Rabu, 19 Januari 2011

INCOME AND FINANCIAL AID EFFECTS ON PERSISTENCE AND DEGREE ATTAINMENT IN PUBLIC COLLEGE

PENDAHULUAN

Ketika sebuah negara demokrasi memahami makna kesejatian dari hak-hak rakyat yang harus dipenuhi, maka kebijakan-kebijakan pro rakyat selalu dikedepankan. Amerika sebagai sebuah negara demokrasi memikirkan dan mengimplementasikan berbagai cara untuk melindungi hak-hak rakyatnya, khususnya dalam bidang pendidikan.
Dalam beberapa hal kebijakan Pemerintah Indonesia dan  kebijakan Pemerintah Amerika Serikat dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan tinggi hampir sama. Namun di Amerika Serikat, kebijakan –kebijakan yang diambil semakin kompleks akhir-akhir ini. Khususnya dalam bidang pembiayaan pendidikan tinggi. Salah satunya adalah Pemerintah mengupayakan berbagai cara agar akses ke perguruan tinggi semakin mudah dan berkeadilan. Pemerintah AS mengeluarkan kebijakan yang secara langsung maupun tidak langsung menarik dukungan maksimal dari  investasi swasta yang pada gilirannya akan berimbas pada pertumbuhan ekonomi, dan memperbaharui pola akses ke pendidikan tinggi bagi kelompok-kelompok berpenghasilan rendah. Sementara di Indonesia, satu-satunya negara yang menetapkan secara jelas dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa pendidikan adalah tanggung jawab negara sepenuhnya[1], Pemerintah belum tergerak hatinya untuk mendukung sepenuhnya penyelenggaraan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi.  Cara-cara dukungan pun hampir selalu sama dan bahkan terkesan berkurang akhir-akhir ini.

Pemerintah AS memberikan subsidi langsung bagi mahasiswa baik  berupa hibah, beasiswa, atau pinjaman. Hal ini juga dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan berbagai program seperti Bidik Misi, BPPS, Kewirausahaan mahasiswa, dan berbagai bentuk beasiswa lainnya[2]. Berbagai kebijakan tersebut bukannya tanpa alasan. Alasan utama selain sebagai bentuk tanggung jawab negara, juga sebagai alat untuk melawan kemiskinan. Bahwa kondisi kekurangan tidak berarti harus melemahkan pendidikan. Justru sebaliknya. Sumber pembiayaan pendidikan tersebut selain dari pembayar pajak, juga merupakan bentuk hibah dari berbagai kelompok stakeholder atau foundations yang baik secara langsung maupun tidak langsung merupakan pengguna output pendidikan.
Berbagai tekanan yang diberikan para anggota legislatif dan Pemerintah Federal agar melaksanakan pendidikan yang berkeadilan dan murah. Demikian pula, tuntutan yang diarahkan pada pemerintah agar perguruan tinggi dapat dilaksanakan secara efisien. Tuntutan ini berawal dari kondisi masyarakat AS yang dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok: (1) Higher income family, (2) middle income family, dan (3) lower income family. Kebijakan sebelumnya berupa loan dan grant ternyata lebih menguntungkan mahasiswa dari kelompok high dan middle income family. Sementara kelompok ketiga sangat kesulitan meraih cita-citanya. Sementara itu, kebijakan pun diubah dengan pemberian subsidi langsung melalui beasiswa. Dan apa yang terjadi, hasilnya sama khususnya bagi perguruan tinggi negeri.
Ironisnya, berbagai bentuk subsidi yang diberikan kepada perguruan tinggi negeri, justru tidak memberikan hasil maksimal sebagaimana yang diharapkan. Memang ada peningkatan, tetapi peningkatan tersebut tidak signifikan. Besarnya anggaran yang dikucurkan tidak berbanding lurus dengan output perguruan tinggi. Gelar Sarjana yang seharusnya hanya diperoleh empat tahun, justru bertambah persentasenya menjadi rata-rata 5, 5 smpai 6 tahun pada setiap kwartalnya.
Lalu, apa yang salah? Apakah kebijakan subsidi? Income orang tua yang bervariasi? Atau dari faktor mahasiswanya sendiri?  Lalu bagaimana dengan komitmen pemerintah yang mengharapkan akses pendidikan menjadi mudah dan berkeadilan?
Penelitian yang dilakukan Dowd ini bertujuan untuk mengkaji apakah pendapatan orang tua merupakan prediktor yang signifikan bagi outcome akademik, dan apakah perbedaan bentuk bantuan pendidikan mengurangi kesenjangan bila dikaitkan dengan income?

