Senin, 01 Agustus 2022

REFORMASI BIROKRASI PADA BIDANG PENDIDIKAN DASAR DALAM MEMAJUKAN PENDIDIKAN

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1. Latar Belakang

Salah Satu isu penting pasca reformasi tahun 1998 adalah reformasi birokrasi. Hal ini dipandang penting, karena birokrasi dinilai sebagai salah satu sumber masalah keterpurukan Indonesia, dalam konsteks kekuasaan rejim Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto. Birokrasi pemerintahan disorot, karena banyak yang memandang dan merasakan, bahwa “birokrasi pemerintahan lamban, berbelit-belit, tidak efisien, tidak efektif, mempersulit segala urusan…”. Ungkapan itu memang tidak 100% benar, namun juga tidak sepenuhnya salah. Pada intinya,  birokrasi memerlukan reformasi agar dapat berperan dan berfungsi sesuai harapan masyarakat.

Pada awal bangsa Indonesia menjalankan era reformasi (sering disebut sebagai gelombang pertama reformasi),  reformasi reformasi di bidang birokrasi mengalami ketertinggalan dibanding reformasi di bidang politik, ekonomi, dan hukum. Menyadari hal itu,  pada tahun 2004, pemerintah kembali  menegaskan  pentingnya penerapan prinsip-prinsip  clean goverment dan good governance. Keduanya secara universal diyakini menjadi prinsip yang diperlukan untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Itulah kemudian,  pemerintah pun membangun aparaturnya melalui  program reformasi birokrasi.

Semua sektor, tidak terkecuali birokrasi yang bersentuhan dengan  dunia pendidikan, juga harus direformasi.  Langkah tersebut penting dijalankan guna mendukung tercapainya visi  Pendidikan Nasional, yakni  terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. 

Untuk mencapainya, birokrasi harus direformasi, sehingga memahami  misi  pendidikan yang diembannya, yakni:

(1) mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia,

(2) membantu dan menfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar,

(3) meningkatkan kesiapan input dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral agama, penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan hidup,

(4) meningkatkan profesionalitas dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global,

(5) memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

 

1.2. Rumusan Masalah

Untuk menjawab tema pokok makalah ini, rumusan masalah ditetapkan sebagai berikut ini:

  1. Bagaimana pengertian dan ciri-ciri birokrasi?
  2. Bagaimana sejarah dan gambaran birokrasi terkini di Indonesia
  3. Mengapa birokrasi di Indonesia, termasuk birokrasi pendidikan, perlu direformasi?

 

1.3. Tujuan dan Manfaat Kajian

a. Tujuan

– Makalah  disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Landasan Teori Managemen Pendidikan

– Memahami lebih mendalam mengenai reformasi birokrasi

b. Manfaat

– Sebagai sumbangan pemikiran dari  perguruan tinggi dalam turut memecahkan masalah yang ada dalam reformasi birokrasi, lebih khusus birokrasi pendidikan.

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1. Pengertian Birokrasi

Birokrasi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yakni  dari kata “bureau” yang berarti meja atau kantor;  dan kata “kratia” (cratein) yang berarti pemerintah. Jadi, birokrasi berarti pelayanan yang diberikan oleh pemerintah dari meja ke meja. Pada mulanya, istilah ini digunakan untuk menunjuk pada suatu sistematika kegiatan kerja yang diatur atau diperintah oleh suatu kantor melalui kegiatan-kegiatan administrasi (Ernawan, 1988). Dalam konsep bahasa Inggris secara umum, birokrasi disebut dengan “civil service”. Selain itu juga sering disebut dengan public sector, public service atau public administration.

Definisi birokrasi telah tercantum dalam kamus sejak awal secara sangat konsisten. Kamus akademi Perancis memasukan kata tersebut pada tahun 1818 dengan arti kekuasaan, pengaruh, dari kepala dan staf biro pemerintahan. Kamus bahasa Jerman edisi 1813, mendefinisikan birokrasi sebagai wewenang atau kekuasaan yang berbagai departemen pemerintah dan cabang-cabangnya memeperebutkan diri untuk mereka sendiri atas sesama warga negara. Kamus teknik bahasa Italia terbit 1823 mengartikan birokrasi sebagai kekuasaan pejabat di dalam administrasi pemerintahan.

Birokrasi berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli adalah suatu sistem kontrol dalam organisasi yang dirancang berdasarkan aturan-aturan yang rasional dan sistematis, dan bertujuan untuk mengkoordinasi dan mengarahkan aktivitas-aktivitas kerja individu dalam rangka penyelesaian tugas-tugas administrasi berskala besar (disarikan dari Blau & Meyer, 1971; Coser & Rosenberg, 1976; Mouzelis, dalam Setiwan,1998).

Birokrasi dapat dirujuk kepada empat pengertian yaitu:

  1. Birokrasi dapat diartikan sebagai kelompok pranata atau lembaga tertentu.
  2. Birokrasi dapat diartikan sebagai suatu metoda untuk mengalokasikan sumber daya dalam suatu organisasi.
  3. “Kebiroan” atau mutu yang membedakan antara birokrasi dengan jenis organisasi lain. (Downs, 1967 dalam Thoha, 2003)
  4. Kelompok orang yang digaji yang berfungsi dalam pemerintahan.

Dalam prakteknya, birokrasi  bisa  menjadi kekuatan politik yang potensial, yang dapat mengokohkan maupun merobohkan kekuasaan. Birokrasi juga merupakan alat politik untuk mengatur dan mewujudkan agenda-agenda politik. Sifat kekuasaan aparat birokrasi pada dasarnya bukan tanpa kendali, karena  tetap dibatasi oleh perangkat kendali dari dalam dan  luar dirinya. 

Konsep birokrasi pertama kali dikenalkan oleh M de Gournay yang  mengatakan “Di Perancis kita mendapati sebuah penyakit yang jelas-jelas merusak kita; penyakit ini disebut bureaumania. Kadang-kadang ia gunakan temuannya itu untuk menyebutkan bentuk pemerintahan yang keempat atau kelima di bawah judul birokrasi”. Dalam perkembangan selanjutnya konsep birokrasi didefinisikan kedalam berbagai pengertian.

Sebagai ilmuwan yang banyak dikutip pandanganya mengenai birokrasi,  Max Weber sebenarnya tidak pernah memberikan definisi tentang birokrasi.  Namun, paling tidak di dalam kajiannya tentang birokrasi, Weber berhasil membedakan antara birokrasi yang rasional dan patrimonial. Perbedaan dari kedua bentuk itu terletak pada tingkat kebebasan pejabat yang bekerja. Konsep pejabat (beamter – atau di Indonesia dikenal dengan istilah amtenar) merupakan dasar bagi konsep tentang birokrasi. Namun ia tidak memasukkan semua pejabat yang ada dalam konsep birokrasi. Menurutnya, ciri pokok pejabat birokratis adalah  orang yang diangkat bukan dipilih atau yang diseleksi oleh sekumpulan orang.

Max Weber memandang birokrasi sebagai suatu istilah kolektif bagi suatu badan yang terdiri atas pejabat-pejabat atau sekelompok yang pasti dan jelas pekerjaannya serta pengaruhnya dapat dilihat pada semua macam organisasi. Secara teoritos birokrasi merupakan alat kekuasaan untuk menjalankan keputusan-keputusan politik. Dalam prakteknya, birokrasi  bisa  menjadi kekuatan politik yang potensial, yang dapat mengokohkan maupun merobohkan kekuasaan. Birokrasi juga merupakan alat politik untuk mengatur dan mewujudkan agenda-agenda politik. Sifat kekuasaan aparat birokrasi pada dasarnya bukan tanpa kendali, karena  tetap dibatasi oleh perangkat kendali dari dalam dan  luar dirinya.  

Melalui tulisannya ”The Theory of Economy and Social Organization” , Weber dikenal sebagai pengembang ideal type (tipe ideal) birokrasi modern. Tipe ideal  bertujuan  menghasilkan efisiensi dalam pengaturan negara. Tapi dalam praktek, konsep Weber sudah tidak lagi sepenuhnya tepat disesuaikan dengan keadaan saat ini, apalagi dalam konteks Indonesia. Perlu ada pembaharuan makna dan kandungan birokrasi. 

Konsep birokrasi yang dibangun Weber berdasar teori sistem kewenangan yang dikembangkannya. Pertama,  kewenangan tradisional (traditional authority) mendasarkan legitimasi kewenangan pada tradisi yang diwariskan antar generasi. Kedua, kewenangan kharismatik (charismatic authority) yang memperoleh  legitimasi kewenangan dari kualitas pribadi (yang bahkan bisa pada demensi yang bersifat supranatural). Ketiga,  kewenangan legal-rasional (legal-rational authority) yang mendapatkan  legitimasi kewenangan dari peraturan perundang-undangan.

Menurut Weber,  organisasi “tipe ideal”  yang dapat menjamin efisiensi  tinggi, harus mendasarkan pada otoritas legal-rasional. Weber mengemukakan konsepnya tentang the ideal type of bureaucracy dengan merumuskan ciri-ciri pokok organisasi birokrasi yang dipandangnya lebih sesuai dengan masyarakat modern, yaitu: 

a)      A hierarchical system of authority (sistem kewenangan yang hierakis)

b)      A systematic division of labour (pembagian kerja yang sistematis)

c)      A clear specification of duties for anyoneworking in it (spesifikasi tugas yang jelas)

d)     Clear any systematic diciplinary codes and procedures (kode etik disiplin dan prosedur yang jelas serta sistematis)

e)      The control of operation through a consistent system of abstrac rules (kontrol operasi melalui sistem aturan yang berlaku secara konsisten)

f)       A consistent applications of general rules to specific cases (aplikasi kaidah-kaidah umum kehal-hal  pesifik  dengan  konsisten)

g)      The selection of employees on the basic of objectively determined qualivication(seleksi pegawai yang didasarkan pada kualifikasi standar yang objektif)

h)      A system of promotion on the basis of seniority or merit, or both (sistem promosi berdasarkan senioritas atau jasa, atau keduanya)

Dalam paradigma penganut aliran Weber (Weberian), birokrasi merupakan organisasi yang rasional dengan mengedepankan mekanisme sosial yang “memaksimumkan efisiensi”. Pengertian efisiensi digunakan secara netral untuk mengacu pada aspek-aspek administrasi dan organisasi. Dalam pandangan ini, birokrasi dimaknai sebagai institusi formal yang memerankan fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat.

Para  penganut teori Weber (Weberian) memaknai birokrasi  sebagai fungsi dari biro untuk menjawab secara rasional terhadap serangkaian tujuan yang ditetapkan pemerintahan. Birokrasi berparadigma netral dan bebas nilai. Jadi,  tidak ada unsur subyektivitas yang masuk dalam pelaksanaan birokrasi, karena sifatnya impersonalitas (tidak personal). Kepentingan individu yang beragam dilepas.

Rasionalitas dan efisiensi adalah dua hal yang sangat ditekankan oleh Weber. Rasionalitas harus melekat dalam tindakan birokratik, dan bertujuan ingin menghasilkan efisiensi yang tinggi. Menurut Miftah Thoha (2003:19), kaitan keduanya bisa dilacak dari kondisi sosial budaya, ketika Weber masih hidup dan mengembangkan pemikirannya. Kata kunci dalam rasionalisasi birokrasi ialah menciptakan efisiensi dan produktifitas yang tinggi tidak hanya melalui rasio yang seimbang antara volume pekerjaan dengan jumlah pegawai yang profesional, tetapi juga melalui pengunaan anggaran, pengunaan sarana, pengawasan, dan pelayanan kepada masyarakat.

Warren Bennis dalam  tulisannya “Organizational Development and the Fate of Bureucracy” yang dimuat di  Industrial Management Review 7 (1966) berpendapat,  birokrasi merupakan penemuan sosial yang sangat elegan, suatu bentuk kemampuan yang luar biasa untuk mengorganisasikan, mengkoordinasikan proses-proses kegiatan yang produktif pada masa Revolusi Industri. Birokrasi dikembangkan untuk menjawab berbagai persoalan yang hangat pada waktu itu, misalnya persoalan pengurangan peran-peran personal, persoalan subyektivitas yang keterlaluan, dan tidak dihargainya hubungan kerja kemanusiaan. Dalam pandangan Bennis, birokrasi adalah produk kultural dan sangat terikat oleh proses zaman pada saat kemunculannya. Kita sangat membutuhkan birokrasi yang berorientasi kemanusiaan, tidak secara konseptual semata tapi merambah pada dataran praktis di lapangan.

Fungsi birokrasi menurut Tjokrowinoto menyatakan ada 4 yaitu :

1. Fungsi instrumental: menjabarkan perundang-undangan dan kebijaksanaan publik dalam kegiatan-kegiatan rutin untuk memproduksi jasa, pelayanan, komoditi, atau mewujudkan situasi tertentu.

2. Fungsi politik: memberi input berupa saran, informasi, visi ,dan profesionalisme untuk mempengaruhi sosok kebijaksanaan.

3. Fungsi katalis Public Interest: mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan publik dan mengintegrasikan atau menginkorporasikannya di dalam kebijaksanaan dan keputusan pemerintah.

4. Fungsi Entrepreneural: memberi inspirasi bagi kegiatan-kegiatan inovatif dan non rutin, mengaktifkan sumber-sumber potensial yang idle, dan menciptakan resources –mix yang optimal untuk mencapai tujuan (Feisal Tamin,2002 h,5)

 

2.2. Peta Persoalan

Kritik terhadap keadaan birokrasi di Indonesia, antara lain ditujukan  kepada postur yang gemuk dan perilakunya. Berkaitan dengan  perilaku birokrasi, hal ini terkait dengan praktek birokrasi yang dibangun dari proses kesejarahan yang amat panjang. Setidaknya itu telah dimulai sejak masa kerajaan-kerajaan di Nusantara, kemudian pada jaman  kolonial hingga  Indonesia merdeka. Pada era Indonesia merdeka, apabila disekat-sekat waktunya secara makro dapat dibagi menjadi masa Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi.

Birokrasi di Indonesia masih menampilkan corak patrimonial, yang dalam benang sejarah perlu diperhatikan secara seksama. Model birokrasi kerajaan dan warisan model kolonial cenderung persistent sampai sekarang ini. Misalnya,  birokrat  seringkali memanifestasikan warisan budaya aristokratis dan orientasi vertikal, sebagai hal yang dominan dalam referensi birokrat. Aparat birokrasi juga menyandang loyalitas ritual yang seringkali bersifat pribadi. Mereka pun masih punya kesadaran prestise dan status yang masih kuat. Belum lagi soal budaya panutan yang sering membayangi partisipasi, kecenderungan sentralisasi yang amat kuat, dan sebagainya.

Perilaku birokrasi seperti itu membuat mereka  sulit melepaskan diri dari jaring-jaring kepentingan politik praktis. Menurut  Dwiyanto dalam bukunya yang berjudul Repormasi Birokrasi Publik di Indonesia (2002), perilaku seperti itu  berkaitan erat dengan proses kesejarahan birokrasi di Indonesia. “Sejarah perjalanan birokrasi di Indonesia tidak pernah terlepas dari pengaruh sistem politik yang berlangsung. Apapun sistem politik yang diterapkan selama kurun waktu sejarah pemerintahan di Indonesia, birokrasi tetap memegang peran sentral dalam kehidupan masyarakat. Baik dalam sistem politik yang sentralistik maupun sistem politik yang demokratis sekalipun, seperti yang diterapkan di Negara-negara maju, keberadaan birokrasi sulit dijauhkan dari aktivitas-aktivitas dan kepentingan-kepentingan politik pemerintah”.

Prinsip pokok yang harus dipahami adalah, bahwa birokrasi merupakan representasi negara. Dengan kedudukan seperti itu,  kekuasaan dan kekuatan birokrasi  besar sekali, menyentuh hampir semua sudut kehidupan warga negaranya. Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat oleh birokrasi sangat mempengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Misalnya, ketika pada tahun 1970-an menerapkan kebijakan Keluarga Berencana, suka atau tidak suka warga negaranya “harus” tunduk kepada keputusan birokrasi tersebut sekalipun menyangkut urusan yang paling pribadi.

Warga yang hidup di suatu Negara  harus mau menerima kebijakan yang dibuat oleh birokrasi, baik karena terpaksa atau sukarela. Dengan kekuatan seperti itu, birokrasi menjadi menjadi mesin pemerintaan yang berada di garis terdepan dalam hubungan antara Negara dan rakyatnya. Oleh karena itu, Negara harus bertujuan mensejahterakan rakyatnya, yang lazimnya dirumuskan dan ditetapkan dalam  konstitusi yang di-breakdown dalam perundang-undangan dan peraturan pelaksana lainnya.

Sebagai contoh, pada masa Orde Baru pemerintah hanya mengalokasikan anggaran pendidikan di APBN tidak pernah lebih  dari 5%. Rakyat  harus menerima hal itu. Untunglah,  dengan adanya reformasi, lahir keputusan elite politik melalui amandemen keempat UUD 1945 pada tahun 2002. Isinya,  mengamanatkan  anggaran pendidikan  minimal  20%  dari  besaran di APBN dan   APBD guna  memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan. 

Hal tersebut juga di atur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional, yang menyebutkan bahwa, “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% (dua puluh persen) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% (dua puluh persen) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)”. Anggaran pendidikan sebesar 20% yang diambil dari APBN dan APBD, ini dikenal dengan istilah Dana Alokasi Khusus (DAK).

Tetapi perintah konstitusi agar pemerintah anggaran  pendidikan minimal  20% (dari APBN dan APBD) itu tidak serta-merta dapat dilaksanakan. Perintah UUD itu membutuhkan instrument keputusan politik, yang kemudian baru dapat dijalankan oleh birokrasi. Melalui rapat konsultasi pimpinan DPR dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada Senin 5 Juni 2006, pemerintah dan Dewan akhirnya sepakat  menganggarkan  sektor pendidikan hingga 20 persen dari total belanja di APBN yang sebelumnya baru mencapai  sekitar 9,1%. Faktanya, pemerintah pusat sendiri baru dapat memenuhi target anggaran pendidikan 20% dari APBN mulai tahun 2009 dengan 20,8% yang ditahun 2010 turun menjadi 20%. Pada tahun 2011 hingga  2013 juga dianggarkan sesuai standar perintah konstitusi sebesar 20%. Apakah dalam praktek jajaran birokrasi dari pusat sampai daerah 100% melaksanakan perintah konstitusi itu?

 

2.3. Analisis

Reformasi birokrasi telah digulirkan Indonesia.  Dasar pelaksanaannya  adalah Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 dan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014.  Secara teknis kedua kebijakan tersebut dilengkapi dengan berbagai pedoman yang termuat dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 7 s.d 15 Tahun 2011.

Reformasi birokrasi menjadi tanggung jawab semua lembaga pemerintahan baik pusat maupun daerah. Oleh karena itu,  kementrian, lembaga non departemen dan Pemda harus mengacu pada Peraturan Presiden 81/2010 tentang Grand Design RB 2010–2025 dan melakukan langkah-langkah Reformasi Birokrasi sebagaimana digariskan dalam PerMENPANRB No. 20/2010, sesuai dengan karateristik K/L/Pemda, dalam rangka mewujudkan sasaran reformasi birokrasi secara nasional.

Apabila kita merujuk pada pandangan Weber, sebagaimana dikutip oleh Priyatmoko  dalam tulisannya “Kekuasaan Birokratik dan Cara-cara Mengontrolnya”,  birokrasi merupakan proses yang tak terelakkan sebagai konsekuensi rasionalisasi dan modernisasi. Weber  berharap,  kekuasaan birokrasi dapat dikontrol oleh para pemimpin politik dan pengusaha, utamanya pemimpin kharismatik.

Sedangkan Mises lebih melihat, bahwa pertumbuhan kekuasaan birokrasi merupakan akibat langsung dari pilihan politik para elite, khususnya ideologi Negara yang intervensionis. Mises mencemaskan kekuasaan birokrasi sebagai manifestasi ideologi totaliterisme yang mengancam demokrasi, kebebasan individu, dan kemakmuran ekonomi melalui mekanisme pasar.

Merujuk peda praktek birokrasi di Indonesia, birokrasi termasuk organ yang harus direformasi. Ryaas Rasyid (2012) mengatakan, reformasi birokrasi minimal harus mencakup lima sasaran utama (Rasyid, 2012) yaitu:

(1.) Perampingan organisasi dengan tujuan efisiensi pembiayaan, efisiensi penggunaan tenaga, dan efisiensi pengunaan waktu dalam menapaki tahapan pengambilan keputusan.

(2.) Penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan.

(3.) Penegakan disiplin dan pembangunan kultur birokrasi yang berbasis etika.

(4.) Penerapan asas profesionalisme yang berbasis kompetensi dan integritas dalam rekrutmen dan promosi.

(5.) Pemberian imbalan yang sesuai kinerja dan kontribusi masing-masing organisasi dan personil yang bekerja dilingkungan pemerintahan.

Tidak dapat dipungkiri, birokrasi pendidikan juga menjadi sasaran mengapa dia juga harus direformasi.  Alasan pertama mengapa birokrasi pendidikan perlu direformasi adalah, pendidikan merupakan instrumen kebijakan politik pemerintah, sehinga jelas bahwa ada keterkaitan antara politik dengan pendidikan. Menurut M. Sirozi, pendidikan dan politik merupakan dua elemen penting dalam sistem sosial politik di setiap Negara, baik Negara maju maupun Negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian-bagian terpisah, yang satu sama lain tidak memiliki hubungan apa-apa. Padahal, keduanya bahu-membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat. 

Plato berpendapat,  sekolah adalah salah satu aspek kehidupan yang terkait dengan lembaga-lembaga politik. Setiap budaya mempertahankan kontrol atas pendidikan di tangan kelompok-kelompok elite yang secara terus-menerus menguasai kekuasaan politik, ekonomi, agama dan pendidikan. Plato menggambarkan adanya hubungan dinamis antara aktivitas pendidikan dan aktivitas politik.

Menurut Abernethy dan Coombe, education and politics are inextricably linked(pendidikan dan politik terkait tanpa bisa dipisahkan). Hubungan timbal balik antara keduanya  dapat terjadi melalui tiga aspek: pembentukan sikap kelompok (group attitudes), masalah pengangguran (unemployment), dan peranan politik kaum cendekia (the political roles of the intellegents).

Keterkaitan antara pendidikan dan politik, berimplikasi pada semua dataran, baik  filosofis maupun kebijakan. Sebagai contoh, filsafat pendidikan kita adalah  refleksi prinsip ideologis (Pancasila) yang diadopsi oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini selaras dengan pandangan Abernethy dan Coombe seperti  dikutip  Sirozi, yang menyebutkan bahwa, “A government’s education policy reflect, and sometimes betray, its view of society or political creed. The formulation of policy, being a function of government, is essentially part of the political process, as are the demands made on government by the public for its revision

Pada gilirannya, implementasi dari suatu kebijakan pendidikan, berdampak pada kehidupan politik. Menurut Abernethy dan Coombe, ada empat aspek kehidupan masyarakat yang dapat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah, yaitu lapangan kerja, mobilitas social, ide-ide dan sikap. Hal tersebut  menggambarkan: (1)  betapa eratnya hubungan antara politik dan pendidikan, dan  (2) betapa besar pengaruh hubungan tersebut terhadap tatanan kehidupan sosial politik masyarakat.

