Senin, 17 Januari 2011

Nation and Character Building melalui Pemahaman Wawasan Kebangsaan: Tugas Pendidikan yang Tertunda





“The Indonesian Republic will be established by Indonesian people,
and it will be de-established by Indonesian people.
Building Nation through Education is
the only way to build stronger Indonesia
(Prof. Dr. Soedijarto, M.A.)[1]

I.        Pendahuluan

Banyak kalangan yang melihat perkembangan politik, sosial, ekonomi dan budaya di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Bahkan, kekuatiran itu menjadi semakin nyata ketika menjelajah pada apa yang dialami oleh setiap warganegara, yakni memudarnya wawasan kebangsaan. Apa yang lebih menyedihkan lagi adalah bilamana kita kehilangan wawasan tentang makna hakekat bangsa dan kebangsaan yang akan mendorong terjadinya disorientasi, disintegrasi dan perpecahan.
Pandangan di atas sungguh wajar dan tidak mengada-ada. Krisis yang dialami Indonesia menjadi sangat multi dimensional dan saling kait-mengait. Krisis ekonomi yang tidak kunjung berhenti berdampak pada krisis sosial dan politik, yang pada perkembangannya justru menyulitkan upaya pemulihan ekonomi. Ibarat teka-teki ayam atau telur yang duluan ada. Aspek mana yang perbaikannya harus didahulukan. Konflik horizontal dan vertikal yang terjadi dalam kehidupan sosial merupakan salah satu  akibat dari semua krisis yang terjadi, yang tentu akan melahirkan ancaman disintegrasi bangsa. Apalagi bila melihat bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural seperti beragamnya suku, budaya daerah, agama, dan berbagai aspek politik lainnya, serta kondisi geografis negara kepulauan yang tersebar. Semua ini mengandung potensi konflik (latent sosial conflict) yang dapat merugikan dan mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa.

Dewasa ini, dampak krisis multidimensional ini telah memperlihatkan tanda-tanda awal munculnya krisis kepercayaan diri (self-confidence crisis) dan krisis rasa hormat diri (self-esteem crisis) sebagai bangsa. Krisis kepercayaan sebagai bangsa dapat berupa keraguan terhadap kemampuan diri sebagai bangsa untuk mengatasi persoalan-persoalan mendasar yang terus-menerus datang, seolah-olah tidak ada habis-habisnya mendera Indonesia. Aspirasi politik untuk merdeka di berbagai daerah, misalnya, adalah salah satu manifestasi wujud krisis kepercayaan diri sebagai satu bangsa, satu “nation”.
Apabila krisis politik dan krisis ekonomi sudah sampai pada krisis kepercayaan diri, maka eksistensi Indonesia sebagai bangsa (nation) sedang dipertaruhkan. Maka, sekarang ini adalah saat yang tepat untuk melakukan reevaluasi terhadap proses terbentuknya “nation and character building” kita selama ini. Karena boleh jadi persoalan-persoalan yang kita hadapi saat ini berawal dari kesalahan dalam menghayati dan menerapkan konsep awal “kebangsaan” yang menjadi fondasi ke-Indonesia-an. Kesalahan inilah yang dapat menjerumuskan Indonesia, seperti yang ditakutkan Sukarno, “menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa.” Bahkan, mungkin yang lebih buruk lagi dari kekuatiran Sukarno, “menjadi bangsa pengemis dan pengemis di antara bangsa-bangsa”.[2]
Di samping itu, timbul pertanyaan mengapa akhir-akhir ini wawasan kebangsaan menjadi banyak dipersoalkan. Apabila kita coba mendalaminya, menangkap berbagai ungkapan masyarakat, terutama dari kalangan cendekiawan dan pemuka masyarakat, memang mungkin ada hal yang menjadi keprihatinan.[3] Pertama, ada kesan seakan-akan semangat kebangsaan telah menjadi dangkal atau tererosi terutama di kalangan generasi muda. Seringkali disebut bahwa sifat materialistik mengubah idealisme yang merupakan jiwa kebangsaan. Kedua, ada kekuatiran ancaman disintegrasi kebangsaan, dengan melihat gejala yang terjadi di berbagai negara, terutama yang amat mencekam adalah perpecahan di Yugoslavia, di bekas Uni Soviet, dan juga di negara-negara lainnya seperti di Afrika, dimana paham kebangsaan merosot menjadi paham kesukuan atau keagamaan. Selalu merasa benar dan memperjuangkan kebenaran itu. Menyitir ungkapan sastrawan Jerman, Hebbel (1813-1863)[4] “Tragedi dunia yang sesungguhnya bukanlah konflik antara yang benar dan yang salah, tapi konflik antara dua hal yang sama-sama benar.”  Ketiga, ada keprihatinan tentang adanya upaya untuk melarutkan pandangan hidup bangsa ke dalam pola pikir asing untuk bangsa ini. Kekhawatiran akan munculnya neoliberalisme, multikulturalisme sempit, atau paham-paham perpecahan seperti negara federal. Perlu ada jawaban yang tegas, berapa banyak orang Bima yang berani berkata bahwa “Saya orang Indonesia yang lahir dan tinggal di Bima.” Demikian pula orang Bima yang mampu menghargai kebhinekaan. Mengapresiasi pihak yang menang jika ia kalah dalam sebuah tentamen. Itulah multikultural sejati, yaitu paham multikultural yang mampu respect each other well not view the culture in different paradigm.
Menyadari kondisi demikian, hanya di bahu kokoh pendidikan disandarkan permasalahan-permasalahan tersebut. Permasalahan yang demikian kompleks selain membutuhkan kehati-hatian dan kerja keras juga memerlukan perencanaan yang baik, implementasi yang berkualitas dan evaluasi serta re-evaluasi yang berkelanjutan.
Hanya pendidikan yang dapat merubah Indonesia (changing Indonesia through education). Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan yang mampu menanamkan nilai-nilai. Sebab nilai dari pendidikan kita bukan hanya pengetahuan tetapi juga nilai-nilai dari proses pembudayaan.[5] Untuk mewujudkan impian tersebut setiap rakyat Indonesia perlu memahami konsep politik, ekonomi, sosial dan budaya yang terintegrasi, yang saling mendukung satu sama lainnya dalam sebuah hierarki yang sederajat. Melalui pendidikan yang kuat dan adil maka diharapkan dapat diperoleh generasi Indonesia yang patuh, tunduk dan taat pada pentingnya berbangsa dan bernegara. Konsep tersebut diilustrasikan sebagai berikut:[6]
        
            GAMBAR 1
Proses pendidikan yang berkeadilan, pendidikan yang diperhati-kan, pendidikan yang menanamkan nilai-nilai demokrasi harus segera ditempatkan di garda terdepan. Dengan begitu, Indonesia boleh berbangga diri bahwa Indonesia adalah sebuah negara kesejahteraan, sebuah negara kebangsaan yang belum pernah ada di Indonesia bahkan di dunia.
II.       FOKUS MASALAH
Ketika mengeja POL-EK-SOS-BUD, terbayang dalam ruang ingatan begitu banyak masalah yang menggelayut di dalamnya. Sepertinya negara kesatuan yang berbentuk Republik ini sedang berenang diantara gelombang masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya menuju tujuannya, sebuah negara yang adil dan makmur. Namun demikian, makalah sederhana ini sudah pasti tidak akan sanggup mengungkap semua masalah yang demikian kompleks. Untuk itu beberapa lembar ke belakang akan diupayakan membahas masalah pokok berikut:
1.    Bagaimana konsep nation and character building dalam pendidikan?
2.    Mengapa wawasan kebangsaan itu penting dibudayakan melalui pendidikan dalam upaya nyata nation and character building?
3.    Bagaimana peran sub sistem: (1) politik, (2) ekonomi, (3) sosial dan (4) budaya dalam pendidikan yang mampu membangun wawasan kebangsaan melalui nation and character building?

III.      PEMBAHASAN


A.       Konsep Nation and Character Building dalam Pendidikan
Para founding fathers memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dengan tujuan umum adalah mengubah sistem feodalistik dan sistem kolonialis menjadi sistem modern dan sistem demokrasi.[7])  Kemerdekaan menurut Sukarno adalah “jembatan emas” menuju cita-cita demokrasi, sedangkan pembentukan “nation and character building” dilakukan sepanjang alur prosesnya. Kalau pada suatu saat Sukarno menyatakan bahwa, “revolusi belum selesai,” maka dalam konteks “nation and character building,” pernyataan demikian dapat dimengerti. Artinya, baik “nation” maupun “character” yang dikehendaki sebagai bangsa merdeka belum mencapai standar yang dibutuhkan. Maka dalam hubungan “nation and character building” seperti yang diuraikan di atas, beberapa hal  berikut terkandung di dalam gagasan awalnya:
1.     Pertama, Kemandirian (self-reliance), atau menurut istilah Presiden Soekarno adalah “Berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri). Dalam konteks aktual saat ini, kemandirian diharapkan terwujud dalam percaya akan kemampuan manusia dan penyelenggaraan Republik Indonesia dalam mengatasi krisis-krisis yang dihadapinya. Dalam pendidikan, siswa dapat dididik melalui tugas-tugas mandiri yang selanjutnya mendapatkan apresiasi dari pendidik. Selain itu, contoh-contoh terbaik dan keteladanan guru dapat membangkitkan kemandirian siswa.
2.     Kedua, Demokrasi (democracy), atau kedaulatan rakyat sebagai ganti sistem kolonialis. Masyarakat demokratis yang ingin dicapai adalah sebagai pengganti dari masyarakat warisan yang feodalistik. Masyarakat di mana setiap anggota ikut serta dalam proses politik dan pengambilan keputusan yang berkaitan langsung dengan kepentingannya untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran. Siswa dididik untuk mampu menghargai orang lain, mengakui kelebihan-kelebihan orang lain secara positif dan merefleksi akan kekurangan diri. Pemilihan pengurus kelas, ketua OSIS dan bahkan dalam perilaku sehari-hari ketika diskusi pun dapat dijadikan teladan yang baik tentang kehidupan berdemokrasi di sekolah.
3.     Ketiga, Persatuan Nasional (national unity). Dalam konteks aktual dewasa ini diwujudkan dengan kebutuhan untuk melakukan rekonsiliasi nasional antarberbagai kelompok yang pernah bertikai ataupun terhadap kelompok yang telah mengalami diskriminasi selama ini. Dalam komunitas sekolah, guru dapat mengkonkritkannya melalui berbagai kegiatan ekstrakurikuler dan melalui diskusi kelas. Perbedaan yang ada bukan untuk memisah-misahkan tetapi agar siswa mengetahui benar bahwa dengan keragaman adalah potensi untuk kesatuan. Perbedaan agama, ras, suku dan budaya di kelas dapat dijadikan teladan bagi siswa untuk tetap menjunjung persatuan dan kesatuan.
4.     Keempat, Martabat Internasional (bargaining positions).  Indonesia tidak perlu mengorbankan martabat dan kedaulatannya sebagai bangsa yang merdeka untuk mendapatkan prestise, pengakuan dan wibawa di dunia internasional. Sikap menentang hegemoni suatu bangsa atas bangsa lainnya adalah sikap yang mendasari ide dasar “nation and character building.” Bung Karno menentang segala bentuk “penghisapan suatu bangsa terhadap bangsa lain,” serta menentang segala bentuk “neokolonialisme” dan “neoimperialisme.” Indonesia harus berani mengatakan “tidak” terhadap tekanan-tekanan politik yang tidak sesuai dengan “kepentingan nasional” dan “rasa keadilan” sebagai bangsa merdeka.  Di sekolah pun sangat memungkinkan bagi guru untuk mengkonkritkan bagaimana siswa memahami bahwa martabat bangsa itu penting dan harus dibela. Kegiatan-kegiatan pembelajaran melalui metode simulasi dan penugasan terstruktur yang dibiasakan dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang harkat dan martabat bangsa.
Upaya membangun karakter dan rasa kebangsaan dapat dilaksanakan dengan berhasil di sekolah. Selama ini, pelajaran terlalu difokuskan pada penguasaan aspek kognitif dan psikomotorik seperti mampu menjawab soal dan membuat kriya. Ranah afektif sepertinya hanya mengikuti dari belakang tanpa disadari.

B.      Wawasan Kebangsaan sebagai bagian dari ‘nation and character building


Setiap orang tentu memiliki rasa kebangsaan dan memiliki wawasan kebangsaan dalam perasaan atau pikiran. Paling tidak di dalam hati nuraninya. Dalam realitas, rasa kebangsaan itu seperti sesuatu yang dapat dirasakan tetapi sulit dipahami. Namun ada getaran atau resonansi dan pikiran ketika rasa kebangsaan tersentuh. Rasa kebangsaan bisa timbul dan terpendam secara berbeda dari orang per orang dengan naluri kejuangannya masing-masing. Tetapi bisa juga timbul dalam kelompok yang berpotensi dasyat luar biasa kekuatannya.
Rasa kebangsaaan adalah kesadaran berbangsa, yakni rasa yang lahir secara alamiah karena adanya kebersamaan sosial yang tumbuh dari kebudayaan, sejarah, dan aspirasi perjuangan masa lampau, serta kebersamaan dalam menghadapi tantangan sejarah masa kini. Dinamisasi rasa kebangsaan ini dalam mencapai cita-cita bangsa berkembang menjadi wawasan kebangsaan, yakni pikiran-pikiran yang bersifat nasional dimana suatu bangsa memiliki cita-cita kehidupan dan tujuan nasional yang jelas. Berdasarkan rasa dan paham kebangsaan itu, timbul semangat kebangsaan  atau semangat patriotisme.
Wawasan kebangsaan mengandung pula tuntutan suatu bangsa untuk mewujudkan jati diri, serta mengembangkan perilaku sebagai bangsa yang meyakini nilai-nilai budayanya, yang lahir dan tumbuh sebagai penjelmaan kepribadiannya. Rasa kebangsaan bukan monopoli suatu bangsa, tetapi ia merupakan perekat yang mempersatukan dan memberi dasar keberadaan (raison d’entre) bangsa-bangsa di dunia.  Dengan demikian rasa kebangsaan bukanlah sesuatu yang unik yang hanya ada dalam diri bangsa kita karena hal yang sama juga dialami bangsa-bangsa lain.
Bagaimana pun konsep kebangsaan itu dinamis adanya. Dalam kedinamisannya, antarpandangan kebangsaan dari suatu bangsa dengan bangsa lainnya saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Dengan benturan budaya dan kemudian bermetamorfosa dalam campuran budaya dan sintesanya, maka derajat kebangsaan suatu bangsa menjadi dinamis dan tumbuh kuat dan kemudian terkristalisasi dalam paham kebangsaan.[8]
Paham kebangsaan berkembang dari waktu ke waktu, dan berbeda dalam satu lingkungan masyarakat dengan lingkungan lainnya. Dalam sejarah bangsa-bangsa terlihat betapa banyak paham yang melandaskan diri pada kebangsaan. Ada pendekatan ras atau etnik seperti Nasional-sosialisme (Nazisme) di Jerman, atas dasar agama seperti dipecahnya India dengan Pakistan, atas dasar ras dan agama seperti Israel-Yahudi, dan konsep Melayu-Islam di Malaysia, atas dasar ideologi atau atas dasar geografi atau paham geopolitik, seperti yang dikemukakan Bung Karno pada pidato 1 Juni 1945.[9]
“Seorang anak kecil pun, jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau diantara 2 lautan yang besar; Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, dan di antara 2 benua, yaitu Benua Asia dan benua Autralia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmahera, kepulaua Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan.”

Terhadap pernyataan itu, Bung Hatta tidak sepenuhnya sependapat, terutama mengenai pendekatan geopolitik itu :[10]
“Teori geopolitik sangat menarik, tetapi kebenarannya sangat terbatas. Kalau diterapkan kepada Indonesia, maka Filipina harus dimasukkan ke daerah Indonesia dan Irian Barat dilepaskan; demikian juga seluruh Kalimantan harus masuk Indonesia. Filipina tidak saja serangkai dengan kepulauan kita.”

Menurut Hatta memang sulit memperoleh kriteria yang tepat apa yang menentukan bangsa. Bangsa bukanlah didasarkan pada kesamaan asal, persamaan bahasa, dan persamaan agama. Menurut Hatta:
Bangsa ditentukan oleh sebuah keinsyafan sebagai suatu persekutuan yang tersusun jadi satu, yaitu keinsyafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsyafan yang bertambah besar oleh karena sama seperuntungan, malang yang sama diderita, mujur yang sama didapat, oleh karena jasa bersama, kesengsaraan bersama, pendeknya oleh karena peringatan kepada riwayat bersama yang tertanam dalam hati dan otak.”[11]
Pengertian tentang rasa dan wawasan kebangsaan tersebut di atas sebenarnya merupakan pandangan generik yang menjelaskan bahwa rasa dan wawasan lahir dengan sendirinya di tengah ruang dan waktu seseorang dilahirkan. Tidak salah bila pandangan generik itu mengemukakan pentingnya menumbuhkan semangat kejuangan, rasa kebanggaan atas bumi dan tanah air dimana seseorang dilahirkan dan sebagainya.
Wawasan kebangsaan merupakan jiwa, cita-cita, atau falsafah hidup yang tidak lahir dengan sendirinya. Ia sesungguhnya merupakan hasil konstruksi dari realitas sosial dan politik (socially and politically constructed).[12] Pidato Bung Karno atau perhatian Hatta mengenai wawasan kebangsaan adalah bagian penting dari konstruksi elit politik terhadap bangunan citra (image) bangsa Indonesia. Apa pun perbedaan pandangan elit tersebut, persepsi itu telah membentuk kerangka berpikir masyarakat tentang wawasan kebangsaan.
C.      Peran Sub Sistem Politik, ekonomi, sosial dan budaya dalam Pendidikan yang mampu Membangun Wawasan kebangsaan melalui Nation and Character Building

Mengadopsi pemikiran Talcott Parsons[13] mengenai teori sistem,  wawasan kebangsaan dapat dipandang sebagai suatu falsafah hidup yang berada pada tataran sub-sistem budaya. Dalam tataran ini wawasan kebangsaan dipandang sebagai ‘way of life’ atau merupakan kerangka/peta pengetahuan yang mendorong terwujudnya tingkah laku dan digunakan sebagai acuan bagi seseorang untuk menghadapi dan menginterpretasi lingkungannya. Jelaslah, bahwa wawasan kebangsaan tumbuh sesuai pengalaman yang dialami oleh seseorang, dan pengalaman merupakan akumulasi dari proses tataran sistem lainnya, yakni sub-sistem politik, sub-sistem ekonomi, sub-sistem sosial, dan sub-sistem budaya.
1.    Sub Sistem Politik
Dapat dipahami bila wawasan kebangsaan hanya tumbuh dan dapat diwujudkan dengan energi yang diberikan oleh sub sistem lainnya. Sub-sistem politik akan memberikan energi kepada bekerjanya sub-sistem ekonomi, untuk kemudian memberikan energi bagi sub-sistem sosial dan pada akhirnya kepada sub-sistem budaya. Sebaliknya, apabila sub-sistem budaya telah bekerja dengan baik karena energi yang diberikan oleh sub-sistem lainnya, maka sub-sistem budaya ini akan berfungsi sebagai pengendali (control) atau yang mengatur dan memelihara kestabilan bekerjanya sub-sistem sosial. Begitu seterusnya, sub-sistem sosial akan memberi kontrol terhadap sub-sistem ekonomi, dan sub-sistem ekonomi akan bekerja sebagai pengatur bekerjanya sub-sistem politik.
Hubungan timbal balik antara sub-sistem tersebut di atas oleh Parsons  disebut sebagai cybernetic relationship.
 GAMBAR 2


Dalam gambar di atas Sub-sistem Politik merupakan prasayarat atau prakondisi bagi terciptanya atau bekerja sub-sistem ekonomi. Pada sub-sistem politik, pencapain tujuan dilaksanakan melalui demokrasi yang mengedepankan keseimbangan hak dan kewajiban warga negara, menghargai perbedaan dan sebagainya. Di kalangan ilmu politik, tujuh kriteria Robert Dahl[14], juga banyak dikenal, yaitu (1) pengawasan atas kebijaksanaan pemerintah dilakukan secara konstitusional oleh wakil-wakil yang dipilih, (2) wakil-wakil rakyat itu dipilih dalam pemilihan yang dilakukan secara jurdil dan tanpa paksaan, (3) semua orang dewasa berhak memilih, (4) semua orang dewasa juga berhak dipilih, (5) setiap warga negara berhak menyatakan pendapat mengenai masalah-masalah politik tanpa ancaman hukuman, (6) setiap warganegara berhak memperoleh sumber-sumber informasi alternatif, yang memang ada dan dilindungi oleh hukum, dan (7) setiap warga negara berhak membentuk perkumpulan atau organisasi yang relatif independen, termasuk partai politik dan kelompok kepentingan.
Tentu saja terdapat banyak ukuran lain, tetapi sebagai suatu ukuran minimal kriteria Dahl tersebut mungkin cukup memadai untuk melihat pengejawantahan demokrasi di Indonesia. Secara ringkas kriteria demokrasi mungkin dapat dijelaskan sebagai berikut:[15]

“Kebebasan hukum untuk merumuskan dan mendukung alternatif-alternatif politik dengan hak yang sesuai untuk bebas berserikat, bebas berbicara, dan kebebasan-kebebasan dasar lain bagi setiap orang; persaingan yang bebas dan antikekerasan di antara para pemimpin dengan keabsahan periodik bagi mereka untuk memegang pemerintahan; dimasukkannya seluruh jabatan politik yang efektif di dalam proses demokrasi; dan hak untuk berperan serta bagi semua anggota masyarakat, apapun pilihan politik mereka. Secara praktis itu berarti kebebasan untuk mendirikan partai politik dan menyelenggarakan pemilihan umum yang bebas dan jujura dalam jangka waktu tertentu tanpa menyingkirkan jabatan politis efektif apa pun dari akuntabilitas pemilihan yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.”

Sementara itu, Sydney Verba[16] mengemukakan bahwa “sikap umum manusia dalam berpolitik adalah partisipasi. Manusia biasanya cenderung berpolitik dalam tiga cara yaitu parochial (has neither knowledge nor interest in politics), subject (citizens are aware of central government, and are heavily subjected to its decisions with little scope for dissent) dan participant (Citizens are able to influence the government in various ways and they are affected by it).” Dan Bentuk budaya politik (ideology perspectives) tersebut bisa dalam bentuk anarkisme, korporatisme, oligarki, liberalisme klasik,  sosialisme demokratis dan korporatif fasisme.
Berpijak pada pandangan di atas, sebagaimana dipahami, sistem politik Indonesia dewasa ini sedang mengalami proses demokratisasi yang membawa berbagai konsekuensi tidak hanya terhadap dinamika kehidupan politik nasional, melainkan juga terhadap dinamika sistem-sistem lain yang menunjang penyelenggaraan kehidupan kenegaraan, bahkan melalui sebuah konflik.  Hal ini sejalan dengan pendapat Seymour Martin Lipset bahwa Successful/stable democracies need conflict or cleavages to succeed. Why? Allows for PEACEFUL play of power. E.g. Trade-unions help integrate members in the body politic and give them a basis for loyalty to the political system.[17]
Dalam suatu negara yang berdasarkan konstitusi sebagai dasar hukum, maka antara sistem pemerintahan negara, sistem politik dan sistem perekonomian saling berkaitan dan merupakan satu keterkaitan tentang pandangan hidup dan falsafah dasar negara.
Berlangsungnya mekanisme dan budaya demokrasi pada sub sistem politik akan memberikan dampak secara langsung bagaimana sub sistem ekonomi berjalan. Bekerjanya sub sistem ekonomi ini secara signifikan akan memberikan dampak pada peningkatan pendapatan.
2.    Sub Sistem Ekonomi
Sub-sistem ekonomi dan sub-sistem politik mempunyai kaitan yang sangat erat. Ada yang mengatakan bahwa paham kebangsaan Indonesia tidak menempatkan bangsa kita di atas bangsa lain, tetapi menghargai harkat dan martabat kemanusiaan serta hak dan kewajiban manusia. Paham kebangsaan berakar pada asas kedaulatan yang berada di tangan rakyat. Oleh karena itu paham kebangsaan sesungguhnya adalah paham demokrasi yang memiliki cita-cita keadilan sosial, bersumber pada rasa keadilan dan menghendaki kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Namun demikian sangat dipahami bahwa pembangunan ekonomi bukan semata-mata proses ekonomi, tetapi suatu penjelamaan dari proses perubahan politik dan sosial. Oleh karena itu keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi tidak dapat lepas dari keberhasilan pembangunan di bidang politik. Pada masa kini kita menyaksikan betapa pembangunan ekonomi hanya dapat terjadi secara bekelanjutan di atas landasan demokrasi.  Betapa bangsa yang menganut sistem politik totaliter, dengan atau tanpa ideologi, atau dilandasi oleh ideologi apapun, tidak bisa mewujudkan kesejahteraan dan tidak sanggup memelihara momentum kemajuan yang telah dicapai. Sejarah membuktikan keikutsertaan rakyat dalam pengambilan keputusan merupakan prasyarat bagi peningkatan kesejahteraan secara berkelanjutan.
Di sisi lain, ada pula yang mengatakan proses demokratisasi tidak akan berlangsung dengan sendirinya tanpa faktor-faktor yang menkondisikannya. Dalam hal ini tingkat kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh akan menentukan kualitas demokrasi. Masyarakat yang belum terpenuhi kebutuhan hidupnya yang paling mendasar akan sulit dibayangkan dapat ikut mempengaruhi secara aktif proses perumusan kebijaksanaan pada tingkat mana pun, faktor ekonomi sangat menentukan. Dengan demikian, tingkat partisipasi politik rakyat sangat erat kaitannya dengan tingkat kemajuan ekonominya. Jalan menuju demokrasi adalah pembangunan ekonomi, seperti juga jalan menuju pembangunan ekonomi adalah demokrasi.
Ekonomi yang kuat antara lain tercermin pada tingkat pendapatan per kapita dan tingkat pertumbuhan yang tinggi belum menjamin terwujudnya demokrasi yang sehat apabila struktur ekonomi pincang dan sumber-sumber daya hanya terakumulasi pada sebagian sangat kecil anggota masyarakat. Dengan demikian, upaya-upaya pemerataan pembangunan yang sekarang diberikan perhatian khusus harus dipandang pula sebagai langkah strategis dalam rangka pengeja-wantahan dari wawasan kebangsaan.
Sebab utama dari kemiskinan adalah tingkat pendapatan yang rendah dan menyebabkan terjadinya lingkaran setan. Pendapat yang rendah bukan hanya mempengaruhi tingkat tabungan yang rendah, tetapi juga mempengaruhi tingkat pendidikan, kesehatan yang rendah sehingga produktivitas sumberdaya juga menjadi rendah. Pada gilirannya semuanya itu akan membawa akibat pada rendahnya rendapatan masyarakat.
Bagan  Lingkaran Setan[18]




Sebab utama dari kemiskinan adalah tingkat pendapatan yang rendah dan menyebabkan terjadinya lingkaran setan. Pendapat yang rendah bukan hanya mempengaruhi tingkat tabungan yang rendah, tetapi juga mempengaruhi tingkat pendidikan, kesehatan yang rendah sehingga produktivitas sumberdaya juga menjadi rendah. Pada gilirannya semuanya itu akan membawa akibat pada rendahnya rendapatan masyarakat.
Peningkatan produktivitas dan investasi merupakan dua hal penting bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.  Peningkatan produktivitas tergantung dari tingkat kesehatan dan gizi serta tingkat pendidikan dan keterampilan yang dimiliki masyarakat.  Semua itu hanya dapat dicapai apabila masyarakat mempunyai cukup pendapatan. Dengan tingkat pendapatan yang meningkat, masyarakat dapat membelanjakan makanan yang bergizi yang pada akhirnya akan mempengaruhi produktivitas kerja yang dapat mempengaruhi pula tingkat pendapatan. Untuk lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat diperlukan investasi yang cukup memadai sehingga secara nasional diperlukan tingkat tabungan yang cukup untuk meningkatkan pendapatan per kapita. Itulah mengapa perlu terus menerus diupayakan untuk meningkatkan pendapatan, karena pendapatan yang tinggi akan memotong lingkaran setan tersebut.
Fenomena yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini seharusnya tidak membuat pemerintah menunda investasi dalam pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan. Sebab, pada hakekatnya ketika pemerintah mau membelanjakan anggarannya pada pendidikan berarti pemerintah sudah berniat untuk menanam benih yang akan bermuara pada pertumbuhan ekonomi. Hal ini sejalan dengan pendapat Harbison dan Myers[19]  “...(2) Investments in education certainly contribute to economic growth, but it also obvious that economic growth makes it possible for nations to invest in education development. Education, therefore, is both the seed and the flower of economic development. ...”
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Kottler dkk.[20] bahwa pengambil kebijakan hendaknya peduli dengan kemampuan negaranya tidak hanya dalam konsep scope and intensity tetapi juga dalam hal dampak substitution and synergetic sebagaimana diilustrasikan dalam bagan berikut:





GAMBAR 3

Dengan demikian dapat dipahami bahwa pembangunan seharusnya diartikan lebih dari sekedar memenuhi kebutuhan materi tetapi lebih merupakan proses multidimensi yang meliputi perubahan organisasi dan orientasi dari seluruh sistem sosial, politik, dan ekonomi. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bukan hanya untuk menciptakan peningkatan produksi nasional riil, tetapi juga harus ada perubahan pada kelembagaan, struktur administrasi, perubahan sikap dan kebiasaan yang diharapkan diperoleh melalui investasi dalam bidang pendidikan.
Di dalam kehidupan ekonomi nasional, sistem ekonomi Indonesia berdasarkan pula pada demokrasi, yakni yang disebut sebagai demokrasi ekonomi. Pengertian demokrasi ekonomi sesungguhnya mencerminkan kelanjutan hakikat dari cara pandang integralistik dalam pemerintahan negara yang berdasarkan pada demokrasi kemakmuran masyarakat yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang.[21]
Dengan demikian, demokrasi ekonomi merupakan suatu bentuk penajaman dari pesan politik kemerdekaan bangsa Indonesia. Dimensi politik ini harus dipahami secara hati-hati untuk tetap dapat menghormati dan tidak mengabaikan hak-hak rakyat sebagaimana kedaulatan rakyat menjadi dasar bagi pendirian Republik Indonesia ini.[22]
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, sub-sistem politik dan sus-sistem ekonomi merupakan prasyarat bagi bekerjanya sub-sistem sosial, yang menjamin hubungan-hubungan sosial di dalam masyarakat menjadi lebih selaras. Dengan demikian kualitas hubungan sosial ini akan memperkecil atau bahkan meniadakan kemungkinan terjadinya konflik sosial. Teringat kalimat pertama pada Bab I Ronald Inglehart menulis bahwa economic, cultural and political change go together in coherent patterns that are changing the world in predictable ways.[23] Bagaimana hal itu bisa terwujud, berikut dikemukakan sebuah persamaan: [24]