RINGKASAN ISI JURNAL

Jurnal ini difokuskan pada tiga permasalahan pokok, yaitu: (1) Bagaimana distribusi dari dukungan keuangan yang berbeda diantara siswa yang dibiayai oleh orang tua pada siswa program 4 tahun dilihat dari pendapatan orang tua. (2) Bagaimana pengaruh pendapatan orang tua dan dukungan keuangan dalam pembiayaan di tahun kedua pada program sarjana? (3) Bagaimana pengaruh pendapatan orang tua dan bantuan keuangan terhadap penyelesaian studi program empat tahun yang diselesaikan dalam lima tahunan?
Untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan metode design-based analysis dengan estimasi rata-rata variabel 0,9 sampai 2,0. Sampel diambil dalam bentuk cross-sectional dan restrospective analysis dari data semenjak tahun 1994. Data selanjutnya dianalisis dengan menggunakan Stata Statistical Software versi 7. Pembahasan hasil menggunakan analisis statistik deskriptif dengan menganalisis kuartil sebagai lambang dari hubungan antara income, financial aid, dan variabel-variabel lain yang dapat dihitung dengan analisis regresi.
Jurnal ini mengadopsi konsep pemikiran Beekhoven, De Jong dan Van Hout[3] yang mengkombinasikan Model “Integration-Based Students’ Departure” yang menekankan pada teori pilihan rasional. Teori ini menjelaskan keputusan yang mempengaruhi siswa menyelesaikan pendidikan lebih lama. Peran mahasiswa dan kampus yang terintegrasi dalam integrasi sosial dan akademik yang menekankan pada komitmen mahasiswa untuk menyelesaikan studinya juga menjadi perhatian[4]. Teori pilihan rasional yang dikembangkan oleh Becker[5] yang menggambarkan peran pengambilan keputusan mahasiswa dalam kaitannya dengan  cost-benefit analysis dan maksimalisasi penggunaannya dalam penyelesaian studi.
Kerangka pikir dan teori tersebut memberikan arah bagi pemilihan metode pengumpulan data dan metode analisis data dalam penelitian ini. Indikator utama yang digunakan adalah model proposisi yang berpengaruh terhadap motivasi, kepuasan, komitmen intitusional mahasiswa. Namun demikian, faktor-faktor motivasi dan kepuasan sengaja dihilangkan dalam penelitian ini. Maksudnya agar parameter komitmen dan pilihan-pilihan rasional mahasiswa dapat diketahui secara dominan.
Penelitian ini menggunakan 1,087 kasus yang diambil dari 1,612 kasus yang diambil dari BPS, khususnya mahasiswa berusia 18 tahun yang mengambil program Sarjana 4 (empat) tahun. Proporsi sampel adalah jumlah mahasiswa yang telah menyelesaikan studinya (tidak lagi berada di kampus tersebut) setelah dua tahun (0,006%), 78% yang sedang berada di tahun kedua, 63%di tahun keempat, 55% yang menyelesaikan sarjana dalam 5 tahun, dan 36% yang lebih dari 5 tahun ketika survey dilaksanakan.
Hasil penelitian menunjukkan beberapa poin berikut:
1.    Distribusi Hasil dan Bantuan Keuangan dari pendapatan murni orang tua
Paparan deskripsi distribusi hasil dan bantuan keuangan dari pendapatan murni orang tua  tidak berbeda nyata pada kuartil dilihat dari mahasiswa yang masih kuliah. Namun, pada mahasiswa yang masa kuliahnya lima tahun ke atas meningkat dari 47% pada kuartil pertama menjadi 65% pada kuartil keempat. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan hasil dan bantuan keuangan selama empat tahun pertama dan meningkat tajam setelah memasuki masa kuliah di atas lima tahun. Artinya biaya kuliah yang mendekati $3,000 tidak memberikan dampak yang berarti dengan pengeluaran $2.200. Namun, tidak demikian halnya dengan yang terjadi pada perguruan tinggi negeri. Biaya tahun pertama dan kedua sekitar $1.700 dan pada tahun berikutnya menurun menjadi $1.000. Sementara siswa dari PTN mendapatkan bantuan subsidi sebesar $3.300 dn 98% dari sampel telah  menghabiskan sebesar $1.770, dan mahasiswa di tahun kelima sudah menghabiskan $4,625. Ini berarti bahwa subsidi tidak mencukupi anggaran pendidikan mahasiswa dan mereka rata-rata kembali meminta dukungan keuangan dari orang tuanya.
2.    Faktor-faktor yang mempengaruhi persistensi
Dikatakan bahwa income tidak berpengaruh secara signifikan terhadap persistensi mahasiswa di kampus kecuali pada kuartil 4 ketika variabel ras dan gender ditambahkan. Kuartil income 4 tidak signifikan ketika faktor sosial dan akademik ditambahkan. Diantara variabel bantuan finansial, hibah dan pinjaman pemerintah federal memberikan efek yang positif. Faktor utama yang menyebabkan mahasiswa lama di kampus adalah integrasi sosial dan jam kerja serta keterlambatan mahasiswa menyelesaikan tugas-tugas kampus yang diberikan.
3.    Faktor-faktor yang mempengaruhi perolehan gelar sarjana lebih lama
Mengukur variabel-variabel pendapatan orang tua pada kuartil ketiga dan keempat berkontribusi positif terhadap model. Diantara variabel keuangan, hanya biaya kuliah yang signifikan. Berlawanan dengan harapan teoretis dengan hasil empiris justru keterlambatan mahasiswa terjadi di PTN. Faktor jenis kelamin berdampak negatif dan tidak pada ras. Sedangkan lama tinggal di kampus lebih banyak disebabkan oleh GPA (Gain Product Achievement). Hal ini terjadi dengan persentase yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.

