Sabtu, 19 Februari 2011

FALSAFAH KEPEMIMPINAN MANGGUSU WARU (Catatan Kritis)



Sumber: http://fitua.blogspot.com/

Dalam tradisi filsafat tua masyarakat Bima, kita mengenal adanya istilah Manggusu Waru yang selain dimaknai sebagai corak atap bangunan khas Bima, juga dijadikan semacam symbol kepemimpinan ideal dalam kultur masyarakat Bima. Jika diartikan secara terminology modern, Manggusu Waru adalah delapan criteria umum yang harus dipenuhi oleh seorang calon pemimpin sebagai pembuktian atas kepantasan, kepatutan dan kelayakan dirinya untuk mengemban amanah. Kriteria ini bukan hanya berlaku pada medium kepemimpinan elite, tetapi juga sampai pada lapisan-lapisan masyarakat terkecil, yang dalam struktur majelis hadat kesulthanan kita mengetahui adanya strata Gelarang, Nenti rasa, Jeneli, Bumi, Dari dan Tureli.
Saya akan mencoba mentransformasikan butir-butir Manggusu Waru itu sebagai berikut :


1. Ma To'a di Ruma Labo Rasul (Kecerdasan Spiritual)
Ini adalah nilai dasar yang menjadi fundamen penting seorang manusia sebagai khalifatullah fil ardli. Sesuai pula dengan penegasan Kitab Suci, “Athi’ullaaha wa athi’ur Rasula wa Ulil Amri minkum”. Ketaatan dan kepatuhan tanpa syarat kepada Tuhan berarti adanya keteguhan aqidah yang terpateri secara mendalam pada diri seorang calon pemimpin, dengan kesadaran ini seorang pemimpin akan menempatkan dirinya sebagai hamba yang tidak sempurna dalam segala hal. Kesetiaan kepada Rasul adalah manifestasi seorang pemimpin sebagai penerima dan pengikut sebuah ajaran syariat, konsekuensi logisnya ia akan menjadikan pedoman-pedoman Rasul sebagai sumber segala keteladanan dalam berpikir, berpijak, bertindak dan berkiprah di hadapan rakyatmya. Ketaatan kepada Tuhan dan Rasul menjadi semangat utama yang mengisi ruang spiritual seorang pemimpin, adanya hubungan ubudiyah yang absolut-transenden dengan ranah metafisik keyakinannya. Sehingga visi dan misi keberpihakannya kepada masyarakat benar-benar dapat dipertanggungjawabkan sejalan dengan amanat dan koridor Kitab Suci, dengan menjunjung tinggi nilai kemaslahatan dan keadilan di atas segala-galanya. Dalam tradisi Kesulthanan Bima, seorang Raja menyandang gelar ekstra sebagai Zilullaahi Fil Alam atau Bayangan Tuhan di Alam Semesta, ini adalah pemuliaan sekaligus beban tanggungjawab yang disandang oleh seorang Sulthan, yang berarti bahwa segala perbuatan dan kebijakannya senantiasa dalam pengawasan Tuhan. Ini merupakan suatu penitikberatan dimana perlunya Kecerdasan Spiritual dan Loyalitas Iman dimiliki oleh seorang pemimpin.

2. Ma Loa Ro Bade (Kapasitas Intelektual)

Kata “Loa” secara etimologis lebih dekat pada makna “Cerdas” , yang berarti bahwa seorang pemimpin mempunyai kemampuan kognitif yang cukup baik dalam penguasaan berbagai cabang ilmu. Kecerdasan ini tentu saja merupakan kombinasi antara kecerdasan yang diperoleh melalui pendidikan formal dan pengalaman empirik otodidaktis seorang pemimpin. Sedangkan kata “Bade” lebih bermakna “Bijaksana”, karena kecerdasan saja tidak cukup untuk melandasi pengambilan setiap kebijakan, maka dengan kebijaksanaan yang dimilikinya seorang pemimpin dapat menyertakan pertimbangan-pertimbangan keadilan dan kemaslahatan dalam sebuah tindakan dan kebijakan yang diambilnya. Karena itu pula, ada petuah Bima yang menyatakan, “Loa watipu tantu bade, bade watipu tantu bae ade”, yang bermakna Cerdas belum tentu Bijak, Bijak belum tentu Mawas Diri. Secara sederhana, seorang pemimpin harus melengkapi dirinya dengan kapasitas intelektual yang mumpuni, selaras dengan kebutuhan dan situasi di mana Ia sedang memimpin.

3. Ma Mbani ro Disa (Tegas dan Berani)
Kata “Mbani” dalam bahasa Bima sebenarnya berarti Marah. Sedangkan kata “Disa” berarti Berani. Namun secara terminologis, kalimat itu bermakna bahwa seorang pemimpin perlu memiliki ketegasan dalam mengambil setiap keputusan, dan mempunyai keberanian dalam menantang setiap resiko yang menjadi konsekuensi dari keputusannya. Tentu saja, meski ketegasan dan keberanian itu menjadi ciri kepribadian, tetapi Ia harus tetap menjaga stabilitas temperamen dan emosinya agar tidak terjebak pada tindakan yang keluar dari koridor etika. Dengan sikap ini Ia akan lebih terlihat berwibawa, memiliki otoritas dan integritas pribadi yang diakui oleh banyak orang.

4. Ma Bisa ro Guna (Berwibawa dan Kharismatik)
Lazimnya orang Bima memaknai kata-kata ini sebagai ciri seorang pemimpin yang sakti mandraguna. Ini adalah warisan pemahaman sejak zaman raja-raja yang meretas mitos turun temurun dengan berbagai macam cerita rakyat yang melegitimasinya. Padahal, kata Bisa Ro Guna lebih tepat diartikan sebagai kharisma sebagai suatu kelebihan yang bersifat psikomotoris. Jika dielaborasi lebih luas, maka kata Bisa Ro Guna sesungguhnya berarti bahwa seorang pemimpin perlu memiliki multi talenta atau serba bisa, sehingga dengan kelebihan yang dimilikinya dapat berguna bagi semua orang. Kesaktian, yang bagi masyarakat awam cenderung ditafsir sebagai ilmu ladunni atau ilmu-ilmu keramat tertentu, sesungguhnya tidak lantas menyebabkan kita melihat seorang pemimpin sebagai Superman. Bagi orang Bima, mistifikasi masih menjadi alat jitu untuk memikat setiap orang, dengan mengulas hal-hal yang bersifat magis dan mistis, seseorang dapat melegitimasi tindakan-tindakannya agar disegani oleh orang lain. Padahal, hal-hal yang bersifat absurd dan transenden tidaklah perlu disuguhkan secara akrobatik pada khalayak umum, apalagi seorang pemimpin yang menjalankan tugas dan fungsinya secara normatif, harus menjauhi upaya-upaya mistifikasi atas sebuah kesaktian, meskipun kita tidak bisa membantah bahwa dulunya hal-hal semacam itu benar-benar ada. Di era kekinian ini, kita sebagai kelompok rasional terpelajar perlu menggeser paradigma kesaktian mistis ini menjadi kesaktian intelektual, kesaktian gagasan dan kesaktian pengabdian.

5. Mantiri Nggahi ro Kalampa (Berkomitmen Dan Berdedikasi)
Seorang pemimpin perlu membuktikan keselarasan antara tutur kata dan perbuatannya. Dalam hal ini, bobot kejujuran dalam berucap dan keikhlasan dalam bertindak menjadi indikator penting terhadap integritas dirinya, karena bagaimana pun juga komitmen perilaku seorang pemimpin senantiasa dijadikan acuan dan panutan dari setiap orang yang sedang dipimpinnya.

6. Mapoda Eli ro Paresa (Konsisten dan Teliti)
Kata “Eli” di sini lebih bermakna sebagai titah atau perintah. Sedangkan “Paresa” berarti Memeriksa dengan teliti dan akurat. Sesuai pula dengan nilai-nilai yang terkandung dalam prinsip penegakan Clean and Good Governance, bahwa seorang pemimpin harus menerapkan manajemen kepemimpinan yang tetap menjunjung tinggi asas Transparansi, Akuntabilitas, Efektifitas dan efisiensi dalam setiap kebijakannya. Kata “Paresa” secara kontekstual akhirnya dapat pula dimaknai sebagai adanya sebuah sistem pengawasan melekat dan evaluasi kinerja yang berkelanjutan oleh pemimpin itu. Point ini mengisyaratkan adanya keterpaduan prinsip dasar manajemen kepemimpinan modern.

7. Matenggo ro Wale (Ketahanan Fisik Yang Baik)
Kata “Tenggo” berarti Kuat, sedangkan “Wale” berarti Rajin atau gigih. Jika aspek lain lebih menyorot hal-hal yang bersifat emosional dan kognitif, maka aspek ini sangat menitikberatkan kapabilitas fisik. Seorang pemimpin haruslah pribadi yang mapan secara fisik, sehat dan terlihat gagah. Dengan kelengkapan ini, seorang pemimpin akan mampu melaksanakan tugas dan amanat rakyatnya tanpa gangguan-gangguan yang berarti. Ini menjadi penting adanya, karena aktifitas dan kesibukan seorang pemimpin sangat berbeda dengan aktifitas kalangan biasa, sehingga membutuhkan energi dan konsentrasi ekstra dengan stamina yang selalu terjaga. Dengan kekuatan fisik yang memadai, maka seorang pemimpin akan termotivasi untuk menyelesaikan tugasnya tanpa mengenal lelah. Ia menjadi gigih dan meletakkan kepentingan orang banyak di atas segala-galanya.

8. Londo Dou Mataho (Faktor Genetika)
Seorang pemimpin di mana-mana selalu dikaitkan dengan rantai genetik yang melingkupi dirinya, ini bukan hanya terjadi di Bima atau Indonesia namun telah menjadi semacam justifikasi penting dalam proses suksesi kepemimpinan seluruh belahan bumi. Dengan melacak rantai genealogi seorang calon pemimpin, maka masyarakat secara tidak langsung telah terlibat untuk mengenali calon pemimpinnya secara integral. Ada semacam jaminan tertentu bahwa mana kala seorang pemimpin terlahir dari keturunan orang-orang baik, maka seterusnya akan pula mewarisi sifat-sifat kepemimpinan yang baik atau jiwa kepamongan yang mumpuni. Meskipun indikator ini kadang kala masih dianggap sebagai sebuah instrumen tatanan sosial yang feodalistik. Namun secara ilmiah, penafsiran terhadap “Londo Dou Mataho” harus dimaknai menurut pendekatan biologis, yakni adanya pewarisan genotipe kepemimpinan dan sifat-sifat yang baik pada seseorang. Tentu saja, ini bukan berarti menafikkan peran penting lingkungan dan pergaulan seseorang yang membentuk fenotipe kepribadiannya. Secara universal, Asal Keturunan juga penting untuk melegitimasi kualitas genetik dan pengakuan publik pada ketokohan seorang calon pemimpin. Dalam tradisi Bima tempo dulu, diskriminasi berdasarkan keturunan masih dianggap wajar karena sistem penyelenggaraan pemerintahan yang sangat monarki dan feodalistik. Segala hal menjadi serba Istana-Sentris, karena legitimasi dan sumber pengakuan berada di sana. Kita masih ingat adanya istilah-istilah seperti, “Londo Deke”, “Londo Uwi” dan “Londo Rato” yang mencerminkan diskriminasi yang seolah-olah merendahkan martabat manusia, padahal istilah tersebut bukan diniatkan seperti itu, melainkan untuk tetap menjunjung tinggi kemuliaan dan maruah para bangsawan sebagai kelompok orang yang mengendalikan hajat hidup rakyat banyak. Ini menjadi bukti bahwa pengaruh sistem kasta Hindu sangat kental dalam kebudayaan sosial masyarakat Bima.
Delapan penjabaran makna Manggusu Waru itu sepintas terlihat sebagai sebuah idealisme yang baku sebagai substansi leadership masyarakat Bima. Padahal, apa yang dianut oleh para pendahulu kita sesungguhnya merupakan kriterium serapan dari ajaran-ajaran Kitab Suci, tentu saja kita perlu mengangkat topi kepada majelis intelektual kesulthanan yang telah meletakkan fondasi idealism kepemimpinan ini, meskipun sejatinya mereka tidak sempat memprediksi bahwa “Magnum Opus” ini suatu ketika akan terbentur oleh realitas. Di kala itu, kepentingan-kepentingan politik masyarakat Bima belumlah muncul sebagai kompetisi politik yang sektarian karena memang sumber legitimasi politik, social, ekonomi, hukum dan budaya kita, masih terpaku pada kebijakan istana. Patronase inilah yang kemudian membentuk suatu kumparan kultur yang terikat erat sebagai semi-dogma bagi pergaulan masyarakat Bima, atau kita istilahkan saja sebagai sebuah ideology yang taken for granted. Pada masa itu, masyarakat kita tentunya “tidak berdaya” dan memang tidak akan pernah berdaya untuk menciptakan mainstream baru terhadap produk-produk istana, entah itu bernama mistik atau bahkan norma-norma hukum lainnya.
Istana Bima telah menjadi sebuah symbol hegemoni atas peradaban kita, namun ini tidak harus dimaknai secara konotatif, karena apa yang terjadi di waktu itu sudah dianggap kontekstual dan selaras dengan kebutuhan nurani masyarakat kita. Ulama’, Pakar Hukum, Seniman, Ekonom, Prajurit dan Birokrat semuanya bergerak dalam sebuah ritme yang sama di bawah panduan konsorsium yang bernama Majelis Hadat. Dan apapun yang kemudian ini sampai kepada kita dalam bentuk cerita, peraturan adat, sejarah dan karya-karya, tidak lain merupakan hasil pergulatan panjang pemikiran mereka.
Begitu pula dengan Manggusu Waru, sebagai dictum dan consensus “sosio-politik” majelis intelektual istana, sesungguhnya merupakan cerminan pengharapan dan mimpi mereka agar kelak masyarakat Bima menjadikan delapan criteria itu sebagai syarat utama dalam memilih pemimpinnya.
Seiring waktu, pergaulan intelektual lintas benua di era modern ini, meringsut kita pada pemahaman-pemahaman yang lebih bernuansa literal akibat banyaknya referensi teoritis yang kita anut. Ini sah-sah saja dan wajar adanya, karena bagaimana pun kita hidup dalam sebuah tatanan peradaban global yang memaksa kita untuk selalu memahami kebutuhan pergaulan modern, tapi tidaklah serta merta kita pun mencampakkan ajaran-ajaan tua yang memiliki kekuatan moral yang kuat bagi kita. “Bahasa adalah Budaya”, begitu kata para budayawan dan antropolog. Meskipun terkesan chauvinis, sejujurnya saya kadang iri saat membuka halaman awal situs facebook, di bawahnya terdapat beberapa pilihan bahasa seperti Urdu, Arab, Rusia dan lain-lain. Saya membayangkan betapa tangguhnya para pejuang budaya itu sehingga mampu meyakinkan dunia tentang kekuatan dan daya pikat peradaban intelektual mereka dahulu kala. Saya berpikir seperti ini tetap dalam kerangka nasionalisme kita yang kuat sebagai sebuah bangsa, dan terus membayangkan jika suatu waktu aksara-aksara Bima pun turut dipelajari oleh masyarakat dunia lainnnya. Akan tetapi, semua itu tergoda pula oleh beberapa pertanyaan retorik yang konyol, “Mungkinkah dari kampung seperti ini kita bisa menawarkan sebuah peradaban baru bagi dunia?”, Akh, untuk diri saya sendiri saja semuanya masih samar, apalagi untuk Indonesia dan Dunia, semuanya terpaku dengan sebuah ketegasan, “Saya hanya orang kampung yang masih terkurung oleh romantisme kampungan”.
Kembali kepada Manggusu Waru. Sekarang kita sedang menyambut sebuah momentum politik “Pilkada Kabupaten Bima 2010” yang akan digelar pada tanggal 7 Juni 2010 mendatang. Riak-riaknya sudah mulai terasa (karena saya juga adalah seorang cikal-bakal calon) dan begitu hangat dibicarakan. Dari beberapa perbincangan dengan banyak kalangan, saya menyimpulkan beberapa modus pertanyaan yang sering terlontar oleh sebagian kalangan. Dan ini saya anggap pula sebagai sebuah hipotesa –bahkan antitesa- dari Manggusu Waru.

1. ANA COU; menjadi sebuah kelaziman dari masyarakat Bima untuk selalu mempertanyakan asal usul keturunan seorang calon pemimpin. Pertanyaan ini wajar adanya, karena memang masyarakat butuh mengenali calon pemimpinnya secara mendalam, ini berlaku bagi calon baru yang tingkat popularitasnya belum merata atau belum dikenal sama sekali. Saya misalnya, meskipun di grup situs jejaring social mendapat dukungan kuantitatif lebih signifikan dari kandidat lain, itu bukan berarti saya membumi pula di kalangan masyarakat kabupaten Bima secara luas. Apalagi, keterlibatan teman-teman dalam facebook adalah sebagai konfirmasi atas undangan admin yang dikirim. Untuk itu, saya perlu mendekat secara lebih akrab di “dunia nyata” agar selanjutnya pertanyaan yang semula terlontar dengan kata-kata “Ana Cou” tidak lagi diplesetkan secara menyindir menjadi “Cou Mantau Ana si Anadou Ke?!”

2. AU LOA RO BADE NA ; Bertanya-tanya tentang kompetensi seorang calon pemimpin adalah sesuatu yang lumrah, lebih-lebih bagi seorang “newcomer” dalam pemetaan politik masyarakat Bima. Pertanyaan ini muncul karena kekhawatiran masyarakat tentang masa depan mereka ketika harus dipimpin oleh seseorang yang tidak memberi “garansi kompetensi” terhadap diri mereka. Sebab, kadang kala setelah mengenali calon pemimpin, pesimisme tetap muncul seketika menjadi sebuah pernyataan, “Au Ja Di Loa Na, Au Ja Ku Bade Na?!”, pernyataan ini tentu saja akhirnya menjadi sebuah ironi. Karena itu pula, dalam “info” grup itu saya menampilkan Sembilan penegasan tentang jati diri saya secara umum dan apa adanya, itu pun tentu bukanlah sebuah jaminan atas kemapanan kompetensi dan pengalaman saya.

3. SAKOLA NA TA BE ; Latar belakang pendidikan sering kali menjadi petunjuk kecenderungan hati masyarakat dalam menentukan keberpihakan, dan ini dominan terjadi di kalangan intelektual-rasional. Ada semacam jaminan, bahwa latar pendidikan tinggi adalah cerminan kapasitas intelektual seorang calon pemimpin, dalam arti sempit, biasanya ketika seorang kandidat merupakan alumni perguruan tinggi ternama di luar daerah akan melegitimasi potensi dan kemampuannya, apalagi yang bersangkutan adalah seorang magister ataui bahkan seorang doctor. Tetapi kadang-kadang, masyarakat kita tidak ingin berlama-lama memainkan pertanyaan seperti itu, tatkala seorang kandidat tidak tampil memuaskan secara konseptual baik itu dalam forum diskusi atau pidato-pidato, masyarakat kita malah menggeser pertanyaan itu menjadi sindiran halus, “Sabua Ra Sakola Tantu Jan na si?!”

4. AU KARAWI NA ; Bagi seorang calon pemimpin, menampilkan pengalaman pekerjaan dan karir adalah sebuah keniscayaan dalam curriculum vitae-nya, tentu para kandidat tidak sama sekali bermaksud membanggakan diri mereka. Dan bagi masyarakat, dengan mengetahui sepak terjang pengalaman itu akan semakin meyakinkan diri mereka untuk berpihak kepada calon pemimpin yang mereka kagumi. Namun seringkali, sebagian masyarakat kita melihat riwayat karir sebagai cerminan kemapanan secara ekonomi. Dalam hal ini, kapasitas jabatan dan karir usaha benar-benar menjadi magnet yang cukup memikat, sehingga calon seperti ini benar-benar dinanti-nantikan untuk berada di sekitar mereka. Sebahagian masyarakat Bima kadang masih sulit untuk memahami eksistensi seorang kandidat dari sisi riwayat perjuangan yang bersifat non-kelembagaan resmi, semisal aktifis LSM atau para pegiat budaya. Karena masyarakat kita lebih condong untuk melihat tampilan label dan merk belaka, sehingga terbius oleh jabatan dan kapasitas yang tersandang. Dan ini adalah fakta dan realita yang tidak salah, karena masyarakat meyakini, dengan pengalaman itu pula kandidatnya menjadi sangat terkenal dan terkenang.

5. AU NTAU NA ; Ini yang sangat dogmatis dalam dialektika politik masyarakat kita hari ini. Kemapanan yang selalu ditakar dengan asset, property dan kemapanan ekonomi. Masyarakat tanpa sadar selalu mengukur kemapanan ekonomi seorang kandidat pada aspek-aspek kepemilikan seperti Rumah mewah, mobil mewah, pergaulannya yang elite, dan semacamnya. Dengan tampilan yang “wah”, apalagi dilegitimasi dengan kata-kata, “Dou mantau wara, mboto piti na”, maka seorang kandidat menjadi lebih mudah tersohor dari mulut ke mulut, dari cerita ke cerita. Inilah yang kemudian memikat setiap orang untuk berebut menjadi bagian dari kandidat itu, berbondong-bondong menjadi tim sukses dan relawan, atau secara sarkas diistilahkan, “berebut tenar di balik kebesaran orang tenar”. Ini juga fakta yang tidak salah, karena memang sebagian masyarakat mempunyai perspektif sendiri dalam hal ini, dan mereka memiliki argument yang benar untuk meyakinkan orang lain. Dan, jujur, saya sendiri juga pernah menganut pemikiran seperti itu, apalagi saya bergelut dalam ranah politik yang tidak bisa meng-sterilisasi pikiran saya dari perspektif semacam itu.

6. BUNE TABE’A NA ; Setelah memahami masa lalu, riwayat karir , konsep dan kemapanan ekonomi kandidat itu. Masyarakat akhirnya diberi kesempatan untuk mendekat dan lebih akrab dengan kandidatnya, di sinilah masyarakat kita sering mengambil kesimpulan terakhir untuk menjatuhkan pilihan. Perkara senyum, gaya bicara, cara memandang, murah tangan dan sebagainya cenderung menjadi variable penting yang menentukan eksistensi ketokohan seorang kandidat di mata masyarakat. Akibatnya, masyarakat digiring masuk dalam situasi keberpihakan yang sangat emosional. Misalkan saja, dalam hal pergaulan yang tidak simpatik dan membudaya, legitimasi seorang tokoh akhirnya runtuh oleh karena kaca mobilnya yang tidak pernah turun, atau tiba-tiba lupa nama teman lama, jarang lagi berkumpul seperti sedia kala, kurang akrab dengan keluarga, dan semacamnya. Ini menjadi beberapa barometer perilaku seorang tokoh di mata masyarakat. Dan bila akhirnya kecewa, sebagian masyarakat kita selalu mengantar pembicaraan mereka dengan kalimat, “Ai, Bona Tabe’a na e, sombo, wati pata na dou.”
Dari enam hipotesa ini, saya menyimpulkan ada dua variable yang selalu menjadi perbincangan hangat sebagian besar masyarakat kita menjelang setiap suksesi kepemimpinan di Bima. Pertama, AU NTAU NA, yang mencerminkan kemapanan ekonomi seorang kandidat. Dan yang Kedua, BUNE TABE’A NA, soal perilaku dan kebiasaan hidup (sosial) seorang kandidat di tengah pergaulannya. Kedua variable ini menjadi pemikat emosi yang kuat dan tetap saja menciptakan pro dan kontra dalam diskusi-diskusi politik kita, menjadi rujukan ketokohan yang wajib ditelaah setiap saat. Akhirnya, hamper bisa dikatakan bahwa tidak ada ruang yang begitu bebas untuk menyampaikan pokok-pokok pikiran dan gagasan perubahan itu secara rasional dan obyektif. Sebahagian besar masyarakat kita cenderung menganggap Visi Misi sebagai kamuflase penghias pidato, bahkan ironisnya masih ada sebagian intelektual yang maju menyangkal mana kala seorang kandidat bicara konsep dan ide perbaikan, mereka menjawab, “Indo wa’u bat ala mpoa, mbeipu bukti na, aina kagaga nggahi”. Kalimat ini nyata adalah statemen yang menyesatkan, kenapa? Karena mana mungkin seorang yang “baru mau mencalonkan diri” dipaksa menyuguhkan bukti, sementara gagasan-gagasan masih tertata rapi dalam rancangan konsep dan perencanaan. Saya takut, bila justru akhirnya kalangan intelektual yang mengedepankan pesimisme dan mulai masa bodoh terhadap gagasan-gagasan perubahan, lebih-lebih, menjadi sumber justifikasi bagi masyarakat awam, mengilhami pikiran masyarakat dengan topic kemapanan dan kapasitas jabatan.
Bagi masyarakat awam (menengah ke bawah dari sisi intelektual), pesimisme terhadap kandidat-kandidat baru adalah suatu kewajaran, karena pengalaman beberapa suksesi telah menempa jiwa mereka untuk berbesar hati menghadapi realita yang terjadi. Tapi itu bukan berarti bahwa hasrat untuk menerima perubahan harus diakhiri. Masyarakat, Rakyat, entah itu dinamai dengan pemilih rasional, tradisional, intelektual dan sebagainya, mana kala berhadapan dengan momentum suksesi kepemimpinan daerah, selalu terikat oleh hasrat yang sama, yaitu adanya PERBAIKAN dan PERUBAHAN, dan mereka membahasakan itu dengan redaksi mereka masing-masing, berdasarkan kepelikan social dan stagnasi yang mereka alami. Pada kondisi inilah, masyarakat Bima menjadi sangat perfeksionis dalam menetapkan indicator dan kriterium bagi “Pemimpin” mereka. Ingin seorang pemimpin yang sempurna dengan segala instrument kelengkapan dirinya, “Primus Inter Pares”, Yang Terbaik Di Antara Semua. Yang kesemuanya itu, menggumpalkan sebuah pilihan mayoritas di hari pemungutan suara nanti, pilihan yang ternyata tercetus dari energy dan emosi yang luar biasa, karena kebanyakan mereka “dialah” yang pantas untuk mengimami mereka.
Pergulatan pikiran saya di atas akhirnya membenarkan Perspektif Manggusu Waru sebagai criteria utama masyarakat Bima dalam menentukan pemimpin yang pantas, patut dan layak bagi masa depan mereka. Namun saya tidak serta merta menjadi sangat idealis dan kaku dalam mengaplikasikan kaidah-kaidah itu, karena kita hidup di zaman yang menyuguhkan kompleksitas pergaulan dan dinamika. Saya pribadi tetap memaklumi realita social dan politik terkini yang sedang mengemuka. Pilkada bukanlah momentum asal pilih di mana masyarakat atau individu main acung jari untuk memilih dan dipilih. Mekanisme politik menuju bursa pencalonan masih terus berlangsung, dan setiap partai politik memiliki alat ukur dan metodologi masing-masing dalam menjaring kandidat. Sebagaimana kebanyakan kita menafsir sebuah proses politik, “Semuanya perlu dikompromikan”. Dan saya harus meyakinkan banyak pihak untuk menerima keberadaan diri saya sebagai kandidat yang pantas untuk diusung oleh partai politik mereka.
Dan, Masyarakat kita. Meski sebahagian besar masih “tertuduh” sebagai masyarakat tradisional, namun dengan berdialektika dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan retorik tentang kepantasan calon pemimpinnya, sesungguhnya masyarakat kita cepat atau lambat pasti akan terlibat dalam setiap upaya demokratisasi. Masyarakat menginginkan perubahan, perbaikan dan jaminan masa depan yang lebih mapan. Dan mereka menginginkan impian itu terwujud dari tangan dingin seorang pemimpin yang membawa keberkahan. Karena masyarakat kita ingin dilayani, dimanjakan, merasa setara dan senasib dengan pemimpin mereka, merasa memiliki pemimpin mereka sendiri. Tidak salah, jika dulu para Sulthan selalu digelari dengan “Zilullaahi Fil Alam”, Bayangan Tuhan Di Muka Bumi, sebagai manifestasi dan cerminan dari keparipurnaan eksistensi seorang pemimpin.
Mungkin apa yang saya sampaikan ini terkesan sebagai sesuatu yang berlebihan, terdramatisir, atau provokatif. Tentu saja saya jauh dari maksud untuk menggiring imajinasi teman-teman ke dalam utopia peradaban ala komik. Kita, semuanya ingin Bima terus beringsut menuju tatanan yang lebih baik. Kata “lebih baik” tidak harus dikorelasikan secara otomatis dengan visi misi saya sebagai kandidat. Catatan singkat ini, adalah buah permenungan yang bersifat “anekdotis” dari saya selaku anak bangsa, orang kampung yang sedang bermimpi tentang perubahan. Kesalahan kata, atau ketidakjelasan makna dari catatan ini harap disunting “kedalam”, mengingat konsentrasi saya yang tadi agak sedikit terganggu menjelang subuh. Sekian.

Tidak ada komentar:

PENELITIAN KUALITATIF DALAM ILMU-ILMU SOSIAL

A. Pendahuluan   Ketika kita bergaul sehari-hari seringkali kita berargumen satu sama lain. Kita bercakap-cakap untuk mempe...