Kamis, 17 Juni 2010

FENOMENA PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN KHUSUS DALAM ERA OTONOMI DAERAH

Abstrak:

Penyelenggaraan pendidikan khusus di era otonomi daerah sungguh merupakan sebuah fenomena yang hampir pasti membuat setiap pemerintah daerah mengurut dada. Betapa tidak, ada dua konsekuensi logis yang hendaknya menjadi perhatian utama. Pertama, pengelolaan pendidikan khusus memerlukan penanganan khusus dengan berbagai konsekuensinya. Kedua, penyelenggaraan pendidikan khusus membutuhkan pembiayaan yang cukup besar seiring dengan dikeluarkannya kebijakan baru pendidikan khusus sementara kesiapan daerah masih sangat beragam dan bahkan cenderung lemah. Berbagai permasalahan yang dihadapi baik dari sisi manajemen, pembiayaan maupun penerapannya membutuhkan kesigapan pemerintah daerah dengan menunjukkan dan mewujudkan political will yang memadai. Solusi yang dilakukan selama ini masih pada tataran pemerataan akses bahkan belum sepenuhnya tercapai dan belum mengarah pada peningkatan kualitas dan tata kelola yang baik.

I.      PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

Pengembangan pendidikan Indonesia, sejak 40 tahun yang lalu (ketika rencana pembanguan lima tahun pertama disusun), bertujuan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya yang memiliki keseimbangan perilaku, pengetahuan dan keahlian. Dalam UU Nomor 4 Tahun 1997[1] tentang penyandang cacat disebutkan bahwa “setiap penyandang cacat mempunyai hak yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan”. Tentunya aspek-aspek tersebut mencakup pula aspek pendidikan yang menjadi kebutuhan semua orang. Demikian pula dalam Pasal 9 ayat (2) PP Nomor 17 Tahun 2010[2] dikatakan bahwa Menteri menetapkan kebijakan untuk menjamin peserta didik memperoleh akses pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang orang tua/walinya tidak mampu membiayai pendidikan, peserta didik pendidikan khusus, dan/atau peserta didik di daerah khusus. Fenomena ini juga telah dituangkan dalam Rencana Strategis Depdiknas tahun 2010 – 2014[3] bahwa pembangunan pendidikan di Indonesia hendaknya menjamin keberpihakan kepada peserta didik yang memiliki hambatan fisik ataupun mental, hambatan ekonomi dan sosial, ataupun kendala geografis, yaitu layanan pendidikan untuk menjangkau mereka yang tidak terjangkau. Keberpihakan diwujudkan dalam bentuk penyelenggaraan sekolah khusus, pendidikan layanan khusus ataupun pendidikan nonformal dan informal, pendidikan dengan sistem guru kunjung, pendidikan jarak jauh dan bentuk pendidikan khusus lain yang sejenis sehingga menjamin terselenggaranya pendidikan yang demokratis, merata dan berkeadilan serta berkesetaraan gender. Rencana strategis itu sesuai dengan Pasal 28 Konvensi Hak Anak-anak, Pasal 26 Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Pendidikan untuk Semua (Education for All /EFA) UNESCO.[4]
UUD 1945, Pasal 28B,[5] Ayat (1) menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk mengembangkan diri sendiri untuk memenuhi kebutuhannya, mendapat pendidikan dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk meningkatkan mutu hidupnya bagi kesejahteraan manusia, dan dalam Pasal 31, Ayat (1) menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia mempunyai hak untuk mendapat pendidikan. UU Pendidikan No. 20/2003,[6] Pasal 5 (tentang Hak-hak dan Kewajiban Warga Negara), Sub-Ayat 1 menjamin setiap warga negara Indonesia mendapat pendidikan, dan Sub-Ayat 2 menyebutkan bahwa warga negara berkebutuhan khusus (ABK) (cacat fisik, emosi, kecerdasan dan/atau sosial) berhak mendapat pendidikan khusus. Demikian pula halnya dengan anak-anak berbakat luar biasa (ABLB) yang dalam tataran biasa membutuhkan perhatian lebih sesuai dengan potensi rahmat Tuhan yang dimilikinya.
Hal mendasar dari UUD dan UU adalah bahwa sekolah harus memenuhi kebutuhan siswa dengan tidak mempermasalahkan ketidakmampun atau keterbatasan mereka. Filosofi sistem legal ini telah mengakomodir bahwa setiap manusia memiliki perbedaan yang unik. Hal ini menunjukkan bahwa martabat, keragaman dan perbedaan potensi dan perilaku tidak diacuhkan, dan setiap anak diberi kesempatan untuk berkembang secara utuh, mengembangkan dunianya dan mengaktualisasikan dirinya secara kreatif.
