentuk karakter bangsa diabaikan. Sebagai pendidikan yang mengarah pada pembentukan karakter bangsa seharusnya PKn menerapkan pendekatan pendidikan multikultural (proses transformasi cara hidup menghormati, toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup dalam masyarakatnya yang plural), tetapi juga diabaikan. Padahal PKn memang merupakan pendidikan untuk mengakomodasi subyek didik yang berasal dari berbagai kadang politik, etnis dan tradisi yang berbeda – beda. Lebih – lebih dewasa ini dengan dikembangkannya otonomi daerah di bidang pendidikan, maka peran PKn menjadi sangat strategis. Karena otonomi daerah di bidang pendidikan berarti “ pendidikan bukan hanya menjadi tanggung jawab daerah tetapi juga merupakan refleksi dari identitas daerah atau budaya daerah dalam rangka pembinaan kesatuan dan persatuan nasional “(Tilaar, 2003 : 182-183).
Ketika Indonesia menjadi negara merdeka, proses menjadi bangsa Indonesia terus berlangsung (masih dalam proses pembentukan). Penduduk Indonesia baru lebih merupakan sejumlah kumpulan kelompok etnis dan ras tertentu. Sehingga tidak mengherankan dalam perjalanan sebagai negara merdeka, NKRI sering dihadapkan pada terjadinya konflik sosial yang keras dan gerakan separatis yang sangat potensial menimbulkan disintegrasi bangsa. Pada negara bangsa yang demikian, “bangsa itu akan terbentuk ketika telah adanya kesepakatan bentuk partisipasi politik dan rezim politik (konstitusi) yang hendak dikembangkan” (Ramlan Surbakti, 1992). Kesepakatan ini mulai menemukan bentuknya pada era reformasi ini.
Pengembangan PKn ke depan sebagai pendidikan demokrasi (seperti tampak pada Kurikulum 2004), tidak hanya sebatas mengembangkan warga negara yang demokratis, tetapi juga hendak mengembangkan pemberdayaan warga negara (citizen empowerment), memfungsikan sebagai pendidikan multikultural, memperkokoh nasionalisme dengan menekankan pendekatan political nation untuk melengkapi pendekatan lama yakni cultural nation. Pendidikan demokrasi melalui PKn difokuskan pada peletakkan dasar yang kokoh bagi berkembangnya civil society sebagai basis negara demokrasi.
Untuk keberhasilan pendidikan demokrasi seperti di atas, diperlukan kondisi berkembangnya kultur demokrasi. Ruy (dalam Zamroni, 2003) mengemukakan ada 4 ciri kultur demokrasi, 1) merupakan budaya campuran dari berbagai nilai-nilai dari ideologi politik yang berbeda – beda; 2) bersumber pada budaya umum dan bersifat horizontal; 3) didasarkan pada masyarakat sipil (civil society); 4) merupakan keterpaduan dari berbagai segmen masyarakat (kelompok kecil masyarakat tercermin dalam norma dan perilaku masyarakat secara keseluruhan).
Ideologi – ideologi politik di Indonesia memang beragam tetapi kini kian mencair. Hal itu bisa dilihat begitu mudahnya terjadi koalisi antara partai politik yang berbeda ideologi. Kini (menjelang pemilihan Presiden tahap kedua, 20 September 2004 ) muncul Koalisi Kebangsaan (KK) dan Koalisi Kerakyatan (KKr). KK yang terdiri dari PDI-P, Partai Golkar, PPP, PDS dan PBR. Sedangkan KKr terdiri atas Partai Demokrat, FKPI, PBB dan PKS. Polarisasi ini menurut Tamrin Amal Tomagola (2004) membelah bangsa ini menurut garis wilayah, kelas, tingkat modernitas dan ideologi. Polarisasi ini berkutub saling berseberangan dengan titik singgung yang terbatas, kekentalan luar-Jawa versus kekentalan Jawa, perkotaan vs pedesaan, kelas menengah vs kelas bawah, modernis vs tradisional, individualisme vs komunalisme dan dominasi sipil vs dominasi militer.
Gambaran polarisasi di atas, tampak memberikan kesan masih kentalnya dasar ideologi atau aliran, tetapi kesan yang lebih kuat koalisi itu dibangun atas dasar bagi – bagi kekuasaan (‘politik dagang sapi’). Dalam kenyataan, ada kecenderungan pragmatisme dan materialisme-lah yang menjadi ideologi partai politik. Berpolitik untuk memperjuangkan idealisme seperti yang tercermin dalam ideologi politik merupakan barang langka. Berpolitik untuk meperjuangkan kepentingan publik telah berganti sebagai mata pencahariaan. Berbagai kasus korupsi dikalangan pejabat publik di pusat maupun daerah mencerminkan melemahnya moralitas publik. Padahal moralitas publik merupakan perekat bangsa. Karena dalam moralitas publik kewenangan dalam membuat dan melaksanakan kebijakan, kewenangan mengalokasikan anggaran, proyek, jabatan, dan pelayanan publik, dan pengadaan dan penggunaan asset pemerintah harus diperuntukan bagi kepentingan publik, untuk semua warga negara tanpa diskriminasi.
Dalam kondisi perpolitikan tersebut di atas, maka pendidikan demokrasi telah kehilangan referensi bagaimana berpolitik yang berorientasi pada idealisme dan berpolitik yang bermoral. Oleh karena itu di kalangan masyarakat dewasa ini seperti tampak dalam pemilihan presiden ada fenomena melemahnya politik aliran dan menguatnya mesianisme (memilih karena figure, pemimpin yang mampu memberikan kesejahteraan dan keadilan atau ratu adil). Namun baik pemilih yang masih berkutat pada pertimbangan domain politik aliran dan mesianisme sama –sama masih dalam tataran pemilih emosional. Pemilih rasional tampak belum berkembang. Ini merupakan tantangan bagi pendidikan demokrasi yang berkehendak untuk mengembangkan berpolitik (memilih) secara rasional. Berpolitik rasional inilah diharapkan dapat mencegah berbagai perilaku politik yang mengarah pada konflik sosial. Dengan demikian berpolitik rasional yang dibarengi dengan komitmen moral yang tinggi merupakan unsur penting bagi pengembangan rasa kebangsaan yang kuat.
Pada sisi lain budaya umum yang bersifat horizontal yang penting bagi pendidikan demokrasi masih belum berkembang. Kultur feodalistik-lah yang berkembang. Hal ini terlihat hubungan patron-klien masih sangat kuat. Penguasa yang semestinya menjadi pelayan publik justru minta dilayani oleh masyarakat. Egalitarianisme tidak berkembang. Budaya politik demokrasi atau budaya politik kewarganegaraan (Almond & Verba, 1984) yang merupakan budaya campuran dari budaya politik partisipan, subyek dan parokhial tidak berkembang secara proporsional. Budaya politik subyek yang ditandai oleh kepatuhan tanpa sikap kritis terhadap penguasa berkembang melampaui dua budaya politik yang lain. Hal ini disebabkan antara lain kuatnya obsesi elite baik pada masa Orde Lama dan Orde Baru pada kekuasaan.
Dalam masa Orde Baru Ong Hok Ham (2002) mengambarkan bahwa obsesi elite Orde Baru (kekuasaan Soeharto yang terdiri dari berbagai aliansi militer , politik, bisnis, dll.) terhadap kekuasaan, jabatan, dan status segila obsesi orang Cina terhadap uang. Obsesi – obsesi tersebut turut menegakkan orde patrimonial dan praetorian di Indonesia. Adnan Buyung Nasution (Kompas, 15 Agustus 2004) dalam konteks ini menyatakan pada zaman Orde Lama siapa dekat kekuasaan selamat, dan akan maju. Akhirnya orang tersebut menjilat pada kekuasaan. Di zaman Soeharto kekuasaan itu ditambah dengan materi. Kalau di zaman Soekarno kekuasaan itu memiliki tujuan yang dianggap luhur karena waktu itu untuk revolusi. Dalam revolusi masih ada sesuatu yang ideal. Lepas benar atau tidak, revolusi untuk sesuatu yang dianggap luhur. Dalam zaman Soeharto kekuasaan lebih ditekankan pada tujuan ekonomi, orang mengejar materi kekayaan, kemewahan ataupun uang.
Sementara itu unsur kultur demokrasi yang berupa masyarakat sipil masih lemah. Hal ini ditandai antara lain :(1) mudahnya berkembang tindakan kekerasan baik oleh pemerintah maupun masyarakat, seperti tampak dalam pelanggaran hak asasi manusia (HAM); (2) belum kuatnya penghargaan dan toleransi terhadap pluralisme tampak pada mudahnya berkembang konflik sosial; (3) asosiasi dalam masyarakat yang mestinya independen tetapi mampu mengendalikan masyarakat politik (political society) kenyataannya mudah dihegemoni oleh penguasa maupun menjadi kepanjangan kepentingan kekuatan politik. Bahkan ada kesan mengundang kekuatan politik untuk mengkooptasi. Hal ini diperparah karena ternyata sosialisasi politik yang berkembang seperti dinyatakan
Afan Gafar (dalam Cholisin, 2004a) belum memunculkan civil society. Indikatornya antara lain (1) dalam masyarakat kita, anak-anak tidak didik menjadi insan mandiri. Anak – anak bahkan mengalami alienasi politik dalam keluarga. Sejumlah keputusan penting dalam keluarga, termasuk keputusan nasib si anak, merupakan domain orang dewasa, anak – anak tidak dilibatkan sama sekali. (2) tingkat politisasi sebagain besar masyarakat kita sangat rendah. Ikut terlibat dalam wacana publik tentang hak – hak dan kewajiban warga negara, hak asasi manusia dan sejenisnya, bukanlah skala prioritas penting. Hal ini senada dengan pendapat yang dinyatakan Prof. Sutton dalam konferensi internasional tentang Civic Education and Multiculturalism di Universitas Negeri Padang, 13 Juli 2002 ( Tilaar, 2003: 182) ”It is not enough to learn what of democracy is it also necessary to teach children and youth how to be apart of democracy”.

IV. PENUTUP
Kebijakan pendidikan seharusnya bersifat akomodatif terhadap aspirasi rakyatnya sebagai konsekuensi Indonesia menganut sistem politik demokrasi. Dengan diberlakukan otonomi daerah yang termasuk di dalamnya otonomi bidang pendidikan, maka kebijakan pendidikan yang demokratis telah mendapat wadah pengejawantahannya secara jelas. Namun dalam pelaksanaannya kebijakan pendidikan Indonesia secara umum dinilai belum memiliki orientasi yang jelas. Untuk itu dalam konteks kepentingan upaya mewujudkan integrasi bangsa perlu kebijakan pendidikan diorientasikan pada peningkatan mutu SDM dan pemerataannya di daerah.
Disamping itu pelaksanaan kebijakan yang ada masih tampak belum adanya koordinasi yang baik antara pusat dan daerah. Kondisi ini diperparah adanya kecenderungan lemahnya kemauan politik pemerintah untuk menerapkan amanat konstitusi terutama menyangkut alokasi dana pendidikan. Lemahnya kemauan politik pemerintah tersebut, tampak tidak dipersoalkan oleh DPR dan Parpol. Ke depan agar supaya kebijakan pendidikan bersifat efektif kontrol DPR dan Parpol harus kuat dan konsisten. Masyarakat juga harus melakukan tekanan (pressure) terus menerus. Hal ini penting karena ada kecenderungan kemauan dan kontrol serta tekanan tersebut lemah karena didominasi oleh pemilik modal (kuasa ekonomi).
Upaya untuk memperkuat integrasi bangsa disamping melalui kebijakan pendidikan yang demokratis juga dapat melalui pendidikan demokrasi. Pendidikan demokrasi akan dapat meningkatkan integrasi bangsa karena merupakan proses transformasi nilai-nilai daris sistem politik nasional yang telah disepakati yakni sistem politik demokrasi. Masalahnya dalam kenyataan budaya demokrasi belum berkembang dengan baik. Budaya politik di Indonesia masih didominasi oleh budaya politik non-demokrasi (feodal). Untuk itu perlu dikembangkan pendidikan demokrasi melalui PKn (Civic Education), partai politik dan asosiasi – asosiasi dalam masyarakat. Strateginya adalah menanamkan pengetahuan demokrasi yang dibarengi dengan memberikan pengalaman hidup berdemokrasi.

DAFTAR PUSTAKA
Almond, Gabriel A., Verba, Sidney.(1984). Budaya Politik (Judul Asli : The Civic Culture), Diterjemahkan Oleh Sahat Simamora. Jakarta : Bina Aksara.
Cholisin.(2004a). Konsolidasi Demokrasi Melalui Pengembangan Karakter Kewarganegaraan, dalam Jurnal Civics : Media Kajian Kewarganegaraan, Volume 1, Nomor 1, Juni 2004. Yogyakarta : Jurusan PPKn FIS UNY.
Cholisin.(2000b).Pendidikan di Indonesia dalam Perspektif Demokrasi. Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari “demokrasi di Indonesia : Dulu, Kini, dan Esok”, Penyelenggara Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, 28 Agustus 2004.
Dahl, Robert A., (2001). Demokrasi : Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi . Jakarta Yayasan Obor Indonesia.
Ham, Ong Hok.(2002). Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong : Refleksi Historis Nusantara. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
“Pendidikan Tinggi merupakan Investasi Demokrasi”, http// www.yahoo.com, 1 September 2004.
Sorenson, Georg (2003). Demokrasi dan Demokratisasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar kerjasama dengan Center for Critical Social Studies.
Sparringa, Daniel.(2004). Pemilu 2004 : Taksonomi Tema dan Isu Relevan, dalam Cahyono, M. Faried dan Triyono, Lambang (Editor). Pemilu 2004 : Transisi demokrasi dan Kekerasan. Yogyakarta : Center for Security and Peace Studies (CSPS) UGM bekerjasama dengan Friedrich Ebert Stiffung (FES) Indonesia.
Supriyoko, Ki.(2004). Meningkatkan Profesionalisme : Membangun Citra Guru di Indonesia. Makalah Seminar Sehari dan Temu Alumni FIS UNY, 12 September 2004.
Surbakti, Ramlan.(1992). Memahami Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Tamagola, Tamrin Amal.(2004). “Oligarki Militer – Muslim Perkotaan”, Kompas, 9 September 2004.
Tilaar, H.A.R. (2003). Kekuasaan & Pendidikan : Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural. Magelang : Indonesiatera.
Zamroni .(2003). Demokrasi dan Pendidikan dalam Transisi : Perlunya Reorientasi Pengajaran Ilmu – Ilmu Sosial di Sekolah Menengah, dalam Jurnal Ilmu dan Kemanusiaan INOVASI, No.2 Th. XII/2003. Yogyakarta : LP3 UMY.

PENELITIAN KUALITATIF DALAM ILMU-ILMU SOSIAL

A. Pendahuluan   Ketika kita bergaul sehari-hari seringkali kita berargumen satu sama lain. Kita bercakap-cakap untuk mempe...