Kamis, 17 Juni 2010

PARADIGMA PENDIDIKAN YANG HUMANIS: SOLUSI BAGI PENGUATAN KARAKTER BANGSA (Berkaca pada Pemikiran Paulo Freire)



I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang


 
Akhir-akhir ini semakin nyaring terdengar “teriakan” masyarakat Indonesia yang mendambakan perubahan yang signifikan. Masyarakat juga sudah mulai menyadari bahwa perubahan-perubahan tersebut hanya dapat dicapai melalui pendidikan yang sejati. Pendidikan yang memiliki dasar pijakan yang kuat dan menghasilkan output yang layak diperhitungkan. Paling tidak ada tiga hal utama yang selalu dijadikan “tema diskusi” mereka yaitu: pendidikan yang berkualitas, pendidikan yang menanamkan karakter bagi peserta didik, dan pendidikan yang humanis.[1]

Salah satu fenomena yang menarik adalah pendidikan yang humanis. Yaitu pendidikan yang memanusiakan manusia dalam arti yang sesungguhnya. Manusia perlu memiliki kesadaran yang cukup untuk memahami bahwa dengan ilmu yang dimilikinya dapat membuatnya sejahtera lahir dan batin. Ilmu yang dapat membantu agar hidup berdampingan secara harmonis dan arif dengan manusia lainnya. Manusia yang memahami bahwa dirinya adalah mahluk beradab dan dalam peradaban itulah tersua kebenaran-bebenaran yang hakiki.

Telah banyak pemikir-pemikir genius yang mendasarkan kajiannya pada pendidikan humanis. Sebut saja di jazirah Arab Nabi Muhammad SAW., dari kalangan gereja seperti Ivan Illich, Carl Rogers dan Harry Broudy, dari politikus Paulo Freire dan Thomas Amstrong. Sedangkan dari tanah air seperti Ki Hajar Dewantara, KH. Ahmad Dahlan, dan RA Kartini.[2]
 
Mereka semua memiliki satu kesamaan pola pikir bahwa pendidikan itu harus bebas nilai (value free). Pendidikan itu harus mampu membebaskan masyarakat dari kungkungan ketidakmampuan dirinya. Pendidikan harus mampu membuka mata manusia bahwa di luar dirinya ada rahasia-rahasia yang perlu dipikirkan, dikaji tindak secara kritis, dan ditemukan maknanya. Pendidikan harus mampu membebaskan manusia dari kungkungan manusia lain, dan bahkan pendidikan itu adalah hak asasi setiap manusia. Siapapun, apapun warna kulit, latar belakang ideologi, sosial, ekonomi, geografis dan politisnya. Budaya apapun yang dianutnya. Apapun kondisi fisik dan mentalnya. Semua berhak mendapatkan pendidikan yang layak.[3]
 
Pendidikan sebenarnya dapat dipahami sebagai rangkaian usaha pembaharuan. Pendidikan pada hakikatnya tidak mengenal akhir karena kualitas kehidupan manusia terus meningkat. Whitehead bahkan menganalogikan bahwa pendidikan setara dengan sebuah pengembaraan. “Education is discipline for the adventure of life; research is intellectual adventure; and the universities should be homes of adventure shared in common by young and old.”[4] Pada bagian lain tulisannya Whitehead menyatakan bahwa pendidikan itu hendaklah diselenggarakan secara murni dan sederhana, dengan istilah lain bukannya justru bersuka-suka, tidak melempar tanggung jawab, dan tidak meninggalkan bekas hitam yang harus menjadi tanggung jawab generasi berikutnya untuk membersihkannya kembali.[5]
 
Lalu bagaimana dengan pendidikan kita? Pendidikan di Indonesia mengalami proses “dehumanisasi”.[6] Dikatakan demikian karena pendidikan mengalami proses kemunduran dengan terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya. Nilai-nilai sejati yang telah ditanamkan oleh para founding fathers seperti “Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, Ketuhanan yang menghormati satu sama lain”[7] semakin meredup dari penyelenggaraan kelas-kelas di Indonesia. Kenyataan ini telah menjadi keprihatinan bersama masyarakat kita. Jangan sampai kondisi demikian akan selalu menggelapkan raut muka dan wajah buruk pendidikan kita. Sudah saatnya, reformasi pendidikan perlu untuk segera dan secara massif diupayakan, yaitu gagasan dan langkah untuk menuju pendidikan yang berorientasi kemanusiaan. Pendidikan perlu segera ditangani serius sebab pemimpin masa depan tergantung pada hasil pendidikan hari ini.
 