Kesejatian cita-cita dan harapan yang tertuang dalam berbagai undang-undang dan peraturan tersebut selanjutnya diuji selama era desentralisasi. Mampukah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) menunaikan amanat-amanat luhur yang terkandung di dalam undang-undang maupun peraturan tersebut khususnya dalam penanganan pendidikan khusus? Seberapa besar otonomi yang diberikan pusat kepada daerah? Seberapa siap daerah menjunjung tinggi amanat otonomi yang diembannya untuk memajukan daerahnya dalam bidang pendidikan khusus? Kesulitan-kesulitan apa yang dihadapi daerah dalam menunaikan undang-undang dan peraturan tersebut? Dan masih banyak lagi pertanyaan (keraguan) lain yang menghantui pelaksanaan desentralisasi pendidikan khusus di negeri ini.
Satu hal yang perlu diingat bahwa pendidikan adalah tangung jawab pemerintah dan masyarakat hanya “membantu”. “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang[7].” Dengan demikian, Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah di Daerah hendaknya menjunjung tinggi amanat ini.
Namun, melihat kondisi terkini pelaksanaan otonomi daerah yang “kebablasan” di beberapa daerah dibutuhkan seperangkat alat dan cara yang sistematis dan berkelanjutan untuk mewujudkannya. Dibutuhkan kesabaran dan waktu yang cukup untuk merealisasikannya. Sampai saat ini Pemerintah menyelenggarakan dua jenis sekolah untuk memenuhi kebutuhan warga negara Indonesia yang berkebutuhan khusus, yaitu (1) sekolah yang menyediakan pendidikan khusus atau sekolah luar biasa, yang dikenal dengan sekolah-sekolah mainstreaming dan segregasi dan (2) sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan inklusi.
Data terakhir jumlah siswa yang tercatat memasuki sekolah luar biasa saat ini sebanyak 57.449 orang yang diselenggarakan oleh  3,623 sekolah khusus dari berbagai tingkatan mulai dari SD sampai SMA. Para siswa ini diajar dan dibimbing oleh 15.615 orang guru yang terdiri dari 8.516 guru negeri dan selebihnya 7.099 guru-guru swasta. Pemerintah Pusat melalui kerjasama dengan UNESCO hanya dapat memberikan beasiswa kepada 2750 orang siswa.[8] Lalu bagaimana dengan siswa lainnya? Bagaimana dengan asumsi bahwa masih dua kali lipat jumlahnya anak-anak ABK usia sekolah yang belum mengenyam pendidikan sama sekali di seluruh pelosok negeri ini khususnya di daerah-daerah remote area? Semua itu menjadi bahan renungan yang harus ditangani secara arif, adil dan bertanggung jawab oleh Pemerintah Daerah.
Fenomena lain ketika merujuk pada statistik anak-anak ABLB (Anak Berbakat Luar Biasa). Ketika UU Sistem Pendidikan Nasional memutuskan bahwa “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional,”[9] pemerintah serta-merta menyelenggarakan pendidikan bertajuk Sekolah Standar Nasional (SSN), Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dengan terlebih dahulu melewati tahap rintisan.
Upaya peningkatan kualitas pendidikan ini demikian mahal. Untuk melayani siswa SSN dan RSBI di Indonesia Pemerintah Pusat dengan dibantu Pemerintah Daerah pada tahun 2010 harus menyiapkan anggaran sekurang-kurangnya Rp. 23.100.000.000 untuk 165 SD RSBI; Rp. 80.100.000.000 untuk 267 SMP RSBI; Rp. 300 – Rp. 600 juta per sekolah untuk 321 SMA RSBI, Rp.  13.800.000.000 untuk 138 SMK RSBI yang ditambah dengan anggaran 1 – 2 miliar untuk SMK Investasi.[10] Jika ditotal maka anggaran pendidikan unggulan tersebut mencapai angka yang fantastis mencapai satu sampai dua miliar rupiah. Angka ini memang tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan upaya negeri ini mengejar ketertinggalan kualitasnya.
Permasalahan kemudian muncul, apakah dengan desentralisasi pendidikan khusus ini dapat dilaksanakan dengan baik? Lalu bagaimana dengan daerah yang pada kenyataannya sedang menjerit karena income per kapitanya rendah?

B.   Permasalahan

Mempersempit ruang pembahasan makalah ini, maka akan diajukan beberapa permasalahan yang diharapkan dapat terjawab melalui pembahasan nantinya. Permasalahan-permasalahan berikut ini sesungguhnya bila “ingin” dipilah-pilah maka akan melahirkan anak permasalahan lain yang sesungguhnya tidak kalah kompleks fenomenanya ketika disandingkan dengan PP nomor 32 tahun 2004, PP Nomor 17 Tahun 2010  dan UU Nomor 20 Tahun 2003.
1.    Bagaimanakah fenomena penyelenggaraan pendidikan khusus setelah bergulirnya Otonomi Daerah?
2.    Permasalahan-permasalahan apa yang paling dominan dalam melaksanakan pendidikan khusus dan solusi apa saja yang sementara ini diambil oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam memecahkan masalah-masalah tersebut?

II.     PEMBAHASAN

A.   Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Khusus

Sejarah otonomi daerah lahir sebagai bentuk koreksi atas corak pemerintahan dan hubungan antara pusatdaerah yang sentralistik, eksploitatif serta jauh dari nilainilai demokrasi yang saat ini menjadi mainstream sistem politik yang berlaku di dunia. Konsep awal otonomi daerah muncul pada tahun 1903 melalui undang undang desentralisasi di bawah pemerintah kolonial Belanda. Undang-undang Otonomi Daerah waktu itu dikenal sebagai Decentralisatie Wet 1903 dan merupakan amandemen terhadap Regeringsreglement 1854 (RR 1854). Tiga pasal tambahan yakni pasal 68a, 68b, dan 68c berisi empat hal yaitu:[11]
1.    Bahwa Hindia Belanda akan dibagi ke dalam satuan-satuan daerah;
2.    Pemerintahan daerah tersebut akan dilaksanakan oleh pejabat tinggi (hoofdamtenaren);
3.    Gubernur jenderal sebagai penguasa dari pejabat tersebut, dan
4.    Kekuasaan sipil adalah kekuasaan tertinggi di daerah
Ide pemekaran daerah dari awal sejarah kemunculannya sebenarnya merupakan niatan untuk menata kembali daerah-daerah agar diperoleh suatu sistem pemerintahan yang efektif dan efisien dengan mendekatkan pelayanan publik ke rakyat. Ujung dari penataan ini tidak lain adalah suatu kesejahteraan rakyat yang lebih merata di semua daerah termasuk di dalamnya pemerataan pendididikan yang bermutu.[12] Pertanyaanya kemudian adalah bagaimana bentuk ideal pendidikan di era otonomi daerah?
Otonomi daerah berimplikasi langsung bagi manajemen pendidikan yaitu desentralisasi pendidikan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 1 menyatakan desentralisasi adalah penyerahan sebagian wewenang pengurusan pendidikan pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu Huda[13] mengartikan desentralisasi sebagai delegations of responsibilities and powers to authorities at the lower levels. Desentralisasi merupakan pendelegasian tanggung jawab dan kekuasaan dari tingkat atas kepada tingkat bawah.
Pendidikan tersebut di dalam UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 disebutkan adalah hak dasar kemanusiaan yang harus dapat dinikmati secara layak dan merata oleh setiap masyarakat. Pengertian hak dasar kemanusiaan yang termaktub dalam UU ini merupakan hak asasi yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng semenjak seseorang dilahirkan ke dunia. Hak asasi kemanusiaan ini mengandaikan pemenuhannya hanya bisa dicapai dan terpenuhi dengan perlindungan, penghormatan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun. Maka Negara sebagai institusi resmi wajib melaksanakannya, memfasilitasi dan meniadakan segala penghalangnya. Untuk itu, pendidikan yang bermutu, semestinya mampu dinikmati oleh semua elemen masyarakat bangsa Indonesia. Kebijakan pendidikan di Indonesia semestinya mendukung atas terjaminnya hak-hak asasi warganya utamanya dalam hal perolehan pendidikan bermutu khususnya dalam konteks otonomi daerah.
Dalam konteks otonomi daerah, pelimpahan wewenang pengelolaan pendidikan khusus dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah digagas dan diawali dengan diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999[14] dan disempurnakan dengan UU Nomor 32[15] tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, berisi tentang penyerahan sejumlah wewenang yang semula menjadi urusan pemerintah Pusat kepada pemerintah Daerah, termasuk di dalamnya pengelolaan Bidang Pendidikan. Pelimpahan wewenang ini diteruskan dengan dikeluarkan UU Nomor 33 tahun 2004[16] tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah yang bertujuan memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah, menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, trasparan dan bertanggung jawab. Sementara itu, secara umum diyakini desentralisasi fiskal akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pendapat ini dilandasi oleh pandangan yang menyatakan kebutuhan masyarakat daerah terhadap pendidikan dan barang publik pada umumnya akan terpenuhi dengan lebih baik dibandingkan bila langsung diatur oleh pemerintah pusat[17].
Sejatinya, adanya UU otonomi daerah dan UU perimbangan keuangan pusat-daerah ini semakin membantu dan memberi kesempatan kepada pemerintah daerah untuk seluas-luasnya mengelola pendidikan dan pendidikan khusus sebaik mungkin. Secara eksplisit kewenangan dan alokasi dana pendidikan ini disebutkan dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 29:[18] “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negera (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)”.
