Sabtu, 08 Desember 2012

PERSOALAN PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

Dilema Sentralisasi, Dekonsentrasi, dan Desentralisasi

Sesuai dengan UU No. 32  tahun 2004  pendidikan adalah salah satu kewenangan yang didesentralisasikan. Dengan demikian,  desentralisasi pengelolaan guru merupakan amanah yang harus dilaksanakan. Pemerintah daerah mempunyai kewenangan dalam mengangkat, mendistribusikan, mengembangkan karir, membina kempetensi dan profesionalisme guru,  dan insentif.
Sistem pengelolaan guru secara desentralisasi ternyata berdampak multidimensi, seperti kesulitan sistem distribusi, penilaian kinerja, pembinaan dan pengembangan profesional, dan aneka ekses lainnya. Karena itu PGRI perlu melakukan analisis dan diskusi mendalam mengenai kemungkinan melakukan resentralisasi atau dekonsentrasi pengelolaan guru, bahkan resentralisasi atau dekonsentrasi pengelolaan pendidikan pada umumnya. Di antara pilihan sistem itu, sentralisasi pengelolaan guru agaknya merupakan pilhan yang paling cocok. Namun demikian, upaya ini menuntut lahirnya produk hukum baru mengenai sistem pengelolaan guru, sekaligus meninjau ulang produk hukum yang sudah ada.
Perlu dipikirkan pengaturan yang sesuai bagi daerah-daerah yang pengelolaan pendidikannya sangat baik di antara kebanyakan pengelolaan pendidikan yang bermasalah di era desentralisasi ini.

Penyediaan Calon Guru
UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru telah menggariskan bahwa proses penyediaan guru menjadi kewenangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), yang sering juga disebut sebagai penyediaan guru berbasis perguruan tinggi. Menurut dua produk hukum ini, lembaga pendidikan tenaga kependidikan dimaksud adalah perguruan tinggi yang diberi tugas oleh pemerintah untuk menyelenggarakan program pengadaan guru pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah, serta untuk menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu kependidikan dan nonkependidikan.
Pelaksanaan Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang terbuka lebar bagi lulusan LPTK dan non-LPTK juga menuai kontroversi.  Sebagian berpendapat bahwa keterbukaan merekrut calon guru dari luar LPTK dianggap dapat menjaring calon terbaik, di sisi lain, kebjakan ini dianggap sebagai mengurangi peluang bagi mahasiswa lulusan LPTK yang sejak semula memilih profesi guru.
Pada sisi lain, pendidikan akademik calon guru (pendidikan prajabatan) sangat terbuka aksesnya bagi semua lulusan perguruan tinggi, sementara PPG direncanakan akan ditetapkan dengan kuota tertentu. Hal ini akan menimbulkan bottle-neck bagi lulusan LPTK untuk memasuki PPG. Implikasi kebijakan ini perlu didiskusikan oleh PGRI, khususnya berkaitan dengan: (1) apakah akses lulusan LPTK dan non-LPTK memasuki pendidikan profesi akan menjadi persaingan terbuka atau terbatas, dengan proporsi tertentu; (1) apakah calon mahasiswa LPTK akan ditetapkan dengan persyaratan khusus, baik fisik, intelektual, kepribadian, motivasi, dan lain-lain?
Mengingat jumlah  LPTK Negeri dan Swasta yang menghasilkan guru jumlahnya sangat banyak menyebabkan meledaknya jumlah ulusan LPTK. Jumlah lulusan ini tidak sebanding dengan kesempatan kerja yang tersedia di lembaga  pendidikan. Kondisi ini sangat  mengkhawatirkan terhadap upaya-upaya peningkatan mutu pendidikan dan keseimbangan jumlah guru yang ideal sesuai kebutuhan. Untuk itu, isu tentang  kuota nasional guru menjadi relevan dibicarakan.