Mencetak calon pemimpin bangsa tidak bisa lepas dari peran dan fungsi pendidikan. Siapa saja yang kini telah menjadi orang-orang sukses adalah berkat hasil dari produk pendidikan yang bisa diandalkan. Praktik korupsi yang dilakukan oleh beberapa oknum penguasa adalah cermin dari buram dan minimnya produk pendidikan kita. Pendidikan bukan hanya berupa transfer ilmu (pengetahuan) dari satu orang ke satu (beberapa) orang lain, tapi juga mentransformasikan nilai-nilai (bukan nilai hitam di atas kertas putih) ke dalam jiwa, kepribadian, dan struktur kesadaran manusia itu. Hasil cetak kepribadian manusia adalah hasil dari proses transformasi pengetahuan dan pendidikan yang dilakukan secara humanis.[8]
 
Tapi, selama ini kita hanya melihat pendidikan hanya sebagai momen “ritualisasi” makna baru yang dirasakan cenderung tidak begitu signifikan. Apalagi, menghasilkan insan-insan pendidikan yang memiliki karakter manusiawi. Pendidikan kita sangat miskin dari sarat keilmuan yang meniscayakan jaminan atas perbaikan kondisi sosial yang ada. Pendidikan hanya menjadi “barang dagangan” yang dibeli oleh siapa saja yang sanggup memperolehnya. Akhirnya, pendidikan belum menjadi bagian utuh dan integral yang menyatu dalam pikiran masyarakat keseluruhan.[9]
 
Paulo Freire, kritikus pendidikan yang banyak melakukan gugatan atas konsep sekolah dan kapitalisasi pendidikan, mengatakan bahwa kita harus mengenali keterasingan manusia dari belajarnya sendiri ketika pengetahuan menjadi produk sebuah profesi jasa (guru) dan murid menjadi konsumennya. Kapitalisme pengetahuan pada sejumlah besar konsumen pengetahuan, yakni orang-orang yang membeli banyak persediaan pengetahuan dari sekolah akan mampu menikmati keistimewaan hidup, punya penghasilan tinggi, dan punya akses ke alat-alat produksi yang hebat. Pendidikan kemudian dikomersialkan. Sehingga tidak ada kepedulian seluruh elemen pendidikan untuk lebih memperhatikan nasib pendidikan bagi kaum tertindas (The Oppressed).[10]
 
Sistem pendidikan nasional yang ada selama ini mengandung banyak kelemahan terlebih bagi separoh besar masyarakatnya yang tertindas. Dari soal buruknya manajemen pendidikan sampai pada soal mengenai minimnya dana untuk pengembangan pendidikan. Penulis buku-buku pendidikan, Tilaar menyebut ada beberapa kelemahan dalam sistem pendidikan nasional. Pertama, sistem pendidikan itu kaku dan sentralistik. Pola uniformitas dalam tubuh persekolahan, misalnya dalam pembuatan kurikulum yang tidak dipahami menurut kebutuhan masing-masing penyelenggara pendidikan. Kedua, sistem pendidikan nasional tidak pernah mempertimbangkan kenyataan yang ada di masyarakat. Di sini masyarakat hanya dianggap sebagai obyek saja. Masyarakat tidak pernah diperlakukan atau diposisikan sebagai subyek dalam pendidikan. Ketiga, dua problem di atas didukung oleh sistem birokrasi kaku yang dijadikan alat kekuasaan atau alat politik penguasa.[11]
 
Tokoh pendidikan lain dalam tulisannya yang bertajuk Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita demikian gundah dan menulis bahwa pendidikan di negeri ini hanya dilaksanakan sebatas legal formal saja, yaitu pendidikan yang hanya merupakan serangkaian proses pemberian pelajaran untuk dihafal dan dipahami dalam waktu yang sangat terbatas. Akibatnya, pendidikan kita belum dapat berfungsi sebagai wahana transformasi budaya di segala jenjangnya. Jadi, sangatlah sulit bagi bangsa ini untuk menuntut peran sentral pendidikan sebagai bagian dari pembangunan karakter bangsa.[12]
 
Di saat bangsa kita sedang mengalami devaluasi nilai dan moralitas maka sangat diperlukan wacana mengenai pendidikan yang memberdayakan. Nilai-nilai kemanusiaan perlu dimasukkan ke dalam karakter pendidikan sehingga akan menghasilkan kualitas manusia yang berwawasan dan berorientasi kemanusiaan. Pendidikan yang humanis adalah harapan besar kita.

B. Permasalahan

1. Mengapa pendidikan yang humanis itu perlu?
2. Bagaimana sesungguhnya konteks pendidikan yang humanis?
3. Bagaimana langkah-langkah operasional pendidikan yang humanis di dalam maupun di luar kelas sehingga mampu memperkuat karakter bangsa?
4. Bagimana solusi untuk mengatasi dehumanisasi pendidikan kita?

