1. Sejarah Awal
Asal usul
Secara historis
orang Bima atau Dou Mbojo dibagi
dalam dua kelompok, yaitu kelompok penduduk asli yang disebut Dou Donggo yang menghuni kawasan bagian barat teluk, tersebar di gunung
dan lembah dan Dou Mbojo yang menghuni kawasan pesisir pantai dan merupakan suatu ras
bangsa campuran dengan orang Bugis-Makasar dengan ciri rambut lurus sebagai
orang Melayu di pesisir pantai.
Dari penelitian
Zollinger (1847) berpendapat bahwa Dou Donggo (Donggo Di) dan penduduk Bima di
sebelah timur laut teluk Bima (Dou Donggo Ele) menunjukkan karakteristik yang
jelas sebagai ras bangsa yang lebih rendah, kecuali beberapa corak yang
menunjukkan kesamaan dengan orang-orang Bima di sebelah timur Teluk Bima.
Sedangkan penelitian Elber Johannes (1909-1910) menyimpulkan pada dasarnya
orang Bima yang tinggal di sekitar ibukota adalah
ras bangsa yang lebih tinggi, hidup pula ras bangsa campuran yang bertalian
dengan orang Bugis dan Makasar yaitu ras bangsa Melayu Muda.
Dalam pencatatan
Kitab BO, bahwa para ncuhi berasal dari Hindia Belakang (Indo Cina) sebagai
asal-usul dari penduduk di pesisir pantai.
Ras, Bangsa dan Bahasa Bima (Nggahi Mbojo)
Ras
Bangsa dan Bahasa Menurut sejarah perkembangannya, bahasa bima dibagi dalam 2 kelompok
yaitu : 1. Kelompok bahasa Bima lama, meliputi: Bahasa Donggo,
dipergunakan oleh masyarakat Donggo Ipa yang bermukim di pegunungan sebelah
barat teluk meliputi desa Kala, Mbawa, Padende, Kananta, Doridungga Bahasa
Tarlawi dipergunakan oleh masyarakat Donggo Ele yang bermukim di pergunungan
Wawo Tengah, meliputi desa Tarlawi, Kuta, Sambori, Teta, Kalodu. Bahasa Kolo
dipergunakan oleh masyarakat yang bermukim di desa Kolo di sebelah timur
Asakota. 2. Kelompok bahasa Bima baru, lazim disebut nggahi Mbojo. Bahasa Bima
baru atau nggahi Mbojo dipergunakan oleh masyarakat umum di Bima dan berfungsi
sebagai bahasa ibu. Bagi masyarakat Bima lama, bahasa Bima berfungsi sebagai
bahasa pengantar guna berkomunikasi dengan orang lain di luar kalangan mereka.
Aksara
bahasa Bima banyak persamaan dengan aksara Makasar kuno dan apabila kedua
aksara tersebut dibandingkan dengan aksara sansekerta, maka dapat dipastikan
asal usul keduanya berasal dari aksara sansekerta (Zollinger) Menurut
tingkatannya bahasa Bima dibagi dalam 3 tingkat, yaitu tingkat halus/bahasa
istana, tingkat menengah yaitu bahasa sehari-hari dan tingkat rendah/kasar.
2. Sejarah Kepemimpinan
- Asal usul kepemimpinan Bima
Kepemimpinan awal di Bima disebut Ncuhi. Terdapat lima Ncuhi
yang menguasai lima wilayah kecil, yaitu: Ncuhi Dara (wilayah tengah), Ncuhi
Parewa (selatan)., Ncuhi Padolo (barat), Ncuhi Banggapupa (utara), dan Ncuhi
Dorowani (wilayah timur). Kelima Ncuhi ini hidup berdampingan secara damai,
saling hormat menghormati dan selalu mengadakan musyawarah mufakat bila ada
sesuatu yang menyangkut kepentingan bersama. Dari kelima Ncuhi tersebut yang
bertindak selaku pemimpin dari Ncuhi lainnya adalah Ncuhi Dara.
Kepemimpinan elit Bima dalam struktur majelis
hadat kesultanan diketahui adanya strata Gelarang, Nenti rasa, Jeneli, Bumi,
Dari dan Tureli.
- Falsafah Kepemimpinan Bima
NTAIPU
NAHU SURAMPA DOU MA LABO DANA” adalah falsafah yang menjadi pijakan
kepemimpinan Bima. Falsafah itu coba diusung oleh masyarakat Bima dalam
menyongsong kepemimpinan arif profesional yang memihak pada kepentingan umum.
Mengandung pesan bahwa seorang pemimpin agar sadar akan kapasitasnya sebagai
pemimpin. Pemimpin Bima dituntut menguasai geografi Bima dan karakter
masyarakat yang dipimpinnya. Hakikatnya, falsafah tersebut sebagai pengikat
amal tanggung jawab dalam mengayomi penduduk Bima.
Dalam tradisi
filsafat tua masyarakat Bima, dikenal pula adanya istilah falsafah Manggusu
Waru yang selain dimaknai sebagai corak atap bangunan khas Bima, juga dijadikan
semacam simbol kepemimpinan ideal dalam kultur masyarakat Bima. Jika diartikan
secara terminology modern, Manggusu Waru adalah delapan kriteria umum yang
harus dipenuhi oleh seorang calon pemimpin sebagai pembuktian atas kepantasan,
kepatutan dan kelayakan dirinya untuk mengemban amanah. Kriteria ini bukan
hanya berlaku pada medium kepemimpinan elite, tetapi juga sampai pada
lapisan-lapisan masyarakat terkecil, yang dalam struktur majelis hadat
kesultanan kita mengetahui adanya strata Gelarang, Nenti rasa, Jeneli, Bumi, Dari
dan Tureli.
3. Masa Pemerintahan Kesultanan Bima
- Bentuk pemerintahan
Secara struktural, Bima berdiri pada tanggal 5 Juli 1640 M, ketika Sultan Abdul
Kahir dinobatkan sebagai Sultan Bima I yang menjalankan Pemerintahan
berdasarkan Syariat Islam. Peristiwa ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi
Bima yang diperingati setiap tahun. Bukti-bukti sejarah kepurbakalaan yang
ditemukan di Kabupaten Bima seperti Wadu Pa’a, Wadu Nocu, Wadu Tunti (batu
bertulis) di dusun Padende Kecamatan Donggo menunjukkan bahwa daerah ini sudah
lama dihuni manusia.
b. Silsilah Kesultanan Bima
- 1611-1640 : Sultan Abdul Kahir Ma Ntau Bata Wadu, lahir: 1007 H = 1598 AD, wafat : 22-12- 1640 (usia 57 tahun).
- 1640-1682 : Sultan Abil Khair Sirajuddin Ma Ntau Uma Jati, lahir 1040 H= 1630 AD, wafat 23-7- 1682 (usia 53 tahun).
- 1682-1687 : Sultan Nuruddin Abubakar Ali Syah Ma Wa’a Pahy, lahir 13-12-1651, wafat 23-7-1687 (usia 37 tahun).
- 1687-1696 : Sultan Jamaluddin Ali Syah Ma Wa’a Romo, lahir 1669, wafat 6-7-1697 (usia 27 tahun)
- 1696-1731: Sultan Hasanuddin Muhammad Ali Syah Ma Bata Bou, lahir 7-9-1689, wafat 23-1-1731 (usia 40 tahun).
- 1731-1748 : Sultan Ala’udin Muhammad Syah Ma Nuru Daha, lahir 1119 H = 1707-1708, wafat 17/27 -5-1748 (usia 42 tahun).
- 1748-1750 : Sultan Kamat Syah, lahir 27- 4 - 1728, (usia 39 tahun).
- 1751-1713 : Sultan Abdul Kadim Muhammad Syah Zillulahi Fi’il Alam Ma Wa’a Taho, lahir 11-1148 H = 1735-1736, wafat 31-8-1773 (usia 39 tahun).
- 1773-1817 : Sultan Abdul Hamid Muhmmad Syah Zillulahi Fi’il Alam Ma Ntau Asi Saninu, lahir 1182 H = 1762-1763, wafat 14-7-1817 (usia 55 tahun).
- 1817-1854: Sultan Isma’il Muhammad Syah Ma Ntau Dana Sigi, lahir 28 Mei 1797 wafat 30 Mei atau 4 Juni 1854 (usia 57 tahun).
- 1854-1868 :Sultan Abdullah Ma Wa’a Adil, lahir 1843, wafat 9-8-1868 (usia 25 tahun).
- 1868-1881 : Sultan Abdul Azizi Ma Wa’a Sampela, lahir 1863, wafat 2-1-1881 (usia 18 tahun)
- 1881-1915 :Sultan Ibrahim Ma Wa’a Halus, lahir 19-2-1866, wafat 6-12-1915 (usia 49 tahun).
- 1915-1951 :Sultan Muhammad Salahuddin Ma Ma Wa’a Alim, lahir 14 Juli 1889, wafat 14 Juli 1951 M (usia 63 tahun).
- 1954-1959 :Sultan Haji Abdul Kahir Ma Wa’a Busi Ro Mawo, lahir 26 Oktober 1925, wafat 13 Mei 2001, (usia 76 tahun), tahun 1944 diangkat sebagai Putera Mahkota (Jena Teke), tahun 1954 s.d 1964 diangkat menjadi Kepala Daerah Swapraja Bima. Setalah Wafat dinobatkan sebagai Sultahn Abdul Kahir II. Sumber. Dr. Hj Siti Maryam R. Salahuddin, SH.
4. Bima Semasa Perang Kemerdekaan
Bima, pernah merupakan sebuah
kerajaan yang swapraja selama lima atau enam abad sebelum lahirnya Republik
Indonesia. Namun demikian, Bima merupakan salah satu daerah
swapraja yang menolak kehadiran NICA di tanah Bima kembali melalui pertempuran
dahsyat yang dikenal dengan Perang Ngali.
Bima adalah salah satu kerajaan yang pertama mengakui
kedaulatan Indonesia semenjak diproklamasikan oleh Presiden Ir. Soekarno.
5. Bima di Era Otonomi
Bima adalah salah satu wilayah di Provinsi NTB. Setelah
era otonomi bergulir, Bima selanjutnya dimekarkan menjadi dua yaitu Kabupaten
Bima dan Kota Bima.
Wallahu'alam
(Disadur dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar