Abstrak
Selama rentang tahun 2010 s.d 2020 tidak kurang dari 71 kasus kriminalisasi guru baik yang termuat dalam media cetak maupun media sosial. Kasus tersebut terjadi baik di sekolah pada saat jam-jam aktif mengajar maupun di luar sekolah. Sebagian besar dipicu upaya guru mendisiplinkan siswa. Tujuan penelitian ini adalah tentang upaya pembelian jaminan perlindungan hukum bagi para tenaga pendidik profesional dalam menjalankan tugas profesinya oleh organisasi profesi guru. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan analisis pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama jaminan perlindungan hukum bagi guru belum sepenuhnya diketahui oleh anggota. Kedua, diktum aturan yang ada belum cukup mengikat dalam memberikan perlindungan hukum. Ketiga, kesepakatan organisasi PGRI dengan Kapolri belum sepenuhnya dipahami oleh aparat di bawahnya.
.
Kata kunci: guru, hukum, kekerasan, perlindungan, PGRI
Abstract
During the span of 2010 to 2020, there were at least 71 cases of criminalization of teachers either found in printed or social media. These cases occurred both at school during school hours and outside of the school. Most of the cases happened at school and they were triggered by the teacher's efforts to discipline students. The purpose of this study is about the purchase of legal protection guarantees for professional educators in carrying out their professional duties by Professional Teachers Organizations, named PGRI (The Association of Indonesian Teachers). The research method used is qualitative research with library analysis. The results of the study indicated that, firstly, the guarantee of legal protection for teachers is not yet fully known by the whole members. Second, the existing rule is not yet binding enough to provide legal protection. Third, the agreement between the PGRI organization and the Indonesian Police Chief has not been fully understood and applied.
PENDAHULUAN
Keberadaan Guru merupakan salah satu faktor kunci dan sangat penting bagi terbentuknya generasi masa depan yang diharapkan. Kualifikasi generasi muda andalan bangsa tidak hanya tentang intelektualitas dan kemampuan kognitifnya saja melainkan juga dari aspek afektif yaitu bagaimana berperilaku dalam masyarakat di sekitarnya juga kemahiran psikomotorik dalam menemukan dan menerapkan kecakapan-kecakapan hidup yang memungkinkan mereka eksis dalam hidup dan kehidupannya.
Sebagaimana diketahui bahwa Guru adalah pendidik dan pengajar pada jenjang PAUD, jalur sekolah atau pendidikan formal,yaitu pada pendidikan dasar sampai pendidikan menengah. Guru profesional hendaklah memiliki kualifikasi formal, yaitu minimal Sarjana (S1 atau D/IV). Dalam batasan yang lebih luas, setiap orang yang mengajarkan suatu hal yang baru dapat juga dianggap seorang guru namun memiliki kemampuan yang cukup untuk mengajarkannya (Tanureja, 2017: 7).
Melaksanakan tugas profesionalnya, guru mengembang tiga tugas utama, yaitu tugas profesionalnya sebagai guru, tugas kemanusiaan dan tugas-tugas kemasyarakatan di mana dia hidup dan dilayani (Usman, 2016:75). Dalam konektivitas ketiga tugasnya tersebut, guru kerap kali bersentuhan dengan sejawat, pemerintah, masyarakat, anak didik dan pihak-pihak yang relevan lainnya.
Dalam menjalankan tugas-tugas profesionalnya, seorang guru tidak terlepas dari berbagai permasalahan hukum. Salah satunya adalah potensi dikriminalisasi. Saat ini, guru dituntut untuk senantiasa mengajar dan mendidik secara humanis. Namun demikian, guru adalah manusia biasa. Terkadang guru melakukan hal-hal yang dewasa ini dianggap melanggar hak-hak anak. Tindakan menjewer bagi siswa yang usil, membentak dengan suara keras bagi siswa yang tidak penurut, menghukum fisik bagi siswa yang melakukan tindakan merugikan orang lain ataupun karena alasan kedisiplinan. Kondisi semacam itu sungguh tidak berterima. Akibatnya, guru mendapatkan perlawanan atau setidaknya komplain dari pihak wali murid, pemerhati anak maupun pihak-pihak lain yang menjunjung tinggi hak asasi anak di sekolah. Alhasil, tercatat selama rentang waktu 2010 s.d 2020 terdapat 71 kasus guru yang membutuhkan perlindungan hukum (PGRI NTB, 2021: 1).
Berikut dikemukakan jumlah kasus hukum yang dialami guru dalam menjalankan tugas profesionalnya di Provinsi NTB dalam rentang waktu 2010 s.d 2020.
