Rabu, 13 Oktober 2010

MENGGAGAS PROGRAM MICRO TEACHING BERSUBSIDI

    “Ukh... seperti BBM saja, pakai subsidi segala!” demikian celetuk salah seorang teman dekatku ketika kulontarkan ide ini. Lalu kami pun tertawa terbahak-bahak. 
    “Biar aku jelaskan,” ucapku kemudian ketika kulihat rona wajahnya semakin menyiratkan kebingungan.
    “Sebaiknya aku mulai dengan realita yang sangat menyesakkan dada yang dihadapi sebagian besar mahasiswa kita. Mereka sepertinya belum siap berdiri di muka kelas. Menjadi guru dalam situasi yang sesungguhnya. Mereka perlu bekal yang bukan hanya cukup, tapi lebih baik untuk dapat meyakinkan siswa, Guru Pamong dan Institut bahwa mereka sudah layak untuk menjadi pemegang otoritas kelas selama alokasi waktu yang ditentukan.”
    “Ah, itu hanya perasaanmu saja,” potong temanku yang rupanya kurang setuju dengan pendapat mirisku itu.
    "Mungkin benar itu hanya perasaan yang bermain di anganku. Tapi setelah membimbing mahasiswa PPL selama sepuluh tahun, aku menemukan fenomena yang sama. Sebagian besar adik-adik kita bahkan tidak bisa membuat RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), apalagi diminta untuk membuat RPP yang di dalamnya memuat unsur-unsur kreatif,” ucapku mencoba membela diri.
    “Tapi mereka adalah calon guru, bukan? Jangan gunakan kacamata anda sebagai guru senior dengan pengalaman yang cukup. Mereka sedang berlatih menjadi guru yang sesungguhnya. Mereka sedang dalam proses ke arah itu. Pada saatnya nanti mereka akan bisa seperti yang anda harapkan, dan itu adalah tugas kita sebagai guru pamong untuk membuatnya “bisa” melakukan semua yang anda harapkan,” jelas temanku berapi-api dengan mimik serius.
     "It takes time! Menurutku tugas Guru Pamong adalah menjembatani kondisi ril pembelajaran di sekolah dengan kemampuan dasar yang dimiliki mahasiswa sebagai salah satu output yang telah mereka dapatkan di bangku kuliah. Bukan saatnya Guru Pamong mengajari mereka bagaimana menyusun program tahunan, program semester, silabus, RPP, handout, dan bagaimana menggunakan media. Hal-hal semacam itu seharusnya sudah dimiliki mahasiswa ketika mereka mengambil Program Pengalaman Lapangan, dan keterampilan semacam itu menjadi tugas Dosen,” elakku tak mau kalah.
    “Oke,... oke! Kalau itu saya setuju. Jadi apa kaitannya dengan Program Micro Teaching Bersubsidi yang anda maksudkan tadi?”
    “Institut hendaknya menjalin kerjasama lebih awal dengan pihak sekolah. Sekolah  sebagai konsumen hendaknya dilibatkan sewaktu program micro teaching. Institut bisa bekerja sama dengan Dinas Pendidikan untuk dapat menghadirkan guru-guru SMP  dan SMA yang telah memiliki lisensi instruktur untuk membimbing mahasiswa. Bukankah Dinas Pendidikan Kota Mataram saat ini sedang mencanangkan Program Pembinaan Melalui Pola Pendampingan terhadap guru-guru sesuai rumpun mata pelajaran? Program itu dianggap berhasil membantu para guru dalam banyak hal, seperti metodologi, penggunaan media, pengelolaan kelas, dan yang paling penting adalah kesamaan persepsi tentang bagaimana melakukan curriculum breakdown.”
     “Lalu, Subsidi?...... Nah, lho...!” selidiknya ketika melihat aku mengernyitkan kening.
Sesaat aku bingung. Kucoba menerawang dan mengumpulkan berbagai kemungkinan yang paling realistis. Memoriku terpaut pada kalimat-kalimat Dr. Fasli Jalal (Direktur Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan)  setahun yang lalu, bahwa mutu pendidikan hanya dapat diraih dengan melibatkan tiga pilar utama pendidikan, yaitu pemerintah, masyarakat dan sekolah.
    “Peran UPPL!” ucapku mantap.
    “Haah, maksudnya?”
    “UPPL hendaknya mampu berperan maksimal mendayagunakan sumber-sumber pembiayaan baik dari pemerintah, masyarakat peduli pendidikan dan sekolah (institusi) dalam menopang pelaksanaan Micro Teaching Bersubsidi. Proposal yang realistis adalah salah satu jalan yang dapat membantu terselenggaranya program micro teaching bersubsidi. Bukankah anggaran pendidikan saat ini sudah memadai? Pemerintah, melalui Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Dikpora, dan Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten dapat menjadi sumber dana yang menjanjikan. Asalkan melalui proses negosiasi yang logis dan terencana. Masyarakat dapat pula dilibatkan melalui pembicaraan yang intens dengan orang tua mahasiswa. Sekolah (institusi) diharapkan dapat  mengalokasikan dana swadaya untuk menunjang keberhasilan program.”
    Bukan hanya temanku itu yang termangu. Aku pun demikian. 
    Pembicaraan kecil itu berakhir dengan satu harapan bahwa institusi mampu menjawab kegelisahan sekolah-sekolah bahwa Program Pengalaman Lapangan yang dilaksanakan selama ini akan lebih berhasil jika ada kesiapan-kesiapan yang mengarah, terencana dan terprogram secara baik. Sekolah akan  dengan senang hati menerima ikatan kerjasama karena mahasiswa dapat dipercaya penuh untuk memegang otorita kelas. 
Semoga!

Tidak ada komentar:

PENELITIAN KUALITATIF DALAM ILMU-ILMU SOSIAL

A. Pendahuluan   Ketika kita bergaul sehari-hari seringkali kita berargumen satu sama lain. Kita bercakap-cakap untuk mempe...