II. PEMBAHASAN

 

A. Pentingnya Pendidikan yang Humanis Dilihat dari Pandangan Paulo Freire
 

Untuk menggambarkan betapa pentingnya Freire dan pendapatnya dalam dunia pendidikan bisa disimak dari statemen Moacir Gadotti dan Carlos Alberto Torres "Educators can be with Freire or against Freire, but not without Freire."[13]
Mengapa Freire punya banyak pengikut? Menurut kesaksian Martin Carnoy, dikarenakan dia mempunyai arah politik pendidikan yang jelas. Inilah yang membedakannya dengan Ivan Illich.[14]
 
Paling tidak ada dua ciri orang tertindas. Pertama, mereka mengalami alienasi dari diri dan lingkungannya. Mereka tidak bisa menjadi subyek otonom, tetapi hanya mampu mengimitasi orang lain. Kedua, mereka mengalami self-depreciation, merasa bodoh, tidak mengetahui apa-apa. Padahal, saat mereka telah berinteraksi dengan dunia dan manusia lain, sebenarnya mereka tidak lagi menjadi bejana kosong atau empty vessel, tetapi telah menjadi makhluk yang mengetahui.
 
Pertanyaannya, bagaimana mengemansipasi mereka yang tertindas? Untuk menjawab pertanyaan itu, Freire berangkat dari konsep tentang manusia. Baginya, manusia adalah incomplete and unfinished beings. Untuk itulah manusia dituntut untuk selalu berusaha menjadi subyek yang mampu mengubah realitas eksistensialnya. Menjadi subyek atau makhluk yang lebih manusiawi, dalam pandangan Freire, adalah panggilan ontologis (ontological vocation) manusia.[15] Pernyataan ini menunjukkan signifikansi Freire dalam diskursus pendidikan di dunia, termasuk di Indonesia (ada sembilan buku yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia). Sebagai seorang humanis-revolusioner, Freire menunjukkan kecintaannya yang tinggi kepada manusia. Dengan kepercayaan ini ia berjuang untuk menegakkan sebuah dunia yang "menos feio, menos malvado, menos desumano" (less ugly, less cruel, less inhumane). Arah politik pendidikan Freire berporos pada keberpihakan kepada kaum tertindas (the oppressed). Kaum tertindas ini bisa bermacam-macam, tertindas rezim otoriter, tertindas oleh struktur sosial yang tak adil dan diskriminatif, tertindas karena warna kulit, jender, ras, dan sebagainya.
 
Sebaliknya, dehumanisasi adalah distorsi atas panggilan ontologis manusia. Filsafat pendidikan Freire bertumpu pada keyakinan, manusia secara fitrah mempunyai kapasitas untuk mengubah nasibnya. Dengan demikian, tugas utama pendidikan sebenarnya mengantar peserta didik menjadi subyek. Untuk mencapai tujuan ini, proses yang ditempuh harus mengandaikan dua gerakan ganda: meningkatkan kesadaran kritis peserta didik sekaligus berupaya mentransformasikan struktur sosial yang menjadikan penindasan itu berlangsung. Sebab, kesadaran manusia itu berproses secara dialektis antara diri dan lingkungan. Ia punya potensi untuk berkembang dan mempengaruhi lingkungan, tetapi ia juga bisa dipengaruhi dan dibentuk oleh struktur sosial atau miliu tempat ia berkembang. Untuk itulah emansipasi dan transendensi tingkat kesadaran itu harus melibatkan dua gerakan ganda ini sekaligus.[16]
 
Idealitas itu bisa dicapai jika proses pembelajaran mengandaikan relasi antara guru/dosen dan peserta didik yang bersifat subyek-subyek, bukan subyek-obyek. Tetapi, konsep ini tidak berarti hanya menjadikan guru sebagai fasilitator an sich, karena ia harus terlibat (bersama- sama peserta didik) dalam mengkritisi dan memproduksi ilmu pengetahuan.
Guru, dalam pandangan Freire, tidak hanya menjadi tenaga pengajar yang memberi instruksi kepada anak didik, tetapi mereka harus memerankan dirinya sebagai pekerja kultural (cultural workers). Mereka harus sadar, pendidikan itu mempunyai dua kekuatan sekaligus: sebagai aksi kultural untuk pembebasan atau sebagai aksi kultural untuk dominasi dan hegemoni; sebagai medium untuk memproduksi sistem sosial yang baru atau sebagai medium untuk mereproduksi status quo.[17]
 
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan yang humanis itu sangat penting. Alasannya, melalui pendidikan yang humanis maka pendidikan itu sendiri telah menempatkan dirinya sebagai wadah untuk membangun karakter manusia agar mampu mengembangkan eksistensi dirinya sehingga mampu menjadi subyek dan mengenal serta membangun kapasitas dirinya.

B. Hakekat Pendidikan yang Humanis


Jika pendidikan dipahami sebagai aksi kultural untuk pembebasan, maka pendidikan tidak bisa dibatasi fungsinya hanya sebatas area pembelajaran di sekolah. Ia harus diperluas perannya dalam menciptakan kehidupan publik yang lebih demokratis. Untuk itu, dalam pandangan Freire, "reading a word cannot be separated from reading the world and speaking a word must be related to transforming reality."[18] Dengan demikian, harus ada semacam kontekstualisasi pembelajaran di kelas. Teks yang diajarkan di kelas harus dikaitkan kehidupan nyata. Dengan kata lain, harus ada dialektika antara teks dan konteks, teks dan realitas.
 
Paulo Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi empat golongan, yakni: Kesadaran Magis (magical consciousness), Kesadaran Naif (naival consciousness), Kesadaran Kritis (critical consciousness) dan kesadaran transformasi (transformation consciousness).[19]
1. Kesadaran Magis yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lain. Misalnya, masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan kemiskinan mereka dengan system politik dan kebudayaan. Kesadaran Magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supra-natural) sebagai penyebab ketidakberdayaan.
2. Kesadaran Naif: keadaan yang dikatergorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat “aspek manusia” sebagai akar penyebab masalah masyarakat. Masalah etika, kreativitas dan need for achievement dalam kesadaran ini di anggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis penyebab kemiskinan masyarakat, kesalahannya terletak di masyarakat sendiri. Masyarakat dianggap malas, tidak memiliki kewiraswastaan atau tidak memiliki budaya membangun dan seterusnya.
3. Kesadaran Kritis, kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari “blaming the victims” (menyalahkan korban) dan melakukan analisis kritis untuk menyadari struktur dan system sosial, politik, ekonomi dan budaya serta akibatnya terhadap keadaan masyarakat.
4. Kesadaran transformasi adalah puncak dari kesadaran kritis. Dalam istilah lain kesadaran ini adalah "kesadarannya kesadaran" (the consice of the consciousness). Orang makin praksis dalam merumuskan suatu persoalan. Antara ide, perkataan dan tindakan serta progresifitas dalam posisi seimbang. Kesadaran transformative akan menjadikan manusia itu betul-betul dalam derajat sebagai manusia yang sempurna.

Untuk bisa mencapai kesadaran kritis dibutuhkan pendidikan kritis yang berbasis pada realitas sosial. Paulo Freire menilai bahwa konsep pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah adalah pendidikan “gaya bank”, menganggap murid sebagai obyek, tidak memiliki potensi dan murid tersebut harus diberikan (ditransfer) dengan ilmu/teori-teori. Pendidikan seperti ini tidak dapat menimbulkan atau menumbuhkan kesadaran kritis bagi murid-muridnya dan hanya menjadikan murid sebagai robot-robot yang tidak mengerti akan realitas sosial yang dihadapinya. Dalam pandangan kritis, tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap sistem dan “ideologi dominan” yang tengah berlaku di masyarakat, menantang sistem yang tidak adil serta memikirkan sistem alternatif ke arah transformasi sosial menuju suatu masyarakat yang adil. Dengan kata lain, tugas utama pendidikan adalah “memanusiakan” kembali manusia yang mengalami “dehumanisasi” karena sistem dan struktur yang tidak adil.[20]
 
Berdasarkan pemaparan di atas maka hakekat pendidikan yang humanis adalah pendidikan yang mampu berperan maksimal dalam upaya “memanusiakan” kembali manusia yang mengalami “dehumanisasi” karena sistem dan struktur yang tidak berpihak pada masyarakat secara komprehensif.

C. Langkah-langkah Operasional Pendidikan yang Humanis sehingga mampu Memperkuat Karakter Bangsa


Pandangan Paulo Freire tentang pendidikan tercermin dalam kritikannya yang tajam terhadap sistem pendidikan dan dalam pendidikan alternatif yang ia tawarkan. Ia menyebutnya dengan kebudayaan “bisu”.[21] Kesadaran refleksi kritis dalam budaya seperti ini tetap tidur dan tidak tergugah. Akibatnya waktu lalu hanya dilihat sebagai sekat hari ini yang menghimpit. Manusia tenggelam dalam “hari ini” yang panjang, monoton dan membosankan. Sedangkan eksistensi masa lalu dan masa akan datang belum disadari. Dalam kebudayaan bisu yang demikian itu kaum tertindas hanya menerima begitu saja segala perlakuan dari kaum penindas. Bahkan, ada ketakutan pada kaum tertindas akan adanya kesadaran tentang ketertindasan mereka. Itulah dehumanisasi karena bahasa sebagai prakondisi untuk menguasai realitas hidup telah menjadi kebisuan. Diam atau bisu dalam konteks yang dimaksud Freire bukan karena protes atas perlakuan yang tidak adil. Itu juga bukan strategi untuk menahan intervensi penguasa dari luar. Tetapi, budaya bisu yang terjadi adalah karena bisu dan bukan membisu.[22]
 
Mereka dalam budaya bisu memang tidak tahu apa-apa. Mereka tidak memiliki kesadaran bahwa mereka bisu dan dibisukan. Karena itu, menurut Freire untuk menguasai realitas hidup ini termasuk menyadari kebisuan itu, maka bahasa harus dikuasai. Menguasai bahasa berarti mempunyai kesadaran kritis dalam mengungkapkan realitas. Untuk itu, pendidikan yang dapat membebaskan dan memberdayakan adalah pendidikan yang melaluinya naradidik dapat mendengar suaranya yang asli. Pendidikan yang relevan dalam masyarakat berbudaya bisu adalah mengajar untuk memampukan mereka mendengarkan suaranya sendiri dan bukan suara dari luar termasuk suara sang pendidik. [23]
 
Pentingnya bahasa (symbolics) sebagaimana dikemukakan Freire tersebut merupakan unsur terpenting dari enam realm of meanings menurut Phenix. Phenix mengemukakan bahwa:[24]

“ ... these meanings are contained in arbitrary symbolic structures, with socially accepted rules of formation and transformation, created as instruments for the expression and communication of any meaning whatsoever. These symbolic system is one respect constitute the most fundamental of all the realms of meaning in that they must be employed to express the meanings in each of the other realms.”

Dalam konteks yang demikian itulah Freire bergumul. Ia terpanggil untuk membebaskan masyarakatnya yang tertindas dan yang telah “dibisukan”. Pendidikan “gaya bank” dilihatnya sebagai salah satu sumber yang mengokohkan penindasan dan kebisuan itu. [25] Karena itulah, ia menawarkan pendidikan “hadapmasalah” sebagai jalan membangkitkan kesadaran masyarakat bisu.
 
Pendidikan “hadap-masalah” sebagai pendidikan alternatif yang ditawarkan oleh Freire lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan hadap-masalah. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada naradidik supaya ada kesadaran akan realitas itu.
 
Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi dan politik.
Kesadaran tumbuh dari pergumulan atas realitas yang dihadapi dan diharapkan akan menghasilkan suatu tingkah laku kritis dalam diri naradidik. Freire membagi empat tingkatan kesadaran manusia, yaitu:[26]

1) Kesadaran intransitif dimana seseorang hanya terikat pada kebutuhan jasmani, tidak sadar akan sejarah dan tenggelam dalam masa kini yang menindas.
2) Kesadaran semi intransitif atau kesadaran magis. Kesadaran ini terjadi dalam masyarakat berbudaya bisu, dimana masyarakatnya tertutup. Ciri kesadaran ini adalah fatalistis. Hidup berarti hidup di bawah kekuasaan orang lain atau hidup dalam ketergantungan.
3) Kesadaran Naif. Pada tingkatan ini sudah ada kemampuan untuk mempertanyakan dan mengenali realitas, tetapi masih ditandai dengan sikap yang primitif dan naif, seperti: mengindentifikasikan diri dengan elite, kembali ke masa lampau, mau menerima penjelasan yang sudah jadi, sikap emosi kuat, banyak berpolemik dan berdebat tetapi bukan dialog.
4) Kesadaran kritis transitif. Kesadaran kritis transitif ditandai dengan kedalaman menafsirkan masalah-masalah, percaya diri dalam berdiskusi, mampu menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog. Pada tingkat ini orang mampu merefleksi dan melihat hubungan sebab akibat. Bagi Freire pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis transitif. Memang ia tidak bermaksud bahwa seseorang langsung mencapai tingkatan kesadaran tertinggi itu, tetapi belajar adalah proses bergerak dari kesadaran naradidik pada masa kini ke tingkatan kesadaran yang di atasnya.

Dalam proses belajar yang demikian kontradiksi guru-murid (perbedaan guru sebagai yang menjadi sumber segala pengetahuan dengan murid yang menjadi orang yang tidak tahu apa-apa) tidak ada. Naradidik tidak dilihat dan ditempatkan sebagai obyek yang harus diajar dan menerima. Demikian pula sebaliknya guru tidak berfungsi sebagai pengajar. Guru dan murid adalah sama-sama belajar dari masalah yang dihadapi. Guru dan naradidik bersama-sama sebagai subyek dalam memecahkan permasalahan. Guru bertindak dan berfungsi sebagai koordinator yang memperlancar percakapan dialogis. Ia adalah teman dalam memecahkan permasalahan. Sementara itu, naradidik adalah partisipan aktif dalam dialog tersebut.
 
Materi dalam proses pendidikan yang demikian tidak diambil dari sejumlah rumusan baku atau dalil dalam buku paket tetapi sejumlah permasalahan. Permasalahan itulah yang menjadi topik dalam diskusi dialogis itu yang diangkat dari kenyataan hidup yang dialami oleh naradidik dalam konteksnya sehari-hari, misalnya dalam pemberantasan buta huruf. Pertama-tama peserta didik dan guru secara bersama-sama menemukan dan menyerap tema-tema kunci yang menjadi situasi batas (permasalahan) naradidik.[27]
 
Sesungguhnya apa yang terkandung dari maksud Freire tersebut diejawantahkan secara operasional dan sistematis dalam empat pilar pendidikan menurut UNESCO.[28] Agar dapat membantu pencapaian pribadi yang adhi luhung/Lelananging Jagad atau manusia yang paripurna maka pendidikan hendaklah menciptakan sebuah atmosfir yang mengarahkan pembelajarnya pada learning how to learn. Pembelajar tidak hanya akan mengejar nilai-nilai akademik semu dalam tataran kognisi akan tetapi lebih pada upaya belajar dari segala sumber termasuk alam sekitarnya. Orang Bima mengatakan “Doro ra wuba ma kantore, langi ma dantau hampa, ro moti ma lembo, ederu sapoda-poda kai na guru.”[29] (Gunung dan hutan yang berbukit-bukit, langit tanpa tepi, laut yang membentang luas, adalah guru yang sejati).
 
Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah operasional dalam kelas maupun di luar kelas dalam upaya untuk memperkuat karakter bangsa dalam filosofi pendidikan humanis adalah dengan menerapkan secara arif dan kompehensif empat pilar Unesco, yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Dengan kata lain, pendidikan tidak hanya bertumpu pada penguasaan kognitif akan tetapi pada tataran penguasaan skill dan kompetensi yang berlandaskan asas-asas demokratis dan humanis.

D. Solusi Dehumanisasi Pendidikan Di Indonesia

Pelajaran yang bisa ditarik Freire untuk konteks pendidikan kita paling tidak adalah komitmennya terhadap kaum marjinal. Lewat perspektif Freirean kita bisa bertanya: kepada siapa sesungguhnya pendidikan kita saat ini berpihak? Apakah negara sudah sungguh-sungguh mengamalkan salah satu pasal UUD 1945 kita yang berbunyi "anak-anak telantar dipelihara oleh negara"? Mengapa ada kesenjangan yang luar biasa tinggi dalam pendidikan kita, di satu sisi ada sekolah yang luar biasa mahal, dengan fasilitas lengkap, dan hanya orang kaya yang mampu menyekolahkan anaknya ke sekolah itu, namun di sisi yang lain ada sekolah dengan fasilitas seadanya yang dihuni kaum marjinal?[30]
 
Bukankah dengan membiarkan kesenjangan itu terus berlangsung sama dengan membenarkan tesisnya Samuel Bowles dan Herbert Gintis dalam Schooling in Capitalist America (1976), bahwa sekolah hanya berfungsi sebagai alat untuk melayani kepentingan masyarakat dominan dalam rangka mempertahankan dan mereproduksi status quo?[31]
Ada dua kelompok kaum marjinal yang tereksklusi dan jarang mendapatkan perhatian serius oleh publik dalam hal pendidikan:
 
Pertama, penyandang cacat. Kelompok ini termasuk mereka yang kurang beruntung mendapatkan pendidikan yang memadai. Mereka mengalami apa yang disebut segregasi pendidikan. Pendidikan mereka dibedakan dengan kaum "normal." Segregasi pendidikan ini telah berlangsung sekian lama dengan asumsi, mereka yang cacat tidak mampu bersaing dengan yang normal karena ada bagian syaraf tertentu yang tidak bisa bekerja maksimal.
 
Jika asumsi ini benar, bukankah tugas sekolah untuk memaksimalkan mereka yang tidak mampu? Jika ada yang tidak mampu, mengapa solusinya dengan cara pengeksklusian, bukan dengan pemberdayaan? Jika asumsi itu salah, bukankah itu sama saja menutup peluang mereka untuk mendapat pendidikan yang sama seperti yang diperoleh orang normal? Tidakkah ini berarti diskriminasi?
 
Dampak lain dari segregasi pendidikan adalah para penyandang cacat menjadi terasing dari lingkungan sosial, mereka tereksklusi dari sistem sosial orang-orang normal. Jadilah mereka sebagai warga kelas dua. Anak-anak normal juga tidak mendapat pendidikan pluralitas yang memadai. Bagaimana mereka bisa berempati dan bersimpati kepada penyandang cacat, jika mereka tidak pernah bergaul dengan kelompok ini karena hanya bergaul dengan sejenisnya di sekolah.
 
Kedua, anak-anak jalanan. Secara kuantitas kelompok ini kian banyak, terutama di kota-kota besar. Mereka adalah kaum miskin kota dan sudah terbiasa dengan kekerasan, seks dan mabuk-mabukan. Di mana peran negara dalam memberi pendidikan yang layak buat mereka? Meski negara bukan satu-satunya aktor yang bertanggung jawab, tetapi bukankah negara telah diamanati UUD?

Jika kita memakai perspektif Paulo Freire, maka dapat disimpulkan bahwa solusi yang dapat diambil terhadap praktik dehumanisasi pendidikan di Indonesia adalah menciptakan pendidikan yang mampu membantu the learners menjadi subyek yang otonom dan bisa mengkritisi realitas eksistensialnya adalah dengan cara mengembangkan kesadaran kritisnya dan mentransformasi struktur sosial yang tidak adil. Kaum marjinal harus diyakinkan bahwa mereka berhak dan mampu menentukan nasib sendiri, berhak mendapatkan keadilan, berhak melawan segala bentuk diskriminasi.

III. PENUTUP

A. Simpulan


Berdasarkan latar belakang dan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan empat poin berikut:
1. Pendidikan yang humanis itu sangat penting. Alasannya, melalui pendidikan yang humanis maka pendidikan itu sendiri telah menempatkan dirinya sebagai wadah untuk membangun karakter manusia agar mampu mengembangkan eksistensi dirinya sehingga mampu menjadi subyek dan mengenal serta membangun kapasitas dirinya.
2. Hakekat pendidikan yang humanis adalah pendidikan yang mampu berperan maksimal dalam upaya “memanusiakan” kembali manusia yang mengalami “dehumanisasi” karena sistem dan struktur yang tidak berpihak pada masyarakat secara komprehensif.
3. Langkah-langkah operasional dalam kelas maupun di luar kelas dalam upaya untuk memperkuat karakter bangsa dalam filosofi pendidikan humanis adalah dengan menerapkan secara arif dan kompehensif empat pilar Unesco, yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Dengan kata lain, pendidikan tidak hanya bertumpu pada penguasaan kognitif akan tetapi pada tataran penguasaan skill dan kompetensi yang berlandaskan asas-asas demokratis dan humanis.
4. Solusi dehumanisasi pendidikan di Indonesia adalah menciptakan pendidikan yang mampu membantu the learners menjadi subyek yang otonom dan bisa mengkritisi realitas eksistensialnya adalah dengan cara mengembangkan kesadaran kritisnya dan mentransformasi struktur sosial yang tidak adil. Kaum marjinal harus diyakinkan bahwa mereka berhak dan mampu menentukan nasib sendiri, berhak mendapatkan keadilan, berhak melawan segala bentuk diskriminasi.

B. Rekomendasi


Pembaharuan pendidikan nasional persekolahan harus didasarkan pada paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan nasional yang tepat, sesuai dengan realitas masyarakat dan kultur bangsa sendiri. Berikut rekomendasi yang penulis tawarkan bila dilihat dari beberapa paradigma utama yang sangat erat kaitannya dengan akselerasi kualitas pendidikan di Indonesia yang tentu saja humanis dan memberdayakan semua pihak.
1. Paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan tidak bersifat linier dan unidimensional dan tidak kehilangan roh budaya bangsa sebagai sebuah nation state. Seharusnya, peranan pendidikan dalam pembangunan sangat kompleks dan bersifat interaksional dengan kekuatan-kekuatan pembangunan yang lain.
2. Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) dari pada mengajar (teaching), (2) Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel; (3) Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri, dan, (4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinam-bungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan. Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menuntut pendidikan bersifat double tracks. Artinya, pendidikan sebagai suatu proses tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakatnya.
3. Paradigma memahami kebutuhan masyarakat. Berbagai problem yang muncul di masyarakat, khususnya ketimpangan antara kualitas pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja merupakan refleksi adanya kelemahan yang mendasar dalam dunia pendidikan kita. Setiap upaya untuk memperbaharui pendidikan akan sia-sia, kecuali menyentuh akar filosofis dan teori pendidikan.
4. Paradigma pendidikan yang memiliki kualitas dan berkaitan erat dengan motivasi orang yang bekerja di dunia pendidikan. Motivasi, dari kacamata humanis hanya akan muncul apabila ada persaingan yang sehat dan menjunjung tinggi aspek kemanusiaan.
5. Paradigma pentingnya peran guru. Peran guru tidak bisa lepas dari karakteristik pekerja profesional. Artinya, pekerjaan guru akan dapat dilakukan dengan baik dan benar apabila seseorang telah melewati suatu proses pendidikan yang dirancang untuk itu dan harus secara terus-menerus ditingkatkan.
6. Paradigma pendidikan yang berwajah Indonesia. Pendidikan hendaknya mampu menangani persoalan di masyarakat seperti pengangguran, karena semua itu tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sistem pendidikan yang tidak “pas” dengan budaya Indonesia. Untuk menemukan pendidikan yang berakar budaya bangsa perlu dilaksanakan penajaman penelitian pendidikan. Namun dalam mencari pendidikan yang berakar pada budaya bangsa tidak berarti bahwa pendidikan harus bersifat ekslusif. Hal ini bertentangan dengan realitas globalisasi.
7. Paradigma kultur sekolah yaitu bagaimana pembentukan serta peran kepala sekolah. Dan sudah barang tentu, kualitas pendidikan tidak hanya dapat diartikan pencapaian prestasi akademik semata, untuk itu perlu dibahas tentang prestasi atau hasil pendidikan yang utuh. Sekolah dan seluruh civitas akademiknya hendaknya mampu memahami dan meberikan solusi bagaimana reformasi pendidikan harus dilaksanakan.
8. Paradigma manajemen pendidikan yang menawarkan perubahan manajemen pendidikan ke arah: pertama desentralisasi pengelolaan pendidikan adanya perubahan paradigma dari orientasi manajemen pemerintahan yang otoritarian menjadi berorientasi pada demokrasi. Kedua, manajemen berbasis sekolah sebagai sub sistem pendidikan nasional maka harus menerapkan sistem ini meski ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam penerapannya yaitu kewajiban sekolah. Kebijakan dan priotitas pemerintah. Partisipasi masyarakat dan orang tua. Peranan profesionalisme dan manajerial serta pengembangan profesi. Ketiga manajemen pendidikan tinggi menekankan kemandirian lebih besar dalam pengelolaan atau otonomi, untuk dapat menyelenggarakan pengelolaan manajemen perguruan tinggi yang baik perlu memperhatikan kualitas, otonomi, akuntabilitas (pertanggung-jawaban), evaluasi dan akreditasi.
....Wallahu’alam!