Tabel 1. Data Kasus Guru di NTB Per Kabupaten/Kota
No | Kabupaten/Kota | Jumlah Kasus Masuk | Kasus Hukum | Diduga Kriminalisasi |
1 | Kota Bima | 3 | 3 | 2 |
2 | Kab. Bima | 10 | 5 | 3 |
3 | Kab. Dompu | 7 | 4 | 2 |
4 | Kab. Sumbawa | 8 | 2 | 1 |
5 | Kab. Sumbawa Barat | 5 | 2 | 1 |
6 | Kab. Lombok Timur | 14 | 5 | 3 |
7 | Kab. Lombok Tengah | 11 | 9 | 3 |
8 | Kab. Lombok Barat | 7 | 5 | 2 |
9 | Kab. Lombok Utara | 4 | 2 | 1 |
10 | Kota Mataram | 2 | 1 | 1 |
| Jumlah | 71 | 38 | 19 |
Kini, tindakan sebagian orang mengkriminalkan seorang guru tidaklah sulit. Banyak hal yang memberi kemungkinan besar guru masuk di dalamnya. Contohnya, akibat tindakan menjewer murid, dalam perspektif si guru tidak disiplin dan layak dijewer agar siswa bisa lebih disiplin. Faktanya, sekarang hampir semua orang tua atau pihak-pihak tertentu tidak setuju bilamana guru main jewer atau menghukum fisik. Hal ini dianggap berlebihan karena maksud dari guru bukanlah untuk melakukan penghinaan atau melakukan penyiksaan terhadap siswa akan tetapi agar si murid tersebut lebih disiplin. Pada dasarnya guru bermaksud mendidik muridnya dengan cara yang lebih keras agar menghargai sikap disiplin. Akan tetapi malah diadukan ke kantor polisi dengan dalih guru melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan bagi peserta didik. Bahkan hanya dengan menepuk pundak siswanya, dengan maksud memberikan teguran ini dianggap kriminal oleh orang tua wali murid. Contoh paling nyata adalah kasus guru di SMKN 2 Makassar yang dikriminalisasi karena mendisiplinkan muridnya. Orang tua siswa melakukan tindakan penyiksaan sampai guru meninggal dunia. Kasus serupa juga terjadi di SMAN 7 Mataram, di mana seorang guru tidak tetap dengan inisial BqN dikriminalisasi oleh kepala sekolahnya sendiri dengan tindakan pelecehan seksual. Kasus ini sampai pada permohonan amnesti dari Presiden RI dan dia memperolehnya.
Dalam melaksanakan tugas-tugas profesional, kemasyarakatan dan tugas-tugas kemanusiaannya tersebut, guru bersentuhan langsung maupun tidak langsung dengan peserta didik. Proses tersebut kadang-kadang tidak hanya melibatkan kontak fisik (tatap muka), juga kedekatan emosional dan keterlibatan psikologis lainnya. Kondisi psikologis guru maupun murid turut memberikan dampak pada kelancaran dan kesuksesan proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Sementara itu, kondisi psikis guru maupun peserta didik turut dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman lain yang telah, sedang maupun akan dihadapi baik di dalam lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah. Keterlibatan emosional tersebut selanjutnya berlangsung bersamaan dengan proses pembelajaran di kelas.
Adam dan Dickley dalam bukunya Basic Principle of Student Teaching menulis bahwa Proses pembelajaran merupakan proses kegiatan guru dan siswa yang terjalin hubungan timbal balik yang baik. Guru memegang peranan penting dalam proses pembelajaran yang merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan. Peran guru antara lain: guru sebagai pengajar, pemimpin kelas, pembimbing, pengatur lingkungan, partisipan, ekspeditor, perencana, supervisor, motivator dan konselor (Adam H. F. and Dickley, T.G., 1959:225).
Dengan kompetensi profesional dan kepribadian yang dimilikinya, guru diharapkan menjadi orang dewasa bijak dan cerdas dalam mengawal serangkaian pembelajaran yang sedang diampunya. Namun demikian, kadang-kadang proses tersebut tidak selalu berjalan mulus. Terlebih bila kondisi emosional guru maupun siswa sedang sangat tidak stabil. Alhasil, berbagai kemungkinan yang tidak sesuai dengan kaidah pendidikan pun terjadi. Munculah kasus guru melakukan tindakan verbal maupun non-verbal yang sesungguhnya tidak mendidik. Sekali pun guru berdalih bahwa itu semua adalah proses mendidik.
Sejatinya, bilamana terjadi masalah-masalah antara guru dan siswa di dalam kelas, bisa diselesaikan di dalam kelas juga atau setidaknya di lingkungan sekolah. Namun ekses yang terjadi, tidak jarang berlanjut di luar kelas, dan bahkan ketika siswa sampai di rumah dan informasi tersebut sampai ke orang tua siswa. Ketidakharmonisan ini berpotensi menjadi besar bilamana orang tua tidak bisa menerima. Kasus-kasus dalam tabel di atas adalah kasus yang dapat dicatat dan dilaporkan kepada Pengurus PGRI Provinsi NTB dan ditangani oleh Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH-PGRI NTB). Kondisi yang sama juga, tidak jarang guru menjadi korban kriminalisasi yang dilakukan oleh unsur masyarakat, orang tua murid sebagaimana terjadi di Maros, Sulawesi Selatan.
