Sabtu, 30 Oktober 2010

Pendidikan untuk Marwah Bangsa: Pokok Pikiran untuk Akselerasi Pembangunan di NTB


Akhir-akhir ini sering terbaca di berbagai harian daerah ini, beberapa Kabupaten/Kota telah “sukses” melantik Bupati/Walikota Terpilih yang akan menjadi Pemimpin pilihan rakyat di daerah. PGRI NTB mendukung 100% cepatnya pengakuan dan pefungsian figur-figur pilihan mayoritas masyarakat tersebut agar mereka dapat segera mengejawantahkan mimpi-mimpi mereka membangun daerah yang masih terseok mencari dan menemukan kesejatiannya ini. Harapan dan doa masyarakat bertengger di bahu-bahu kokoh mereka sebagaimana yang terlebih dahulu diembuskan dengan keras oleh Tuan Guru Bajang.
Pendidikan yang berkualitas dalam ranah manusia yang cerdas. Sebuah ungkapan yang sangat mudah diucap namun membutuhkan jutaan tetes keringat untuk merealisasikannya, ratusan ribu kesabaran untuk membedahnya, atau puluhan ribu prihatin yang dapat menyentuh filosofinya. Mengapa? Sebab hanya dengan tetesan keringat yang memadai, kesabaran dan prihatin yang mengakar yang dapat menguatkan otot kakinya agar dapat mengejar ketertinggalannya yang terpaut begitu renggang.

Daerah ini bukan hanya tertinggal dalam angka-angka sebagaimana yang tercantum dalam hasil survey Bank Dunia, akan tetapi lebih dari itu. Pendidikan kita kehilangan kesejatiannya. Tugas kita semua, guru, dosen, orang tua, masyarakat, media massa, akademisi, birokrat, teknokrat, aristokrat, sekolah, perguruan tinggi dan sebagainya adalah mengawal pendidikan di Bumi Gora ini yang memenuhi entitas ’marwah” (harga dirinya).
  Apabila pada tahun 1977 Mohtar Lubis menyampaikan enam ciri manusia Indonesia yaitu: (1) hipokrit alias munafik, (2) enggan bertanggung jawab atas perbuatan dan keputusannya, (3) berjiwa feodal, (4) percaya takhayul, (5) artistik, dan (6) berwatak lemah, sementara Koentjara-ningrat menyebutkan bahwa manusia Indonesia bermental “menerabas.” Sekarang ini karakter buruk itu seolah semakin memperoleh pembuktian melalui lakon perpolitikan dan tayangan TV tanah air, atau banyaknya orang tua yang cekikikan melihat anak gadisnya yang modis hanya dengan celana kolor berkeliling kota yang katanya maju dan religius ini. Lalu… harga dirinya? Harga diri orang tuanya? Harga diri guru-gurunya? Marwah pendidikannya?
Akal sehat bangsa justru kian tumpul. Pemecahan masalah bangsa seringkali menampakkan struktur logika yang kacau. Seolah tak mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk. Menguntungkan atau merugikan. Pada tingkat grass root fenomena irrasionalitas kian nyata. Demonstrasi brutal, sinetron klenik, tayangan kriminalitas, dan infotainment kawin-cerai mendedah masyarakat setiap saat. Menyodorkan referensi keberingasan dan mistik sebagai jalan pemecahan masalah.
Enam puluh empat tahun sudah langkah negeri ini seperti terseok bahkan seringkali tampak bergerak membelakangi arah yang semestinya dituju. Fenomena ini tentu saja merupakan perolehan kumulatif yang berkorelasi dengan sistem pendidikan nasional. Pendidikan kita rupanya belum berhasil mencerdaskan dan membangun karakter bangsa yang kuat.
C.E. Beeby (1975) mengilustrasikan bahwa sejak awal kemerdekaan tidak tampak adanya bukti-bukti pemikiran atau kebijakan yang serius dan sistematis mengenai cocok-tidaknya sistem pendidikan dan persekolahan kita dengan kebutuhan bangsa merdeka yang dilayaninya. Gagasan-gagasan pendidikan negeri ini kabur dan hampir tidak beranjak dari konsep kebijakan politik etis pemerintah kolonial Belanda.
Apanya yang tidak berubah? Terjadi pengabaian terhadap pendidikan yang mengakibatkan kemerosotan kualitas kehidupan bangsa yang berlarut. Semasa Orde Baru, karena diawali situasi keuangan yang sulit, upaya pencerdasan bangsa dimaknai sebagai pengembangan SDM di bawah payung pertumbuhan ekonomi semata. Meskipun pertambahan jumlah sekolah cukup tinggi dan hampir berbanding sejajar dengan pertumbuhan penduduk, namun penurunan mutu terus berlangsung sehingga menghasilkan kualitas manusia Indonesia yang di era reformasi ini semakin jelas kelemahannya.
Sekali lagi saya katakan bahwa permasalahan pendidikan di negeri ini bermula dari ketidakpedulian dan atau ketidaktahuan para penyelenggara Negara tentang peran penting pendidikan dalam kemajuan bangsa. Pendidikan selalu digampangkan dengan dianggap sebatas sekolah atau pemberantasan buta huruf. Akhirnya kini pendidikan kita mengalami masalah kronis pada setiap ranahnya.
Pertama, secara fundamental pendidikan kita belum memiliki kejelasan filosofi yang mampu menjawab pertanyaan mengenai untuk apa pendidikan/ per-sekolahan diselenggarakan. Kita memang memiliki UUD 1945, UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen sebagai formulasi aspirasi yang memandu segenap aktivitas pendidikan. Tetapi objektivikasi perangkat normatif itu kedalam politik dan operasi pendidikan kita senantiasa samar. Kekaburan paradigma ini menyebabkan penyelenggaraan pendidikan kita mengalami ketidaktepatan sasaran (mismatch). Tidak menjawab kebutuhan dan persoalan  masyarakat pendukungnya.
Alhasil, gejala umum mismatch tersebut ditunjukkan oleh kapabilitas lulusan yang selain tidak memiliki kesesuaian kualifikasi dalam konteks perekonomian, juga ketidaksiapan mental; misalnya nalar dan etos kerja, keterampilan, entrepreneurship, dan leadership untuk menangani keberlangsungan sebuah tatanan masyarakat yang semakin kompleks, maju dan modern yang beradab.
Kedua, pada ranah struktural. Politik pendidikan kita dari masa ke masa dijalankan dengan orientasi kekuasaan. Tidak mengacu pada prinsip-prinsip ilmiah ilmu pengetahuan, ilmu pendidikan, kearifan budaya lokal yang bebas nilai, dan pengalaman negara-negara maju. Kebijakan pendidikan nasional seringkali  didasarkan atas trial and error, hit and run (tidak konseptual) dan kick and rush (plesetan dari “cekik dan peras” atau proyekisme) sehingga menghasilkan berbagai anomali dalam operasinya. Munculnya BHP, SSN, RSBI, BNSP yang super power, ujian nasional, dll adalah buah pahitnya.
Birokrasi pendidikan hendaknya tidak dikelola oleh kebanyakan orang yang tidak memiliki kompetensi, track record dan keberpihakan pada masalah pendidikan; tidak memuliakan ilmu pengetahuan, pendidikan dan guru. Perilakunya berorientasi kekuasaan, kepentingan dan masih bersemangat korupsi. Akibatnya, berbagai kebijakan dalam implementasinya seringkali khazanah perubahan mengalami kendala pada meja birokrat pendidikan.
Ketiga, pada tingkat operasional. Praktik pendidikan kita ditandai oleh kekacauan kurikulum dan birokratisasi pembelajaran. Sebagai akibat ketidakjelasan visi dan berbagai kepentingan politik. Maka kurikulum kita terombang-ambing tanpa juntrungan dengan beban yang amat sarat. Sementara metodologi dan kinerja guru diabaikan sehingga hampir tidak tersentuh pembaruan.
Kearifan dan wawasan guru semakin berkurang menjadikan pembelajaran sekedar sebuah proses transaksional yang hampa. Dalam situasi itu tidak mengherankan apabila problem utama sekolah kita adalah “praktik kelas” yang pasti menjanjikan kebosanan. Namun demikian, saya berterima kasih kepada para guru yang mau berevolusi. Merubah paradigma mengajarnya yang inovatif, kreatif dan menyenangkan.
Keempat, secara finansial. Meskipun ketentuan UUD 45 pasal 31 ayat 4 berbunyi “memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD,” pemerintah terkesan segan memenuhinya. Setelah berkali-kali Mahkamah Konstitusi (MK) memutus pemerintah bersalah, barulah setahun terakhir ini anggaran pendidikan mencapai 20% APBN, itu pun termasuk gaji guru dan anggaran pendidikan kedinasan. Pada tingkat daerah, tidak lebih dari 10% pemerintah daerah yang telah mengalokasikan 20% APBD untuk pendidikan dalam skema perhitungan yang benar. Syukurnya dari angka 10% tersebut NTB terdaftar di dalamnya.
Bukanlah ketiadaan dana yang melatari keengganan pemerintah meningkatkan anggaran pendidikan. Tetapi lebih disebabkan kekeliruan memaknai hakikat pendidikan. Pendidikan dipersepsi “an-sich,” terlepas dari pembangunan ekonomi dan budaya sehingga belanja bidang pendidikan dianggap bukan “investasi” yang berimplikasi pada bidang lainnya. Selain itu, ada pikiran bahwa tanggung jawab pemerintah terhadap pembiayaan pendidikan tidaklah sepenuhnya, karena pasal 36 UU Sisdiknas mengharuskan adanya peran serta masyarakat. Padahal dalam penjelasan ayat tersebut, peran masyarakat sebenarnya lebih bersifat filantrofi.
Kelima, ranah kultural. Masyarakat kita belum menjadi sebuah masyarakat pembelajar (learning society). Belajar dan sekolah masih sebatas formalitas karena gelar dan sertifikat merupakan status sosial dan persyaratan utama dalam mencari pekerjaan. Mudah dipahami jika masyarakat kita sekarang mudah terserang “diploma diseases” yang melahirkan praktik perdagangan ijazah, jual beli nilai, kelas jauh, dan praktik-praktik irrasional lainnya yang serba instan.
Diperlukan reformasi total pendidikan adalah kata kunci.  Salah satu contoh adalah pencanangan Guru sebagai Profesi merupakan gagasan reformasi dalam bidang pendidikan. Namun, bila pemerintah sudah merasa puas dengan gerakan itu saja, pendidikan nasional dapat dipastikan kurang memiliki efektifitas dan makna yang menyentuh, sebelum pemerintah menjadikannya sebagai sebuah Gerakan Nasional dengan gerbangnya PENDIDIKAN SEBAGAI AGENDA NASIONAL UTAMA. Setelah itu barulah langkah-langkah terpadu dijalankan seperti: (1) meletakkan pendidikan nasional yang berkeadilan dan hak semua warga negara sebagai bagian dari strategi pembangunan ekonomi dan kebudayaan jangka menengah dan jangka panjang. (2) Tindak politik pendidikan hendaklah selalu didahului oleh studi dan kajian terhadap situasi dan teori. Misalnya, Gubernur, Bupati/Walikota seyogyanya memiliki  staf khusus bidang pendidikan. Bila dipandang perlu ada komisi yang independen yang bertugas sebagai pemikir dan pengawas kebijakan pendidikan di daerah. Bukankah Restorasi Meiji Jepang diawali pembentukan tim yang dipimpin Pangeran Iwakura Tomomi. Tim berkeliling dunia selama dua tahun (1871-1873) dengan misi mencari blue print untuk memodernisasi Jepang secepat mungkin, termasuk cetak biru sistem pendidikan yang terbaik bagi Jepang. Jabatan Kepala Dinas Dikpora janganlah dijadikan sekedar hadiah hiburan untuk sebuah partai politik karena pendidikan adalah pertaruhan masa depan bangsa. Kepala Dinas Dikpora dan struktur ke samping dan ke bawahnya   haruslah personal yang bukan sekedar memiliki kapabilitas, tetapi juga memiliki ideologi pendidikan yang memadai. (3) Membuat rencana jangka panjang kebijakan pembangunan pendidikan di Provinsi, Kabupaten/Kota tentang guru dan tenaga kependidikan yang terintegrasi dengan berbagai sektor. Jati diri guru harus segera dikembalikan sebagai profesi yang bermartabat dan berbudaya. Model rekrutmen, pengembangan karir dan penggajian guru diatur dalam undang-undang tersendiri. Hal-hal yang melecehkan profesi guru seperti diseret dalam kepentingan politik penguasa, proyekisme, honor guru tidak tetap/swasta yang sangat rendah dan berbagai bentuk anomali lainnya harus dihentikan. Organisasi profesi guru/PGRI menjadi mitra strategis pemerintah dalam merumuskan, mengimplementasikan dan mengevaluasi kebijakan tentang guru. (4) Merombak kurikulum, orientasi dan metodologi pembelajaran. Jumlah mata pelajaran harus dikurangi, menempatkan pendidikan yang membentuk karakter sebagai acuan utama dan porsi yang cukup, pengadaan buku, sarana dan prasarana diwajibkan melalui uji kelayakan. (5) Mengefektifkan penggunaan dana pendidikan melalui penertiban proyek-proyek yang ada. Quality and relevance of spending menjadi acuan dalam alokasi anggaran. Melakukan kerjasama dengan KPK dan berbagai lembaga penegak hukum untuk memberantas korupsi di jajaran Dikpora dan jajarannya. Melibatkan berbagai komponen masyarakat termasuk organisasi profesi seperti PGRI dalam melakukan pengawasan eksternal dalam penggunaan dana pendidikan. Menetapkan sekolah gratis hingga jenjang pendidikan menengah dengan baik sesuai unit cost yang dibutuhkan, tanpa mengurangi kesejahteraan guru. Mencapai Angka Partisipasi Pendidikan Tinggi sekurang-kurangnya 50%. (6) Mengubah paradigma masyarakat terhadap  pendidikan melalui pengembangan pendidikan diploma atau politeknik yang difasilitasi dengan lapangan kerja sejalan dengan visi dan kebijakan dalam bidang perekonomian dan ketenagakerjaan. (7) Karena masyarakat juga merupakan ranah pendidikan, maka lakon para pemimpin, media massa dan masyarakat itu sendiri perlu pembudayaan penggunaan akal sehat. Masyarakat pembelajar (learning society) tak mungkin tercipta jika negeri ini tidak mengedepankan pendidikan.
Terakhir, harapan seorang guru untuk Pemerintah Daerah, Anggota Dewan, praktisi pendidikan, akademisi dan segenap komponen bahwa pendidikan adalah sebuah kompleksitas yang berhubungan dengan kemanusiaan dalam dimensi-dimensi ruang dan waktu. Maka menangani pendidikan memerlukan kesungguhan dan kearifan. Hanya dengan demikian derajat bangsa ini akan terangkat. Arti 65 tahun akan membawa makna yang dalam sehingga jati diri bangsa ini dapat segera menjelang, terpatri dalam setiap sanubari masyarakat NTB yang cerdas dan BERSAING. Semoga!

Tidak ada komentar:

PENELITIAN KUALITATIF DALAM ILMU-ILMU SOSIAL

A. Pendahuluan   Ketika kita bergaul sehari-hari seringkali kita berargumen satu sama lain. Kita bercakap-cakap untuk mempe...