Induksi Guru Pemula 
Guru yang telah lulus PPG secara akademik meraka berhak menyandang profesi sebagai guru, selanjutnya mengikuti proses administrasi untuk direkrut sebagai guru secara formal.   Setelah mereka direkruit untuk menjadi guru, yang dalam skema kepegawaian negara untuk pertama kali berstatus sebagai calon pegawai negeri sipil (PNS) guru, mereka belum bisa langsung bertugas penuh ketika menginjakkan kaki pertama kali di kampus sekolah. Melainkan, mereka masih harus memasuki fase prakondisi yang disebut dengan induksi.
Ketika menjalani program induksi, diidealisasikan guru akan dibimbing dan dipandu oleh mentor  terpilih untuk kurun waktu sekitar satu tahun, agar benar-benar siap menjalani tugas-tugas profesional. Ini pun tentu tidak mudah, karena di daerah pinggiran atau pada sekolah-sekolah yang nun jauh di sana, sangat mungkin akan menjadi tidak jelas guru seperti apa yang tersedia dan bersedia menjadi mentor sebagai tandem itu. Jadi, sungguhpun guru yang direkruit telah memiliki kualifikasi minimum dan sertifikat pendidik, yang dalam produk hukum dilegitimasi sebagai telah memiliki kewenangan penuh, masih diperlukan program induksi untuk memposisikan mereka menjadi guru yang benar-benar profesional.
Regulasi yang berlaku saat ini sepertinya membuka kemungkinan program induksi dimaksudkan untuk mereposisi guru CPNS menjadi PNS bukan guru. Pada hal, secara akademik program induksi tidak dimaksudkan untuk itu. Artinya, jika itu terjadi, sangat sulit dipertanggungjawabkan secara akademik dan administratif.  Program ini sebenarnya sangat baik karena lebih memberikan jaminan tentang kompetensi guru yang dipersayratkan. Sayangnya,  ketentuan di atas bertentangan dengan ketentuan bahwa guru yang sudah lulus PPG sesungguhnya sudah layak sebagai guru dan tidak dapat diberi sangsi sebagaimana dalam ketentuan Idalam program induksi.

Uji Kompetensi, Sertifikasi, dan pengembangan Keprofesian Berkelanjutan

Uji Kompetensi Awal
Uji kompetensi sejatinya merupakan bagian dari sesuatu yang dipersyaratkan untuk mengukur penguasaan materi suatu profesi. Uji kompetensi  merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu profesi.
Uji kompetensi menjadi isue yang menarik ketika Ia hadir sebagai bagian dari proses seleksi penentuan calon peserta sertifikasi guru dalam jabatan. Apalagi pada tahun-tahun sebelumnya uji kompetensi sebagai syarat untuk mengikuti sertifikasi belum pernah dilakukan sejak pertama kali sertifikasi dilaksanakan di tahun 2007. Apalagi dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan PP No. 74 tahun 2008 tentang Guru tidak menjelaskan adanya uji kompetensi sebagai syarat  kelulusan dalam mengikuti sertifikasi. Pelaksanaan Uji Kompetensi Awal (UKA) menjadi isue yag kontroversial karena dipandang tidak relevan dengan peraturan yang ada. Bagi PGRI uji kompetensi seharusnya diberikan kepada seuruh guru baik yang belum maupun yang sudah sertifikasi dengan tujuan untuk melakukan pemetaan kompetensi guru dan pembinaan profesiionalisme guru berdasarkan hasil uji kompetensi tersebut.