Dampak hukum dari kasus-kasus tindakan kekerasan tersebut tidak jarang menyeret tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan hingga ke ranah hukum. Apapun alasannya, walau pun berupa tindakan maupun sikap guru dengan alasan mendisiplinkan siswa. Misalnya, hukuman disiplin yang dilakukan oleh tenaga pendidik di masa lalu dianggap hal biasa namun sekarang dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Alhasil, para tenaga pendidik berada pada sisi yang dilematis. Pada satu sisi dianggap upaya menegakkan disiplin dan tata tertib sekolah. Pada sisi lain para guru khawatir dikriminalisasi oleh orang tua atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pembela anak atas tuduhan melakukan kekerasan terhadap anak.
Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum PGRI NTB, Edy Kurniadi, SH. menerima puluhan kasus kriminalisasi guru setiap tahunnya selain kasus-kasus pribadi guru seperti perceraian, penipuan dan permasalahan guru dengan pemerintah daerah. Ironinya, kebanyakan kasus tersebut adalah buntut dari tindakan tegas guru dalam mendidik muridnya.
METODE PENELITIAN
Artikel ini adalah hasil penelitian yang membahas tentang jaminan perlindungan hukum bagi tenaga pendidik dalam melaksanakan tugas-tugas profesionalnya di sekolah. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan deskriptif kualitatif. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (Library Research) dengan mengacu pada baik sumber primer maupun sekunder. Sumber primer adalah data penanganan kasus kriminalisasi guru pada kantor LKBH PGRI Provinsi NTB. Sementara itu, sumber data sekunder diperoleh dari buku-buku, hasil penelitian, prosiding, artikel, dan jurnal.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jelas tertuang dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pada Pasal ayat (1) bahwa guru didefinisikan sebagai pendidik profesional dengan tugas untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru atau lebih dikenal sebagai tenaga pendidik merupakan sebuah profesi yang digeluti sekelompok orang yang telah mendapatkan pendidikan tentang didaktik dan metodik, psikologi dan pengelolaan kelas. Guru adalah sebuah jabatan profesional bersertifikasi dan ditunjukkan dengan Sertifikat Pendidik.
Dalam menjalankan tugasnya, guru berhak atas perlindungan hukum. Perlindungan tersebut dimaknai sebagai tugas pemerintah untuk melindungi Aparatur Sipil Negara dan ikhtiar organisasi profesi (PGRI) dalam menjalankan tugas profesinya, Jenis perlindungan tersebut seperti dalam aspek hukum, kesejahteraan, keprofesian, dan sosial kemasyarakatan.
Ikhtiar Pendidikan tanpa Kekerasan
Berbagai tindakan kekerasan dalam dunia pendidikan sesungguhnya bertentangan dengan nilai, norma dan asas pendidikan Indonesia. Namun demikian, praktik kekerasan masih juga kerap kali terjadi baik di dalam lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Hal ini terjadi tentu dilatarbelakangi oleh banyak hal sebagaimana yang sudah penulis paparkan. Kekerasan dalam dunia pendidikan tentu bisa dihindari, manakala seluruh pihak-pihak yang berkompeten memiliki tekad yang kuat dalam membangun pendidikan yang santun dan tanpa kekerasan. Hal ini dapat dilakukan melalui beberapa upaya yakni: Pertama, Meningkatkan Profesionalisme dan Kualitas Guru. Pendidikan yang efektif baik di tingkat pendidikan dasar dan menengah maupun di tingkat pendidikan tinggi akan tercapai apabila diselenggarakan oleh tenaga kependidikan atau guru yang profesional.
Menurut Idi, profesional berasal dari kata profesi yang diartikan sebagai suatu pekerjaan yang memerlukan pendidikan lanjut.
Danim, menyatakan, bahwa kompetensi guru di Indonesia pada umumnya mengacu pada tiga jenis kompetensi yaitu kompetensi profesi, kompetensi pribadi dan kompetensi masyarakat atau sosial. Pernyataan tersebut dijabarkan dalam pemahaman sebagai berikut: 1). Kompetensi profesi, artinya ia memiliki pengetahuan yang luas serta dalam dari subject matter (bidang studi) yang akan diajarkan serta penguasaan metodologis dalam arti memiliki pengetahuan konsep teoretik, mampu memilih metode yang tepat serta mampu menggunakan berbagai metode dalam proses belajar mengajar.
Guru pun harus memiliki pengetahuan luas tentang landasan kependidikan dan pemahaman terhadap subjek didik (murid); 2). Kompetensi pribadi, artinya memiliki sikap kepribadian yang mantap, sehingga mampu menjadi sumber identifikasi bagi subjek. Dengan kata lain, guru harus memiliki kepribadian yang patut diteladani, sehingga mampu melaksanakan kepemimpinan yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara, yaitu Tutwuri Handayani, Ing Madya Mangunkarso, dan Ing Ngarso Sung Tulodo; 3). Kompetensi masyarakat (sosial), artinya ia menunjukkan kemampuan berkomunikasi sosial, baik dengan murid-muridnya maupun dengan sesama teman guru, dengan kepala sekolah bahkan dengan masyarakat luas.
Kedua, membangun kemitraan sekolah melalui komite sekolah. Pola kemitraan antara sekolah dan orang tua harus dirancang sedemikian rupa, sehingga pola pendidikan antara keduanya menjadi efektif dan upaya penanaman nilai-nilai norma dan spiritual peserta didik akan berhasil dengan semaksimal mungkin. Zuchdi, menyatakan bahwa suasana kehidupan di sekolah dan di rumah memengaruhi perkembangan kepribadian anak, karena hal itu merupakan wahana penyemaian nilai yang akan dijadikan acuan anak dalam setiap tindakannya.
Anggapan ini memberikan asumsi bahwa lingkungan sangat mempengaruhi karakter dan nilai-nilai norma pada seorang anak. Oleh karenanya keselarasan dalam pendidikan harus sejalan baik di sekolah, di rumah dan di lingkungan masyarakat.
Kemitraan yang bisa dilakukan oleh pihak sekolah dan pihak orang tua siswa adalah dengan memaksimalkan peran komite sekolah, dimana sekolah memberikan aturan kepemimpinan bagi orang tua dalam upaya mewujudkan keselarasan pendidikan sehingga tujuan dari pendidikan itu sendiri akan tercapai. Tanggung jawab komite orang tua yang terpenting adalah mendorong dan membantu orang tua untuk menjadi model dan mengajarkan karakter di rumah.
Ketiga, keteladanan dalam berakhlakul karimah. Dalam pendidikan guru adalah aktor utama terjadinya perubahan dimasyarakat, guru juga creator kader-kader masa depan yang akan mewarnai peradaban manusia. Oleh karena itu, besarnya tanggung jawab guru harus didukung oleh kualitas sumber daya manusia yang memadai, baik menyangkut wawasan, skill, moral, kapasitas, dan integritas keilmuannya. Kualitas tersebut akan mendorong guru berkarya dan berbuat yang terbaik.
Kualitas sumber daya manusia dalam hal ini meliputi moral atau akhlak seorang guru. Maka jika akhlak atau moral seorang guru itu baik maka kualitas SDM-nya akan tercermin baik, begitu juga sebaliknya. Pendidikan akhlak atau moral sangat bergantung pada kebiasaan pola hidup yang dilihat, didengar dan dirasakan seseorang. Semakin sering melihat, mendengar, dan merasakan hal yang baik, maka akan menjadikan orang yang mengalaminya menjadi baik. Pembentukan akhlaqul karimah harus dimulai dari kalangan guru. Dengan tidak bermaksud mengecilkan peran tenaga kependidikan lainnya, posisi guru sangat penting karena berada di garda terdepan dalam operasional pendidikan disekolah.
Mematuhi Kode Etik Guru Indonesia (KEGI)
Konsekuensi dari sebuah tugas profesional adalah adanya acuan atau pedoman sebagai rujukan dalam pelaksanaan tugas. Profesi Guru memiliki Kode Etik Guru Indonesia (KEGI) yang merupakan hasil kesepakatan bersama seluruh guru di Indonesia yang diwakili pengurus PGRI se Indonesia, Pemerintah yang diwakili Kementerian Hukum dan HAM, Kepolisian dan Kejaksaan. Kode Etik Guru Indonesia dirumuskan dan disahkan pada Kongres PGRI XIII tahun 1973 bahwa Kode Etik Guru Indonesia merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku guru warga PGRI dalam melaksanakan panggilan pengabdiannya bekerja sebagai guru. Kode Etik Guru Indonesia mengalami berbagai penyesuaian pada setiap penyelenggaraan kongres yaitu 5 (lima) tahun sekali, yaitu menyesuaikan dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara, perkembangan kebutuhan guru dalam menjalankan tugas dan perkembangan hak-hak profesi seorang guru.
Naskah Kode Etik Guru Indonesia pada prinsipnya disusun dan dilaksanakan dengan tujuan-tujuan dan harapan-harapan tertentu, seperti: (1) Mengangkat, menjaga dan menjunjung tinggi martabat profesi guru. Profesi Guru adalah profesi mulia dan berhak untuk mendapatkan pengakuan serta penghormatan dari masyarakat yang dilayaninya. Terjaga dengan baik dan tetap harus menjadi panutan yang digugu dan ditiru oleh seluruh komponen masyarakat. (2) kesejahteraan guru juga perlu menjadi perhatian serius baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Kesejahteraan ini mencakup aspek materiil maupun spiritual serta keterpenuhan aspek-aspek profesinya. Gaji, tunjangan dan pendapatan lain bersifat material dan kenyamanan bekerja, terhindar dari tekanan-tekanan yang dapat mengganggu kelancaran guru dalam menjalankan tugasnya. (3) Sebagai mahluk sosial, tugas seorang guru adalah pengabdian. Sebagai seorang anggota profesi, guru dituntut untuk meningkatkan kualitas maupun kuantitas pengabdiannya. Kualitas sumber daya manusia berada di tangan guru setidaknya selama warga negara berada di lembaga pendidikan formal. (4). Ketika guru mampu melaksanakan tugas-tugas pengabdian, terjamin kesejahteraan dan martabatnya meningkat, maka dengan sendirinya akan meningkatkan mutu profesi, dan (5) salah satu syarat seorang profesional adalah tergabung dalam sebuah organisasi profesi. Organisasi profesi guru adalah PGRI dan dengan terjaganya maruah dan martabat guru, membaiknya kesejahteraan, maksimalnya pengabdian dan kualitas profesionalnya, maka dengan sendirinya akan meningkatkan mutu organisasi profesi.