 ANALISIS KRITIS

Berangkat dari hasil penelitian tersebut maka dapat dikemukakan beberapa aspek penting yang turut memberikan masukan pemikiran kepada pembaca ketika hasil ini dicobakaji kembali sesuai dengan fakta yang ada di lapangan, khususnya di Indonesia.
1.    Dukungan negara terhadap perguruan tinggi khususnya mahasiswa
Sebagai wujud tanggung jawab negara terhadap rakyatnya dalam bidang pendidikan tinggi, pemerintah mengupayakan  bagaimana agar masyarakat mencicipi perguruan tinggi. Untuk alasan itulah, pemerintah mengalokasikan dana yang tidak kecil untuk memberikan hibah, beasiswa, pinjaman atau bantuan yang bersifat enterpreneur lainnya. Namun demikian, pemerintah juga memikirkan agar dana besar yang sudah dikucurkan tidak mengalir sia-sia.
Di Amerika Serikat, pemerintah menggandeng stakeholder baik dari dunia usaha maupun dunia industri yang kelak akan menjadi user bagi output pendidikan untuk ikut mendukung pembiayaannya. Biasanya diberikan dalam bentuk hibah penelitian, beasiswa bagi mahasiswa berprestasi, bantuan biaya penelitian, mahasiswa miskin berprestasi dan bagi mahasiswa yang sedang menyelesaikan tugas akhir.
Namun, terkadang dalam implementasinya tujuan pemerintah tidak seluruhnya berjalan mulus. Terkadang biaya yang diberikan (di Indonesia dianggap sebagai biaya stimulus) tidak mencukupi kebutuhan hidup mahasiswa sampai menyelesaikan kuliahnya. Living cost yang tinggi, buku, transport, penelitian dan kebutuhan-kebutuhan akademik lainnya termasuk tuition fee membutuhkan biaya yang lebih banyak dari yang dianggarkan oleh pemerintah. Hal inilah yang kadang menyebabkan studi mahasiswa tidak tepat waktu, selain karena faktor-faktor lain yang juga secara signifikan berpengaruh.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anggaran yang diberikan pemerintah khususnya dalam bentuk grant dan loan, terkadang tidak dapat dinikmati oleh mahasiswa dari golongan ekonomi lemah. Selain karena akses mereka yang kurang, secara tradisional mereka terkungkung, juga kadang mahasiswa tidak dapat mengembalikan pinjaman (bantuan dalam bentuk loan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Federal AS).
Menyadari pentingnya lulusan perguruan tinggi untuk menjadi motor penggerak peningkatan kualitas masyarakat, maka pemerintah juga memberikan standar yang harus dipenuhi oleh universitas. Hal ini menjadi penting untuk dikaji agar Perguruan Tinggi khususnya Perguruan Tinggi Negeri mengelola anggaran yang diberikan secara proporsional.
Di Amerika Serikat, kebijakan semacam ini dapat saja berjalan optimal karena selain anggaran yang diberikan cukup banyak, juga kultur masyarakat yang tingkat kepeduliannya tinggi terhadap pendidikan lebih mendominasi. Dukungan dari masyarakat ini, baik orang tua, stakeholder dan sumber-sumber motivasi lain menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah, orang tua, kampus dan mahasiswa untuk melakukan sesuatu yang berguna sesuai dengan kondisi yang dihadapinya saat ini.
Di Indonesia, pemerintah telah menyadari betapa pentingnya lulusan perguruan tinggi dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk tujuan tersebut pemerintah mencoba mengatasi kekurangan biaya melalui pinjaman luar negeri dan membangkitkan semangat enterpreneur universitas. Solusi terbaru yang ditawarkan adalah BHMN, BLU, BHP (UU BHP tidak diterima masyarakat karena dianggap terlalu komersial) dengan tujuan agar universitas dapat mencari terobosan sendiri meningkatkan kualitas universitas bila perlu sebagai World Class University. Namun, kondisi Ipoleksosbudhankam negeri ini dianggap belum mendukung ke arah sana. Jadilah pemerintah sebagai satu-satunya penyandang dana bagi PTN, dan terbukti kurang sehingga “menyolek” orang tua melalui mahasiswa. Sayangnya, bukan hanya “menyolek” tetapi ada yang “membanting” dengan berbagai alasan peningkatan kualitas.
Di Amerika Serikat, pemerintah telah mengkategorikan kondisi masyarakat (keluarga) dilihat dari penghasilannya dalam tiga kelompok besar, yaitu keluarga berpendapatan tinggi, sedang dan rendah. Di Indonesia juga demikian. Pemerintah melalui survey yang dilakukan BPS (Badan Pusat Statistik) dapat melakukan pengelompokkan dimaksud. Hasil survey tersebut selanjutnya dijadikan panduan bagi pengelompokkan, pembinaan dan pemberian bantuan kepada mereka sesuai dengan kondisinya saat ini. Maksudnya untuk tataran pendidikan di berbagai jenjang. Namun, karena “urusan perut” masih menjadi kendala utama, maka pengelompokkan income keluarga masih digunakan sebatas untuk peluncuran BLT (Bantuan Langsung Tunai).