Sertifikasi
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.  Guru profesional harus memiliki kualifikasi akademik minimum sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV), menguasai kompetensi (pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian), memiliki sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.  Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional dibuktikan dengan sertifikat pendidik.
Sebagai tenaga profesional, guru diharapkan dapat meningkatkan martabat dan perannya sebagai agen pembelajaran. Sertifikasi guru sebagai upaya peningkatan mutu guru diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di Indonesia secara berkelanjutan.
Pelaksanaan sertifikasi guru merupakan salah satu wujud implementasi dari Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005Tentang Guru dan Dosen yang dimulai sejak tahun 2007 setelah diterbitkannya Peraturan Mendiknas Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan. Mulai tahun 2009 landasan yang digunakan sebagai dasar penyelenggaraan sertifikasi guru adalah Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru.Sertifikasi guru dilaksanakan melalui pola penilaian portofolio, pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG), pemberian sertifikat pendidik secara langsung, dan pendidikan profesi dalam jabatan.Tahun 2012 merupakan tahun keenam pelaksanaan sertifikasi guru dalam jabatan.
Mengacu hasil evaluasi pelaksanaan sertifikasi guru tahun sebelumnya dan didukung dengan adanya beberapa kajian/studi, maka dilakukan beberapa perubahan mendasar pada pelaksanaan sertifikasi guru tahun 2012 baik substansi akademik maupun proses penetapan peserta.hususnya proses penetapan dan rekrutmen peserta.Perubahan substansi akademik yaitu dilaksanakannya uji kompetensi awal sebelum mengikuti PLPG.Perubahan pada proses penetapan peserta yaitu perangkingan calon peserta oleh sistem terintegrasi dengan data base NUPTK yang dipublikasikan secara online, usia menjadi kriteria utama dalam proses perangkingan, dan perangkingan tidak lagi dikelompokkan menurut jenjang pendidikan dan status kepegawaian. Perubahan mendasar tersebut dilakukan dalam rangka akuntabilitas pelaksanaan sertifikasi guru dan berkeadilan bagi seluruh guru yang memenuhi persyaratan mengikuti sertifikasi.
Di balik kebaikan dan kecerahan harapan pascasertifikasi, realitas membuktikan, pelaksanaan sertifikasi membawa ekses akademik dan non-akademik. Manipulasi data, munculnya aneka pungutan liar, kecilnya angka kelulusan di beberapa perguruan tinggi, jual-beli peluang sertifikasi, tidak terpenuhinya kuota, dan lain-lain. PGRI perlu menyusun rekomendasi yang konseptual dengan dukungan pengalaman lapangan untuk mencari solusi yang tepat bagi penyelenggaraan program sertifikasi yang objektif, transparan, dan akuntabel.
PGRI pun perlu memunculkan rekomendasi mengenai uji kompetensi, khususnya UJI KOMPETENSI AWAL pra sertifikasi, karena agaknya hal ini sulit dipertanggungjawabkan secara akademik dan membawa beban psikologis bagi guru.

Pengembangan Profesionalisme Berkelanjutan (Continuing Professional Development)
Ketika guru selesai menjalani proses induksi dan kemudian secara rutin keseharian menjalankan tugas-tugas profesional, profesionalisasi atau proses penumbuhan dan pengembangan profesinya tidak berhenti di situ. Diperlukan upaya yang terus-menerus agar guru tetap memiliki pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan tuntutan kurikulum serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Di sinilah esensi pembinaan dan pengembangan profesional guru.Kegiatan ini dapat dilakukan atas prakarsa institusi, seperti pendidikan dan pelatihan, workshop, magang, studi banding, dan lain-lain adalah penting.Prakarsa ini menjadi penting, karena secara umum guru pemula masih memiliki keterbatasan, baik finansial, jaringan, waktu, akses, dan sebagainya.Di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 74 Tahun 2008 dibedakan antara pembinaan dan pengembangan kompetensi guru yang belum dan yang sudah berkualifikasi S-1 atau D-IV.
Pengembangan dan peningkatan kualifikasi akademik bagi guru yang belum memenuhi kualifikasi S-1 atau D-IV dilakukan melalui pendidikan tinggi program S-1 atau program D-IV pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pendidikan tenaga kependidikan dan/atau program pendidikan nonkependidikan yang terakreditasi.
Realitas membuktikan, bahwa akses guru mengikuti pembinaan dan profesi sangat terbatas, demikian juga aksesnya untuk meningkatkan kualifikasi. PGRI agaknya perlu merekomendasikan solusi untuk mengatasi sumbatan ini, termasuk inisiatif yang mungkin dibuat oleh PGRI sendiri.

Penilaian Kinerja dan Uji Kompetensi
Untuk mengetahui kinerja dan kompetensi guru dilakukan penilaian kinerja dan uji kompetensi.Melalui  penilaian kinerja dan uji kompetensi guru dapat dirumuskan profil dan peta kinerja dan kompetensi.  Kondisi nyata itulah yang menjadi salah satu dasar peningkatan kompetensi guru.Dengan demikian, hasil penilaian kinerja dan uji kompetensi menjadi basis utama desain program peningkatan kompetensi guru.Tinggi atau rendahnya kinerja guru dapat diketahui melalui penilaian kinerja guru.
Penilaian kinerja guru (teacher performance appraisal) merupakan salah satu langkah untuk merumuskan program peningkatan kompetensi guru secara efektif dan efisien.Hal ini sesuai dengan amanat yang tertuang pada Permenpan dan RB No. 16 Tahun 2009.Penilaian kinerja ini bermanfaat bagi untuk mengetahui kondisi guru yang sebenarnya. Berdasarkan penilaian kinerja ini juga akan diketahui tentang kekuatan dan kelemahan yang guru-guru, sesuai dengan tugasnya masing-masing, baik guru kelas, guru bidang studi, maupun guru bimbingan konseling. Penilaian kinerja guru dilakukan secara periodik dan sistematis untuk mengetahui prestasi kerjanya, termasuk potensi pengembangannya
Di samping keharusan menjalani penilaian kinerja, guru-guru pun perlu diketahui tingkat kompetensinya melalui uji kompetensi.Uji kompetensi dimaksudkan untuk memperoleh informasi tentang penguasaan materi pembelajaran setiap guru.Berdasarkan hasil uji kompetensi dirumuskan profil kompetensi guru menurut level tertentu, sekaligus menentukan kelayakannya.Dengan demikian, tujuan uji kompetensi adalah menilai dan menetapkan apakah guru sudah kompeten atau belum dilihat dari standar kompetensi yang diujikan.Dengan demikian, kegiatan peningkatan kompetensi guru memiliki rasional dan pertimbangan empiris yang kuat.Penilaian kinerja dan uji kompetensi guru esensinya berfokus pada keempat kompetensi yang harus dimiliki oleh guru, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan kompetensi profesional.
PGRI perlu merekomendasikan solusi yang cermat mengenai sisi positif atau negatif implementasi Permen PAN dan RB No. 16 Tahun 2009, khususnya berkaitan dengan akses guru untuk naik jenjang jabatan fungsional/pangkat, keculitan teknis evaluasi kinerja, serta dampak lainnya.

Hak dan Kewajiban
Sebagai tenaga profesional, guru mempunyai hak dan kewajiban tertentu. UU No. 14 Tahun 2005 mengamanatkan hak dan kewajiban guru. Perihal hak dan kewajiban ini masih memerlukan kajian khusus, sehingga benar-benar bisa dirumuskan implikasi yang muncul, termasuk kemungkinan pelanggaran sanksi atasnya.
Fokus diskusi PGRI terutama terkait dengan kesulitan memenuhi kewajib tatap muka 24 jam per minggu, keharusan mengikuti PPG, kendala mewujudkan hak untuk naik pangkat/jabatan fungsional, keterisolasian geografis yang mungkin menjadi kendala pelaksanaan kewajiban, pembayaran tunjangan profesi, tambahan penghasilan, dan lain-lain.

Penghargaan dan Perlindungan Guru
UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen juga mengatur hal-hal yang berkaitan dengan manajemen guru, yaitu pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan pemberhentian guru. Di dalam UU ini juga diatur mengenai sistem penghargaan dan dan perlindungan guru, termasuk organisasi profesi guru dan kode etik, berikut pengawasannya.
PGRI agaknya perlu merekomendasikan sistem penghargaan, perlindungan, dan pengawasan Kode Etik Guru, termasuk pemberdayaan organisasi profesi dan fasilitasi guru untuk menjadi anggota organisasi profesi.

Tunjangan dan Maslahat Tambahan
Guru yang memenuhi persyaratan sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 14 Tahun 2005 dan PP No. 74 Tahun 2008, serta peraturan lain yang menjadi ikutannya, memiliki hak atas aneka tunjangan dan kesejahteraan lainnya. Tunjangan dan kesejahteraan dimaksud mencakup tunjangan profesi, tunjangan khusus, tunjangan fungsional, subsiidi tunjangan fungsional, dan maslahat tambahan. Tentu saja tunjangan itu hanya diberikan kepada guru-guru yang memenuhi persyaratan, seperti Sertifikat Pendidik, memenuhi beban kerja sebagai Guru, mengajar sebagai Guru mata pelajaran dan/atauGuru kelas pada satuan pendidikan yang sesuaidengan peruntukan Sertifikat Pendidik yangdimilikinya, terdaftar pada Departemen sebagai Guru Tetap dan sebagainya.
Hal ini masih memerlukan analisis khusus dari PGRI, khususnya berkaitan dengan sistem pembayaran tunjangan profesi, tunjangan khusus, tambahan penghasilan, maslahat tambahan, dan lain-lain agar tidak berdampak negatif bagi proses pendidikan dan pembelajaran.
Tunjangan profesi guru selalu melahirkan berbagai persoalan. HIngga saat ini tata kelola tunjanganprofesi melahirkan proses pembayaran tunjangan profesi yang amburadul. Sampai bulan ke enam pembayaran tunjangan profesi baru dilakukan untuk tiga bulan pertama, itupun belum semua SK tunjangan profesi diterima guru. Ini artinya tanpa SK tunjangan tidak dapat dibayarkan. PGRI sangat memperihatinkan pengelolaan tunjangan profesi yang sama sekali tidak profesional.