Saat ini, rumusan Kode Etik Guru Indonesia telah digunakan secara meluas di seluruh Indonesia. Kode Etik terbaru adalah Keputusan Kongres XXI PGRI No: VI/KONGRES/XXI/PGRI/2013 tentang Kode Etik Guru Indonesia (KEGI) yang disahkan di Jakarta. Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa KEGI 2013 merupakan penyempurnaan dari Kode Etik Guru Indonesia yang disusun pada tahun 2008 di Yogyakarta.
Pemicu Kriminalisasi Tenaga Pendidik
Kasus-kasus kriminalisasi terhadap tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang muncul dalam dunia pendidikan di negeri ini pada umumnya dipicu oleh beberapa faktor utama seperti:
Pertama, unsur masyarakat, LSM, pemerhati anak, keluarga peserta didik baik orang tua murid atau wali siswa memiliki pemahaman yang kurang utuh terhadap UUPA (Undang-undang Perlindungan Anak) Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu Pasal 54, bahwa : “Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.”
Perilaku kekerasan dalam pasal tersebut tentu saja memerlukan upaya penafsiran yang benar dan sesuai dengan roh hukum yang dimaksudkan. Kekerasan yang dimaksudkan adalah berbagai tindakan kekerasan kriminal yang dapat menyebabkan luka atau gangguan kesehatan bagi anak. Kekerasan dimaksud adalah berupa fisik maupun mentalnya atau bahkan sampai menghilangkan nyawa. Penekanannya adalah murni tindakan kekerasan kriminal yang bertentangan dengan maksud, tujuan, praktik dan nilai-nilai pendidikan. Sementara itu, pemberian sanksi yang mendidik dengan tujuan memberikan bimbingan dan pendidikan yang sesuai dengan kaidah pendidikan maka hal itu menjadi wajar. Sanksi tersebut bukanlah berupa kekerasan fisik yang menyebabkan cacat anggota tubuh, atau sampai menghilangkan nyawa. Jika sampai timbul kecacatan, berbekas apalagi menyebabkan kehilangan nyawa, maka itu murni sebuah tindakan kekerasan kriminal. Dengan kata lain, upaya mendisiplinkan siswa seperti menjewer, memotong rambut, menampar dengan alasan dan cara-cara yang mendidik atau sanksi lain yang ringan dianggap lumrah dan wajar demi menjaga kebaikan moral dan karakter peserta didik.
Kedua, kasus perkelahian antar siswa satu dengan siswa lain dan guru menengahi. Pola mendidik yang diterapkan guru menimbulkan kesalahpahaman dari orang tua siswa. Orang tua, dengan civil power yang dimilikinya menganggap dan menuduh bahwa semua itu kesalahan, kelalaian dan kelemahan guru dalam menjalankan tugasnya. Orang tua berasumsi bahwa guru hendaklah menjadi pengadil yang baik. Tidak sedikit orang tua yang menginginkan guru tidak mengambil tindakan yang merugikan fisik atau mental anaknya.
Ketiga, orang tua menerima fakta yang berbeda atau tidak utuh antara kejadian di sekolah dengan informasi siswa kepada orang tua. Ironinya, wali murid tidak berupaya mencari informasi kasus atau detail fakta kejadian yang sebenarnya. Akibatnya, karena kurangnya pemahaman terhadap pola pendidikan ataupun karena emosi dan kesewenang-wenangannya.
Keempat, kelas kosong atau ketidakhadiran guru di kelas selama kegiatan proses belajar mengajar. Alasan yang sering diperoleh adalah karena guru sedang menyelesaikan urusan administrasi pembelajaran. Tugas dinas lain yang harus diselesaikan baik di lingkungan sekolah seperti mengerjakan beberapa tugas ketatausahaan maupun di luar sekolah berupa menghadiri acara pelatihan dan lain sebagainya.
Kelima, kurangnya kepedulian orang tua terhadap pendidikan anak. Orang tua sibuk dan menyerahkan semua urusan pendidikan anaknya ke sekolah. Perkembangan belajar anak didik menjadi kurang dan menjadi penyebab terjadinya tindakan tidak terpuji dari siswa sehingga memunculkan keributan. Siswa melanggar tata tertib sekolah, melakukan praktik bully dan melakukan kesalahan fatal lainnya di sekolah. Upaya-upaya pembinaan dilakukan oleh sekolah dan tidak jarang menjadi pemicu orang tua keberatan.