Realisasi dari UU ini tentunya mengarah pada tanggung jawab pemerintah daerah yang semakin meningkat dan semakin luas, termasuk dalam manajemen pendidikan. Pemerintah daerah dengan legitimasi UU ini diharapkan senantiasa meningkatkan kemampuannya dalam berbagai tahap pembangunan pendidikan; sejak mulai tahap perumusan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan sampai pada tingkat pengawasan di daerah masing-masing sejalan dengan kebijakan pendidikan nasional. Pengaturan otonomi daerah dalam bidang pendidikan secara tegas dinyatakan dalam PP Nomor 25 Tahun 2000 yang mengatur tentang pembagian kewenangan pemerintah pusat dan provinsi.[19] Semua urusan pendidikan di luar kewenangan pemerintah pusat dan provinsi tersebut sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah kabupaten/kota.
Otonomi daerah yang berimplikasi pada otonomi pendidikan ini dibangun atas dasar filosofi bahwa masyarakat di setiap daerah merupakan fondasi yang kuat dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM) secara nasional. Sisi moralnya adalah bahwa orang-orang daerahlah yang paling mengetahui permasalahan dan kebutuhan mereka sendiri. Penyelenggaraan otonomi daerah semestinya mendorong terjadinya proses otonomi pendidikan di tingkat daerah. Adanya Otonomi daerah dan otonomi penyelenggaraan pendidikan daerah bertujuan agar pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan lebih sesuai dengan konteks kebutuhan daerah yang bermutu dan adil.[20]
Pada dasarnya otonomi daerah adalah kesempatan emas bagi pemerintah daerah untuk membangun dan mengatur pendidikan sebaik dan sesuai dengan kebutuhan yang ada di daerah, disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan yang ada di daerah. Pemerintah daerah sebagai pengambil kebijakan umum pendidikan harus memulainya dari adanya political will yang kuat guna menjamin pemerataan kesempatan bagi seluruh anak dan semua lapisan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan bermutu sebagai hak mereka.[21] Peran ini bisa dilakukan melalui perumusan kebijakan umum, pelayanan teknis, dan memonitor program secara regular akan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang.
Dalam UU Nomor 4 Tahun 1997[22] tentang penyandang cacat disebutkan bahwa “setiap penyandang cacat mempunyai hak yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan”;.Tentunya aspek-aspek tersebut mencakup pula aspek pendidikan yang menjadi kebutuhan semua orang. Terkait dengan peluang untuk memperoleh pendidikan, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional dalam pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Pada pasal 5 ayat 2 warga Negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
Penjelasan tentang pendidikan khusus ini disebutkan pada pasal 32 ayat 1, pendidikan merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan atau memiliki potensi kecerdasan. Meskipun demikian pada pasal 51 dijelaskan bahwa anak penyandang cacat fisik dan atau mental diberikan kesempatan bersama dalam aksebilitas dalam memperoleh pendidikan biasa. Pasal ini memberi peluang pada anak yang penyandang cacat fisik (anak kebutuhan khusus) untuk memilih mengikuti pendidikan khusus sebagaimana disebutkan pada pasal 5 ayat 2 atau mengikuti pendidikan sebagaimana anak-anak yang biasa (tidak cacat).
Sebelum bergulirnya otonomi daerah, pendidikan khusus semata-mata mengandalkan anggaran pusat baik melalui DAU maupun berupa pinjaman dan hibah. Sedangkan setelah bergulirnya otonomi daerah, pembiayaan pendidikan khusus mengacu pada UU nomor 33 tahun 2004. Namun demikian, menurut SMERU[23] bahwa  proporsi dana yang dikelola pemerintah pusat tetap masih besar, walaupun dengan kecenderungan yang terus menurun dalam kategori pendidikan secara umum dan meningkat tajam dalam kategori pendidikan khusus. Peningkatan ini disinyalir dengan ditetapkannya kebijakan membangun lokal-lokal pendidikan khusus baru baik untuk sekolah luar biasa maupun sekolah-sekolah unggulan seperti SSN, RSBI, dan SBI sebelum mereka diharapkan dapat mandiri. Sebelum pelaksanaan otonomi daerah, belanja pemerintah pusat di luar pembayaran bunga dan hutang masih mencapi 80%, kemudian semakin menurun semenjak tahun 2001 atau tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah sekitar 5 – 10% pertahunnya dan anggaran pendidikan khusus meningkat hampir 80% per tahun.[24]
Fenomena lain yang terus menjadi perhatian terhadap penyelenggaraan pendidikan khusus adalah ketersediaan sarana-prasarana, tenaga pendidik khusus (guru pembimbing khusus), tenaga psikolog dan dokter, sistem informasi manajemen, benchmarking, dan bahkan biaya sosialisasi dan monev. Hal ini menjadi perlu diperhatikan mengingat penanganan pendidikan khusus memerlukan penanganan khusus karena memang memiliki ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan pendidikan reguler lainnya. Jalan tengah yang diambil pemerintah saat ini adalah mengoptimalkan penyelenggaraan sekolah-sekolah inklusi pada setiap tingkatannya.[25]

B.   Permasalahan-Permasalahan dalam Penyelenggaraan Pendidikan Khusus


Jika ditelusuri sebenarnya persoalan yang sering dijumpai, kendala akses pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus ini bukan karena faktor kecacatannya yang disandang, tetapi lebih pada faktor di luar diri penyandang cacat itu sendiri. Meskipun secara yuridis telah ada peraturan yang mengatur dan memberikan peluang akses pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus ini, tetapi peluang itu belum sepenuhnya dapat dinikmati oleh para penyandang cacat. Pada era otonomi daerah kewenangan di bidang pendidikan berada di tangan daerah.
Desentralisasi pendidikan dalam arti melimpahkan kewenangan penyelenggaraan ke daerah merupakan suatu bentuk perubahan kewenangan. Perubahan tersebut membawa konsekuensi timbulnya berbagai permasalahan pendidikan khusus yang perlu dicermati dan diantisipasi dengan berbagai upaya pencegahannya agar proses desentralisasi dapat berjalan dengan semestinya. Burhanuddin[26] menyatakan permasalahan tersebut mencakup 1) berhubungan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), 2) masalah yang terkait dengan substansi manajemen pendidikan khusus, 3) sumber daya manusia, 4) dana dan sarana prasarana pendidikan khusus, 5) partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan khusus, 6) partisipasi peserta didik, 7) berhubungan dengan peraturan perundang-undangan, dan 8) berkaitan dengan konsekuensi disintegrasi keutuhan berbangsa dan bernegara.
Sejalan dengan konsep tersebut, sebuah hasil penelitian menyebutkan bahwa kurangnya jumlah tenaga pendidikan psikolog, rendahnya kualitas sekolah dan pelayanan, dan tidak meratanya tenaga guru pembimbing dan guru pembimbing khusus, belum sadarnya masyarakat tentang pendidikan khusus masih merupakan permasalahan besar yang dihadapi dunia pendidikan khusus di Indonesia.[27]
Berhubungan dengan iptek yang diadopsi dari luar negeri sebagai dampak globalisasi akan menimbulkan pergeseran struktural, nilai, dan sikap ilmiah masyarakat. Struktur masyarakat pertanian bergeser menuju ke struktur masyarakat industri yang mempengaruhi pola kehidupan dan tuntunan masyarakat terhadap dunia pendidikan khusus. Perkembangan iptek menuntut adanya tenaga yang bukan saja mampu mengadopsi iptek, melainkan mampu mengadaptasikan dan mengembangkannya. Taraf pendidikan masyarakat (civil society) dituntut lebih tinggi agar mampu mengantisipasi perubahan dan profesional dalam melaksanakan tugasnya.[28]
Masalah yang terkait dengan substansi manajemen pendidikan khusus terletak pada kesiapan dan kemapanan masing-masing daerah dalam menyambut pelaksanaan kebijakan desentralisasi pendidikan yang tidak sama. Permasalahan relevansi pendidikan khusus selama ini diarahkan pada kurangnya kepercayaan pemerintah kepada daerah untuk menata sistem pendidikan khusus yang sesuai dengan kondisi objektif di daerah masing-masing. Situasi ini memicu terciptanya pengangguran lulusan akibat tidak relevannya kurikulum dengan kondisi daerah terlebih lagi pada alumni pendidikan khusus (SLB) dengan segala keterbatasannya.[29]
Sumber daya manusia (SDM) yang kurang profesional menghambat pelaksanaan sistem pendidikan nasional. Penataan SDM yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan menjadikan pelaksanaan pendidikan khusus tidak profesional. Banyak tenaga kependidikan yang latar belakang pendidikannya tidak relevan di dunia kerja yang ditekuninya.
Dana dan sarana prasarana pendidikan khusus merupakan permasalahan yang dapat muncul dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Dana masyarakat yang digunakan untuk membiayai pendidikan khusus belum semaksimal mungkin dialokasi secara proporsional sesuai dengan kemampuan daerah. Terserapnya dana masyarakat ke pusat membuat daerah makin menjadi tidak berdaya membiayai penyelenggaraan pendidikan khusus. Sarana dan prasarana pendidikan khusus sangat bergantung pengadaannya kepada pemerintah pusat sementara pendistribusiannya belum terjamin merata atau sampai ke tujuannya sehingga kemandirian dan rasa turut bertanggung jawab daerah kurang.
Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan khusus sangat kurang kecuali dalam hal pendanaan. Masyarakat hanya menyerahkan peserta didik ke lembaga pendidikan khusus dengan membayar dana pendidikan dan menyerahkan pendidikan peserta didik kepada lembaga. Peran masyarakat dalam mendidik menjadi kurang karena mengandalkan lembaga pendidikan. Perlu adanya komunikasi efektif antara lembaga pendidikan dan orangtua untuk mendidik peserta didik agar mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan bersama.
Berkaitan dengan partisipasi peserta didik dipengaruhi oleh kesiapan dan motivasi keluarga terutama yang berlatar belakang pendidikan, sosial, dan ekonominya tergolong rendah. Tingkat partisipasi peserta didik mengikuti program pendidikan terutama pendidikan dasar dipengaruhi oleh faktor tersebut.[30]
Berkaitan dengan peraturan perundang-undangan dalam pendidikan, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas menentukan secara umum tentang hak dan kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah, pengelolaan pendidikan, dewan pendidikan, dan komisi sekolah. Sistem sentralisasi, dekonsentrasi, dan desentralisasi dalam pemerintahan mempunyai implikasi langsung terhadap penyelenggaraan sisdiknas terutama yang berkaitan dengan masalah kebijakan, manajemen, mutu, kontrol, dan sumber-sumber dana pendidikan khusus.[31] Penyelenggaraan sisdiknas untuk masa mendatang selain telah memiliki perangkat pendukung perundang-undangan nasional, tetapi juga dihadapkan kepada sejumlah faktor yang menjadi tantangan dalam penerapan otonomi pendidikan khusus di daerah, tipe dan kualitas kematangan sumber daya manusia yang diperlukan oleh daerah setempat, perkembangan iptek, perkembangan dunia industri, dan tingkat perkembangan setiap daerah. Hal ini mengisyaratkan perlunya pemikiran dan kajian yang lebih matang dalam menyiapkan situasi lokal dan sekolah agar desentralisasi penyelenggaraan sisdiknas dapat dilaksanakan.[32]
Penyelenggaraan desentralisasi pendidikan khusus berkaitan dengan konsekuensi disintegrasi keutuhan berbangsa dan bernegara. Hal ini ditegaskan oleh Fiske[33] yang menyatakan bahwa berdasarkan pengalaman berbagai negara sedang berkembang yang menerapkan otonomi di bidang pendidikan khusus, otonomi berpotensi memunculkan masalah perbenturan kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah, menurunnya mutu pendidikan, inefisiensi dalam pengelolaan pendidikan, ketimpangan dalam pemerataan pendidikan, terbatasnya gerak dan ruang partisipasi masyarakat dalam pendidikan, serta berkurangnya tuntutan akuntabilitas pendidikan oleh pemerintah serta meningkatnya akuntabilitas pendidikan oleh masyarakat.
Pendidikan khusus merupakan upaya sosialisasi generasi muda yang diharapkan terbentuk dan menjadi warga negara yang berwawasan kebangsaan (Pancasila). Apabila konten kurikulum atau pengalaman belajar bervariasi dimungkinkan tumbuh dan berkembangnya visi peserta didik yang berbeda-beda dan bahkan bertentangan, yang dapat menumbuhkan persepsi dan sikap separatisme. Asumsi tersebut perlu adanya sikap dan usaha pencegahan agar tidak terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan desentralisasi.[34] Dengan adanya pertukaran pelajar antardaerah diharapkan dapat menyeimbangkan ketimpangan yang ada.

C.   Solusi Sementara dalam Penyelenggaraan Pendidikan Khusus di Era Otonomi


Hasil dari otonomi daerah dan otonomi pendidikan adalah output yang cerdas secara nasional dan arif dalam tingkatan lokal. Output yang cerdas dan arif ini secara umum akan membentuk tatanan kehidupan masyarakat yang lebih baik, berhasil dan produktif sesuai dengan konteks dimana ia berada. Dan melalui pendidikan khusus yang mengerti lokalitas (yang sesuai dengan kebutuhan daerah) menjadi satu-satunya media pembentuk masyarakat beradab), yang menjadikan manusia berada pada piramida tertinggi dalam pola relasi kehidupan di dunia (khalifatullah fil Ardh) berguna dan bernilai sesuai dengan konteks kedaerahan dan kebutuhan masyarakatnya.
Menurut pemikiran penulis, ada beberapa unsur yang mesti terpenuhi dalam penyelenggaraan otonomi daerah dan otonomi pendidikan khusus, yaitu: Pertama, pemerintah baik pusat/daerah, sebagai pengambil kebijakan pendidikan, sudah sepatutnya menanggung biaya minimal pendidikan yang diperlukan anak usia sekolah/madrasah tingkat dasar dan lanjutan baik negeri maupun swasta yang diberikan secara individual kepada siswa. Kedua, masyarakat sebagai stakeholder pendidikan setempat semestinya berpartisipasi aktif dalam perumusan kurikulum muatan lokal, yang akan membantu mendiagnosis kebutuhan-kebutuhan pendidikan sesuai dengan konteks lokalitas. Ketiga, sekolah-sekolah –baik negeri/swasta, hendaknya diberdayakan potensinya melalui bantuan dan subsidi dalam rangka meningkatkan mutu pembelajaran siswa dan optimalisasi daya tampung yang tersedia. Keempat, daerah-daerah yang membutuhkan pembangunan gedung sekolah baru dan ruang kelas baru hendaknya diprioritaskan untuk mendapatkan fasilitas tersebut. Kelima, memberikan perhatian khusus bagi anak usia sekolah dari keluarga miskin, masyarakat terpencil, kumuh dan masyarakat daerah yang sedang mengalami konflik dan bencana alam; dengan memberikan beasiswa pendidikan kepada mereka. Keenam, partisipasi semua pihak untuk ikut serta menangani penuntasan wajib belajar (wajar) 9 tahun.
Hal ini bukan merupakan tugas ringan dan tidak mengkin dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Pemerintah daerah perlu melakukan adaptasi terhadap program yang sudah ada sebelumnya dan juga harus melakukan inovasi program agar penyandang cacat terfasilitasi dengan baik sebagaimana warga masyarakat pada umumnya. Langkah antisipatif perlu segera dilakukan mengingat banyaknya persoalan di sekitar layanan bagi anak berkebutuhan khusus untuk dapat mengakses pendidikan.
Meskipun bukan sebuah solusi yang cepat, tetapi beberapa langkah berikut dapat membantu anak dengan kebutuhan khusus untuk lebih cepat mengakses layanan pendidikan:[35]
1. Membuat aturan regulasi UU yang terkait dengan penyediaan layanan bagi anak-anak berkebutuhan khusus.
2. Mengalokasikan dana khusus dari APBN ataupun APBD bagi pendidikan anak berkebutuhan khusus.
3. Memberikan dukungan bagi tersedianya secara lebih luas berbagai informasi untuk para penyandang cacat. Misalnya untuk penyandang cacat tuna netra seperti jasa layanan yang lebih diperluas dalam bentuk naskah berhuruf braile, kaset audio, komputer suara, voice synthesizer, huruf cetak, ukuran besar dan kontras tajam serta dengan tanda-tanda yang mudah diraba jari tangan, peningkatan tersedianaya alat peralatan bantu bagi warga yang kurang lihat (low vision) yang terjangkau harganya.
4. Penyediaan sarana umum pendidikan yang dapat diakses secara mandiri oleh anak berkubutuhan khusus misalnya perpustakaan dan gedung kuliah.
5. Mendorong adanya empati bagi para pembuat kebijakan terhadap mereka yang berkebutuhan khusus.
Sementara itu, Fasli Jalal[36] mengemukakan bahwa untuk meningkatkan mutu pembelajaran siswa berkebutuhan khusus, maka perlu dilaksanakan beberapa kebijakan sebagai berikut:
1. Siswa berkebutuhan khusus akan terpenuhi kebutuhannya dengan melaksanakan semua kebijakan yang sesuai dengan kerangka kerja yang telah dibahas pada Bab III (Kebijakan Umum dan Strategis) dan Bab IV (Kebijakan tentang Budget); semua permasalahan akan mengacu pada kebijakan ini untuk pelaksanaan lebih lanjut.
2. Kementerian akan mengawasi dan mengembangkan pelaksanaan (1) sekolah yang menyediakan pendidikan luar biasa atau sekolah luar biasa, (2) sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan inklusif.
3. Mendorong siswa berkebutuhan khusus untuk mendapat pendidikan setinggi mungkin, setidaknya menyelesaikan pendidikan dasar.
4. Pertimbangan dan Keputusan apakah masuk sekolah luar biasa atau sekolah inklusi harus diserahkan kepada siswa itu sendiri. Setiap anak berkebutuhan khusus harus diberi kebebasan memilih jenis sekolah yang bermanfaat bagi mereka. Informasi yang memadai mengenai sekolah khusus atau sekolah umum akan disediakan. Setiap anak perlu diinformasikan dan dipandu untuk mengerti jenis dan tingkat kecacatan mereka supaya mereka dapat berhasil dengan pendidikan mereka.
5. Untuk menghadapi tantangan mendidik anak-anak dengan kebutuhan yang beragam yang jumlahnya terus meningkat, guru-guru sekolah yang melaksanakan pendidikan inklusif akan disiapkan untuk menguasai pembelajaran dan kurikulum yang mengakomodir semua siswa. Mereka akan disiapkan untuk melaksanakan beberapa strategi pendidikan yang saling berkaitan, seperti mengelompokkan siswa yang beragam, mengembangkan pembelajaran, dan kurikulum inklusif yang menekankan pada kelebihan siswa.
6. Menyediakan guru, sumber daya, dan fasilitas sesuai dengan skala prioritas.
7. Kompetensi guru dan tenaga pendidikan akan ditingkatkan melalui pelatihan pendidikan berdasarkan hasil penilaian dan akreditasi.
8. Sama dengan sekolah umum, peningkatan mutu sekolah luar biasa dan sekolah yang melaksanakan pendidikan inklusif akan dilakukan berdasarkan mutu pencapaian Standar Pendidikan Nasional. Alokasi dana penyediaan guru dan tenaga pendidikan, pendidikan dan latihan, infrastruktur, fasilitas dan perlengkapan akan disesuaikan.
Semua kebijakan sudah tentu memerlukan kerjasama, kolaborasi dan kontribusi dari semua pihak yang terkait untuk melaksanakannya. Perhatian, kerjasama dan kontribusi apapun yang diberikan kepada siswa-siswa berkebutuhan khusus di Indonesia sangat diharapkan. Solusi yang dapat diambil dari permasalahan ini adalah otonomi kurikulum menjadi alternatif yang harus dilakukan. Rintisan kurikulum muatan lokal yang selama ini memiliki perimbangan persentase lebih kecil daripada kurikulum nasional belum cukup mewadahi situasi, kondisi, dan kebutuhan daerah.
Berangkat dari pembahasa tersebut maka inferensi yang dapat ditarik untuk mengatasi berbagai masalah pendidikan khusus yang demikian kompleks adalah segera memunculkan, meneguhkan, dan mengaplikasikan political will pemerintah pusat dan daerah untuk menjalankan sepenuhnya amanat pendidikan khusus yang tertuang dalam undang-undang.

III. PENUTUP

A.   SIMPULAN

Pada bagian akhir tulisan ini dapat disimpulkan tiga poin penting yang menjadi mainstream pembahasan dalam makalah ini.
1.    Bahwa penyelenggaraan pendidikan khusus di era otonomi daerah saat ini masih terus melanjutkan upaya pendidikan khusus pada era sebelum otonomi daerah. Namun demikian, banyak aspek yang belum dilaksanakan dengan baik bila disandingkan dengan apa yang seharusnya ada sebagaimana tertuang dalam UU tentang Pemerintahan Daerah. Majoritas pemerintah daerah masih membutuhkan arahan, dukungan dan tuntunan dari Pemerintah Pusat dalam hal penanganan Pendidikan Inklusi, SLB, pengelolaan sekolah-sekolah unggulan (SSN, RSBI, SBI dan bentuk-bentuk sekolah unggulannya). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebagian besar pemerintah daerah masih belum siap melaksanakan otonomi daerah yang efektif dalam penyelenggaraan pendidikan khusus.
2.    Bahwa penyelenggaraan pendidikan khusus di era otonomi daerah membawa konsekuensi yang tidak mudah. Berbagai permasalahan muncul dan kadang berkembang menjadi besar. Permasalahan tersebut adalah kesiapan daerah dalam melaksanakan pendidikan khusus secara umum, kekurangan finansial yang disebabkan oleh PAD yang tidak sama, manajemen pendidikan khusus yang belum sepenuhnya didukung SDM berkualitas, budaya masyarakat yang belum melihat kebutuhan anak-anak akan pendidikan khusus yang sama pentingnya dengan pendidikan lainnya jika dikaitkan dengan pemenuhan hak-hak anak. Permasalahan utama ini selanjutnya berimplikasi pada munculnya permasalahan-permasalahan operasional lainnya seperti: tenaga Psikolog, GPK (Guru Pembimbing Khusus), sarana prasarana yang memadai, kesadaran masyarakat yang mampu melihat kesamaan hak dan potensi anak untuk berkembang dan permasalahan-permasalahan dalam tataran sekolah dan dinas pendidikan.
3.    Bahwa solusi yang sementara ini diambil oleh pemerintah adalah mengeluarkan berbagai kebijakan politik tentang penyelenggaraan pendidikan khusus, melaksanakan pendidikan inklusi dengan tetap menyelenggarakan program segregasi dan mainstreaming untuk Anak-anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dan sekolah-sekolah berkualitas unggulan bagi ABLB (Anak Berbakat Luar Biasa), menyiapkan kurikulum berdiferensiasi bagi pendidikan khusus, sokongan dana yang lebih besar setiap tahunnya selama tiga tahun sampai sekolah tersebut menjadi sekolah unggulan mandiri dan  menumbuhkan sedikit-demi sedikit peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan khusus.

B.   REKOMENDASI

Berdasarkan pembahasan dan simpulan di atas maka dapat direkomendasikan dua poin berikut:
1.    Penyelenggaraan otonomi daerah yang efektif dalam pengelolaan pendidikan khusus sangat perlu dilakukan. Alasannya, hak-hak anak dalam mendapatkan pendidikan yang layak hanya dapat dicapai bila rantai birokrasi yang demikian panjang diputus dan diperpendek. Pemerintah daerah seyogyanya memahami, mengakomodir, menyegerakan pelayanan terhadap anak-anak berkebutuhan khusus ini karena berbagai alasan terhadap masa perkembangan anak. Dengan demikian, penulis merekomen-dasikan dalam tulisan ini agar desentralisasi pengelolaan pendidikan khusus harus segera ditangani  secara efektif dan efisien.
2.    Penyelenggaraan pendidikan khusus baik SLB, Inklusi maupun pendidikan unggulan tetap dilaksanakan namun dengan tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah daerah seharusnya membuat grand design pengelolaan pendidikan khusus dan mewujudkan political will yang berterima sehingga tidak terjadi berbagai ketimpangan dalam pelaksanaannya. Selain itu, pendidikan khusus sebaiknya ditangani secara arif dan profesional oleh orang-orang yang memang memahami pendidikan khusus dan menghindari unsu-unsur politis yang justru memberikan peluang bagi semakin terpuruknya kualitas pengelolaan pendidikan khusus.
**** Wallahu’alam..!!


DAFTAR RUJUKAN
Abdul Kadir, 2008. Manajemen Personalia pada Sekolah Dasar Inklusi Binaan Dinas Dikpora Provinsi NTB, Tesis, pada Program Magister  Manajemen Universitas Surabaya. tidak dipublikasikan, halaman 154.  
Abdurrahmansyah. 2001. Desentralisasi: Harapan dan Tantangan bagi Dunia Pendidikan, Jurnal Studi Agama Millah, (1)1:55-69.
Ahmad Darmadji, 2009. Kebijakan Pemerintah Pelayanan Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus, Makalah Seminar., yang diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Islam FIAI UII di Aula Kampus FIAI UII.
Alhumani, A. 11 September, 2000. Pembangunan Pendidikan dalam Konteks Desentralisasi. Kompas, hlm. 4.
Azra, A. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Burhanuddin. 2004. Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Manajemen Pendidikan. Dalam Maisyaroh, Burhanuddin, dan Imron, A (Eds.). Perspektif Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah (hlm. 10-16). Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang
Depdiknas. 2001. Desentralisasi Pendidikan. Jakarta: Komisi Nasional Pendidikan Depdiknas.
Depdiknas. 2002. Memiliki Wawasan Tentang Model-Model Perencanaan Tingkat Kabupaten/Kota (Materi Pelatihan Terpadu untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota). Jakarta: Depdiknas.
Direktur Jenderal Pendidikan Khusus 2009. www.mandikdasmen. depdiknas.go.id/web/berita/435.html
Fasli Jalal, 2005. Kebijakan MONE dalam Meningkatkan Kualitas Pedidikan bagi Anak-anak Berkebutuhan Khusus di Indonesia. Makalah, Simposium Internasional tentang Inclusion and the Removal of Barriers to Learning Bukittinggi, 26 – 29 September 2005
Fiscal Decentralization-Benchmarking The Policies of Fiscal Design (1999), Working Document, prepared for the FDI Meeting 9 th March 1999, Paris. Directorate for Financial, Fiscal and Interprise affairs, Fiscal Affairs, OECD.
Fiske, E. B. 1998. Desentralisasi Pengajaran, Politik, dan Konsensus. Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia.
Huda, N. 1998. Decentralization of Education in Indonesia: Problem of Implementation, Jurnal Ilmu Pendidikan, 5(1): 3-12.
Husen, T. dan Postlethwaite, T. N. 1994. The International Encyclopedia of Education. London: Pergamon.
Jalal, F. 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Kaho, J. R. 1991. Proyek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Kotter, J. 1997. Leading Change. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Muhadjir, N. 2003. Metodologi Penelitian Kebijakan dan Evaluation Research. Integrasi Penelitian, Kebijakan, dan Perencanaan. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
PP Nomor 25 Tahun 2000 Pembagian Kewenangan Pemerintah Pusat dan Provinsi.
Rencana Strategis Depdiknas tahun 2010 – 2014 halaman 46
SMERU, 2008. Otonomi Daerah: Implikasinya terhadap Pengelolaan Pelayanan Pendidikan Dasar. Hal. 67
Tilaar, H. A. R. 2004. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
UNESCO, 2010. Reaching the marginalized, Deklarasi Hak Asasi Manusia, dan Pendidikan untuk Semua, Global Monitoring Report: Indonesia. Halaman 223.
UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah.
UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
UU Pendidikan Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
UUD 1945 pasal 31 ayat (3) dan Pasal 28B


[1]    UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
[2]    PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
[3]    Rencana Strategis Depdiknas tahun 2010 – 2014 halaman 46.
[4]    UNESCO, 2010. Reaching the marginalized, Deklarasi Hak Asasi Manusia, dan Pendidikan untuk Semua, Global Monitoring Report: Indonesia. Halaman 223.
[5]    UUD 1945, Pasal 28B berbunyi: “Setiap warga negara memiliki hak untuk mengembangkan diri sendiri untuk memenuhi kebutuhannya, mendapat pendidikan dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya untuk meningkatkan mutu hidupnya bagi kesejahteraan manusia.”
[6]    UU Pendidikan No. 20/2003. Berbunyi “warga negara berkebutuhan khusus (ABK) (cacat fisik, emosi, kecerdasan, dan/atau sosial) berhak mendapat pendidikan khusus.”
[7]   UUD 1945 pasal 31 ayat (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
[8] Direktur Jenderal Pendidikan Khusus 2009. www.mandikdasmen.depdiknas.go.id/web/ berita/435.html
[9]    Ibid, UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[10] Direktur Jenderal Pendidikan Khusus 2009. www.mandikdasmen.depdiknas.go.id/web/ berita/435.html.
[11] Abdurrahmansyah. 2001. Desentralisasi: Harapan dan Tantangan bagi Dunia Pendidikan, Jurnal Studi Agama Millah, (1)1:55-69.
[12] Azra, A. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
[13]   Huda, N. 1998. Decentralization of Education in Indonesia: Problem of Implementation, Jurnal Ilmu Pendidikan, 5(1): 3-12.
[14]   UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
[15]   UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
[16]   UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah.
[17] Fiscal Decentralization-Benchmarking The Policies of Fiscal Design (1999), Working Document, prepared for the FDI Meeting 9 th March 1999, Paris. Directorate for Financial, Fiscal and Interprise affairs, Fiscal Affairs, OECD.
[18]   UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 29 berbunyi : “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negera (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).”
[19]   PP Nomor 25 Tahun 2000 Pembagian Kewenangan Pemerintah Pusat dan Provinsi.
[20]   Kaho, J. R. 1991. Proyek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
[21]   Jalal, F. 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
[22] UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat berbunyi “setiap penyandang cacat mempunyai hak yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan”;.
[23] SMERU, 2008. Otonomi Daerah: Implikasinya terhadap Pengelolaan Pelayanan Pendidikan Dasar. Hal. 67
[24]   Ibid, SMERU, 2008. Hal. 68.
[25]   Tilaar, H. A. R. 2004. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta
[26] Burhanuddin. 2004. Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Manajemen Pendidikan. Dalam Maisyaroh, Burhanuddin, dan Imron, A (Eds.). Perspektif Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah (hlm. 10-16). Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang
[27] Abdul Kadir, 2008. Manajemen Personalia pada Sekolah Dasar Inklusi Binaan Dinas Dikpora Provinsi NTB, Tesis, pada Program Magister  Manajemen Universitas Surabaya. tidak dipublikasikan, halaman 154.  
[28]   Kotter, J. 1997. Leading Change. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
[29] Alhumani, A. 11 September, 2009. Pembangunan Pendidikan dalam Konteks Desentralisasi. Kompas, hlm. 4.
[30] Husen, T. dan Postlethwaite, T. N. 1994. The International Encyclopedia of Education. London: Pergamon
[31] Jalal, F. 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
[32] Depdiknas. 2002. Memiliki Wawasan Tentang Model-Model Perencanaan Tingkat Kabupaten/Kota (Materi Pelatihan Terpadu untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota). Jakarta: Depdiknas.
[33] Fiske, E. B. 1998. Desentralisasi Pengajaran, Politik, dan Konsensus. Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia.
[34] Kaho, J. R. 1991. Proyek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
[35] Ahmad Darmadji, 2009. Kebijakan Pemerintah Pelayanan Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus, Makalah Seminar., yang diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Islam FIAI UII di Aula Kampus FIAI UII.
[36] Fasli Jalal, 2005. Kebijakan MONE dalam Meningkatkan Kualitas Pedidikan bagi Anak-anak Berkebutuhan Khusus di Indonesia. Makalah, Simposium Internasional tentang Inclusion and the Removal of Barriers to Learning Bukittinggi, 26 – 29 September 2005

Tidak ada komentar:

PENELITIAN KUALITATIF DALAM ILMU-ILMU SOSIAL

A. Pendahuluan   Ketika kita bergaul sehari-hari seringkali kita berargumen satu sama lain. Kita bercakap-cakap untuk mempe...