Status Guru
Rekomendasi ILO/UNESCO tentang Status Guru (1966) mengamanatkan beberapa isu penting mengenai perlunya sinergi antara pemerintah dengan organisasi guru, antara lain dalam kerangka: (1) penyusunan kebijakan bidang pendidikan, pengorganisasian sekolah, dan pengembangan-baru jasa layanan kependidikan; (2) rekruitmen guru; (3) promosi guru; (4) mekanisme penetapan disiplin guru; (5) standar kinerja guru; (6) penetapan upah dan indeks kenaikan gaji; (7) penyelesaian perselisihan antara guru dengan “majikannya”; dan (8) penentuan jumlah jam wajib bekerja atau mengajar. Rekomendasi ini pun mengamanatkan bahwa penilaian terhadap guru tidak terutama diperuntukkan bagi penetapan gaji, tanpa kesepakatan bersama dengan organisasi guru.
Hingga saat ini, komitmen pemerintah untuk melibatkan organisasi profesi guru dalam aneka kebijakan masih relatif terbatas, meski harus juga diterima realitas bahwa banyak kemajuan yang dicapai di bidang ini. PGRI perlu menyusun rekomendasi dan solusi berkaitan dengan kemungkinan pelibatanya dalam aneka kebijakan pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Organisasi Profesi Guru dan Kelengkapannya
Peranan guru semakin penting dalam era global.Hanya melalui bimbingan guru yang profesional, setiap siswa dapat menjadi sumber daya manusia yang berkualitas, kompetitif dan produktif sebagai aset nasional dalam menghadapi persaingan yang makin ketat dan berat sekarang dan dimasa datang.Dalam melaksanakan tugas profesinya guru Indonesia mestinya menyadari sepenuhnya bahwa perlu ditetapkan Kode Etik Guru Indonesia (KEGI) sebagai pedoman bersikap dan berperilaku yang mengejewantah dalam bentuk nilai-nilai moral dan etika dalam jabatan guru sebagai pendidik putera-puteri bangsa.
Dilihat dari dimensi legalnya, UU No. 14 Tahun 2005pun mengatur tentang organisasi profesi guru.Disebutkan dalam UU ini bahwa guru membentuk organisasi profesi yang bersifat independen. Organisasi profesi  dimaksud berfungsi untuk memajukan profesi, meningkatkan kompetensi, karier, wawasan kependidikan, perlindungan profesi, kesejahteraan, dan pengabdian kepada masyarakat. UU No. 14 Tahun 2005 ini juga mengamanatkan, bahwa  guru wajib menjadi anggota organisasi profesi, yang  pembentukannya dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ini mengandung makna bahwa semua guru harus menjadi anggota organisasi profesi. Ketika guru menjadi anggota organisasi profesi, dia harus tunduk pada Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) organisasi profesinya. Keanggotaan itu antara lain dibuktikan dengan kepemilikan Kartu Anggota, Nomor Registrasi Keanggotaan, serta memenuhi kewajiban yang ditetapkan organisasi profesi.
PGRI agaknya perlu merekomendasikan mengenai: (1) kemungkinan dukungan pemerintah untuk mewajibkan guru menjadi anggota organisasi profesi; (2) menjadikan bukti keanggotaan organisasi sebagai persyaratan dari urusan akademik dan administratif guru; (3) memfasilitasi organisasi profesi guru, baik untuk tugas-tugas keorganisasian maupun tugas-tugas pengembangan anggota profesi.

(Sumber: Paparan ketua Umum PB PGRI, dalam Rakorpimnas II PGRI di Makassar)

Tidak ada komentar:

PENELITIAN KUALITATIF DALAM ILMU-ILMU SOSIAL

A. Pendahuluan   Ketika kita bergaul sehari-hari seringkali kita berargumen satu sama lain. Kita bercakap-cakap untuk mempe...