Jaminan Perlindungan Hukum bagi Tenaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Guna menjamin kesejahteraan dan perlindungan bagi guru dalam menjalankan tugas-tugasnya, pemerintah telah melakukan berbagai upaya preventif meskipun upaya ini masih belum dijelaskan secara rinci, juga tumpul dalam pelaksanaannya. Berikut adalah regulasi-regulasi yang berlaku di Indonesia:
Pertama, Rekomendasi Badan PBB, UNESCO/ILO tahun 1966. Terlampir Rekomendasi yang termaktub dalam Bab Jaminan Masa Jabatan Pasal 46 menyatakan bahwa : “ Guru hendaklah dilindungi secara memadai terhadap tindakan sewenang-wenang yang mempengaruhi kedudukan profesional atau karir mereka,” (Danim, 2013:79).
Kedua, Pasal 40 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Terinspirasi dari rekomendasi ILO bahwa Pendidik dan Tenaga Kependidikan berhak memperoleh: (a) Penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai; (b) Penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; (c) Pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas; (d) Perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual; dan (e) Kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.
Ketiga, Pasal 14 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Tercantum hak dan kewajiban yang menjelaskan tentang semua hak yang harus didapatkan oleh guru dalam melaksanakan tugas dan juga kewajiban yang harus dipenuhi dan dilaksanakan guru dalam mengemban tugas keprofesionalan, terdapat 10 hak-hak guru, yaitu: (a) memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial; (b) Mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; (c) Memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual; (d) Memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi; (e) Memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan; (f) Memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan; (g) Memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas; (h) Memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi; (i) Memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan; (j) Memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi; dan/atau (k) Memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.
Keempat, Pasal 39 dan Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru. Pasal 39 dalam regulasi ini menegaskan bahwa: (a) Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan Guru, peraturan tingkat satuan pendidikan (Tata Tertib Sekolah), dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya; (b) sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaidah pendidikan, Kode Etik Guru, dan peraturan perundang-undangan; (c) pelanggaran terhadap peraturan satuan pendidikan yang dilakukan oleh peserta didik dan pemberian sanksinya berada di luar kewenangan Guru, dilaporkan Guru kepada pemimpin satuan pendidikan; (d) Pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peserta didik, dilaporkan Guru kepada pemimpin satuan pendidikan untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya, Pasal 41 ayat (1) memuat bahwa: “Guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.“
Sejauh ini, PP No. 74 tahun 2008 belum memberikan rumusan yang jelas tentang definisi perlindungan hukum terhadap profesi guru. Sejatinya, guru memiliki otonomi penuh di sekolah dalam menegakkan berbagai peraturan sekolah terhadap hal-hal yang mengganggu proses mengajar dan mendidik peserta didiknya.
Kelima, Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Pada Pasal 2 ayat (1) sampai dengan ayat (5) menjelaskan secara rinci tentang perlindungan bagi pendidik dan tenaga kependidikan. Pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut: (1) Perlindungan merupakan upaya melindungi Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang menghadapi permasalahan terkait pelaksanaan tugasnya. (2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan: hukum, profesi, keselamatan dan kesehatan kerja; dan/atau hak atas kekayaan intelektual. (3) Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a mencakup perlindungan terhadap: tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi dan/atau perlakuan tidak adil dari pihak-pihak seperti peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, dan/atau pihak lain yang terkait dengan pelaksanaan tugas sebagai pendidik dan tenaga kependidikan. (4) Perlindungan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b mencakup perlindungan terhadap: pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi dan/atau pembatasan atau pelarangan lain yang dapat menghambat pendidik dan tenaga kependidikan dalam melaksanakan tugasnya. (5) Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c mencakup perlindungan terhadap risiko-resiko seperti gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja dan/atau risiko lainnya; (6) Perlindungan hak atas kekayaan intelektual sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf d berupa perlindungan terhadap hak cipta dan/atau hak kekayaan industri.
Keenam, lebih fokus pada tugas spesifik guru, tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 48, 50, 51 dan 249 tentang alasan pembenar dan pemaaf. Dalam ketentuan hukum pidana alasan-alasan yang dapat menghapuskan pidana atau alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang (terdakwa) karena yang terletak di luar orang itu (uitwendig) yaitu: a. Pasal 48 KUHP; adanya daya paksa (overmacht) b. Pasal 249 KUHP; pembelaan terpaksa (noodweer) c. Pasal 50 KUHP; melaksanakan undang-undang d. Pasal 51 KUHP; melaksanakan perintah jabatan. Alasan pembenar yaitu adanya sesuatu yang dapat dijadikan dasar sebagai alasan atau latar belakang dari perbuatan seseorang (terdakwa) yang dianggap melakukan tindak pidana namun perbuatan tersebut secara hukum dapat diakui sebagai suatu perbuatan yang patut dan benar. Alasan pembenar yang dianggap patut atau dibenarkan seperti seseorang lakukan perbuatan karena menjalankan perintah undang-undang sesuai dengan fungsi dan wewenang yang dimiliki oleh seseorang atau lembaga yang diberikan oleh Negara atau hukum. Alasan pemaaf adalah suatu alasan yang dapat dijadikan dasar untuk menghapus (dimaafkan) kesalahan terdakwa yang telah melakukan perbuatan melawan hukum karena terdakwa dianggap tidak bersalah. Alasan yang dapat dijadikan dasar pemaaf adalah bentuk-bentuk perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa seperti perbuatan yang dilakukan karena terpaksa (overmacht) atau suatu perbuatan yang dilakukan di luar batas sadar.