 
 GAMBAR 4


Secara ringkas persamaan di atas dapat dijelaskan bahwa pertambahan yang dapat dicapai pada pertumbuhan ekonomi sesungguhnya sangat tergantung pada upaya pemberdayaan ekonomi dan interaksi antara peranan kelembagaan untuk mengatasi konflik sosial yang terjadi. Peranan kelembagaan dapat dijelaskan antara lain dengan eksistensi birokrasi yang bersih, bebas KKN, pranata hukum yang berwibawa dengan penegakan hukum yang konsisten dan sebagainya. Sementara itu, latent sosial conflik dapat dijelaskan antara lain dengan besarnya ketidak-merataan (inequality) yang terjadi di dalam masyarakat. Di samping itu pluralitas seperti beragamnya suku, budaya daerah, agama, dan berbagai aspek politik lainnya, serta kondisi geografis negara kepulauan yang tersebar, juga merupakan bagian dari latent sosial conflict.
3.    Sub Sistem Sosial
Pada tataran sub-sistem sosial berlangsung suatu proses interaksi sosial yang menghasilkan kohesi sosial yang kuat, hubungan antarindividu, antarkelompok dalam masyarakat yang harmonis. Integrasi dalam sistem sosial yang terjadi akan sangat mewarnai dan mempengaruhi bagaimana sistem budaya (ideologi/ falsafah/ pandangan hidup) dapat bekerja dengan semestinya.
Susilo Bambang Yudhoyono[25] pernah mengungkapkan bahwa  “wawasan kebangsaan bukanlah sesuatu yang bersifat statis dan tak berubah dari waktu ke waktu, sebaliknya ia bersifat dinamis, namun bukan berarti juga wawasan kebangsaan tersebut dapat diubah-ubah sekehendaknya. Seperti halnya bangun suatu rumah tangga, ada bagian yang tak mudah untuk diubah dan ada bagian yang relatif mudah.Pembinaan wawasan kebangsaan dapat dilakukan setidak melalui dua cara yaitu melalui jalur pendidikan dan pembinaan astagrata.[26]
Ditinjau dari format pendidikan. Dapat dilakukan melalui jalur formal dan informal sebagai berikut : Pertama, secara formal dalam lingkungan sekolah/Perguruan Tinggi, untuk menjaga eksistensi wawasan nusantara sebagai cara pandang bangsa Indonesia terhadap rakyat, bangsa dan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN) dan rasa cinta tanah air harus dikenalkan secara dini kepada anak-anak Indonesia melalui pendidikan sekolah / Perguruan Tinggi sesuai dengan strata pendidikannya secara merata dan diwadahi melalui kurikulum pendidikan nasional sebagai berikut: (1) Untuk tingkat pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK), mengenalkan tentang lagu kebangsaan dan lagu-lagu nasional serta daerah, bahasa Indonesia dan Bendera merah Putih sebagai bendera negara; (2) Untuk tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD), mempelajari tentang sejarah Indonesia, mengenal Pancasila sebagai Dasar Negara dan UUD 1945 sebagai Dasar Hukum bangsa Indonsia; (3) Untuk tingkat Pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP setingkat) melanjutkan pendidikan dasar yang sudah diterima di tingkat SD dan upaya bangsa Indonesia untuk mempertahankan keutuhan NKRI dari segala macam bentuk rongrongan pemberontakan dan pengkhianatan yang dilakukan oleh sebagian pengkhianat bangsa maupun kemungkinan adanya ancaman yang datang dari luar; (4) Untuk tingkat Pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA setingkat) melanjutkan pendidikan menengah pertama yang sudah di terima di tingkat SMP secara aplikatif agar lebih menghayati arti penting bela negara dan rasa cinta tanah air dalam rangka mempertahankan keutuhan dan rasa persatuan kesatuan bangsa Indonesia melalui cara pandang yang sama dalam wadah NKRI. Sehingga sebagai anak bangsa akan tertanam jiwa bela negara dalam kerangka pertahanan negara; (5) Untuk tingkat Perguruan Tinggi, membangun kesadaran dan kemampuan bela negara serta penanaman rasa bela negara rasa cinta tanah air diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat lebih aplikatif yang diwadahi melalui organisasi kemahasiswaan seperti  Resimen Mahasiswa (Menwa), organisasi kemahasiswaan lainnya untuk memupuk dan melatih kewiraan serta kepemimpinan sebagai kader generasi penerus bangsa; (6)  Mengaktifkan kegiatan kepramukaan sebagai sarana yang paling efektif pada waktu yang lalu untuk menanamkan semangat bela negara dan rasa cinta tanah air di kalangan generasi muda bangsa disetiap strata pendidikan yang berbeda.
Kedua, Secara informal dalam lingkungan pemukiman maupun lingkungan pekerjaan, disamping pendidikan formal yang diterima oleh generasi penerus bangsa disekolah maupun perguruan tinggi, maka pendidikan bela negara juga dilaksanakan dilingkungan pemukiman dan lingkungan pekerjaan, dilaksanakan dengan cara : (1) Mensosialisasikan Undang-Undang nomor 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara dilingkungan pemukiman maupun pekerjaan bahwa tugas-tugas pertahanan negara bukanlah tugas TNI semata tetapi menjadi tanggung jawab seluruh komponen bangsa sesuai dengan bidangnya masing-masing, sehingga masyarakat sebagai warga negara akan memahami dimana posisinya dalam keikutsertaannya untuk melaksanakan pertahanan negara sebagai komponen cadangan atau komponen pendukung; (2) Untuk menanam dan menumbuh-kembangkan rasa bela negara dan rasa cinta tanah air dilaksanakan melalui kegiatan secara aplikatif dalam keseharian di lingkungan pemukiman diantaranya melaksanakan kegiatan sistem keamanan lingkungan (Siskamling), kerja bhakti dan gotong royong, pelatihan perlawanan rakyat (Wanra) dan keamanan rakyat (Kamra), pengibaran bendera Merah putih pada hari-hari nasional dan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia; (3) Melaksanakan Pendidikan Pendahuluan Bela Negara yang difasilitasi oleh pemerintah dengan mengikutsertakan kader-kader dari daerah (mulai tingkat desa sampai tingkat propinsi); (4) Untuk lingkungan pekerjaan melaksanakan upacara pengibaran bendera Merah Putih pada setiap hari Senin dan hari-hari Nasional maupun hari Kemerdekaan Indonesia serta ikut serta dalam wadah pertahanan sipil (Hansip); (5) Peningkatan komunikasi yaitu dengan melaksanakan kegiatan yang terkait dengan propaganda melalui media masa, koran, televisi dan radio untuk membangun kesadaran dan kemampuan bela negara diseluruh lapisan masyarakat Indonesia. Media yang digunakan tidak terbatas milik pemerintah saja tetapi melibatkan seluruh media swasta yang beredar di seluruh Indonesia, terutama yang mengarah kepada program cinta Indonesia.
 Sedangkan ditinjau dari pembinaan aspek Astagatra yang terdiri dari tri gatra (geografi, demografi dan sumber kekayaan alam) dan panca gatra (idiologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan) adalah merupakan ciri wawasan nusantara dan ketahanan nasional bangsa Indonesia.
Belajar dari pengalaman proses sosialisasi P4 dahulu yang dilakukan melalui pendekatan penataran kiranya perlu ditinjau kembali apakah pendekatan itu efektif bagi upaya sosialisasi Wawasan Kebangsaan. Berbagai pendekatan lain secara teknis bisa dilakukan dengan cara yang lebih menggugah dan partisipatif, antara lain dengan Focused Group Discussion (FGD), Out Bound Orientation (OBO), Public Debate Simulation/Exercise, atau melalui cara-cara yang lazim dikenal seperti lokakarya atau seminar yang sifatnya lebih dua arah (interaktif).
Di samping itu, upaya sosialisasi juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan kekuatan media masa termasuk kreatif ide dari profesional di bidangnya, dan melalui saluran-saluran pendidikan baik formal maupun informal, serta diseminasi melalui pamflet, leaflet, brosur dan sebagainya.
Dari segi substansi, sosialisasi dilaksanakan tidak secara langsung membahas dan mendiskusikan paham wawasan kebangsaan, tetapi lebih kepada isu-isu yang muncul terkait dengan proses demokratisasi, pemberdayaan ekonomi rakyat, keselarasan sosial dan sebagainya yang pada akhirnya bermuara pada kesepahaman mengenai wawasan kebangsaan itu sendiri.
4.    Sub Sistem Budaya
Dewasa ini struktur pemaknaan yang dominan di semua segi kehidupan adalah ekonomi. Maka, kampanye capres fokusnya ekonomi dan mengabaikan politik kebudayaan. Padahal, politik kebudayaan bisa melemahkan aspek eksploitatif hubungan produksi dan menolong menghadapi secara kritis determinisme ekonomi. Masalahnya, persaingan sebagai pendorong efisiensi (logika ekonomi) mengabaikan logika sosial yang peduli keadilan dan solidaritas. Dua hal ini adalah faktor perekat rasa kebangsaan, lahan budaya perkembangan etos.
Rasa kebangsaan tumbuh berkat solidaritas, tetapi institusi-institusi sosial ternyata didikte kapitalisme baru yang mendorong ke individualisme. Kapital tak sabar mengubah semua institusi agar bisa menarik pemodal.[27] Perbaikan performance ekonomi menuntut selalu ada inovasi. Tuntutan ini menciptakan struktur kesibukan yang rentan konflik. Lalu, masyarakat hanya kenal satu pola hubungan, yaitu persaingan. Akibatnya, stres tinggi, gelisah, kolega dianggap pesaing. Maka, solidaritas masyarakat melemah.
Dalam persaingan itu, peran negara sebagai penengah hampir tak berfungsi karena tiadanya politik kebudayaan. Warga negara diperlakukan seperti konsumen. Padahal, konsumen cenderung individualis karena konsumerisme melemahkan solidaritas. Konsumen tidak terorganisasi sehingga tidak mampu membangkitkan perlawanan struktural terhadap komersialisasi gaya hidup. Konsumsi menggantikan norma sosial dalam perannya sebagai mesin integrasi dan regularisasi masyarakat.[28] Struktur sosialisasi kehilangan kewenangan.
Melemahnya struktur sosialisasi ini diperparah sifat narsisis masyarakat konsumeris. Hanya peduli pada kebahagiaan sendiri membuat kesejahteraan bersama diabaikan. Narsisisme butuh perantara, yaitu model. Model selebritas diciptakan media massa. Maka, program televisi seperti American Idol dan infotainment mencatat rating tinggi. Budaya sebagai upaya meningkatkan kualitas habitat hidup bersama tidak mendapat tempat. Maka, berat kendala yang harus dihadapi untuk mengembangkan kebudayaan dalam arti ”aspek normatif, kaidah etika, pembinaan nilai, dan perwujudan cita-cita serta mengarahkan dan membentuk tata hidup, perilaku, etos suatu masyarakat”.[29]
Sedangkan kebijakan publik yang menekankan ekonomi rentan konflik karena memihak yang kuat. Saat hubungan kekuatan menentukan arena sosial, pembelajaran untuk menerima perbedaan tak dipedulikan lagi. Lalu, aneka institusi sosial cenderung menghasilkan diskriminasi. Maka, penting memiliki visi kebudayaan.
Ada empat alasan mengembangkan politik kebudayaan.[30] Pertama, nilai strategis budaya sebagai penyebar standar simbolis dan komunikatif. Kedua, perlunya menempa identitas kolektif. Ketiga, politik kebudayaan berdampak positif pada ekonomi dan sosial karena mengembangkan kreativitas. Keempat, perlu memelihara kekayaan kolektif (budaya, sejarah, tradisi, dan seni). Keempatnya mengandaikan penerimaan keragaman masyarakat.
Pendidikan yang mampu memperkuat posisi dan daya saing kebudayaan serta menanamkan konsep mutlikultural sebagai sebuah konsep berbeda-beda tapi tetap satu sangat penting di Indonesia. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika seharusnya benar-benar menjadi panutan, menjadi darah dan daging bagi setiap masyarakat Indonesia. Dengan demikian, manusia Indonesia yang memiliki wawasan kebangsaan sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya adalah insan Indonesia yang memiliki jiwa apresiatif. Mau menerima kehadiran orang lain sebagai bagian dari dirinya dalam sebuah konstelasi ke-Indonesiaan yang sejati.
IV.     PENUTUP

Dapat dimengerti bahwa dalam membangun sebuah wawasan kebangsaan ini diperlukan suatu “platform”, yakni yang dibangun adalah rakyat, bangsa, dan negara. Pada bagian akhir tulisan ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.    Nation  and Character building sebagaimana yang diidam-idamkan oleh para Founding Fathers mencakup kemandirian, demokrasi, persatuan nasional, dan martabat bangsa di dunia Internasional. Keempat aspek ini dapat dibina hanya melalui pendidikan yang baik.
2.    Wawasan kebangsaan adalah kesadaran berbangsa, yakni rasa yang lahir secara alamiah karena adanya kebersamaan sosial yang tumbuh dari kebudayaan, sejarah, dan aspirasi perjuangan masa lampau, serta kebersamaan dalam menghadapi tantangan sejarah masa kini. Untuk itu perlu dilakukan pembinaan baik melalui pendidikan di setiap levelnya maupun melalui pembinaan astagrata.
3.    Peran pendidikan yang kuat dan berkeadilan menjadi faktor penentu utama sehingga aspek-aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya dapat membawa Indonesia kepada kemajuan dan kesetaraan dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Yaitu Indonesia yang kokoh, kompetitif dan memilki jati diri. Dalam upaya itu, pembangunan politik, ekonomi, sosial dan budaya merupakan pendukung utama atau ‘main derivat’ dari pembangunan yang berorientasi pada rakyat, bangsa, dan Negara sehingga harus diperhatikan secara serius.


 


DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Bennedict, Imagined Community : Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, London: Verso, 1991.
Bakker, J. W. M. Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar. Penerbit: Yogyakarta: Kanisius 1984
Basari, Hasan dan Bernhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, Jakarta : LP3ES, 1987. Judul asli : Sukarno and the struggle for Indonesia
Dahl,  Robert A., Dillemas of Pluralist Democracy: Autonomy vs Control, Yale University Press, 1982
Durkheim, emile (et.al.), Essay on Philosophy and Sociology, Harper Books, 1964.
Frederic Harbison and Charles A. Myers, Manpower and Education: Country Studies in Economic Development, New York: McGraw-Hill Book Company.
Gonggong, Anhar, Perspektif  Sejarah atas Demokrasi Indonesia, Makalah dalam diskusi terbatas, 11 September 2002, di Bappenas, oleh Direktorat Politik, Komunikasi dan Informasi. Http://bappenas.go.id/makalah/g_anhar/index.php
Huntington, Samuel P., Democracy’s Third Wave, dalam Journal of Democracy, Spring, 1991.
Jean Baudrillard. The System of Objects. J. Benedict (Trans). Verso Books. London and New York, 1968.
Kartasasmita, Ginandjar. “Pembangunan Nasional dan Wawasan Kebangsaan, Makalah disampaikan pada Sarasehan Nasional Wawasan Kebangsaan di Jakarta, 9 Mei 1994. http://bappenas.go.id/ makalah/ginanjar/index.php
Kunarjo, Perencanaan dan Pembiayaan Pembangunan, Edisi. ke-3. Jakarta : UI Press, 1996.
Linz, Juan J. dan Alfred Stepan, Mendefinisikan dan Membangun Demokrasi, dalam “Menjauhi Demokrasi Kaum Pemnajah”, Ikrar Nusa Bhakti dan Riza Sihbudi (ed.),Bandung : Mizan, 2001
Lluis Bonet, Cultural Diversity and Cultural Pluralism, Catalunya : Universitat de Barcelona Press. 2007.
Parsons, Talcott. Toward a General Theory of Action. New York : Harper & Row, 1951.
Philip Kotler, Somkid Jatusripitak, Suvit Maesincee, The Marketing of Nations: A Strategic Approach to Building National Wealth, New York : The Free Press, pp. 112.

Richard Sennet, The Corrosion of Character: Personal Consequences of Work in the New Capitalism, New York: W.W Norton & Company Inc.

Rizang Wihatnolo, 2003. Federal or Unitary State, Indonesia between the Choice of Federal State, Unitary State or Decentralization,  Bappenas.
Ronald Inglehart, Modernization and Postmodernization; Cultural, Economic and Political Change in 43 Societies, New Jersey: Princetown University Press.
Seymor Martin Lipset, Political Man, Garden City, New York: Anchor Books, 1960.
Soedijarto, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2008.
Sudarsono, Juwono, (Ed.), Pembangunan Politik dan Perubahan Politik, Jakarta: Gramedia, 1981. http://bappenas.go.id/makalah/Juwono /index.php
Susilo Bambang Yudhoyono, Menuju Negara Kebangsaan Modern, 2004.
Swasono, Sri-Edi dan Fauzie Ridjal. Mohammad Hatta; Beberapa Pokok Pikiran, Jakarta : UI-Press, 1992. http://bappenas.go.id/makalah/sri-edi_ridjal/index.php
Swasono, Sri-Edi, Demokrasi Ekonomi: Komitmen dan Pembengunan Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Ekonomi pada Fakultas ekonomi Universitas Indonesia di Jakarta pada tanggal 13 Juli 1988. http://bappenas.go.id/makalah/sri-edi/index.php
Sydney Verba and Gabrial A. Almond, Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations, Princetown University Press, 1963.
en.wikipedia.org/wiki/Christian_Friedrich_Hebbel.


[1]     Prof. Dr. Soedijarto, MA, Ceramah Kuliah, (Menyitir ungkapan Bung Karno) Selasa, tanggal 8 Juni 2010. Ungkapan ini saya kutip disini ketika secara tidak sengaja saya menonton sebuah cuplikan sebuah film sejarah yang berjudul “Michael Collins”. Sebuah film dengan latar belakang perjuangan Republik Irlandia tahun 1920 untuk membebaskan diri dari Dominasi Inggris. Dalam benak saya, perjuangan rakyat Irlandia telah berakhir sampai tahun 1927. Demikian pula, negara kebanggaanku Indonesia merdeka di tahun 1945. .... Namun ada yang merisaukan bahwa sampai saat ini perjuangan itu ternyata semakin berat.... 
[2]       Hubungan Indonesia dengan organisasi donor  (IMF, CGI, World Bank, ADB) dan negara-negara pemberi pinjaman (AS, Jepang, EU), sudah mendekati hubungan antara “pengemis-pemberi sedekah.”  Sikap dan perilaku demikian ini sangat bertentangan dengan gagasan dasar berdirinya Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Sikap ketergantungan yang terus-menerus atas bantuan asing (foreign assistance) sangat bertentangan dengan konsep awal nation and character building”.
[3]      Rizang Wihatnolo, 2003. Federal or Unitary State, Indonesia between the Choice of Federal State, Unitary State or Decentralization,  Bappenas.
[4]    en.wikipedia.org/wiki/Christian_Friedrich_Hebbel

[5]        Soedijarto, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2008.
[6]        Diilustrasikan kembali dari hasil kuliah POLEKSOSBUD yang diampu Prof. Dr. Soedijarto,MA.
[7]       Anhar Gonggong dalam “Diskusi Terbatas,” “Perspektif  Sejarah atas Demokrasi Indonesia,” 11 September 2002, di Bappenas, oleh Direktorat Politik, Komunikasi dan Informasi.

[8]       Pandangan mengenai wawasan kebangsaan ini dijelaskan secara generic oleh Ginandjar Kartasasmita dalam makalahnya yang berjudul “Pembangunan Nasional dan Wawasan Kebangsasn” yang disapaikan pada Sarasehan Nasional Wawasan Kebangsaan di Jakarta, 9 Mei 1994.
[9]     Sukarno dan perjuangan kemerdekaan, diterj.oleh: Hasan Basari / Bernhard Dahm, Hasan Basari.-- Jakarta : LP3ES, 1987. Judul asli : Sukarno and the struggle for Indonesian
[10]     Mohammad Hatta; beberapa pokok pikiran, disunting oleh Sri-Edi Swasono dan Fauzie Ridjal / Sri-Edi Swasono, Fauzie Ridjal.-- Jakarta : UI-Press, 1992.
[11]     Loc cit.
[12]     Bennedict Anderson, Imagined Community : reflections on the Origin and Spread of Nationalism, London: Verso, 1991.
[13]     Parsons, Talcott. Toward a General Theory of action. New York : Harper & Row, 1951.
[14]       Robert A. Dahl, Dillemas of Pluralist Democracy: Autonomy vs Control, Yale University Press, 1982, hal 10 – 11.
[15]       Juan J. Linz dan Alfred Stepan, Mendefinisikan dan Membangun Demokrasi, dalam Menjauhi Demokrasi Kaum Penjajah, Ikrar Nusa Bhakti dan Riza Sihbudi (ed.),Bandung : Mizan, 2001.
[16]       Sydney Verba and Gabrial A. Almond , Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations, Princetown University Press, 1963.
[17]    Seymor Martin Lipset, Political Man, Garden City, New York: Anchor Books, 1960.
[18]     Kunarjo, Perencanaan dan pembiayaan pembangunan, Edisi. ke-3. Jakarta : UI Press, 1996.

[19]       Frederic Harbison and Charles A. Myers, Manpower and Education: Country Studies in Economic Development, New York: McGraw-Hill Book Company.
[20]       Philip Kotler, Somkid Jatusripitak, Suvit Maesincee, The Marketing of Nations: A Strategic Approach to Building National Wealth, New York : The Free Press, pp. 112.
[21]     Sri-Edi Swasono, Demokrasi Ekonomi: Komitmen dan Pembengunan Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Ekonomi UI di Jakarta pada tanggal 13 Juli 1988.
[22]       Loc.cit.
[23]       Ronald Inglehart, Modernization and Postmodernization; Cultural, Economic and Political Change in 43 Societies, New Jersey: Princetown University Press.
[24]       Op.cit. Sri-Edi Swasono.
[25]       Susilo Bambang Yudhoyono, Menuju Negara Kebangsaan Modern, 2004.
[26]       http://www.korem161.mil.id/component/content/article/3-artikel/198-pemahaman-wawasan-nusantara-sebagai-wawasan-kebangsaan-indonesia-dalam-rangka-membangun-ketahanan-nasional.html

[27]     Richard Sennet, The Corrosion of Character: Personal Consequences of Work in the New Capitalism, New York: W.W Norton & Company Inc.

[28]       Jean Baudrillard. The System of Objects. J. Benedict (Trans). Verso Books. London and New York, 1968.
[29]       Bakker, J. W. M. Filsafat kebudayaan sebuah pengantar. Penerbit: Yogyakarta: Kanisius 1984
[30]       Lluis Bonet, Cultural Diversity and Cultural Pluralism, Catalunya : Universitat de Barcelona Press. 2007.

Tidak ada komentar:

PENELITIAN KUALITATIF DALAM ILMU-ILMU SOSIAL

A. Pendahuluan   Ketika kita bergaul sehari-hari seringkali kita berargumen satu sama lain. Kita bercakap-cakap untuk mempe...