Selasa, 12 Oktober 2010

BIAS-BIAS SERTIFIKASI GURU

Hidangan kopi beraroma jahe dengan beberapa potong pisang goreng hangat menemani kami menghabiskan malam selepas tarawih bersama di sekolah pada malam ketujuh belas itu. Berbagai topik pembicaraan meluncur begitu saja. Lepas dan santai. Joke-joke yang menggelitik menjadi kembang indah. Mengikat keakraban sejati laksana sepenggal pagi yang hadir membungkus fajar.
Bias-bias sertifikasi guru menjadi topik favorit malam itu. Malam dingin justru terasa bagai seonggok unggun. Berbagai komentar, opini, perasaan, harapan dan fakta, terkuak, tumpah ruah bagai air pegunungan.
“Peraturan Pemerintah tentang Sertifikasi Guru belum ada, koq!” sanggah salah seorang guru mencoba mendinginkan suasana agar serasi dengan dinginnya malam. Mencoba memberikan realita atas harapan-harapan yang membumbung laksana mega berarak dari beberapa rekannya yang memang sedikit memahami tentang seluk-beluk sertifikasi guru.
“Sambut atau bila perlu jemput Peraturan Pemerintah dengan Peraturan Menteri dan Daftar nama guru-guru yang sudah dianggap layak menyandang predikat profesi pendidik itu,” sambung guru muda yang baru saja mengunjungi situs Depdiknas dan membaca berbagai artikel tentang sertifikasi guru dalam jabatan, maupun program pendidikan profesi.
“Kalo yang bersertifikasi benar-benar guru pilihan, profesional dan memiliki kapabilitas jempolan, saya tidak akan berkomentar. Tapi, bukankah ada praktek ‘TUTUL’ (tutup dan tulis ulang, red.) yang mewarnai sertifikasi guru dua tahun ini. Jadi, purify pelaksanaan sertifikasi guru perlu dipertanyakan,” tambahnya sambil mengepulkan asap Dji Sam Soenya berkali-kali.
“Empat guru sudah mengikuti penilaian portofolio di sekolah kita. Mudahan mereka berhasil. Lalu, pendeknya mereka mendapatkan janji pemerintah. Gaji dua kali lipat. Bisa dijamin, nggak guru-guru yang belum bersertifikasi tidak iri dan kemungkinan terburuk bahkan motivasi kerja mereka akan anjlok sekian puluh derajat. Atau bisa-bisa pekerjaan dilimpahkan seluruhnya kepada guru–guru yang bersertifikasi. Kan berabe jadinya!” sambungnya panjang lebar. Ada nada pesimis dari rangkaian kalimatnya.
“Hal-hal semacam itu memang tidak dapat dihindari. Tapi menurut saya, pemerintah sudah memiliki piranti-piranti yang cukup valid untuk menangkal kemungkinan munculnya ekses-ekses serupa. Lagi pula guru-guru yang belum bersertifikasi juga tidak ingin terhambat kariernya dengan tidak mendukung setiap kebijakan yang ada. Harapannya justru dengan adanya guru-guru yang sudah bersertifikasi dan mendapat tunjangan tambahan sebesar satu kali gaji itu akan menjadi “pemantik api” motivasi bagi guru-guru lainnya,” terang si guru muda yang rupanya lebih bijak menanggapi masalah sertifikasi guru.
“Sebaiknya kita berdoa saja sambil membenahi diri. Moga-moga isu sertifikasi ini segera menjadi kenyataan, karena sudah pasti menjanjikan peningkatan harkat dan martabat guru. Bila memang belum mendapat giliran disertifikasi, segera saja kita kumpulkan dan susun yang rapi semua portofolio yang dibutuhkan. Bila dipanggil untuk mengikuti pendidikan profesi selama satu tahun, ikuti saja, sebab itu semua merupakan jaminan yang paling dapat diterima dari pemerintah. Berdoa saja mudahan besok akan muncul kebijakan lainnya yang lebih meringankankan guru, tetapi tetap mampu mengangkat harkat dan martabat profesi guru pada tingkat tertinggi, Amin!!” nasehat kepala sekolah yang juga turut menikmati desiran angin malam ketujuh belas Ramadhan sambil menghela napas. Memang, sih! Kepala sekolah kan sedang menunggu hasil pemeriksaan portofolionya. Wallahu a’lam!

Tidak ada komentar:

PENELITIAN KUALITATIF DALAM ILMU-ILMU SOSIAL

A. Pendahuluan   Ketika kita bergaul sehari-hari seringkali kita berargumen satu sama lain. Kita bercakap-cakap untuk mempe...