2.    Penghasilan orang tua dan keberlanjutan pendidikan mahasiswa
Pendapatan orang tua tidak berpengaruh secara signifikan terhadap lama atau tidaknya mahasiswa menyelesaikan kuliahnya, khususnya bagi mahasiswa yang sedang duduk di tahun pertama, kedua, ketiga dan keempat.  Namun ketika menjalani tahun kelima dan seterusnya, maka penghasilan orang tua dapat menjadi pertimbangan karena dikaitkan dengan keberlanjutan pendidikan anak-anaknya. Anggaran pendidikan yang diberikan oleh pemerintah selama kurun waktu empat tahun sesuai dengan program ternyata tidak mencukupi besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh mahasiswa untuk menyelesaikan studinya.
Akibatnya, sisa pembiayaan pendidikan ditanggung sepenuhnya oleh orang tua. Disinyalir bahwa semakin lama mahasiswa bertahan di perguruan tinggi, maka semakin besar anggaran yang dibutuhkan. Padahal, pendidikan yang seharusnya hanya empat tahun dan dapat diselesaikan dalam waktu tersebut, tidak dapat dipenuhi oleh sebagian mahasiswa Amerika.

3.    Penyebab utama mahasiswa membutuhkan waktu yang lama menyelesaikan kuliah
Dikemukakan dalam pembahasan Jurnal ini bahwa hibah yang diberikan oleh pemerintah memberikan dampak positif yang signifikan dan substantif bagi mahasiswa untuk bertahan di PTN jika variabel akademik dimasukkan.  Analisis sekuensial menyarankan agar hibah pemerintah mendorong mahasiswa untuk segera menyelesaikan masa studinya. Bahkan hasil penelitian Singell[6] dan Des Jardins[7] menyimpulkan besarnya dampak hibah tersebut terhadap persistensi mahasiswa. Mahasiswa yang mendapatkan sokongan dana dari pemerintah baik melalui hibah, beasiswa atau bentuk bantuan lainnya rata-rata terlambat menyelesaikan kuliahnya. Pendapat ini juga dikaitkan dengan hasil penelitian Paulsen dan John[8] yang menyimpulkan bahwa mahasiswa dengan pendapatan orang tua rendah memang membutuhkan biaya tersebut tetapi tidak menjamin masa kuliahnya pendek. Hasil penelitian menunjukkan angka negatif pada delta p of –0,04 berarti tidak signifikan. Interpretasi beberapa ahli di atas yang mengindikasikan bahwa tujuan pemberian hibah tidak cocok bagi siswa dengan income terendah. Pendapat ini ditolak dalam penelitian jurnal ini. Penyebab utamanya adalah bervariasinya besar dukungan orang tua dalam mensuport pembiayaan pendidikan bagi anak-anaknya.
Demikian juga pinjaman memberikan dampak positif bagi mahasiswa untuk bertahan di Perguruan Tinggi Negeri, tetapi bukan pada peraihan gelar. Kecenderungan yang terjadi justru mahasiswa yang memperoleh pinjaman, baik yang dari high income family, middle maupun lower income family terbukti mencari kerja sampingan untuk menambah biaya hidupnya di dalam maupun di luar kampus.  Kombinasi antara bekerja dan kuliah membawa dampak bagi tidak maksimalnya mahasiswa mengikuti kuliah, mengikuti tentamen, menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan, dan bahkan mereka sama sekali tidak maksimal melakukannya.
Salah satu interpretasi yang terbukti positif mempengaruhi tidak efisiennya pemberian pinjaman kepada mahasiswa pada semua bentuk penghasilan keluarga adalah kualitas universitas. Semakin tinggi prestise universitas, maka semakin tinggi pula anggaran yang dihabiskan mahasiswa. Ironisnya, bukan pada tataran tuition fee, tetapi lebih pada expence pribadi mahasiswa (out of pocket cost). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gaya hidup, eksklusifitas dan luasnya integrasi sosial mahasiswa memberikan dampak yang cukup signifikan bagi besarnya biaya yang dibutuhkan selama di bangku kuliah. Hal ini berlaku bagi semua siswa dari berbagai jenis penghasilan orang tua. Dan itulah faktor-faktor dominan yang membuat mahasiswa “betah” berlama-lama di kampus.
Kondisi yang sama juga terjadi pada universitas-universitas di Indonesia. Ketika mahasiswa yang memperoleh BPPS, misalnya,  mereka merasa masih membutuhkan uang lebih banyak lagi untuk keperluan kuliahnya. Akibatnya, banyak mahasiswa yang “ngamen” mencari tambahan penghasilan dengan melakukan hal-hal yang mereka bisa dan sesuai dengan luas koneksi yang  mereka miliki. Akibatnya, mahasiswa sering datang terlambat, absen, bolos, tidak dapat menyelesaikan tugas tepat waktu, dan tidak jarang menjadi beban bagi mahasiswa lain yang memiliki komitmen pada kuliah.  Sebuah kasus misalnya, dengan alasan kemanusiaan “tidak diberikan, tidak enak hati”  atau “mengatakan tidak ada, padahal ada” dan bahkan tidak jarang langsung datang ke rumah (tempat kos),  ketika ada classmate yang pekerja dan jarang masuk kuliah dan tentu saja tidak memiliki waktu yang cukup untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan cenderung mencari jalan pintas. Meminta hasil pekerjaan teman dan merubah seala-kadarnya lalu mengumpulkan. Maka selesailah tugasnya dan tercatat tugasnya terpenuhi. Resiko pun ditanggung mahasiswa “rajin”. Nilainya bisa lebih rendah, atau bagi dosen-dosen yang memiliki komitmen “anti-plagiat” kedua-duanya pun harus menanggung akibatnya.
Dalam perkara tugas, mahasiswa pekerja banyak yang terbukti lolos dan mendapatkan nilai bagus. Tetapi ketika menjelang tugas akhir, maka mahasiswa pekerja terbukti banyak yang tidak mampu menyelesaikan kuliah tepat waktu. Mahasiswa penerima BPPS yang bukan pekerja dan konsen dengan kuliahnya kebanyakan menyelesaikan kuliah lebih cepat, demikian pula mahasiswa dari ekonomi lemah yang memiliki komitmen kuat cenderung berhasil.

4.    Faktor-faktor lain yang turut berpengaruh terhadap masa kuliah dan peraihan gelar mahasiswa
Menurut Dowd bahwa faktor lain yang turut memberikan andil bagi lamanya penyelesaian kuliah dan peraihan gelar adalah adanya kesenderungan mahasiswa cuti kuliah. Di Amerika, karena berbagai alasan misalnya berlibur,  bisnis, dan tuntutan pekerjaan bagi mahasiswa pekerja. Sedangkan di Indonesia, kebanyakan mahasiswa minta cuti kuliah karena alasan ekonomi, keluarga dan juga beberapa diantaranya karena alasan pekerjaan (posisi di tempat tugas).
Sedangkan dari pihak kampus, bagi mahasiswa yang tinggal di asrama kampus di tahun pertama dan kedua kebanyakan menyelesaikan kuliahnya tepat waktu. Tapi sebagian dari mereka, khususnya mahasiswa usia muda yang belum bekerja cepat menerima tawaran pekerjaan  padahal mereka belum siap untuk itu. Tuntutan kebutuhan keuangan sehari-hari dan pergaulan membuat mereka terjun ke dunia kerja dan tidak jarang yang lebih mementingkan karier dari pada kuliah. Ironisnya, sebuah kasus kecil mahasiswa dari daerah di Indonesia ada yang mengatakan bahwa “Waah! Enaknya hidup di Jakarta. Mudah mencari duit. Sayang, kuliah ini yang mengganggu.” Memang dunia ini aneh! Wallahu’alam!

SIMPULAN

Sampai pada kesimpulan analisis jurnal ini, berikut akan dikemukakan beberapa poin penting yang dapat ditarik dari hasil penelitian tentang faktor penghasilan orang tua, lamanya masa studi dan bentuk peran pemerintah dalam pembiayaan pendidikan tinggi.
1.    Peran pemerintah dalam pembiayaan pendidikan tinggi bertalian dengan keputusan untuk tetap bertahan di kampus dan peraihan gelar mahasiswa belum sepenuhnya dimanfaatkan dengan baik oleh mahasiswa penerima. Bentuk dukungan tersebut bersifat finansial aid seperti beasiswa, hibah, pinjaman dan bentuk bantuan lainnya yang sesungguhnya pas-pasan untuk biaya kuliah selama 4 tahun.
2.    Faktor pendapatan keluarga tidak berpengaruh secara signifikan dalam penyelesaian studi dan peraihan gelar khususnya bagi mahasiswa yang bisa menyelesaikan selama 4 tahun. Akan tetapi ketika sudah mencapai 5 tahun ke atas, maka dirasakan berat bagi orang tua yang berpenghasilan rendah, dan bagi orang tua yang berpenghasilan menengah dan tinggi ketika eksklusifitas hidup anaknya berubah menanjak.
3.    Faktor utama yang menyebabkan mahasiswa “betah” bertahan di kampus atau terlambat meraih gelarnya karena mahasiswa pekerja. Selain itu mahasiswa yang integrasi sosialnya tinggi dan karena mahasiswa yang mengambil cuti akademik.
4.    Mahasiswa pekerja berpeluang terlambat menyelesaikan kuliahnya dan berpeluang menjadi “bandul” bagi mahasiswa aktif. Terlebih di tahun-tahun terakhir kuliah. Syukurnya, tidak tempat bagi mereka di mata dosen “anti-plagiat.”


 

DAFTAR PUSTAKA

Becker, G. S. (1993). Human capital (Third ed.). Chicago: University of Chicago Press.

Beekhoven, S., De Jong, U., & Van Hout, H. (2002). Explaining academic progress via combining concepts of integration theory and rational choice theory. Research in Higher Education, 43(5), 577-600.

DesJardins, S. L., McCall, B. P., Ahlburg, D. A., & Moye, M. J. (2002). Adding a timing light to the "ToolBox". Research in Higher Education, 43(1), 83-114.

Dirjen Dikti, 2009. Beasiswa Dikti Tahun 2010. http://www.dikti.org/artikel.html

Paulsen, M. B., & St. John, E. P. (2002). Social class and college costs: Examining the financial nexus between college choice and persistence. Journal of Higher Education, 73(2), 189-236.

Singell, L. D. (2002). Come and stay awhile: Does financial aid effect enrollment and retention at a largepublic university? Eugene, OR: University of Oregon.
Tinto, V. (1987). Leaving college: Rethinking the causes and cures of student attrition (Second ed.). Chicago: University of Chicago Press.
UUD 1945, Pasal 31 (ayat 1)



[1] UUD 1945, Pasal 31 (ayat 1)
[2] Dirjen Dikti, 2009. Beasiswa Dikti Tahun 2010. http://www.dikti.org/artikel.html
[3]   Beekhoven, S., De Jong, U., & Van Hout, H. (2002). Explaining academic progress via combining concepts of integration theory and rational choice theory. Research in Higher Education, 43(5), 577-600.
[4]   Tinto, V. (1987). Leaving college: Rethinking the causes and cures of student attrition (Second ed.). Chicago: University of Chicago Press.
[5]    Becker, G. S. (1993). Human capital (Third ed.). Chicago: University of Chicago Press.
[6]      Singell, L. D. (2002). Come and stay awhile: Does financial aid effect enrollment and retention at a largepublic university? Eugene, OR: University of Oregon.
[7]      DesJardins, S. L., McCall, B. P., Ahlburg, D. A., & Moye, M. J. (2002). Adding a timing light to the "ToolBox". Research in Higher Education, 43(1), 83-114.
[8]      Paulsen, M. B., & St. John, E. P. (2002). Social class and college costs: Examining the financial nexus between college choice and persistence. Journal of Higher Education, 73(2), 189-236.

Tidak ada komentar:

PENELITIAN KUALITATIF DALAM ILMU-ILMU SOSIAL

A. Pendahuluan   Ketika kita bergaul sehari-hari seringkali kita berargumen satu sama lain. Kita bercakap-cakap untuk mempe...