Upaya Organisasi Profesi PGRI dalam Memberikan Perlindungan Hukum bagi Anggotanya
Kasus-kasus kriminalisasi, penganiayaan dan perbuatan tidak menyenangkan terhadap guru baik yang dilakukan oleh siswa maupun orang tua siswa sebagaimana yang terjadi seperti di Maros Sulawesi Selatan, sejatinya menjadi poin penting bagi institusi pendidikan, organisasi profesi guru, Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO) dan Pemerintah serta masyarakat luas. Kasus ini mengindikasikan betapa pentingnya melakukan berbagai ikhtiar dalam memberikan perlindungan serius bagi profesi guru dan staf. Kejadian tersebut sejatinya tidak boleh terjadi karena sangat mencoreng dunia pendidikan yang mengedepankan asas humanis, mendidik dan kasih sayang.
Beberapa poin berikut adalah sikap, tindakan maupun advokasi yang dilakukan oleh PGRI sebagai organisasi profesi guru. Pertama, menyusun dan mengajukan rekomendasi-rekomendasi dalam berbagai forum organisasi dengan mendesak pemerintah atau penentu kebijakan agar membuat regulasi yang lebih jelas dan rinci tentang perlindungan hukum bagi guru. Forum organisasi dimaksud adalah kegiatan kongres, konferensi dan rapat koordinasi pimpinan pada setiap jenjang kepengurusan. Alasannya agar ada kepastian hukum dalam melindungi guru dan tenaga kependidikan lainnya dalam menjalankan tugas. Regulasi-regulasi yang ada saat ini masih bersifat global dan ancaman pidana bagi pelaku penganiayaan atau tindakan ancaman lainnya terhadap guru belum tertuang didalamnya. Belum memberikan efek jera. Sehingga regulasi yang ada saat ini masih belum memadai jika dijadikan payung hukum bagi bermaruah dan bermartabatnya profesi guru.
Payung hukum untuk melindungi guru di dalam melaksanakan tugas sangat penting. Guru yang berhadapan dengan anak mempunyai risiko benturan dengan anak dan orang tua. Saldi Isra, Hakim Konstitusi menilai bahwa norma hukum Undang-undang Perlindungan Anak sudah tepat. Namun, profesi guru juga harus dilindungi. Pernyataan ini disampaikan dalam sidang judicial review UU Perlindungan Anak di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Senin 12 Juni 2017. Jika dalam melaksanakan tugasnya guru memiliki sebuah perlindungan hukum yang jelas maka guru akan merasa nyaman dan mampu berinovasi semaksimal mungkin dalam kegiatan pembelajaran. Sebagaimana yang disampaikan oleh Maftuh, bahwa perlindungan hukum terhadap profesi guru akan memberikan rasa nyaman dan aman bagi guru dalam berinovasi menjalankan profesinya. Ketika orang tua murid sudah mengakui bahwa guru adalah orang tua bagi siswa selama berada di sekolah, maka seyogyanya orang tua memberikan otoritas mendidik yang memadai terhadap guru.
Kedua, sebagaimana PGRI dengan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum, pemerintah didesak agar membentuk lembaga atau badan advokasi hukum bagi pendidik dan tenaga kependidikan baik pemerintah maupun instansi pemerhati pendidikan. Lembaga inilah yang nantinya Bersama-sama dengan LKBH PGRI mensosialisasikan tentang pentingnya pemahaman terhadap hukum atau gerakan sadar hukum sehingga dapat dijadikan rambu-rambu bagi guru dan tenaga pendidikan lainnya dalam melaksanakan tugasnya. Tujuan lain dibentuknya lembaga ini agar nantinya dapat memberikan pendampingan sekaligus bantuan hukum manakala terjadi kasus-kasus yang melibatkan guru atau tenaga kependidikan. Saat ini, PGRI telah memiliki Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum PGRI (LKBH PGRI) yang dibentuk pada tahun 2016. Memang, kiprahnya sebagai lembaga advokasi hukum di dunia pendidikan masih belum begitu berdampak bagi kewibawaan guru sebagai pelaksana pendidikan di lapangan. Butuh sosialisasi dan dukungan dari pemerintah dan juga masyarakat agar LKBH dapat berfungsi secara optimal. Selain PGRI pendidikan di Indonesia masih butuh lembaga advokasi hukum bagi guru lainnya terutama dari pemerintah, sehingga jaminan perlindungan akan benar-benar terealisasi dengan baik. Beberapa permasalahan yang dihadapi adalah tidak semua kasus terjadi langsung dilaporkan ke LKBH PGRI. Sering pengurus PGRI mendapatkan informasi kasus setelah merebak di media massa atau media sosial. Tidak jarang juga diketahui setelah masalah-masalah tersebut sudah bergulir ke pengadilan.
