Sabtu, 08 Desember 2012

BIMA DALAM SEJARAH



1.    Sejarah Awal


  1. Asal usul


Secara historis orang Bima atau Dou Mbojo dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok penduduk asli yang disebut Dou Donggo yang menghuni kawasan bagian barat teluk, tersebar di gunung dan lembah dan Dou Mbojo yang menghuni kawasan pesisir pantai dan merupakan suatu ras bangsa campuran dengan orang Bugis-Makasar dengan ciri rambut lurus sebagai orang Melayu di pesisir pantai.

Dari penelitian Zollinger (1847) berpendapat bahwa Dou Donggo (Donggo Di) dan penduduk Bima di sebelah timur laut teluk Bima (Dou Donggo Ele) menunjukkan karakteristik yang jelas sebagai ras bangsa yang lebih rendah, kecuali beberapa corak yang menunjukkan kesamaan dengan orang-orang Bima di sebelah timur Teluk Bima. Sedangkan penelitian Elber Johannes (1909-1910) menyimpulkan pada dasarnya orang Bima yang tinggal di sekitar ibukota adalah ras bangsa yang lebih tinggi, hidup pula ras bangsa campuran yang bertalian dengan orang Bugis dan Makasar yaitu ras bangsa Melayu Muda.

Dalam pencatatan Kitab BO, bahwa para ncuhi berasal dari Hindia Belakang (Indo Cina) sebagai asal-usul dari penduduk di pesisir pantai. 


  1. Ras, Bangsa dan Bahasa Bima (Nggahi Mbojo)


Ras Bangsa dan Bahasa Menurut sejarah perkembangannya, bahasa bima dibagi dalam 2 kelompok yaitu : 1. Kelompok bahasa Bima lama, meliputi: Bahasa Donggo, dipergunakan oleh masyarakat Donggo Ipa yang bermukim di pegunungan sebelah barat teluk meliputi desa Kala, Mbawa, Padende, Kananta, Doridungga Bahasa Tarlawi dipergunakan oleh masyarakat Donggo Ele yang bermukim di pergunungan Wawo Tengah, meliputi desa Tarlawi, Kuta, Sambori, Teta, Kalodu. Bahasa Kolo dipergunakan oleh masyarakat yang bermukim di desa Kolo di sebelah timur Asakota. 2. Kelompok bahasa Bima baru, lazim disebut nggahi Mbojo. Bahasa Bima baru atau nggahi Mbojo dipergunakan oleh masyarakat umum di Bima dan berfungsi sebagai bahasa ibu. Bagi masyarakat Bima lama, bahasa Bima berfungsi sebagai bahasa pengantar guna berkomunikasi dengan orang lain di luar kalangan mereka.

Aksara bahasa Bima banyak persamaan dengan aksara Makasar kuno dan apabila kedua aksara tersebut dibandingkan dengan aksara sansekerta, maka dapat dipastikan asal usul keduanya berasal dari aksara sansekerta (Zollinger) Menurut tingkatannya bahasa Bima dibagi dalam 3 tingkat, yaitu tingkat halus/bahasa istana, tingkat menengah yaitu bahasa sehari-hari dan tingkat rendah/kasar.



2.    Sejarah Kepemimpinan



  1. Asal usul kepemimpinan Bima

Kepemimpinan awal di Bima disebut Ncuhi. Terdapat lima Ncuhi yang menguasai lima wilayah kecil, yaitu: Ncuhi Dara (wilayah tengah), Ncuhi Parewa (selatan)., Ncuhi Padolo (barat), Ncuhi Banggapupa (utara), dan Ncuhi Dorowani (wilayah timur). Kelima Ncuhi ini hidup berdampingan secara damai, saling hormat menghormati dan selalu mengadakan musyawarah mufakat bila ada sesuatu yang menyangkut kepentingan bersama. Dari kelima Ncuhi tersebut yang bertindak selaku pemimpin dari Ncuhi lainnya adalah Ncuhi Dara.

Kepemimpinan elit Bima dalam struktur majelis hadat kesultanan diketahui adanya strata Gelarang, Nenti rasa, Jeneli, Bumi, Dari dan Tureli.

  1. Falsafah Kepemimpinan Bima

NTAIPU NAHU SURAMPA DOU MA LABO DANA” adalah falsafah yang menjadi pijakan kepemimpinan Bima. Falsafah itu coba diusung oleh masyarakat Bima dalam menyongsong kepemimpinan arif profesional yang memihak pada kepentingan umum. Mengandung pesan bahwa seorang pemimpin agar sadar akan kapasitasnya sebagai pemimpin. Pemimpin Bima dituntut menguasai geografi Bima dan karakter masyarakat yang dipimpinnya. Hakikatnya, falsafah tersebut sebagai pengikat amal tanggung jawab dalam mengayomi penduduk Bima.

Dalam tradisi filsafat tua masyarakat Bima, dikenal pula adanya istilah falsafah Manggusu Waru yang selain dimaknai sebagai corak atap bangunan khas Bima, juga dijadikan semacam simbol kepemimpinan ideal dalam kultur masyarakat Bima. Jika diartikan secara terminology modern, Manggusu Waru adalah delapan kriteria umum yang harus dipenuhi oleh seorang calon pemimpin sebagai pembuktian atas kepantasan, kepatutan dan kelayakan dirinya untuk mengemban amanah. Kriteria ini bukan hanya berlaku pada medium kepemimpinan elite, tetapi juga sampai pada lapisan-lapisan masyarakat terkecil, yang dalam struktur majelis hadat kesultanan kita mengetahui adanya strata Gelarang, Nenti rasa, Jeneli, Bumi, Dari dan Tureli.


3.    Masa Pemerintahan Kesultanan Bima


  1. Bentuk pemerintahan

Secara struktural, Bima berdiri pada tanggal 5 Juli 1640 M, ketika Sultan Abdul Kahir dinobatkan sebagai Sultan Bima I yang menjalankan Pemerintahan berdasarkan Syariat Islam. Peristiwa ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Bima yang diperingati setiap tahun. Bukti-bukti sejarah kepurbakalaan yang ditemukan di Kabupaten Bima seperti Wadu Pa’a, Wadu Nocu, Wadu Tunti (batu bertulis) di dusun Padende Kecamatan Donggo menunjukkan bahwa daerah ini sudah lama dihuni manusia.

    b. Silsilah Kesultanan Bima
  1. 1611-1640 : Sultan Abdul Kahir Ma Ntau Bata Wadu, lahir: 1007 H = 1598 AD, wafat : 22-12- 1640 (usia 57 tahun).
  2. 1640-1682 : Sultan Abil Khair Sirajuddin Ma Ntau Uma Jati, lahir 1040 H= 1630 AD, wafat 23-7- 1682 (usia 53 tahun).
  3. 1682-1687 : Sultan Nuruddin Abubakar Ali Syah Ma Wa’a Pahy, lahir 13-12-1651, wafat 23-7-1687 (usia 37 tahun).
  4. 1687-1696 : Sultan  Jamaluddin Ali Syah Ma Wa’a Romo, lahir 1669, wafat 6-7-1697 (usia 27 tahun)
  5. 1696-1731:   Sultan Hasanuddin Muhammad Ali Syah Ma Bata Bou, lahir 7-9-1689, wafat 23-1-1731 (usia 40 tahun).
  6. 1731-1748 : Sultan Ala’udin Muhammad Syah Ma Nuru Daha, lahir 1119 H = 1707-1708, wafat 17/27 -5-1748 (usia 42 tahun).
  7. 1748-1750 : Sultan Kamat Syah, lahir 27- 4 - 1728, (usia 39 tahun).
  8. 1751-1713 : Sultan  Abdul Kadim Muhammad Syah Zillulahi Fi’il Alam Ma Wa’a Taho, lahir 11-1148 H = 1735-1736, wafat 31-8-1773 (usia 39 tahun).
  9. 1773-1817 : Sultan Abdul Hamid Muhmmad Syah Zillulahi Fi’il Alam Ma Ntau Asi Saninu, lahir 1182 H = 1762-1763, wafat 14-7-1817 (usia 55 tahun).
  10. 1817-1854: Sultan Isma’il Muhammad Syah Ma Ntau Dana Sigi, lahir 28 Mei 1797 wafat 30 Mei atau 4 Juni 1854 (usia 57 tahun).
  11. 1854-1868 :Sultan Abdullah Ma Wa’a Adil,  lahir 1843, wafat 9-8-1868 (usia 25 tahun).
  12. 1868-1881 : Sultan  Abdul Azizi Ma Wa’a Sampela, lahir 1863, wafat 2-1-1881 (usia 18 tahun)
  13. 1881-1915 :Sultan  Ibrahim Ma Wa’a Halus,  lahir 19-2-1866, wafat 6-12-1915 (usia 49 tahun).
  14. 1915-1951 :Sultan  Muhammad Salahuddin Ma Ma Wa’a Alim,  lahir 14 Juli 1889, wafat 14 Juli 1951 M (usia 63 tahun).
  15. 1954-1959 :Sultan  Haji Abdul Kahir Ma Wa’a Busi Ro Mawo, lahir 26 Oktober 1925, wafat 13 Mei 2001, (usia 76 tahun),  tahun 1944 diangkat sebagai Putera Mahkota (Jena Teke), tahun 1954 s.d 1964 diangkat menjadi Kepala Daerah Swapraja Bima. Setalah Wafat dinobatkan sebagai Sultahn Abdul Kahir II. Sumber. Dr. Hj Siti Maryam R. Salahuddin, SH.

4.    Bima Semasa Perang Kemerdekaan


Bima, pernah merupakan sebuah kerajaan yang swapraja selama lima atau enam abad sebelum lahirnya Republik Indonesia. Namun demikian, Bima merupakan salah satu daerah swapraja yang menolak kehadiran NICA di tanah Bima kembali melalui pertempuran dahsyat yang dikenal dengan Perang Ngali.

Bima adalah salah satu kerajaan yang pertama mengakui kedaulatan Indonesia semenjak diproklamasikan oleh Presiden Ir. Soekarno.


5.    Bima di Era Otonomi


Bima adalah salah satu wilayah di Provinsi NTB. Setelah era otonomi bergulir, Bima selanjutnya dimekarkan menjadi dua yaitu Kabupaten Bima dan Kota Bima. 
Wallahu'alam
(Disadur dari berbagai sumber)


Tidak ada komentar:

PENELITIAN KUALITATIF DALAM ILMU-ILMU SOSIAL

A. Pendahuluan   Ketika kita bergaul sehari-hari seringkali kita berargumen satu sama lain. Kita bercakap-cakap untuk mempe...