Kamis, 17 Juni 2010

Threats to Democracy: A Judgment and Decision-Making Perspective



ANALISIS JURNAL

Threats to Democracy: A Judgment and  Decision-Making Perspective
David R. Mandel
Defence Research and Development Canada



A. RASIONAL

Kehidupan yang demokratis merupakan dambaan setiap orang, setiap kelompok sosial bahkan setiap nation state yang beradab. Peri kehidupan yang memberikan kedamaian dan keselarasan hidup bersama menjadi bahan diskusi di hampir setiap kesempatan. Ungkapan “Kehidupan yang demokratis” menjadi sebuah cita-cita luhur yang menuntut setiap individu untuk ikut berjuang menegakkannya.

Lalu, ketika demokrasi itu terancam, berdarah dan terkoyak, bukan hanya kedamaian hidup yang terusik namun juga nilai-nilai keluhuran manusia yang sejati pun ikut dipertaruhkan.

Mandel, Penulis Artikel ini melihat demokrasi sebagai bentuk politik dari organisasi sosial kemanusiaan yang menawarkan prospek terbaik untuk kebebasan dan perdamaian. Mandel, sebagaimana orang-orang pengagum demokrat lainnya merasa bahwa demokrasi sedang menghadapi ancaman yang disengaja dari gerakan totaliter yang mengandalkan taktik teroris. Selain itu, demokrasi juga menghadapi ancaman dari para pemimpin sendiri sebagai konsekuensi dari kemampuan mereka membuat keputusan. Itulah fenomena yang mendasari penulisan artikel ini sehingga tergugah untuk meneliti bagaimana ancaman terhadap demokrasi dianggap dan dikelola.

Terorisme, apapun alasannya merupakan musuh utama demokrasi. Itulah sebabnya, ketika negara-negara demokrat mengambil alih kepemimpinan suatu bangsa seperti Indonesia dan Amerika Serikat mengupayakan pemberantasan teorisme sebagai agenda utama.

Mandel dengan jeli melihat bahwa persepsi dan pengelolaan ancaman terhadap demokrasi merupakan kasus penghakiman dan pengambilan keputusan di bawah ketidakpastian (Uncertainty). Bahwa faktor yang paling relevan mempengaruhi keputusan dan kebijakan adalah dengan menjaga demokrasi dari berbagai ancaman termasuk terorisme.

Berdasarkan rasional tersebut, maka berdasarkan kajian penulis, artikel ini berupaya untuk melihat sisi demokrasi dalam ancaman dalam perspektif keadilan dan pengambilan keputusan. Bahwa keadilan yang mampu mengangkat derajat umat manusia dan pengambilan keputusan tepat yang muaranya berbentuk kebijakan-kebijakan hanya dapat diperoleh bilamana negara dalam keadaan aman. Terhindar dari ancaman-ancaman yang berpotensi mengganggu kehidupan berdemokrasi.

Bagian berikut akan dikemukakan intisari dari artikel ini dengan harapan pembaca dapat memahami lebih mendalam tentang (a) kehidupan demokratis dan ancaman terhadap demokrasi, (b) pengambilan keputusan dalam penetapan kebijakan yang mampu meminimalisir terusiknya kehidupan demokrasi, dan (c) peri keadilan yang merupakan salah satu prasyarat bagi keberlangsungan sebuah demokrasi yang sejati.

B. RESUME ARTIKEL

Secara garis besar, Mandel dengan pengalamannya dalam bidang pertahanan dan keamanan menulis artikel ini dengan melihat seriusnya ancaman terorisme, pengambilan keputusan dan penetapan kebijakan serta terpenuhinya rasa keadilan dalam menegakkan kehidupan yang demokratis sebagaimana yang didambakan oleh setiap warga negara.

Artikel ini setidaknya mengungkapkan lima poin penting yaitu: (1) mengapa demokrasi itu begitu penting, (2) paham totaliter (totaliterianisme) yang merupakan musuh utama demokrasi, (3) Sumber-sumber ancaman bagi demokrasi, (4) bagaimana mengelola ancaman dilihat dari pengambilan keputusan dalam ketidakpastian, dan (5) bagaimana meminimalkan ancaman dalam membuat keputusan untuk penetapan kebijakan.

1. Warisan Inti Demokrasi adalah Kebebasan

Berkenaan dengan poin pertama ini, Mandel sebagaimana yang ia kutip dari Diamond, L., & Morlino, L.[1] menulis bahwa: the main goals of democracy include political and civil freedom, popular sovereignty or control over government officials, political equality, and good governance. Democracy is therefore a multidimensional construct for social governance, and there are many ways in which the quality of a democracy can be gauged. Kutipan ini menegaskan prinsip Mandel bahwa persyaratan inti bagi demokrasi selain meliputi universalitas hak pilih orang dewasa dalam proses pemilihan yang teratur, bebas, dan adil, termasuk di dalamnya kebebasan politik dan sipil, kedaulatan rakyat atau mengontrol pejabat pemerintah, kesetaraan politik, dan tata pemerintahan yang baik, juga peran demokrasi dalam membangun tatanan sosial yang multidimensi dimana kualitas demokrasi dapat diukur.

Namun, bila hanya diartikan dengan satu kata tunggal saja maka esensi dari demokrasi adalah kebebasan. Mengutip pendapat Natan Sharansky[2] bahwa terdapat perbedaan klasik antara masyarakat pro-demokrasi dan anti-demokratis ketika dia berkata, "We must understand the difference between fear societies and free societies, between dictators and democrats". Demokrasi menjamin hak untuk berbeda pendapat dan itu jauh lebih penting daripada materi perbedaan pendapat itu sendiri. Intinya, demokrasi yang terancam itu sangat tidak bagus karena merendahkan kebebasan sejati manusia yang luhur.

Mendel juga membeberkan data sebagai akibat terkoyaknya demokrasi dan perdamaian. Selama sembilan dekade pertama abad ke-20, 90% dari 142.902.000 kematian warga sipil yang disebabkan "pembunuhan massal" oleh negara (selain perang) yang timbul dari rezim totaliter. Selain itu, dari 353 perang terjadi antara 1816 dan 1991 (didefinisikan sebagai setiap tindakan militer di mana sedikitnya 1.000 tewas), 198 melibatkan pertikaian non-demokrasi versus non-demokrasi, 155 melibatkan pertikaian non-demokrasi versus demokrasi, dan 0 akibat dari pertikaian demokrasi versus demokrasi.[3]

2. Totalitarianisme merupakan Nemesis[4] Demokrasi

Ancaman teror seperti yang terjadi akhir-akhir ini membuat resah banyak pihak. Benar bahwa terorisme menimbulkan tantangan unik bagi demokrasi yang berusaha menjaga keamanan nasional tanpa mengabaikan komitmen terhadap kebebasan sipil, kebebasan manusia, dan supremasi hukum. Ancaman terbesar yang ada selama ini adalah negara kurang memiliki upaya preventif bilamana ada serangan, baik serangan simetris atau asimetris. Sebagaimana Mendel mengutip pendapat Haris[5] bahwa tantangan ideologis fundamen-talisme Islam militan termasuk peristiwa 9/11 adalah hasil dari fantasi al-Qaeda yang kemudian mengalami pembenaran. Maka peristiwa mengerikan itu, tidak akan menjadi ancaman fundamental terhadap demokrasi. Itu juga tidak akan membenarkan banyak "kejahatan kecil" dilakukan atas nama keamanan nasional. Namun demikian, peristiwa 9/11 hendaknya disadari lebih dari sebuah fantasi. Itu adalah tindakan terorisme oleh orang-orang yang memiliki komitmen pada totalitarianisme. Untuk mencapai tujuan mereka membutuhkan perencanaan bertahun-tahun.

Jadi, tetap bahwa musuh demokrasi terbesar saat ini, karena sepanjang abad ke-20, bukan terorisme tapi totalitarianisme - apakah itu berbentuk Nazi fasisme, komunisme Soviet, atau fundamentalisme Islam militan. Totalitarianisme didasarkan pada ideologi kekuasaan mutlak atas orang lain dan, karenanya, pada negasi dari kebebasan pribadi. Totalitarianisme didasarkan pada psikologi totalism yang mengurangi semua konflik untuk perjuangan antara kekuatan baik dan jahat. Bukan pula istilah kaku "hitam-atau-putih", lebih cocok menggunakan istilah “pelepasan moral”[6] dari orang-orang yang beriman atau bertindak sebaliknya.

Namun demikian, demokrasi mungkin tidak sempurna. Mereka memberikan jaminan yang lebih baik terhadap hak untuk keamanan bagi penduduk sipil di dunia daripada rezim totaliter nyata atau bercita-cita tinggi.

3. Sumber Ancaman bagi Demokrasi

Nasib demokrasi dalam percaturan politik dunia dipengaruhi oleh beberapa faktor. Mendel mengkategorikannya dalam tiga faktor utama, yaitu:

a. Munculnya keputusan yang dibuat dalam bentuk kebijakan kelompok penghasut dan pelaku individu dan kekerasan kolektif. Mereka secara sepihak membuat keputusan dan memberlakukannya sebagai kebijakan diantara mereka sendiri sebagai aspirasi yang totaliter. Berkomplot untuk menyerang fondasi demokrasi di seluruh dunia. Biasanya, ancaman dari kelompok ini mencakup para penghasut dari pemimpin negara-negara non-demokratis. Sesungguhnya mereka itu bukanlah pemimpin sebuah negara namun pengaruh mereka demikian luas, bahkan melewati batas negara.

b. Penduduk dari kedua negara demokratis dan non-demokratis yang sepak terjangnya mempengaruhi pemimpin non-demokratis dan demokratis untuk mencapai tujuan strategis melalui penggunaan "hard power" yang tentu saja tidak berhasil dalam melindungi demokrasi. Munculnya rantai kelompok seperti "pasukan bunuh diri" dari senjata pemusnah massal. Dalam kaitannya dengan krisis ini demokrasi ini akan menjadi salah satu masalah terbesar untuk membantu para pembuat kebijakan dalam mencari solusi efektif.

c. Warga negara dari negara demokratis seperti gelombang anti-Amerikanisme yang secara tradisional serius dan meluas menjadi ancaman terhadap demokrasi. Abad ke-20 adalah abad Amerika dan mungkin abad yang akan datang sebagai 'abad anti-Amerika'. Survei opini publik menunjukkan bahwa permusuhan terhadap Amerika Serikat berkorelasi positif dengan permusuhan menuju demokrasi dan permusuhan terhadap sekutu Amerika.

Menyadari demikian pentingnya merumuskan kebijakan anti teror maka diperlukan kemampuan untuk menarik kesimpulan yang tepat. Peran para pemimpin bangsa melihat potensi teror yang dapat saja muncul sewaktu-waktu tanpa diduga dan berbagai peristiwa besar maupun kecil yang dialami Amerika dan negara-negara lain memerlukan persiapan yang matang dalam bentuk perumusan kebijakan yang tepat.

Sisi lain inti dari persepsi ancaman antara pemimpin demokrasi, pembuat kebijakan, dan perencana tingkat tinggi menyangkut konteks tim didistribusikan di mana penilaian mereka dan keputusan tentang ancaman dibuat. Banyak informasi dari individu itu sendiri yang layak diterima oleh tim sebagai hasil penilaian. Pengambil keputusan tidak hanya harus mempertimbangkan kepercayaan pada kesimpulan yang ditarik dari informasi yang diterima, juga harus mempertimbangkan kepercayaan pada sumber informasi dan nasihat atau penilaian yang diterima dari orang lain. Meskipun ini mungkin, pada prinsipnya, bagi penyedia informasi untuk berkomunikasi tingkat kepercayaan dalam informasi atau dalam penilaian mereka kepada orang-orang yang lebih tinggi menaiki tangga pengambilan keputusan, perkiraan keyakinan jarang dikomunikasikan secara sistematis dan mungkin hilang atau diabaikan oleh mereka membuat keputusan penting.

Menilai ancaman terhadap demokrasi juga akan tergantung pada bagaimana penilaian objek-demokrasi-yang ditafsirkan. Perselisihan dalam evaluasi tidak selalu berasal dari penilaian yang berbeda dari suatu obyek yang dirasakan dengan cara yang sama oleh semua pihak. Sebaliknya, perselisihan mungkin timbul dari variasi dalam construal yang membimbing stimulus yang sama dianggap sebagai obyek yang berbeda penilaiannya oleh pihak yang berbeda (atau oleh individu yang sama pada kesempatan yang berbeda).

4. Mengelola Ancaman seperti Pengambilan Keputusan dalam Ketidakpastian

Pemimpin, pembuat kebijakan, dan perencana tidak hanya untuk menilai tipe dan tingkat keparahan ancaman terhadap demokrasi. Mereka juga harus memutuskan bagaimana mengelola ancaman-ancaman. Seperti banyak keputusan penting lainnya, harus juga diputuskan bagaimana menghadapi ancaman sulit karena risikonya tinggi dan perlu untuk memutuskan suatu tindakan. Dalam upaya penarikan keputusan tersebut pastinya akan dihadapkan dengan berbagai alternatif pilihan. Setiap pilihan ada prioritas dan setiap prioritas alternatif mungkin menyarankan tindakan yang berbeda. Selanjutnya, setelah keputusan dibuat, masih perlu diterjemahkan menjadi rencana aksi.

Dalam konteks mengelola ancaman terhadap demokrasi, resikonya sangat tinggi baik bagi para pengambil keputusan dirinya dan bagi para lembaga-lembaga demokratis dan bertanggung jawab untuk melindungi warga negara. Secara luas, ini mengandung konsekuensi. Apakah keputusan yang dibuat secara efektif melindungi masyarakat terhadap serangan teroris lebih lanjut dan mencegah penyebaran fundamentalisme militan? Apakah mereka, pada saat yang sama, dapat dipastikan masih memiliki semangat demokrasi –atau komitmen terhadap supremasi hukum, kebebasan sipil, dan tidak melanggar prinsip kemanusiaan?

Para pembuat keputusan hendaknya peduli terhadap hasil dari pilihan itu karena mengandung konsekuensi. Keputusan tersebut hendaknya memaksimalkan hasil yang akan menuai manfaat dan meminimalkan hasil yang akan membawa kerugian, tapi lebih dari itu, para pembuat keputusan mungkin juga ingin meminimalkan penyesalan di masa depan sebagai konsekuensi dari keputusan yang telah dibuat. Terutama ketika pilihan tunduk pada pengawasan publik. Pengambil keputusan juga harus peduli pada hasil dan dampak karena sudah pasti bahwa orang lain akan mengevaluasinya. Taruhannya mungkin juga tinggi karena pengambil keputusan menyadari bahwa pilihan mereka memiliki konsekuensi moral, adil atau penting. Singkatnya, keputusan dapat berkonsekuensi pada sejumlah alasan yang jatuh dalam kerangka sosial-fungsionalis luas untuk penilaian dan pengambilan keputusan.

Sama seperti persepsi ancaman adalah contoh penilaian di bawah ketidakpastian, mengelola ancaman terhadap demokrasi adalah contoh dari pilihan di bawah ketidakpastian. Hasil dari keputusan berbagai kemungkinan tidak diketahui, karena kejadiannya bersifat probabilitas. Mendel mengutip dari Ignatieff[7] bahwa tugas kebijakan sebagai latihan mengambil risiko moral karena masing-masing tujuan utama meminimalisasi ancaman yang memiliki dimensi moral yang kuat.

5. Meminimalkan Ancaman dalam Membuat Keputusan untuk Penetapan Kebijakan

Keputusan untuk membatasi hak-hak individu yang dianggap mengancam kemungkinan besar akan merusak kualitas demokrasi dalam kasus-kasus di mana mereka bertemu satu atau lebih kondisi berikut.

Pertama, ancaman terhadap demokrasi akan terjadi sebagai akibat pembatasan hak-hak yang tidak disertai dengan prosedur kontrol yang jelas untuk keperluan reenfranchising hak-hak tersebut. Kedua, kualitas demokrasi akan berkurang jika tujuan hak suspensi tidak jelas kepada masyarakat, atau dalam kasus di mana pembatalan hak dimotivasi oleh emosi atau keinginan untuk membalas dendam. Manfaat yang diharapkan untuk mengurangi ancaman harus jelas jika pembatasan hak untuk memiliki pembenaran moral. Ketiga, nilai-nilai demokrasi akan dikompromikan jika pembatasan hak tidak dilakukan dengan sadar dan tidak menjaga demokrasi dari konsekuensi negatif dari keputusan kebijakan. Keempat, kualitas demokrasi akan berkurang dalam kasus di mana kebijakan tersebut diadopsi yang melanggar prinsip-prinsip moral, masyarakat internasional yang telah disepakati harus ditaati bahkan dalam masa perang (misalnya, pelanggaran hukum kemanusiaan internasional yang melarang penggunaan penyiksaan).

Menghindari perangkap ini sungguh tidak mudah bagi pengambilan keputusan, terutama ketika para pemimpin menghadapi ancaman yang tidak pasti dari aktor yang pada masa lalu telah pernah bermusuhan. Dalam beberapa kasus, kebutuhan untuk melindungi sebagian besar mungkin memerlukan pembatasan hak sementara. Namun, karena pembatasan hak biasanya hanya menawarkan kemungkinan manfaat dengan imbalan beberapa kelemahan segera tertentu dan beberapa kelemahan kemungkinan jangka panjang, kebijakan para pembuat keputusan dapat melakukannya dengan baik dalam kasus-kasus tersebut untuk bertanya pada diri sendiri apakah pilihan mereka merupakan reaksi spontan yang mungkin terlalu dipengaruhi terkejut, takut, atau marah.

Seperti peristiwa 9/11, jelas bahwa demokrasi dapat rentan terhadap dari jenis ancaman tertentu bahkan jika resiko yang berhubungan relatif rendah. Realisasi itu telah memicu proses di banyak negara dirancang untuk melihat dengan jelas kerentanan yang ada. Melakukan hal tersebut merupakan sebuah langkah penting dalam melindungi demokrasi, namun pembuat keputusan juga perlu menyadari kecenderungan adanya kerentanan yang mungkin saja dieksploitasi di masa lalu. Ancaman dari Al Qaeda jelas-jelas menunjukkan bahwa pengambil kebijakan tidak membayangkan kemungkinan ini, tetapi, setelah melakukannya, mereka menemukan itu tidak sesuai dengan pengalaman masa lalu dan harapan mereka.

C. ANALISIS KRITIS

Membaca dan menganalisis jurnal ini memberikan fantasi yang cukup luas dan panjang. Dapat dibayangkan demikian peliknya pengambilan keputusan ketika keputusan yang diambil menyangkut keselamatan banyak jiwa, keutuhan sebuah negara atau lebih dalam lagi mengancam kedamaian sebuah demokrasi. Boleh jadi keputusan yang diambil selanjutnya diimplementasikan sebagai sebuah kebijakan. Untuk itu, diperlukan kehati-hatian, pengamatan yang akurat dan pertimbangan-pertimbangan yang matang. Kondisi ril yang terjadi saat ini dan kemarin, maupun kemampuan meramal kemungkinan-kemungkinan perubahan di masa depan sangatlah dibutuhkan.

Mencermati perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini sudah sepantasnya ada kekhawatiran dengan kemungkinan terancamnya demokrasi sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari siasat totaliterisme. Betapa sistem sosial yang telah terbina untuk mencapai sebuah welfare state dan peaceful state dapat saja seketika terkoyak akibat dari praktik terorisme ataupun ancaman lainnya yang berbahaya.

1. Tingkat Keputusan yang Diambil

Sepakat dengan pendapat Mendel bahwa guna menyelamatkan negara dari berbagai ancaman tersebut memerlukan pemikiran yang stabil, pengambilan keputusan yang tepat dan implementasi kebijakan yang mampu memberikan jaminan kehidupan sosial yang bebas dan berkeadilan. Namun demikian, bila mendasarkan pemikiran pada pendapat Brinckloe[8] bahwa terdapat setidaknya empat tingkat keputusan, yaitu: (1) automatic decisions, (2) expected information decisions, (3) factor weighting decisions, dan (4) dual uncertainty decisions. Maka keputusan yang harus diambil dari konteks jurnal yang ditulis David R. Mendel ini mengacu pada keputusan berdasarkan ketidakpastian ganda (dual uncertainty decisions).

Alasannya bahwa keputusan berdasarkan ketidakpastian ganda merupakan jenis keputusan yang paling rumit karena selain jumlah informasi yang diperlukan bertambah banyak, juga karena informasi yang sudah ada maupun informasi yang masih diharapkan mengandung ketidakpastian. Itulah makanya dikatakan dual-uncertainty. Oleh karena itu, keputusan yang diambil pada tingkat ini mengandung risiko yang jauh lebih besar. Sebagai contoh misalnya, untuk membuat keputusan tentang bagaimana mengantisipasi munculnya ancaman terhadap terorisme agar tidak terjadi kembali, mutlak membutuhkan berbagai sumber informasi dari berbagai sudut pandang. Selain itu, informasi yang diperoleh pun mengandung ketidakpastian yang memungkinkan keputusan yang diambil dapat saja dianulir karena ternyata tidak cocok dengan alternatif kemungkinan lainnya.

2. Model Pengambilan Keputusan

Melihat demikian kompleksnya ancaman terhadap demokrasi sebagai akibat dari berlangsungnya siasat terorisme yang dikategorikan dalam kelompok totalitarianisme maka dibutuhkan model pengambilan keputusan yang tepat. Setelah mengkaji beberapa model pengambilan keputusan, baik model problem solving (Bridges, et al., 1971),[9] Model Brinckloe (1977),[10] Model McGrew (1985)[11] dan Model Penyelesaian Masalah Kreatif dari Osborn-Parnes (1987)[12], maka model Osborn-Parnes lebih tepat digunakan untuk dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan ini.

Model ini dipilih mengingat baik konteks masalah (terorisme yang terbungkus dalam totalitarianisme) maupun dilihat dari sudut urgensi pengambil keputusan mempertimbangkan konsekuensi moral, keadilan dan bersifat mendesak. Sebab peristiwa seperti yang terjadi pada Menara Kembar WTC tanggal 9 September tersebut tidak dapat menunggu.

Model Penyelesaian Masalah Kreatif dari Osborn-Parnes yang juga dikenal dengan Model CPS ini menggabungkan pemikirn analitik dan intuitif dalam usaha menyelesaikan suatu masalah. Model ini memang sangat tepat digunakan untuk menyelesaikan masalah yang rumit, ill-structured problems. Model ini menerapkan enam langkah kreatif dalam pengambilan keputusan yaitu: objective-finding, fact-finding, problem-finding, idea-finding, solution-finding, dan acceptance-finding.[13]

3. Mengelola dan Meminimalkan Ancaman dalam Pengambilan Keputusan di Indonesia

Pada prinsipnya, pengambilan keputusan di negara-negara non-demokratis dilakukan secara sepihak oleh penguasa tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Demikian pula wewenang pengerahan dan penggunaan instrumen-instrumen tidak dibedakan secara tegas. Sebaliknya, di negara-negara demokratis yang menjunjung tinggi prinsip kedaulatan rakyat dan supremasi sipil, keamanan nasional ditafsirkan secara lebih komprehensif dengan memperhatikan wilayah, sistem politik, dan masyarakat baik sebagai kelompok maupun perorangan.

Keputusan yang menyangkut masalah keamanan nasional baik sebagai akibat dari siasat licik terorisme yang menurut Mendel terbungkus dalam model Totalitarianisme maupun bentuk-bentuk ancaman lain yang meronggrong kehidupan demokrasi senantiasa didahului oleh proses konsultasi yang melibatkan para pemimpin dan wakil-wakil yang dipilih oleh rakyat. Dalam konteks ini, publik berhak untuk mendapat gambaran yang jelas tentang dasar pemikiran kebijakan keamanan nasional dan sejauh mana pihak-pihak yang bertanggungjawab di bidang tersebut telah atau belum melaksanakan tugas-tugasnya.

Menyadari kondisi tersebut, diperlukan komponen pengambilan keputusan kebijakan yang komprehensif yang benar-benar memahami konteks ancaman baik terhadap keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara maupun terhadap kehidupan demokratis yang lebih baik. Menurut Indonesian Working Group on Security Sector Reform[14] bahwa strategi untuk menghadapi hakekat ancaman yang kompleks harus disusun dengan mempertimbangkan (a) konteks dan eskalasi ancaman; (b) efisiensi dan efektivitas penggunaan sumberdaya keamanan nasional; dan (c) penghormatan atas nilai-nilai kemanusiaan, demokrasi, dan hak-hak asasi manusia. Proses penyusunan kebijakan dan strategi keamanan nasional dirumuskan melalui mekanisme inklusif partisipatoris, yang dilaksanakan secara konsisten serta dapat dipertanggungjawabkan.

Kebijakan Keamanan Nasional yang harus memperhatikan tiga macam konteks yaitu budaya strategis (strategic culture), geopolitik dan geostrategis, serta politik yang berlangsung di Indonesia.

Konteks budaya strategis meliputi nilai, norma, tradisi, dan perilaku yang mempengaruhi cara pandang masyarakat Indonesia tentang ancaman dan keamanan serta bagaimana mengatasinya. Hal ini lahir dari kombinasi berbagai faktor: agama, etnisitas, bahasa, tradisi yang membentuk cara pandang suatu bangsa tentang keamanan, perang dan perdamaian. Kebijakan dan strategi keamanan nasional menimbulkan dampak terhadap rakyat dan bahkan dapat mengundang reaksi keras dari masyarakat. Karena itu, sebuah Undang Undang Keamanan Nasional harus secara kuat memuat visi strategis ke depan.

Konteks geopolitik dan geostrategis sangat mempengaruhi kebijakan keamanan nasional suatu negara. Konteks geostrategis setidaknya mempengaruhi: (a) persepsi ancaman; (b) penyebaran ancaman; dan (c) pilihan-pilihan untuk menghadapi ancaman. Persepsi ancaman eksternal suatu negara selalu dibentuk oleh kondisi geostrategis di mana negara itu berada. Konteks geopolitik menentukan dinamika interaksi antar negara di kawasan tertentu.

Konteks politik memberikan kerangka sistem pengambilan keputusan tentang bagaimana pengerahan dan penggunaan instrumen-instrumen keamanan nasional, baik militer maupun non militer seharusnya dilaksanakan. Sebab, bilamana ancaman-ancaman terhadap negara dan bangsa terus terjadi, maka berarti juga terjadai ancaman terhadap kehidupan berdemokrasi.

D. PENUTUP

Mengkaji potensi ancaman terhadap demokrasi dilihat dari aspek keadilan dan pengambilan keputusan sebagaimana yang tertuang dalam artikel yang ditulis David R. Mendel ini maka dapat ditarik beberapa poin penting.

Pertama, taktik terorisme merupakan musuh utama demokrasi dan berpeluang meruntuhkan tatanan sosial yang selaras, seimbang dan damai dalam kehidupan umat manusia.

Kedua, taktik terorisme adalah merupakan salah satu bentuk totalitarianisme baru yang bentuknya mirip dengan gerakan Nazi Fasisme, Komunisme dan Gerakan-grakan pembangkangan yang menyebabkan megamurdering dan mengorbankan jiwa manusia dan kerugian-kerugian lainnya.

Ketiga, dari perspektif keadilan dan pengambilan keputusan, ancaman terhadap demokrasi memerlukan kehati-hatian dan ketelitian dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang turut mempengaruhinya. Mengingat fenomena ancaman ini demikian rumitnya (dual uncertainty decisions) maka diperlukan model pengambilan keputusan yang tepat.

Keempat, Model Pengambilan Keputusan yang tepat untuk menylesaikan masalah ini adalah Model Penyelesaian Masalah Kreatif dari Osborne-Parnes yang menerapkan enam langkah kreatif dalam pengambilan keputusan yaitu: objective-finding, fact-finding, problem-finding, idea-finding, solution-finding, dan acceptance-finding.

Kelima, bila merujuk ke dalam negeri, Indonesia pun perlu mempertimbangkan pengambilan keputusan yang tepat. Yaitu pengambilan keputusan yang menjamin keadilan, kesejahteraan dan rasa aman bagi warga negara sehingga dapat menjalankan rutinitas kehidupannya tanpa merasa khawatir terhadap ancaman-ancaman terorisme dan ancaman lainnya. Dalam konteks ancaman terhadap demokrasi, Indonesia yang saat ini masih meraba-raba bentuk kehidupan demokratis perlu lebih berhati-hati, sebab tanpa mempertimbangkan benar-benar aspek geografis, geopolitis dan aspek politik yang saat ini berkembang, bukan tidak mungkin ancaman-ancaman yang lebih besar akan semakin meresahkan kehidupan berbangsa dan bernegara.

DAFTAR PUSTAKA:

Bandura, A. (1999). Moral disengagement in the perpetration of inhumanities. Personality and Social Psychology Review, 3, 193–209.

Bridges, Francis J, Olm, Kenneth W., dan Barnhill, J. Allison, (1971). Management Decisions and Organizations and Organizational Policy, Boston : Allyn and Bacon, Inc.

Brinckloe, William D dan Coughlin, Marry T., (1977) Managing Organizations, Encino, California: Glencoe Press.

Diamond, L., & Morlino, L. (2004). The quality of democracy: An overview. Journal of Democracy, 15, 20–31.

Harris, L. (2002). Al Qaeda’s fantasy ideology. Policy Review, 114. Retrieved January 30, 2005, from http://www.policyreview.org/aug02/harris print.html

Ignatieff, M. (2004). The lesser evil: Political ethics in an age of terror. Toronto, Canada: Penguin.

Indonesian Working Group on Security Sector Reform, Naskah Akademik RUU Keamanan Nasional, http://www.propatria.or.id/ Naskah_Akademik_RUU_tentang_Keamanan_Nasional_Working_Group_ProPatria

Mandel, D. R. (2002a). Evil and the instigation of collective violence. Analyses of Social Issues and Public Policy, 2, 101–108.

McGrew, Anthony G., dan Wilson, M.J., (1985). Decision Making: Approaches and Analysis, Manchester: Manchester University Press.

Osborn, Alex F., (1957) Applied Immagination: Principles and Procedures of Creative Thinkng. New York: McGraw-Hill Book Company.

Rummel, R. J. (1994). Democide in totalitarian states: Mortacracies and megamurderers. In I. W. Charney (Ed.), Widening circle of genocide (pp. 3–39). New Brunswick, NJ: Translation.

Salusu, (1996). Pengambilan Keputusan Stratejik, untuk Organisasi Publik dan Organisasi Non-Profit, Jakarta : Grasindo.

Sharansky, N. (2004). The case for democracy: The power of freedom to overcome tyranny and terror. New York: PublicAffairs.


Footnotes:

[1] Diamond, L., & Morlino, L. (2004). The quality of democracy: An overview. Journal of Democracy, 15, 20–31.


[2] Sharansky, N. (2004). The case for democracy: The power of freedom to overcome tyranny and terror. New York: PublicAffairs.


[3] Rummel, R. J. (1994). Democide in totalitarian states: Mortacracies and megamurderers. In I. W. Charney (Ed.), Widening circle of genocide (pp. 3–39). New Brunswick, NJ: Translation.


[4] [Nemesis] (Greek mythology) The goddess of divine retribution and vengeance.


[5] Harris, L. (2002). Al Qaeda’s fantasy ideology. Policy Review, 114. Retrieved January 30, 2005, from http://www.policyreview.org/aug02/harris print.html


[6] Bandura, A. (1999). Moral disengagement in the perpetration of inhumanities. Personality and Social Psychology Review, 3, 193–209.


[7] Ignatieff, M. (2004). The lesser evil: Political ethics in an age of terror. Toronto, Canada: Penguin.


[8] Brinckloe, William D dan Coughlin, Marry T., (1977) Managing Organizations, Encino, California: Glencoe Press.


[9] Bridges, Francis J, Olm, Kenneth W., dan Barnhill, J. Allison, (1971). Management Decisions and Organizations and Organizational Policy, Boston : Allyn and Bacon, Inc.


[10] Opcit., Brinckloe, (1977) page 66.


[11] McGrew, Anthony G., dan Wilson, M.J., (1985). Decision Making: Approaches and Analysis, Manchester: Manchester University Press.


[12] Osborn, Alex F., (1957) Applied Immagination: Principles and Procedures of Creative Thinkng. New York: McGraw-Hill Book Company.


[13] Salusu, (1996). Pengambilan Keputusan Stratejik, untuk Organisasi Publik dan Organisasi Non-Profit, Jakarta : Grasindo.


[14] Indonesian Working Group on Security Sector Reform, Naskah Akademik RUU Keamanan Nasional, http://www.propatria.or.id/ Naskah_Akademik_RUU_tentang_Keamanan_Nasional_Working_Group_ProPatria


MECHYKOE:
Maafkan Papa yang telah lalai menyita waktu bermain bersama kalian
Setelah kalian besar maka kalian akan tahu alasan Papa melakukannya.


MUHAMMAD ZUL'AMRI IZZUDIN











  ZUHRATUL ISTIQOMAH PUTRI
FATHIA AULIA MUTMAINNAH







Tidak ada komentar:

PENELITIAN KUALITATIF DALAM ILMU-ILMU SOSIAL

A. Pendahuluan   Ketika kita bergaul sehari-hari seringkali kita berargumen satu sama lain. Kita bercakap-cakap untuk mempe...