Kebijakan pendidikan di Indonesia diarahkan untuk menciptakan manusia yang merdeka dan demokratis, dengan memiliki kekuatan pada aspek-aspek keimanan menurut agama yang dianutnya. Karena itu urusan pendidikan tidak sekadar merupakan hak dan kebutuhan masyarakat, tetapi juga merupakan kewajiban negara kepada warga negaranya. Warganegara berhak memperoleh pendidikan, sedang negara wajib memfasilitasinya.

Alasan kedua, performance birokrasi pendidikan sampai sekarang ini, menyebabkan kelambanan pelayanan publik di bidang pendidikan. Bahkan,  kelambanan praktik penyelenggaraan pendidikan sampai pada tingkat satuan pendidikan (sekolah). Menurut Ace Suryadi (Staf Ahli Mendiknas Bidang Desentralisasi  Pendidikan) dalam  makalahnya yang disampaikan pada forum Sosialisasi Pemberdayaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah pada tahun 2003, ia menyatakan “Sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam suatu iklim birokratik dan sentralistik dianggap sebagai salah satu sebab yang telah membuahkan keterpurukan dalam mutu dan keunggulan pendidikan di tanah air. Mengapa demikian? Karena sistem birokrasi selalu menempatkan “kekuasaan” sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses pengambilan keputusan.”

Sekolah-sekolah saat ini telah terkungkung oleh kekuasaan birokrasi yang “menggurita” sejak kekuasaan tingkat pusat hingga daerah bahkan terkesan semakin buruk dalam era desentralisasi ini.  Ironisnya, kepala sekolah dan guru-guru sebagai pihak yang paling memahami realitas pendidikan berada pada tempat yang “dikendalikan”. Merekalah  seharusnya yang paling berperan sebagai pengambil keputusan dalam mengatasi berbagai persoalan sehari-hari yang menghadang  upaya peningkatan mutu pendidikan. Namun, mereka ada dalam posisi tidak berdaya dan tertekan oleh berbagai pembakuan dalam bentuk juklak dan juknis yang “pasti” tidak sesuai dengan kenyataan objektif di masing-masing sekolah.  

Untuk mereformasi  birokrasi (pendidikan), perlu  adanya piranti yang memadai, bukan “sekadar” mengubah praktik birokrasi dan memutasi personalianya. Era otonomi telah begulir sejak 1999 lalu.  Dalam bidang pendidikan, hal itu hendaknya  diterjemahkan sebagai hak sekolah dan masyarakat untuk merencanakan dan menyelenggarakan kegiatan belajar-mengajar yang lebih kontekstual.

Ada beberapa hal yang sudah coba dilakukan dan dikembangkan  untuk memperbaiki mutu pendidikan. Misalnya,  diberlakukannya pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management),   pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah sebagai  mitra pemerintah dan sekolah. Lembaga itu  menjadi pintu masuk bagi keterlibatan dan peran aktif masyarakat untuk ikut serta memperbaiki kualitas pendidikan.

Sistem sentralistik  yang pernah dijalankan dalam pengelolaan pendidikan, terbukti kurang bisa memberikan pelayanan yang efektif bagi guru maupun anak didik, tidak mampu menjamin kesinambungan kegiatan di tingkat lokal, memiliki keterbatasan dalam beradaptasi dengan permasalahan lokal, dan menciptakan rasa ketergantungan pada pihak lain daripada rasa mandiri.

Perlu  diingat, implementasi desentralisasi pendidikan  harus berorientasi pada misi utamanya. Seyogyanya,  pelaksanaan desentralisasi pendidikan  tidak dilakukan melalui suatu mekanisme penyerahan “kekuasaan birokrasi” dari pusat ke daerah, karena kekuasaan telah terbukti gagal dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu.

Namun, apa boleh buat, urusan sektor pendidikan ternyata termasuk di antara urusan pusat yang diserahkan kewenangannya kepada daerah tingkat II (kabupatan dan kota) sebagaimana diatur oleh Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.  Berbeda dengan masa Orde Baru, dimana bupati dan walikota dipilih oleh DPRD, maka pada masa reformasi sebagai diatur UU tersebut, bupati dan walikota, sebagaimana presiden dan wakil presiden dan gubernur dan wakil gubernur dipilih langsung oleh rakyat.

Situasi politik  itu berimplikasi  cukup jauh. Berbeda dengan masa orde baru, dimana dulu bupati dan walikota jelas-jelas tunduk kepada gubernur (yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat atau presiden). Sekarang, dengan posisi bupati dan walikota yang dipilih langsung oleh rakyat, tidak jarang terjadi ketegangan hubungan birokrasi dan politik antara mereka dengan gubernur. Tidak jarang, bupati dan walikota mangkir atau menolak hadir dalam rapat di gubernuran. Bahkan, muncul kebijakan yang bertentangan dengan gubernur. Beruntung rakyatnya,  jika “perlawanan”  bupati atau walikota itu, berpihak kepada masyarakat.

Ketegangan birokrasi pusat ( presiden, wapres dan para pembantunya) di satu pihak, dan kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota) di pihak lain, tidak terelakkan terjadi ketika kepentingan pemerintah pusat ternyata berbeda dengan pemerintah daerah. Sebabai contoh, kebijakan pemerintah pusat mengenai  mobil murah ramah lingkungan (low cost green car/LCGC), ditentang oleh Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan sejumlah kepala daerah lainnya, seperti Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Wali Kota Solo FX Rudyatmo, dan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil. Mereka  menolak kebijakan mobil murah, karena menganggap akan memperparah kemacetan. Mereka berpendapat,  pemerintah pusat seharusnya mendukung pemerintah daerah untuk mengatasi kemacetan dengan mempercepat pengadaan sistem transportasi massal. Akan tetapi, kebijakan pemerintah pusat justru kontradiktif dengan menghadirkan PP Nomor 41 Tahun 2013 tentang LCGC.

Perbedaan kebijakan antara pusat/provinsi dengan kabupaten atau kota, bukan tidak mungkin terjadi dalam urusan pendidikan. Dalam politik anggaran misalnya,  bukan tidak mungkin muncul kebijakan yang berbeda antara pusat dan daerah. Adanya perbedaan latar belakang para politisi yang menjadi pucuk pimpinan birokrat —(baik pendidikan, partai politik yang dianut maupun aspeklain)— dan juga visi,  boleh jadi di daerah A pendidikan APBD menganggarkan  20%, tetapi di daerah X hanya dianggarkan 10% saja.

Ada beberapa aspek yang melatarbelakangi  terjadinya perbedaan kebijakan birokrasi:


Aspek struktur/sistem

Selama ini struktur/sistem yang dikembangkan sangat birokratis, tidak efisien dan menempatkan orang bukan karena profesionalisme atau kemampuan, tetapi karena kedekatan dengan pejabat.

Akibatnya,  program kerja yang dibuat berorientasi pada proyek, bukan manfaat dan dampak. Hal ini mengakibatkan dana yang besar menjadi tidak efektif dan efisien. Belum lagi,  para pejabat masih banyak juga berkepentingan untuk mengambil keuntungan dari dana proyek yang dianggarkan, sehingga pemenang tender proyek  (program) bukan pihak yang mampu, tapi siapa yang bisa memberi  kick back moneydan komisi paling besar. Buktinya, masih cukup banyaknya pejabat/birokrat pusat dan daerah yang ditangkap KPK,  Kejaksaan maupun Polri terkait kasus korupsi anggaran.


Aspek kultur/budaya

Budaya kerja birokrasi  banyak  yang masih berorientasi  dilayani, bukan  melayani. Ada beberapa contoh birokrasi yang sudah berubah, seperti di Kabupaten Jembrana, dan Kota Surakarta. Tapi, yang belum berubah juga masih banyak, termasuk di lingkungan  dinas pendidikan. Pengawas yang datang ke sekolah bukan untuk melayani sekolah, tetapi mereka yang dilayani dengan berbagai fasilitas dan upeti. Dalam melayani  masyarakat, cenderung mempersulit  dan lambat.  


Aspek figur/pemimpin

Pemimpin yang diangkat, masih jarang yang berdasarkan profesionalisme,  kemampuan dan kompetensinya. Orang-orang yang memiliki kedekatan dengan bupati/walikota, karena punya jasa tertentu seperti tim sukses dalam Pilkada, yang dipilih dan diangkat sebagai pejabat di birokrasi. Akibatnya,  tak jarang  pejabat itu  tidak memiliki visi dan kompetensi yang memadai.  


Aspek Hubungan

Hubungan antar pejabat dengan staf adalah hubungan atasan dan bawahan, bukan kolega atau teman seperjuangan. Tetapi dalam biroktasi masih dijumpai, pejabat menempatkan diri sebagai majikan yang memiliki kekuasaan dan  merasa tidak pernah salah. Staff menempatkan diri sebagai  “budak”,   yang siap mengerjakan apapun yang diperintahkan atasan tanpa sikap kritis.


Aspek Peran

Peran yang diemban oleh tenaga kependidikan pun hanya sekadar administratif belaka dalam arti sempit. Sekadar menjalankan tugas tanpa visi, misi dan orientasi untuk perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan. Akibatnya sulit untuk melakukan transformasi pendidikan karena segalanya rutinitas belaka.

Untuk memperbaikinya sektor pendidikan perlu dilakukan reformasi birokrasi, lebih-lebih birokrasi kependidikan, yang di antaranya menyangkut aspek:

1. Reformasi motivasi : dari asal kerja menjadi ibadah dan amanah.

2. Reformasi pemimpin : dari pejabat menjadi kaum profesional.

3. Reformasi paradigma : dari dilayani menjadi melayani.

4. Reformasi pendekatan pengelolaan : dari birokrasi menjadi  korporasi profesional.

5. Reformasi hasil kerja : dari asal selesai menjadi orientasi mutu.

6. Reformasi pelayanan : dari dipersulit menjadi dipermudah dan memuaskan.

7. Reformasi cara kerja : dari lambat menjadi disiplin, cepat dan segera.

8. Reformasi budaya kerja : dari  saling bersaing negatif menjadi sinergis.

9. Reformasi pelaporan : dari semu menjadi jujur, transparan dan akuntabel.

10. Reformasi tampilan : dari tidak ramah menjadi ramah dan menyenangkan.

 

Dengan pendekatan seperti tersebut di atas, praktek dan perilaku birokrasi diharapkan  mengedepankan tata kelola yang amanah (good governance). Kinerja birokrasi dapat dikategoriukan  good governance apabila memenuhi  prinsip-prinsip berikut :

1. Accountability (akuntabilitas): kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang/pimpinan atau suatu unit organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau berwenang meminta pertanggugjawaban. Meliputi akuntabilitas publik, politik, keuangan, hukum, dan sebagainya.

2. Transparancy (transparansi) : Transparansi sama dengan polos, apa adanya, tidak bohong, tidak curang, jujur, dan terbuka terhadap publik tentang apa yang dikerjakan. Pengembangan transparansi ditujukan untuk membangun kepercayaan dan keyakinan publik sebagai organisasi pelayanan pendidikan yang bersih dan berwibawa.

3. Openess (keterbukaan) : pemberian informasi secara terbuka, terbuka untuk open free suggestion, dan terbuka terhadap kritik sebagai partisipasi untuk perbaikan. Kebijakan yang diambil melalui proses ini sehingga dapat dihasilkan kebijakan yang produktif, positif dan motivatif.

4. Rule of Law (aturan hukum) : keputusan, kebijakan dilakukan berdasar hukum (peraturan yang sah). Juga terdapat jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan publik yang ditempuh.

5. Fairness (berkeadilan) : adanya jaminan perlakuan yang adil/perlakuan kesetaraan kepada masyarakat dalam pelayanan publik dan tidak ada perlakukan yang melanggar HAM.

6. Partisipation (partisipasi) : setiap warga negara berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui institusi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.

7. Responsif : responsif dan cepat tanggap terhadap aspirasi masyarakat.

8. Berorientasi kesepakatan (consessus orientation) : perantara kepentingan yang berbeda untuk mendapatkan pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas dalam hal kebijakan maupun prosedur kerja.

9. Efektif dan efisien : menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia dengan hasilnya yang sebaik mungkin.

10. Stategic vision (Visi strategis): mempunyai perspektif good governance dan pengembangan sumber daya manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan.

Apakah desentralisasi pendidikan, yang diarahkan pada otonomi pendidikan dan otonomi sekolah demi  kepuasan masyarakat selaku pengguna jasa pendidikan bisa sepenuhnya dipraktekkan atau hanya menjadi wacana  dan konsep? Apakah  daerah mampu mengimplementasikan otonomi pendidikan dan otonomi sekolah untuk memenuhi tanggungjawab sekolah kepada  publik? Waktulah yang akan menjawab, seiring dengan apa yang diusahakan oleh birokrasi, politisi pemegang kebijakan dan masyarakat. Tegasnya, hal ini  bukan hanya masalah komitmen dan political will pemerintah daerah, tetapi  daerah memang banyak yang tidak memiliki referensi dan konsep untuk mengoperasionalkan konsep otonomi yang aplicable di sektor pendidikan tersebut.

 

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

a)      Pada tataran keputusan politik nasional,  pada tataran konstitusi dan perundang-undangan, kebijakan terkait dengan pendidikan sudah memadai, seperti perintah agar anggaran pendidikan 20% dari total anggaran negara (APBN dan APBD). Hal itu juga didukung dengan adalah UU Sistem Pendidikan Nasional  dan UU  Pemerintahan Daerah, serta Grand Desain Reformasi Birokrasi. Hanya saja, dalam pelaksanaan di lapangan, daerah belum sepenuhnya bisa matching dengan visi negara dalam pendidikan yang dielaborasi dalam UUD, UU dan peraturan pelaksananya.

b)      Reformasi birokrasi (termasuk birokrasi pendidikan) di pusat dan daerah perlu terus dikawal, agar  urgensi pendidikan sebagai salah satu layanan publik yang amat strategis, dapat dipraktekan birokrasi. Hal itu penting, agar birokrasi tidak menjadi sumber kemerosotan dan kemandekan penyelenggaraan pendidikan.

c)      Partai politik perlu selektif dalam perekrutan sumber daya manusia, terutama mereka yang akan ditempatkan sebagai pucuk pimpinan di daerah (gubernur, bupati dan walikota). Untuk itu, perlu adanya penajaman visi dan misi mereka dalam membangun daerah, tidak terkecuali di bidang pendidikan.

d)     Masyarakat perlu turut mengawasi bagaimana pelaksanaan kewenangan dan tanggungjawab daerah dalam penyelenggaraan pendidikan, sebagaimana diatur dalam UU No 32/2003 tentang Pemerintahan Daerah, yang  meliputi penetapan mutu sumberdaya manusia, kelengkapan sarana & prasarana, serta permasalahan pembiayaan pendidikan.

 

3.2. Rekomendasi Kebijakan

a)      Reformasi birokrasi, termasuk di sektor pendidikan perlu terus dilanjutkan, untuk memastikan postur dan kultur birokrasi sesuai dengan visi dan misi Grand Desain Reformasi Birokrasi.  

b)      Reformasi birokrasi  pendidikan adalah langkah keniscayaan. Model reformasi jabatan tertinggi pada level satuan pendidikan (sekolah), dapat dicoba dengan  “pilot project” yang memposisikan  kepala sekolah sebagai jabatan publik. Dengan posisi itu,  kepala sekolah akan bertanggungjawab dan berdedikasi kepada publik, bukan (semata-mata) kepada birokrasi di atasnya. Model dengan  paradigma ini,  hanya dipenuhi dengan menjadikan kepala sekolah sebagai jabatan publik, yang dipilih oleh stake holder (pemangku kepentingan sekolah), yakni  para konsumen pengguna jasa pendidikan (publik).

c)      Penempatan pejabat publik seperti kepala sekolah dan kepala dinas pendidikan dapat dilakukan dengan model lelang jabatan, dengan menandatangani pakta integegritas.

d)     Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), yang telah diterima (baik secara konseptual maupun praktis), adalah  investasi sosial yang perlu dikawal keberlanjutannya agar tidak menjadi model yang “hangat-hangat tahi ayam”. 

 

BIBLIOGRAFI:

 

Azyumardi Azra. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Erwan Agus Purwanto, Ph.D dan Wahyudi Kumorotomo, MPP (Eds.), 2005, Birokrasi Publik dalam Sistem Politik Semi Parlementer, Penerbit Gava Media, Yogyakarta.

Fasli Jalal. 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.

 Giddens, Anthony, 2004, Teori Strukturasi Untuk Analisis Sosial, Penerbit Pedati, Pasuruan.

Huntington, Samuel P., The Third Wave: Democratization In The Late Twentieth Century, University of Oklahoma Press, 1991, (Diindonesiakan dalam Gelombang Demokratisasi Ketiga, Pustaka Utama Grafiti, 1997).

Jones, Charles O., 1991, Pengantar Kebijakan Publik (Public Policy), Penerbit Rajawali Press, Jakarta.

Juliantara, Dadang, 2004, Pembaruan Kabupaten, Penerbit, Pembaruan, Jogyakarta.

Kemendiknas. 2002. Memiliki Wawasan Tentang Model-Model Perencanaan Tingkat Kabupaten/Kota. (Materi Pelatihan Terpadu Untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota)

Kementrian PAN & RB, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2010 Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025; e-books diunduh dari website Kementrian PAN & RB.

Kementrian Pendidikan Nasional, Reformasi Pelaksanaan Sistem Pendidikan Nasional: Sub Penguatan Organisasi,  Oktober 2010. E-books

Keputusan Mendiknas No. 044/U/2002 tentang panduan pembentukan komite sekolah, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Kuswandono, Wawan E., Reformasi Birokrasi, Perspektif Politik, Jurnal Jejaring Administrasi Publik, Departemen Administrasi FISIP, Unair, th I no. 3, Januari-Juni 2010

Miftah Thoha, Prof. Dr., MPA., 2004, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta.

Osborne, David dan Peter Plastrik, 2004, Memangkas Birokrasi, Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha, Penerbit PPM.

Osborne, David dan Ted Gaebler, 2005, Mewirausahakan Birokrasi, Reinventing Government, Penerbit PPM.

Peraturan bersama Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan,  dan Menteri Agama Nomor 05/X/PB/20RR, nomor SPB/03/M.PAN-RB/10/2011, Nomor  48 tahun 2011, Nomor 158/PMK.01/2011, Nomor  11 tahun 2011 tentang Penataan Dan Pemerataan Guru Pegawai Negeri Sipil.

Sirozi, M., Ph.D, 2005, Politik Pendidikan, Dinamika Hubungan antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan, Penerbit PT. Rajagrafindo Persada.

Sulistyo., Hermawan. Dari Negeri Majikan ke Negeri Pelayan: Reformasi Birokrasi Indonesia, Pensil-324, Jakarta, 2011

Thut, I dan Don Adams, Pola-Pola Pendidikan Dalam Masyarakat Kontemporer, terj., (judul asli: Educational Patterns in Contemporary Societies), Pustaka Pelajar, 2005.

 

 b.      Artikel, Makalah

 

Alisjahbana, Dr. Ir., MA., Potret Buram Birokrasi dan Upaya Membenahinya, makalah Seminar “Mencari Figur Walikota Ideal, Menuju Probolinggo Adil dan Sejahtera”, Probolinggo, 3 Juni 2006.

Bailey, Margo, Representative Bureaucracy: Understanding Its Past to Address Its Future, Public Administration Review, Maret/ April 2004, halaman 246, Academic Research Library.

Basu, Susanto (University of Michigan), dan David D. Li (Hong Kong University of Science and Technology), A Theory of The Reform of Bureaucratic Institution, makalah, Januari 2000.

Cheung, Anthony B.L., The Politics of Administrative Reform in Asia: Paradigms and Legacies, Paths and Diversities, An International Journal of Policy, Administration and Institution, Vol. 18, No. 2, April 2005, p. 257-282.

Hood, Christopher, dan Martin Lodge, Competency, Bureaucracy, and Public Management Reform: A Comparative Analysis, An International Journal of Policy, Administration and Institution, Vol. 17 No. 3, Juli 2004, p. 313-333.

Kuswandoro, Wawan E., 2006, Membangun Sekolah Milik Masyarakat, artikel.

Kuswandoro, Wawan E., Seni Membangun Pendidikan, artikel, Suara Rakyat, 28 Agustus 2006.

Kuswandoro, Wawan E., Pendidikan Kita Untuk Siapa: Tinjauan tentang Reinventing Governance for Education Reforms, Jurnal Reformasi Pendidikan “Cendekia”, Vol. 2, No. 2, Mei – Oktober 2006.

Lim, Hong-Hai, Representative Bureaucracy: Rethinking Substantive Effects and Active Representation, Public Administration Review, Mar-Apr 2006.

Priyatmoko, Kekuasaan Birokratik dan Cara-cara Mengontrolnya, makalah materi kelas pada program pascasarjna (S-2) IIS Universitas Airlangga.

Wood, B. Dan, dan John Bohte, The Politics of Administration Design, Department of Political Science, Texas A & M University, makalah pada “Scientific Study of The Bureaucracy Conference”, Texas A & M University, 2-3 Februari, 2001.

 

Blog  Prof. Dr. Nur Syam, M.Si pada laman http://nursyam.sunan-ampel.ac.id/?p=2587

Blog,   http://arjaenim.blogspot.com/2013/01/pengertian-birokrasi.html

Blog, http://blog.fitb.itb.ac.id/usepm/?p=312

Happy Susanto [Peneliti The International Institute of Islamic Thoughts (IIIT) Indonesia], sumber: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0401/01/opi01.html

Harian Suara Merdeka @  ttp://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/0606/06/nas2.htm

Kementrain Dalam Negeri, http://itjen-depdagri.go.id/article-24-birokrasi.html

Wikipedia @  http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah_di_Indonesia


[1] Sulistyo., Hermawan. Dari Negeri Majikan ke Negeri Pelayan: Reformasi Birokrasi Indonesia, Pensil-324, Jakarta, 2011

[2] http://www.merriam-webster.com/dictionary/bureaucracy

[3] Castle. Lance, Suyatno, Nurhadiantomo, Birokrasi, kepemimpinan, dan revolusi sosial di Indonesia, Hapsara, 1983

[4] Sjafari., Agus, dan Kandung Sapto Nugroho, Perubahan Sosial: Sebuah Bunga Rampai, FISIP Untirta

Cetakan Pertama: April, 2011

[5] http://itjen-depdagri.go.id/article-24-birokrasi.html

[6] Happy Susanto,  Peneliti The International Institute of Islamic Thoughts (IIIT) Indonesia, sumber: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0401/01/opi01.html

[7] http://arjaenim.blogspot.com/2013/01/pengertian-birokrasi.html

[8] http://blog.fitb.itb.ac.id/usepm/?p=312

[9] Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945 Amandemen IV Tahun 2002

[10] Pasal 49 Ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003

[11] http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/0606/06/nas2.htm

[12] Priyatmoko, MA., Kekuasaan Birokrasi dan Cara-cara Mengontrolnya, artikel.

[13]

[14] M. Sirozi, Ph.D, Politik Pendidikan, Dinamika Hubungan Antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan, Penerbit Rajawali Press, 2005, halm. 1.

[15] http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah_di_Indonesia

Tidak ada komentar:

PENELITIAN KUALITATIF DALAM ILMU-ILMU SOSIAL

A. Pendahuluan   Ketika kita bergaul sehari-hari seringkali kita berargumen satu sama lain. Kita bercakap-cakap untuk mempe...