Ketiga, menjalin kerjasama dengan aparat penegak hukum seperti Polri, Kehakiman, Kejaksaan dalam membangun sinergitas antara lembaga pendidikan (sekolah, madrasah, pesantren atau lembaga sejenis), orang tua, NGO, aparat penegak hukum dan pemerintah. Hal ini dapat dilakukan dengan membangun komunikasi yang baik antara sekolah, orang tua dan pemerintah. Saat ini, Pengurus Besar PGRI telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan Kepolisian Republik Indonesia. Salah satu item penting yang termuat di dalamnya adalah, PGRI membentuk sebuah anak lembaga yang bernama Dewan Kehormatan dan Kode Etik Guru Indonesia (DKGI). Aparat Kepolisian Republik Indonesia tidak dibenarkan melakukan penangkapan terhadap guru ketika sedang melaksanakan tugas. Jika guru diduga melakukan kesalahan, kejahatan profesi atau perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan tugas profesinya, maka lembaga pertama yang akan menanganinya adalah DKGI. DKGI Bersama LKBH akan melakukan mediasi dengan Kepolisian tentang kasus yang menimpa guru. Jika guru melanggar asas-asas keprofesian maka akan diselesaikan oleh DKGI. Namun jika mengandung unsur pidana atau perdata, maka DKGI Bersama-sama dengan aparat kepolisian dan kejaksaan akan menyelesaikannya secara bersama-sama. Dengan catatan, jika guru memang melakukan kesalahan, maka pihak kepolisian atau kejaksaan akan menerapkan aturan sebagaimana norma hukum yang berlaku.
PENUTUP
Fenomena kriminalisasi terhadap guru dan tenaga kependidikan masih saja terjadi. Kondisi ini disebabkan oleh masih lemahnya eksistensi organisasi profesi dalam melindungi dan menghindarkan guru dari praktik-praktik kriminalisasi yang dilakukan oleh murid, orang tua dan masyarakat. Terdapat lima poin utama yang diharapkan menjadi jaminan perlindungan hukum bagi guru dan tenaga kependidikan anggota PGRI, yaitu: (1) Guru dan segenap civitas akademik di sekolah hendaklah menegakkan ikhtiar pendidikan tanpa kekerasan, (2) Seluruh guru hendaklah mematuhi Kode Etik Guru Indonesia yang memang telah disepakati untuk ditegakkan. (3) Guru, manajemen sekolah, pemerintah, masyarakat, LSM dan semua pihak hendaklah mengenali untuk dicegah faktor-faktor pemicu munculnya praktik kriminalisasi terhadap guru. (4) Jelas dan rincinya jaminan perlindungan hukum bagi guru dan tenaga kependidikan sehingga benar-benar berfungsi sebagai payung hukum bagi upaya perlindungan hukum bagi guru, dan (5) Efektif dan berlanjutnya upaya-upaya organisasi profesi PGRI dalam memberikan perlindungan hukum bagi anggotanya.
Mendukung ikhtiar-ikhtiar tersebut, maka disarankan agar: (1) Menguatkan aspek didaktik dalam bersentuhan dengan peserta didik baik di dalam lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah. (2) Intensif mensosialisasikan aturan-aturan hukum tentang perlindungan guru dan tenaga kependidikan pada seluruh komponen baik guru, pengolola sekolah, murid, orang tua, masyarakat dan pemerintah. (3) Terus berikhtiar untuk menguatkan peran kelembagaan organisasi profesi PGRI khususnya Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum PGRI dan Dewan Kehormatan dan Kode Etik Guru Indonesia sehingga mampu berperan maksimal dalam mengawal perlindungan hukum bagi guru dan tenaga kependidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Books:
Danim, Sudarwan, 2013. Profesionalisasi dan Etika Profesi Guru, Bandung : Alfabeta.
Effendy, Onong Uchjana, 2003. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung:CA Publisher.
Hardjana, Agus M. 2007. Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal, Yogyakarta: Kanisius.
Idi, Abdullah dan Safarina, 2016. Etika Pendidikan: Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Najib Sulhan, 2011. Karakter Guru Masa Depan Sukses dan Bermartabat, Surabaya: Jaringan Pena.
Ngainun, Naim, 2011. Dasar-Dasar Komunikasi Pendidikan. Cet. 1 Jogjakarta: Arruz Media.
Sotjipto, 2007. Profesi Keguruan, Jakarta : Rineka Cipta.
Taniredja, Tukiran; Sumedi, H. Pudjo; Abduh, Muhammad, 2017. Guru yang Profesional. Bandung: Alfabeta. ISBN 978-602-289-223-6.
Usman, Moh. Uzer, 2016. Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Cet ke-25.
Journals & Articles
Harpani Maftuh, 2017. Perlindungan Hukum profesionalisme Guru, Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, Vol. 7, Nomor 2.
PB PGRI, 2020. Kode Etik Guru Indonesia. pgri@wordpress.com diakses pada Sabtu 17 Februari 2022.
PGRI NTB, 2021. Buku Laporan Kasus Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum PGRI Provinsi NTB, Buku Catatan Kasus, tidak diterbitkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar