Sabtu, 30 Oktober 2010

Mencintai Bahasa Indonesia Berarti Cinta Tanah Air, Bangsa dan Negara

PENDAHULUAN
     Bahasa adalah alat komunikasi. Bahasa juga dianggap sebagai alat pemersatu bangsa. Lalu bagaimanakah arti pentingnya mencintai bahasa Indonesia sebagai perwujudan rasa cinta tanah air, bangsa dan negara khususnya bagi kaum muda?
     Banyak orang mengkhawatirkan semakin menurunnya minat dan kebanggaan kaum muda usia menekuni, mempelajari, menggunakan bahasa Indonesia dalam berbagai tindak bahasa. Namun tidak sedikit pula yang mengacungkan jempol ketika beberapa gelintir kaum muda mampu menorehkan prestasi dalam berbagai kegiatan tentang berbahasa Indonesia. Di Kota Mataram, misalnya, perolehan nilai UN tertinggi diraih mata pelajaran bahasa Indonesia baik di tingkat SD, SMP maupun SMA (Dikpora Prov. NTB, 2008). 
Lalu apa yang membuat risau? Fenomena apa yang menjadikan para praktisi bahasa gundah-gulana? Kenyataan apa yang memaksa para pakar bahasa khawatir?
   “Cinta para pemuda terhadap bahasa Indonesia semakin meluntur. Mereka lebih cenderung menggunakan bahasa gaul seperti dalam sinetron,” demikian Br. Gerard (2008).  Mendiknas pun mengatakan bahwa ada keprihatinan terhadap gejala bahasa yang terjadi, terutama kepada para pelajar. Dengan masuknya modernisasi membuat bahasa semakin ditinggalkan oleh generasi muda seperti yang terjadi saat ini (Sudibyo, 2008). Komentar yang sama juga dikemukakan seorang penulis kondang Korrie Layun Rampan (2007) bahwa persoalan bahasa merupakan persoalan yang sepele, namun jika tidak cepat diantisipasi bahasa Indonesia yang sesungguhnya akan hilang akibat perkembangan modernisasi di segala aspek kehidupan. 
Sesungguhnya masih banyak fenomena lain yang muncul dari kalangan masyarakat Indonesia sendiri yang dianggap potensial untuk semakin menyamarkan bahasa Indonesia. Bahasa sinetron, bahasa SMS, bahasa surat pribadi, iklan produk di media massa, sampai pada lawakan-lawakan menyambut Sumpah Pemuda 2008 pun menggunakan  bahasa “prokem” yang sangat mengganggu. 
Dunia pendidikan pun tidak luput dari sorotan. Kualitas pembelajaran bahasa Indonesia di berbagai tingkat pendidikan. Munculnya kelas-kelas bilingual dan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang mewajibkan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Bahasa presentasi para elit negeri ini yang cenderung menggunakan porsi bahasa asing cukup signifikan. Semua itu adalah fenomena-fenomena yang tidak kecil dalam menyumbang kekhawatiran tentang kelestarian bahasa Indonesia. Lalu, apakah kita orang Indonesia benar-benar telah menjaga bahasa Indonesia seperti sumpah kita, sebagai wujud kecintaan kita kepada tanah air, bangsa dan negara Indonesia tercinta ini?



Mencintai Bahasa Indonesia Berarti Setia Menggunakannya
Dalam sebuah penerbangan Mataram - Jakarta dua orang sahabat bersenda- gurau di ruang tunggu sambil memainkan telepon seluler di tangannya masing-masing. “Koq, pake bahasa Indonesia, seh? Kuno, lu!” suara salah satu dari mereka yang terakhir saya dengar dipanggil Ati mengejek.
“Ponaanku yang di Satelindo mengubah semua fitur HP ini minggu kemarin. Emang kenapa juga? Saya suka, koq! Lagian perintah-perintahnya lebih mudah dipahami, sederhana dan akrab dari pada menggunakan bahasa Inggris,” jawab temannya mantap.
Penggalan percakapan di atas menunjukkan bahwa betapa beberapa dari orang Indonesia sendiri menganggap menggunakan bahasa Indonesia di era global ini adalah sesuatu yang kuno. Sesuatu yang tidak layak. Menurunkan prestise. Mereka tidak tahu bahwa bahasa Indonesia saat ini sedang dipelajari secara intensif di lebih dari 50 negara di dunia. Orang-orang yang tidak dilahirkan di tanah yang bernama “Indonesia” saja mempelajari bahasa Indonesia. Bahkan di Jepang, saat ini menurut Edison Munaf (Atase Pendidikan dan Kebudayaan di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Tokyo) bahwa ternyata minat orang Jepang mempelajari Bahasa Indonesia sangat tinggi dan tiap tahun jumlahnya terus meningkat karena mereka ingin lebih mengenal Indonesia di samping untuk urusan pekerjaan.
Sejak tahun 1992 dimulainya Ujian Kemampuan Bahasa Indonesia, sampai kini tercatat lebih dari 11.943 peserta yang telah mengikuti tes kemampuan berbahasa Indonesia dalam berbagai level atau tingkatan di Jepang. Dari 11.943 peserta yang mengikuti tes itu, lulus 4.584 orang dengan kategori lima penerjemah ahli (minimal belajar bahasa Indonesia enam tahun lebih). Sebanyak 57 orang lulus pada level A dengan lama belajar lebih dari lima tahun, dan lainnya sebanyak 237 orang untuk level B lama belajar antara 3-5 tahun. Masyarakat Jepang banyak yang tertarik mempelajari bahasa Indonesia untuk lebih mengenal keragaman budaya Indonesia. Selain itu, untuk lebih mengenal Indonesia dan untuk urusan pekerjaan yang berhubungan dengan Indonesia.
Kini, diyakini minat masyarakat Jepang belajar bahasa itu lebih meningkat terkait telah ditandatanganinya EPA (Economic Patnership Agreement), satu kerja sama pelindungan lingkungan antara kedua Negara Indonesia dan Jepang yang berlaku efektif 1 Juli 2008. Yang lebih menggembirakan lagi, 84 persen peserta yang mempelajari bahasa Indonesia berasal dari kalangan generasi muda.
Lalu, bagaimana dengan si Ati (nama aslinya Sumiati) yang dilahirkan di Karang Pule Mataram itu demikian gerahnya ketika temannya menggunakan bahasa Indonesia di telepon selulernya?
Pergeseran Cara Pandang Mencintai Bahasa Indonesia
Wahyu Wibowo (2008) salah seorang Guru Besar, Penyair, Penulis Buku, dan Pembicara dalam berbagai kegiatan pemurnian bahasa Indonesia dalam artikelnya menyatakan bahwa ...“Perhatikanlah dengan saksama, sebenarnya bangsa Indonesia tidak mengenal bahasanya dengan baik, kecuali mencintainya secara membabi-buta. Itu sebabnya, demi alasan kritis, kita kini memang butuh pencerahan dalam mencintai bahasa Indonesia.”
Profesor ini memandang mencintai bahasa Indonesia bukanlah semata-mata dengan merumuskan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang bahasa Indonesia yang kemudian hanya menjadi kitab suci yang kadang tidak terjamah sama sekali oleh sebagian besar pemakai bahasa. Menurutnya, penggunaan bahasa Inggris yang disandingkan dengan bahasa Indonesia dalam berbagai konteks kegiatan kemasyarakatan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti apalagi dihindari. Sebab menguasai bahasa Inggris dalam kancah kehidupan modern seperti saat ini merupakan suatu keharusan. Dengan demikian, bukanlah berarti orang Indonesia harus meninggalkan akar budaya bahasa Indonesia. Munculnya berbagai menu dalam bahasa Inggris pada setiap teknologi informasi dan komunikasi bukanlah sesuatu yang harus dianggap sebagai momok, akan tetapi hendaknya disikapi secara lebih arif.
Menurut saya, sebagai putra Indonesia yang dilahirkan di Bima, bahasa ibu saya adalah bahasa Mbojo, saya belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua, karena saya mempelajarinya di sekolah atau di tempat lain, demikian bangga mempunyai bahasa pemersatu yaitu bahasa Indonesia. Tetapi, saya dan anak cucu saya pun berhak mempelajari bahasa Inggris, Arab, Prancis, Jepang, Mandarin, Rusia, atau bahasa lainnya agar saya dapat mengenal mereka lebih dalam. Sekalipun demikian, bahasa Indonesia yang sudah mendarah daging  dalam diri saya dan keturunan saya akan saya jaga, akan saya perkuat, akan saya tumbuh kembangkan sehingga saya benar-benar mengenal negeri saya sendiri lalu setia memperjuangkannya.
Hal ini dapat dianalogikan dengan pendapat Wittgenstein (1983) bahwa tiap bahasa dalam konteks pemakaiannya memiliki tata permainannya sendiri. Implikasinya, bahasa adalah pengungkap segala realitas yang lekat dengan hakikat kehendak bebas manusia yang melandasi nilai-nilai kreativitas, nilai-nila etik, dan nilai-nilai estetika.
Dengan demikian, Undang-Undang tentang kebahasaan itu tetap perlu sebagai pangkal tolak bagi pemurnian bahasa. Namun tidak dijadikan sebagai alat untuk menyalahkan pengguna bahasa ketika masyarakat pemakai bahasa menggunakan bahasa lain dalam konteks-konteks tidak resmi. Sesungguhnya bahasa itu hidup. Berevolusi, dan berkembang. Satu hal yang perlu dijaga adalah bahasa Indonesia harus tetap menjadi akar budaya bangsa ini.
Hegemoni Monolitisme
Kalau mau membuka mata, monolitisme ini sebagaimana kita tahu adalah warisan semangat empiris-positivisme yang tumbuh pada abad ke-17 di Eropa, yang kemudian dikembangkan begitu rupa sejak awal abad ke-20 oleh kaum linguis strukturalisme-empiris Perancis dan AS pengikut Ferdinand de Saussure. Mungkin kita juga sudah tahu, kaum linguis strukturalisme-empiris pada umumnya menganggap bahwa bahasa dapat dilepaskan dari masyarakatnya atau bahasa tidak berkaitan dengan sejarahnya, Wahyu Wibowo (2008). Anggapan yang menurut saya agak sembrono ini (mengingat ucapan Hegel bahwa "akulah yang menciptakan sejarah"), memang membuat repot kita bangsa Indonesia dalam menyikapi bahasa kita. Ironisnya, hal inilah yang kini tengah menghantui bahasa Indonesia dalam pemetaan penggunaan dan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi.
Sederhananya, pendapat tokoh gerakan Filsafat Bahasa kelahiran Wina (1889) ini, Saussure,  tentang asal-usul alamiah bahasa yang kemudian menjadi dasar linguistik strukturalisme modern itu sebenarnya kurang mendapat respon di negara-negara Anglo Saxon dan Melayu. Hal ini mengimbas pada kekhawatiran yang cukup mendalam demi melihat berbagai pemakaian bahasa Indonesia yang diplesetkan. Bahasa pasar dan bahasa prokem yang sangat bertentangan dengan jargon “Gunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar” menjadi bertolak belakang seperti dua sisi mata uang.

Habitus Linguistik (Kebiasaan Berbahasa)
Dari hal di atas, nyatalah bahwa bahasa Indonesia terkungkung oleh "habitus linguistik" dan "pasar linguistik". Kedua istilah yang dilansir oleh Bourdieu (2004) ini hendak menggarisbawahi bahwa pada hakikatnya bahasa amat dipengaruhi oleh kecenderungan budaya masyarakatnya dalam mengungkapkan segala realitas. Namun, kecenderungan itu dipagari oleh sanksi dan sensor dari masyarakat itu sendiri sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang dihayati mereka. Jadi, terdapat 1001 alasan mencintai bahasa Indonesia tanpa perlu mengedepankan sikap romantisme atau nasionalisme yang membabi-buta.
Bahasa Indonesia pada hakikatnya sudah  memiliki daya sihir, daya mistis, atau daya sakral, sebab sejak lahir ia sudah memiliki tata permainannya sendiri. Kita saja yang mungkin tidak mampu memahami dan sekaligus mengaplikasikannya, sekalipun usianya sudah 80 tahun. Ketidakmampuan ini pula yang lantas mewujudkan kehendak kita untuk terus mengembangkan, menelaah, mengkaji dan menggunakan bahasa Indonesia ini secara paripurna dalam setiap bentuk tindak berbahasa.
Lalu? Sebagai pemuda-pemudi Indonesia, mengapa kita mesti mengedepankan bahasa-bahasa tutur “murahan” seperti prokem untuk mengutarakan setiap maksud. Mengapa pula tidak kita menggunakan istilah asli bahasa Indonesia sekalipun kadang kita harus menyingkat kata untuk alasan efisiensi?
Jadi mulailah dari sekarang membiasakan diri menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hindari sebisa mungkin menggunakan istilah-istilah prokem  yang kita sangat sadari dan ketahui tidak akan bertahan lama. Pendek umurnya ketika ungkapan-ungkapan lain yang lebih “menarik” muncul di kalangan masyarakat kita.
PENUTUP

Mencintai bahasa Indonesia kata lainnya adalah setia menggunakan bahasa Indonesia dalam berbagai kesempatan. Apalagi pada kesempatan-kesempatan resmi. Sebagai generasi muda, tugas utama kita adalah menjaga, mencintai, menggalakkan dan memurnikan bahasa Indonesia dari unsur-unsur yang merusak. Generasi muda perlu dibina dan disadarkan agar benar-benar mencintai bahasa Indonesia sebagaimana kita semua telah bersumpah bahwa Indonesia adalah bangsa, bahasa dan tanah air kita.

KEPUSTAKAAN

Bourdieu, Felix. 2004. Epiphenomenon on Linguistic, Ney York: McGraw-Hills Comp.
Prastowo, 2008. Mencintai Bangsa Lewat Bahasa, depdiknas.go.id.
Ramadhan, Stevan. 2008. Bahasa Indonesia Telah Diajarkan di 50 Negara di Dunia, www.isekolah.org
Rampan, Korrie Layun, 2007. Sekelumit Persoalan Bahasa Indonesia, Jakarta : PT. Alfabeta.
Wahyu Wibowo, 2008. Mencintai Bahasa Indonesia dengan Kritisisme, www.kabarindonesia.com.
Weruin, Bruder Gerardus 2008. Perlu Kampanye Bersama Mencintai Bahasa Indonesia, Pontianak : Pijar Publishing.
Wittgenstein,W.1983. Linguistics:An Applied Science for Society, Oslo: Mcmilan.

Tidak ada komentar:

PENELITIAN KUALITATIF DALAM ILMU-ILMU SOSIAL

A. Pendahuluan   Ketika kita bergaul sehari-hari seringkali kita berargumen satu sama lain. Kita bercakap-cakap untuk mempe...