Rabu, 19 Januari 2011

PENGAWASAN PUSAT TERHADAP DAERAH MENURUT UU No. 32 TAHUN 2004


I.          RASIONAL
Negara Indonesia sebagai negara kesatuan yang berbentuk republik melandasi pelaksanaan pemerintahan di daerah pada asas desentralisasi. Kaidah asas inilah yang kemudian melahirkan makna otonom, dengan substansi penyerahan kewenangan dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah. Di samping asas desentralisasi dikenal juga asas dekonsentrasi dengan substansi yang agak berbeda yaitu penugasan dari pemerintah pusat. Makna kewenangan yang diserahkan, dilimpahkan dan ditugaskan sifatnya untuk mengatur dan mengurus pelaksanaan pemerintahan di daerah.
Penyerahan, pelimpahan dan penugasan kewenangan kepada pemerintah daerah dari waktu ke waktu selalu mengalami dinamika yang secara langsung mempengaruhi konsep hubungan pusat dan daerah dalam pelaksanaan pemerintahan. Terkadang, daerah diposisikan hanya sebagai “wakil” pemerintah pusat di daerah dan bukan sebagai “institusi otonom” yang berfungsi sebagai penyalur aspirasi rakyat di daerah.[1] Formulasi hubungan yang demikian memberikan ruang penonjolan asas dekonsentrasi daripada desentralisasi dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah. Kenyataan ini kemudian membawa pemahaman ekstrim bahwasannya otonomi daerah hanya merupakan bentuk manipulasi dari demokrasi atau justru merupakan penguatan sentralisasi yang terbingkai dalam demokrasi.

Hal tersebut menjadi sangat vital karena sesungguhnya roh desentralisasi merupakan sendi pemerintahan demokratis, yang secara langsung akan memberikan kesempatan atau keleluasaan pada daerah yang dimaknai dengan kebebasan berotonomi. Kewenangan daerah tidak terlepas dari ikatan kesatuan pemerintah di pusat yang harus diatur secara tegas dalam bingkai aturan hukum mengenai pendelegasian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pemerintahan. Implikasi penyerahan atau pelimpahan kewenangan tersebut tidak melepaskan campur tangan secara intensif dari pemerintah pusat dalam mengawasi perkembangan pelaksanaan pemerintahan di daerah karena hal tersebut merupakan prinsip yang tersimpul pada negara kesatuan.[2]
Dalam konsep otonomi daerah pelaksanaan pengawasan tidak boleh mengakibatkan pengurangan atau penggerogotan terhadap nilai-nilai yang berlaku dan terkandung dalam dasar-dasar desentralisasi yaitu kebebasan dan inisiatif daerah dalam berprakarsa. Tanpa pengawasan yang tepat maka disinyalir akan dapat mengakibatkan terancamnya brandol kesatuan NKRI, dan kalau pengawasan terlalu kuat justru akan membuat nafas desentralisasi menjadi tersengal-sengal.[3]
Dalam makalah singkat ini dibahas tentang pengawasan pelaksanaan pemerintahan daerah oleh pusat terhadap daerah dalam kerangka otonomi daerah. Dihasratkan untuk memaksimalkan pemahaman tentang konsepsi pengawasan pusat terhadap daerah dengan mengacu pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
II.         FOKUS MASALAH
Bagaimana pelaksanaan pengawasan pusat terhadap daerah dalam proses pelaksanaan pemerintahan daerah dengan mengacu pada UU No. 32 tahun 2004?
III.        PEMBAHASAN
A.        Konsep Pengawasan
 Pengawasan secara umum diartikan sebagai aktivitas pokok dalam manajemen untuk mengusahakan sedemikian rupa agar pekerjaan-pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana serta sesuai dengan hasil yang dikehendaki.[4] Pada dasarnya pengawasan berlangsung mengikuti pola sebagai berikut:
1.    menetapkan standar atas dasar kontrol
2.    mengukur hasil pekerjaan secepatnya
3.    membandingkan hasil pekerjaan dengan standar atau dasar yang telah ditentukan semula
4.     mengadakan tindakan koreksi[5]
Dalam bahasa Indonesia seringkali controlling diterjemahkan dengan pengendalian. Sedangkan pengendalian sering diartikan sebagai usaha pengawasan disertai dengan tindakan lanjutan dengan tujuan agar suatu kegiatan yang sedang dilaksanakan dapat mencapai sasaran menurut rencana yang telah ditetapkan. Dengan demikian pengendalian mempunyai lingkup yang lebih luas dari pengawasan. Pengendalian mencakup: (1) pengawasan, baik preventif maupun represif; (2) petunjuk pengarahan/instruksi dari pimpinan; (3) peninjauan dari pengamatan secara langsung di tempat kegiatan; (4) menghimpun dan menganalisis semua informasi yang berhubungan dengan kegiatan proyek yang bersangkutan dan (5) menentukan kebijakan lebih lanjut.[6]
Jadi pada hematnya pengawasan dan pengendalian dalam pelaksanaan pemerintahan sesungguhnya berasal dari kata yang sama controlling yang dapat dimaknai sebagai aktivitas pokok dalam manajemen yang disertai tindakan lanjutan dengan tujuan agar pelaksanaan pemerintahan berlangsung efisien, efektif dan etis untuk mencapai sasaran menurut rencana yang telah ditetapkan dengan hasil yang dikehendaki. Dalam konsep otonomi daerah pengawasan pelaksanaan pemerintahan daerah dilakukan oleh pemerintah pusat dengan berpijak pada peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU Nomor 32 tahun 2004).
B.        Fenomena Pengawasan Pelaksanaan Pemerintahan Daerah
Dalam era otonomi daerah sekarang, ada kecenderungan otonomi ditafsirkan sebagai kebebasan daerah untuk melakukan apa saja tanpa campur tangan Pemerintah Pusat. Padahal dalam negara kesatuan, Pemerintah Daerah merupakan subordinasi dari Pemerintah Pusat dimana pada tingkat terakhir Pemerintah Pusat-lah yang akan mempertanggungjawabkan segala sesuatunya kepada Parlemen. Kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat harus tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Untuk itu perlu adanya pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dalam Undang-undang telah dinyatakan dilakukan dengan dua cara yaitu dengan preventif dan represif.
Hasil penelitian[7] menunjukkan bahwa dengan hanya menekankan pada pengawasan represif ternyata mengandung segi-segi negatif, yaitu menimbulkan banyak kerugian bagi masyarakat, disamping kurang terjaminnya kepastian hukum. Ini terbukti dengan banyaknya Perda yang dikembalikan dan dibatalkan oleh Pemerintah Pusat karena merugikan masyarakat.
Pengawasan represif yang dilakukan dalam bentuk pembatalan Peraturan Daerah dapat dilakukan baik oleh Pemerintah Pusat maupun oleh Mahkamah Agung. Oleh Mahkamah Agung dilakukan melalui penggunaan hak uji materiil dengan dasar pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Tetapi melalui Pasal 24 Amandemen Ketiga UUD 1945 dinyatakan bahwa dasar pengujian yang dapat digunakan Mahkamah Agung hanyalah Undang-Undang. Berbeda dengan pengawasan oleh Pemerintah Pusat yang menggunakan dasar pengujian yang lebih luas yakni atas dasar bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi dan bertentangan dengan kepentingan umum. Dan ternyata tidak terbatas pada Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 218 UU No. 32/2004 jo Pasal 114 UU No. 22/1999, tetapi juga terhadap semua kebijakan daerah termasuk Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengacu pada PP No. 20/2001.
Dalam proses implementasinya, Pemerintah Pusat tidak langsung membatalkan Perda yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum, melainkan mengembalikannya terlebih dahulu kepada Pemerintah Daerah untuk direvisi ataupun dicabut. Dengan demikian Pemerintah telah memperluas prosedur/mekanisme pembatalan yang telah diatur dalam Pasal 145 UU No. 32 Tahun 2004. Di samping itu, terhadap Perda yang telah dibatalkan, ternyata selama ini tidak ada daerah yang menggunakan prosedur keberatan baik kepada Pemerintah Pusat maupun ke Mahkamah Agung. Dengan kata lain, sampai saat ini ketentuan yang terdapat pada Pasal 145 UU No. 32 Tahun 2004 belum diterapkan secara maksimal.
Di sisi lain, sebagian pihak mensinyalir bahwa berbagai upaya pengawasan yang telah dilakukan selama ini memberikan hasil yang cukup baik, dalam artian dapat memberikan sikap kehati-hatian dan disiplin terhadap aturan yang berlaku. Selanjutnya yang dibutuhkan hanyal optimalisasi dan kesungguhan aparat pengawasan pada seluruh jenjang/strata menurut tugas, fungsi dan tanggung jawab masing-masing.[8] Pernyataan ini kontradiktif dengan kenyataan di lapangan karena sebagian besar Gubernur (Bupati) merasa terganggu kenyamanannya dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan daerah karena proses pengawasan yang terkadang tidak sesuai.[9] Keluhan yang dikemukakan antara lain seringnya aparat pengawasan, penyelidik dan penyidik melakukan tugas dan fungsinya secara bertubi-tubi dan cenderung tumpang-tindih. Di lain pihak, manfaat hasil pengawasan aparat pengawasan, penyelidik dan penyidik belum dirasakan memenuhi harapan.
Selama ini pengawasan pelaksanaan pemerintahan daerah diwarnai oleh berbagai fenomena yang stagnan dari masa ke masa[10], misalnya:
1.      pengawasan yang dilaksanakan oleh DPRD cenderung ke arah pengawasan yang bersifat teknis; yang seyogyanya harus tetap berada dalam koridor peraturan perundangan yang berlaku, yaitu peraturan perundangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum.
2.      pengawasan yang dilaksanakan oleh APIP cenderung bertubi-tubi dan terjadinya tumpang tindih; yang antara lain disebabkan perpedaan persepsi atas istilah bertubi-tubi, dan segera dituntaskan melalui pengawasan secara terpadu yang dikordinasikan sesuai UU No. 32 Tahun 2004.
3.      pengawasan yang dilaksanakan oleh APIP tampaknya belum dapat dilaksanakan atas seluruh program pemerintah, pemerintah daerah, dan urusan pemerintahan lainnya.
Meminimalisir kesenjangan tersebut, selanjutnya Pemerintah kemudian mengagendakan adanya pengawasan terpadu oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP, sejak tahun 2006), yang merupakan kebijakan pengawasan yang harus disepakati bersama, serta disusun dalam suatu grand design atau pun framework tentang pengawasan terpadu yang dijabarkan ke dalam perencanaan jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek. Implementasi pengawasan terpadu ini dilakukan dengan mengacu pada ketentuan[11]:
1.    sinergi pengawasan sebagai kebutuhan profesi APIP agar terus dikembangkan serta koordinasi dengan Aparat Penegak Hukum (APH) perlu ditingkatkan guna percepatan pemberantasan KKN;
2.    sosialisasi kebijakan pengawasan kepada semua pihak agar jajaran birokrasi dan masyarakat dapat melaksanakan secara profesional dan proporsional;
3.    meningkatkan kemampuan teknis dan intelektual pengawas sesuai tuntutan profesi dan kebutuhan masing lembaga APIP;
4.    koordinasi pengawasan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pelaporan dan tindak lanjut hasil pengawasan agar kegiatan pengawasan mempunyai daya cegah, daya tangkal dan menimbulkan dampak jera kepada para pelaku penyimpangan dalam melaksanakan tupoksinya serta pengelolaan sumberdaya yang berada di bawah tanggung jawabnya;
5.    mengkoordinasikan pengawasan masyarakat dan hasil pengawasan APIP dengan unsur Muspida yang terkait secara arif dan bijaksana agar semua pihak termotivasi untuk melaksanakan pemerintahan daerah ke arah terciptanya pemerintahan yang baikl dan bersih;
6.    melaksanakan pemeriksaan khusus dan atau pemeriksaan serentak terhadap permasalahan yang menjadi perhatian pemerintah dan atau masyarakat dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan dan atau pemerintah daerah yang belum tertampung dalam program kerja pengawasan rutin/reguler.
Berpijak pada fenomena pengawasan yang ada dewasa ini, yang terkesan belum dilakukan dengan maksimal terkait dengan mekanisme maupun implikasi logisnya pada pelaksanaan pemerintahan daerah, maka perlu kiranya pemerintah pusat melakukan restrukrurisasi sistematika pengawasan baik dalam aspek organisasi maupun administrasi. Pada hematnya hal ini dapat dilakukan melalui (1) penguatan kelembagaan Bawasda (Inspektorat) sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagai auditor internal pemerintah daerah yang mendorong terwujudnya tata kepemerintahan yang baik (good governance); (2) pembagian sasaran audit reguler terpadu dan prioritas berdasarkan pendekatan indikator kinerja tahunan secara berjenjang sehingga mereduksi duplikasi atau tumpang tindih audit; dan (3) penguatan kapasitas APIP untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi auditor atau pemeriksa.
C.        Bentuk dan Jenis Pengawasan Pusat terhadap Daerah dalam Kerangka Otonomi Daerah
Humes IV mengatakan bahwa sesungguhnya bentuk pengawasan terhadap pemerintahan daerah terdiri dari pengawasan hirarki dan pengawasan fungsional.[12] Pengawasan hirarki berarti pengawasan terhadap pemerintahan daerah yang dilakukan oleh otoritas yang lebih tinggi dan organisasi baik organisasi yang terdapat dalam pemerintaha itu sendiri (DPRD) dan organisasi kemasyarakatan di luar DPRD. Sedangkan pengawasan fungsional adalah pengawasan terhadap pemerintah daerah yang dilakukan secara fungsional baik dilakukan oleh departemen sektoral maupun oleh departemen yang menyelenggarakan pemerintahan umum (Departemen Dalam Negeri).
Di Indonesia hubungan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan hubungan desentralistik sesuai dengan UUD 1945.[13] Hubungan ini mengandung arti bahwa hubungan antara pemerintah pusat dan daerah adalah hubungan antara dua badan hukum yang diatur dalam undang-undang tentang desentralisasi, tidak semata-mata hubungan antara bawahan dan atasan. Dengan demikian maka pengawasan terhadap pemerintahan daerah dalam sistem pemerintahan di Indonesia lebih ditujukan untuk memperkuat ekonomi daerah, bukan untuk mengekang ataupun membatasi.
Pengawasan terhadap segala tindakan Pemerintah Daerah oleh Pemerintah Pusat termasuk juga keputusan-keputusan Kepala Daerah dan Peraturan Daerah sejak Otonomi Daerah diberlakukan pertama kali (UU No. 1 tahun 1945) sampai saat ini (UU No. 32 tahun 2004), mengenal tiga macam jenis pengawasan yaitu:
1.    Pengawasan umum
Pengawasan umum adalah suatu jenis pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap segala kegiatan Pemerintah Daerah untuk menjamin penyelenggaraan Pemerintah Daerah dengan baik. Pengawasan umum terhadap Pemerintah Daerah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah sebagai Wakil Pemerintah di daerah yang bersangkutan.[14] Pengawasan ini juga dapat dipahami sebagai pengawasan terhadap keseluruhan pelaksanaan tugas dan wewenang Pemerintah Daerah dan komponen dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri.[15]
Jenis pengawasan ini diberlakukan pertama kali berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 Tentang Penetapan Aturan-aturan Pokok mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri. Selanjutnya diberlakukan lagi pada tahun 1959 (berdasarkan Penpres No. 6/1959 dan Penpres No. 5 Tahun 1960, tahun 1965 (berdasarkan UU No. 18/1965), dan terakhir Tahun 1974 (berdasarkan UU No. 5/1974 dan UU No. 5/1979).
Konsep pengawasan jenis ini adalah dalam melakukan pengawasan umum Menteri Dalam Negeri dibantu oleh Inspektur Jendral meliputi bidang pemerintahan, kepegawaian, keuangan dan peralatan, pembangunan, Perusahaan Daerah dan yayasan dan lain-lain yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.
2.    Pengawasan preventif
Secara harfiah pengawasan preventif berarti pengawasan yang bersifat mencegah (pengawasan yang dilakukan sebelum kegiatan dilaksanakan).[16] Artinya, pengawasan ini dilakukan untuk mencegah agar pemerintah daerah tidak mengambil kebijakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam pemahaman yang lebih operasional, yang dimaksud dengan pengawasan prevntif adalah pengawasan terhadap pemerintahan daerah agar pemerintah daerah tidak menetapkan kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Bentuk pengawasan ini berupa ketentuan-ketentuan yang berlaku atau prosedur-prosedur yang harus dilalui dalam menyelenggarakan pekerjaan. Lebih khusus lagi dinyatakan bahwa pengawasan jenis ini mengandung prinsip bahwa Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah mengenai pokok tertentu baru berlaku setelah ada pengesahan pejabat yang berwenang.[17] Pejabat yang berwenang dalam hal ini adalah Menteri Dalam Negeri bagi Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, Tingkat I bagi Peraturan Daerah dan Keputusan Daerah Tingkat II. Diatur lebih lanjut pada Pasal 144 dan 145 UU No. 32 tahun 2004.
Dalam sejarah Otonomi Daerah sejak era Kemerdekaan (UU No. 1 Tahun 1945) sampai saat ini (UU No. 32 Tahun 2004) jenis pengawsan ini pernah tidak diberlakukan pada otonomi tahun 1959 (Penpres No. 6/1959) yang hanya melakukan pengawasan umum dan represif dan pada tahun 1999 (UU No. 22 Tahun 1999) yang hanya menganut pengawasan jenis represif.
3.    Pengawasan represif
Pengawasan represif adalah bentuk pengawasan yang dilaksanakan setelah keputusan/ketentuan itu dilaksanakan. Wujudnya adalah berupa tindakan membandingkan apakah pekerjaan yang sedang/telah dilaksanakan menurut kenyataan telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan atau prosedur-prosedur yang berlaku/ditetapkan. Dalam konsep otonomi daerah maka jenis pengawsan ini dipahami sebagai pengawasan yang berupa penangguhan atau pembatalan terhadap kebijakan yang telah ditetapkan daerah baik berupa Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah, Keputusan DPRD, maupun Keputusan Pimpinan DPRD dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.[18]
Pengawasan ini dilakukan dalam konteks jika peraturan yang dibuat tersebut dinilai bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya (pasal 145 ayat 2 UU No. 32 tahun 2004). Kepentingan umum yang dimaksud adalah kepentingan masyarakat luas yang mencakup hal-hal  yang bekaitan dengan kepatutan atau kebiasaan yang berlaku di suatu derah seperti norma agama, adat istiadat, budaya serta susila serta hal-hal yang membebani masyarakat dan menimbulkan biaya ekonomi tinggi. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah UUD 1945, TAP MPR, Undang-Undang, PP, Kepres dan Kepmen. Sedangkan peraturan perundang-undangan lainnya adalah Peraturan Daerah Provinsi dan/atau Keputusan Gubernur serta Peraturan Daerah Kabupaten/Kota atau Keputusan Bupati/Walikota yang mengatur hal sejenis.
Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah maka pengawasan merupakan hal yang bersifat kontinum dari longgar ke ketat. Makin ketat pengawasan makin kecil otonomi daerah, sebaliknya makin longgar pengawasan makin besar otonomi daerah. Sejalan dengan paradigma demokratisasi pada pemerintahan daerah maka pengawasan tidak lagi dilakukan secara ketat tapi di tengah-tengah. Dengan demikian, diharapkan daerah tetap dapat mengembangkan otonominya dan tetap dalam bingkai NKRI.
Bagaimanapun juga dalam sistem unitary, pemerintah daerah bukanlah negara bagian yang mempunyai kedaulatan sendiri sebagaimana dalam sistem federal, namun pemerintah daerah adalah subsistem pemerintahan pusat (nasional). Oleh karena itu, ia bersifat dependent dan subordinate karenanya pemerintah pusat mempunyai kewenangan melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintah daerah agar pemerintah daerah tidak menyimpang dari sistem pemerintahan nasional, tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat, dan tidak membuat kebijakan yang meluncur pada pemisahan diri. Dengan adanya pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dapat menyelenggarakan pemerintahannya sendiri sesuai dengan koridor konstitusi dan undang-undang dalam sistem pemerintahan nasional dan dapat mencapai tujuan negara pada tingkat daerah secara efektif dan efisien.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa tujuan pembinaan dan pengawasan pemerintah pusat terhadap daerah sesungguhnya bukan untuk mengekang kinerja akan tetapi untuk meningkatkan kinerja. Pengawasan ini sepanjang pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia pernah dilakukan dengan tiga cara yaitu pengawasan secara umum, preventif dan refresif.
D.        Pengawasan Pusat terhadap Daerah berdasarkan UU No. 32/2004
Aspek pengawasan seyogyanya memperhatikan du hal yang mendasar yaitu aspek yang mengancam keutuhan kesatuan dan aspek pembelengguan desentralisasi dihilangkan. Karena pengawasan kekuasaan pemerintahan merupakan tujuan dasardari konstitusi yang merupakan usaha pembatasan  kekuasaan yang cenderung mengarah pada kesewenang-wenangan.[19] Pembatasan kekuasaan dengan sistem constitutionalism memiliki tiga makna yang berbeda;[20] pertama, suatu negara hukum, kekuasaan yang digunakan di dalam negara menyesuaikan diri pada aturan dan prosedur hukum yang pasti; kedua, struktur pemerintahan harus memastikan bahwa kekuasaan terletak dengan atau di antara cabang kekuasaan yang berbeda yang saling mengawasi penggunaan kekuasaannya dan yang berkewajiban untuk bekerja sama. Ketiga,  hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya harus diatur dengan menyerahkan hak-hak dasar dengan tidak mengurangi kebebasan individu.
Sesuai konsep tersebut, dalam usaha menjembatani keutuhan NKRI dan penguatan pemerintahan daerah, maka akan menjadi unsur yang memegang peranan penting adalah aspek pengawasan dalam pelaksanaan pemerintahan, baik di tingkat pemerintahan pusat maupun di tingkat pemerintahan daerah. Pengawasan ini akan menjadi wadah dalam menciptakan check and balances system pelaksanaan pemerintahan sampai pada tingkat terendah.
Seperti dipahami bersama, bahwa pemerintahan daerah adalah sub sistem dari sistem pemerintahan nasional dalam struktur NKRI. Konsekwensi logisnya adalah penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak boleh menyimpang dari sistem nasional (pusat). Pada tataran ideal pelaksanaan otonomi, berarti semua kegiatan kenegaraan di daerah dilaksanakan oleh pemerintahan daerah yang bersangkutan, akan tetapi kenyataannya di tataran implementasi  masih banyak terjadi penyimpangan atau salah tafsir atau perbedaan persepsi antara “das sollen” dan ”das sein”.[21]
Berdasarkan fakta tersebut yaitu bahwa selama pelaksanaan UU No 22 tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999, hingga 2004, terdapat begitu banyak Peraturan Daerah, praktek birokrasi di daerah yang salah kaprah, maka dalam UU No 32 tahun 2004 dan UU No 33 Tahun 2004, hal itu dicoba diatasi dengan rumusan pengawasan dari pusat yang lebih jelas dengan diikuti oleh program pembinaan.
Dalam UU No. 32 Tahun 2004, pengawasan dapat dilihat dalam beberapa hal yaitu evaluasi rancangan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah tentang APBD, perubahan APBD dan  pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan rancangan Perda Provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh gubernur disampaikan kepada Mendagri untuk dievaluasi. Hasil evaluasi kemudian disampaikan oleh Mendagri kepada gubernur.[22]
Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintah daerah dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Koordinasi dilakukan secara berkala pada tingkat nasional, regional dan provinsi. Pemberian pedoman dan standar mencakup aspek perencanaan, pelaksanaan, tata laksana, pendanaan, kualitas, pengendalian dan pengawasan, pemberian  bimbingan, sipervisi dan konsultasi dilaksanakan secara berkala dan sewaktu-waktu, baik secara menyeluruh kepada seluruh daerah maupun kepada daerah tertentu sesuai dengan kebutuhan.
Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh pemerintah (pusat) yaitu oleh aparat pengawas intern pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban memberikan penghargaan dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah (Pasal 185 UU No 33 Tahun 2004). Sedangkan sanksi diberikan pemerintah dalam rangka pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sanksi dapat diberikan kepada pemerintahan daerah, kepala daerah atau wakil kepala daerah, anggota DPRD, perangkat daerah, PNS daerah, dan kepala desa. Hasi lpembinaan dan pengawasan digunakan sebagai bahan pembinaan selanjutnya oleh pemerintah dan dapat digunakan sebagai bahan pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).[23]
Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah secara nasional dikoordinasikan oleh Mendagri. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota dikoordinasikan oleh gubernur. Pembinaan dan pengawasan untuk penyelenggaraan pemerintahan desa dikoordinasikan oleh Bupati/Walikota. Bupati dan walikota dalam pembinaan dan pengawasan dapat melimpahkannya pada camat. Pedoman pembinaan dan pengawasan yang meliputi standar, norma, prosedur, penghargaan dan sanksi diatur dalam peraturan pemerintah.[24]
Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan atau gubernur selaku wakil pemerintah di daerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam rangka pembinaan oleh pemerintah, menteri dan pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen melakukan pembinaan sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh Mendagri untuk pembinaan dan pengawasan provinsi serta oleh gubernur untuk pembinaan dan pengawasan kabupaten/kota.
Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan yang dilaksanakan oleh pemerintah terkait dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan dan utamanya terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Dalam hal pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah, pemerintah melakukan dengan dua cara yaitu:
1.    Pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah (Raperda) yaitu terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan RUTR sebelum disahkan oleh kepala daerah, terlebih dahulu dievaluasi oleh Mendagri untuk Raperda Provinsi dan oleh gubernur terhadap Raperda kabupaten/kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hal tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal.
2.    Pengawasan terhadap semua peraturan daerah di laur yang termasuk dalam angka 1, yaitu setiap peraturan daerah wajib disampaikan pada Mendagri untuk provinsi dan gubernur untuk kabupaten/kota untuk memperoleh klarifikasi. Terhadap peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi dapat dibatalkan sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
Sedangkan untuk optimalisasi fungsi pembinaan dan pengawasan, pemerintah dapat menerapkan sanksi kepada penyelenggara pemerintahan daerah apabila ditemukan adanya penyimpangan dan pelanggaran oleh penyelenggara pemerintahan daerah tersebut.[25]
Dari berbagai ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal tersebut dapat dipahami bahwasanya dalam era otonomi daerah dewasa ini, pengawasan yang diterapkan adalah jenis pengawasan preventif dan represif. Pengawasan yang dimaksud dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.    Pengawasan preventif
Khusus dilakukan untuk Peraturan Daerah yang menyangkut pajak daerah, retribusi dan tata ruang (RUTR).
2.    Pengawasan represif
Pengawasan ini dilakukan terhadap kebijakan yang ditetapkan di daerah. Misalnya terkait dengan Peraturan Daerah dapat diperhatikan pada pasal 145, UU Nomor 32 tahun 2004. Pasal tersebut berisi penjelasan sebagai berikut “Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah. Keputusan pembatalan Perda yang dimaksud di atas, ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak Perda tersebut diterima. Selanjutnya, paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan, maka kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Perda yang dimaksud.
Dalam hal atau apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda dimaksud, dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Dan apabila  keberatan kepala daerah dapat diterima sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan bahwa Peraturan presiden menjadi batal dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum. Dan jika kemudian Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda seperti tersebut di atas, Perda dimaksud dinyatakan berlaku.”

IV.       PENUTUP
A.        Simpulan
1.    Pengawasan dan pengendalian (controlling) dapat dimaknai sebagai aktivitas pokok dalam manajemen yang disertai tindakan lanjutan dengan tujuan agar pelaksanaan pemerintahan berlangsung dengan efisien, efektif dan etis untuk mencapai sasaran menurut rencana yang telah ditetapkan dengan hasil yang dikehendaki.
2.    Pengawasan yang ada dewasa ini dari pemerintah pusat terhadap pemerintahan daerah, terkesan belum dilakukan dengan maksimal.
3.    Sepanjang pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia pengawasan pernah dilakukan dengan tiga cara yaitu pengawasan secara umum, preventif dan represif.
4.    Pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah menurut  UU No 33 Tahun 2004 dilakukan dengan dua jenis pengawasan yaitu preventif dan represif.
B.        Rekomendasi
1.    Melakukan restrukrurisasi sistematika pengawasan baik dalam aspek organisasi maupun administrasi melalui penguatan kelembagaan Bawasda (Inspektorat), pembagian sasaran audit reguler terpadu dan prioritas berdasarkan pendekatan indikator kinerja tahunan secara berjenjang dan penguatan kapasitas APIP untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi auditor atau pemeriksa.
2.    Memastikan tujuan pembinaan dan pengawasan pemerintah pusat terhadap daerah bukan untuk mengekang kinerja tetapi untuk meningkatkan kinerja.
3.    Untuk  meminimalisir kekeliruan di tataran pemerintah daerah maka perlu  implementasi yang sungguh-sungguh dari amanat yang termaktub dalam UU No 33 Tahun 2004.





REFERENSI
Gadjong, Agussalim A,. 2007. Pemerintahan Daerah: Kajian Politik dan Hukum. Bogor. Ghalia Indonesia.
Hasil Rakorwasdanas (Rapat Koordinasi Pengawas Daerah dan Nasional) Tahun 2005.
Huda, Ni’matul. Otonomi Daerah. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Humes IV, Samuel,. 1991. Local Governance and National Power. London.IULA.
Manan, Bagir,. 2004. Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.
Marbun, B.N,. 2010. Otonomi Daerah 1945-2010 Proses dan Relita: Perkembangan Otda sejak Zaman Kolonial sampai Saat ini. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.
Marbun, BN,.2005. DPRD dan Otonomi Daerah. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.
Nurcholis, Hanif,. 2007. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah: Edisi Revisi. Jakarta. Grasindo Widiasarana Indonesia.
Parsa, I Wayan,. 2005. Pengawasan Pemerintah (Pusat) Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Airlangga University.
Peraturan menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1975.
Pierre, John & B. Guy Peters,. 2000. Governance, Politics and the State. New York. Published Martin’s Press.
Rapat Kerja Gubernur se-Indonesia pada tanggal 15-16 Nopember 2005.
Soejito, Rawan,. 1990. Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Jakarta. Rineka Cipta.
Steinberg, Sheldon S & David T. Austern,. 1999. Government Ethics, and Managers; Penyelewengan Aparat Pemerintah (terjemahan Suroso). Bandung. Remaja Rosdakarya.
Syamsi, Ibnu,. 1982. Administrasi Perlengkapan Materiil Pemerintah Daerah. Jakarta. Bina Aksara.
Tresna, R,.2000. Bertamasya ke Taman Ketatanegaraan. Bandung. Dibya.
Zoethout, Carla M,. 1993. Control in Constitutional Law. Rotterdam. Erasmus University.


[1]     Agussalim A. Gadjong. Pemerintahan Daerah: Kajian Politik dan Hukum. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007).
[2]     R. Tresna. Bertamasya ke Taman Ketatanegaraan. (Bandung: Dibya, 2000).
[3]     Sheldon S. Steinberg; David T. Austern. Government Ethics, and Managers; Penyelewengan Aparat Pemerintah (terjemahan Suroso). (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999).
[4]     Ibnu Syamsi. Administrasi Perlengkapan Materiil Pemerintah Daerah. (Jakarta: Bina Aksara, 1982).
[5]     Rawan Soejito. Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. (Jakarta: Rineka Cipta: 1990).
[6]     Rawan Soejito, 1990., ibid.
[7]     I Wayan Parsa. Pengawasan Pemerintah (Pusat) Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. (Airlangga University, 2005)
[8]     Hasil Rakorwasdanas (Rapat Koordinasi Pengawas Daerah dan Nasional) Tahun 2005.
[9]     Rapat Kerja Gubernur se-Indonesia pada tanggal 15-16 Nopember 2005.
[10]    Rakorwasdanas, 2005., ibid.
[11]    Rakorwasdanas, 2005., op,cit.
[12]    Samuel Humes IV. Local Governance and National Power. (London: IULA, 1991).
[13]    Bagir Manan. Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004).
[14]    BN. Marbun. DPRD dan Otonomi Daerah. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005).
[15]    Peraturan menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1975.
[16]    Hanif Nurcholis. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah: Edisi Revisi. (Jakarta: Grasindo Widiasarana Indonesia, 2007).
[17]    Ni’matul Huda. Otonomi Daerah. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) .
[18]    Hanif Nurcholis, 2007., op,cit.
[19]    Carla M. Zoethout. Control in Constitutional Law. (Rotterdam: Erasmus University, 1993)
[20]    Jon Pierre & B. Guy Peters. Governance, Politics and the State. (New York: Published Martin’s Press, 2000).
[21]    B.N. Marbun. Otonomi Daerah 1945-2010 Proses dan Relita: Perkembangan Otda sejak Zaman Kolonial sampai Saat ini. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan; 2010).
[22]    Pasal 185 UU No 32 Tahun 2004
[23]    Pasal 218-219 UU No 32 Tahun 2004
[24]    Pasal 220 UU No 32 Tahun 2004
[25]    Pasal 221, 222 dan 223 UU No 32 Tahun 2004

Tidak ada komentar:

PENELITIAN KUALITATIF DALAM ILMU-ILMU SOSIAL

A. Pendahuluan   Ketika kita bergaul sehari-hari seringkali kita berargumen satu sama lain. Kita bercakap-cakap untuk mempe...