DAFTAR PUSTAKA


Alfred North Whitehead, 1929. The Aims of Education and Other Essays, dalam The Adventure of Education: Process Philosophers on Learning, Teaching and Research, Adam S. Scarfe, (2009) Amsterdam : Editions Rodopi B.V. Amsterdam.

Aloys Maryoto, (2004). “Pendidikan Sebagai Proses Penyadaran Menurut Paulo Freire” dalam “Fenomena” Edisi 2/Th.V/2004.

Brunner, S. Jerome, (1973) . The Relevance of Education, New York : Norton Company Inc.

Delors, Jacques, (1996) Learning: The Treasure Within, Report to UNESCO of the International Commision on Education for Twenty-First Century, France : UNESCO Publishing.

Dewey, John, (1964). Democracy and Education, Introduction of the Philosophy of Education, New York : The Macmillan Company.

Daniel S.Schipani, (1988). Religious Education Encounters Liberation Theology, Alabama: Religious Education Press.

Denis Colins, (2007) Paulo Freire His Life, Works and Thought, New York: Paulist Press.

Gatut Saksono, (2009). Pendidikan yang Memerdekakan Siswa, Yogyakarta : CV. Diandra Primamitra Media.

Happy Susanto, (2007). Menuju Pendidikan yang Humanis, BruderFIC.or.id © 2002-2008 http://bruderfic.or.id/, (Download 14 Desember 2009).

HAR Tilaar, (2006). Pendidikan Pasca Amandemen (Refleksi Kritis atas Nasib Bangsa), Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Henry Chamber-Loir dan Siti Maryam Salahuddin, (1999). Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

L. Subagi, (1985). “Kritik Atas: Konsientisasi dan Pendidikan. Teropong Paulo Freire dan Ivan Illich”, dalam Martin Sardy (ed.),Pendidikan Manusia, Bandung: Alumni.

M Agus Nuryatno, (2007). Refleksi Pendidikan Bersama Paulo Freire, Artikel,. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/05/opini/ 275458.htm. (Download 15 Desember 2009.)

M. Escobar dkk (2008). Sekolah Kapitalisme yang Licik, cet. III, Yogyakarta: LKiS,.

M. Yunus, Firdaus, (2005). Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, Yogjakarta: Logung Pustaka.

Moacir Gadotti dan Carlos Alberto Torres, (1997). Paulo Freire, Education and Humanism, Canada : Irvin Publishing Comp.

Munif Chatib, (2009). Sekolahnya Manusia : Sekolah Berbasis Multiple Intelligence di Indonesia, Bandung : Kaifa.

Paulo Freire, (2000). Cultural Action for Freedom, Baltimore:Penguin Book.

Paulo Freire, (2003). Education For Critical Consciousness, New York: The Seabury Press.

Paulo Freire, (2007). “Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan yang Memanusiakan”, dalam Menggugat Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Paulo Freire, (2009). Pendidikan Kaum Tertindas, Edisi Revisi, Jakarta: LP3S.

R. Vance Peavy,. (2006). Humanistic Education: A Manifesto, Columbia : University of British Columbia..

Samuel Bowles dan Herbert Gintis, (2006). Schooling in Capitalist America Nevada : Pergamon Press.

Phenix, Philip H., (1964). Realms of Meaning, A Philosophy of the Curriculum for General Education, New York : McGraw-Hill Book Company.

Soedijarto, (1993a). Menuju Pendidikan Nasional Yang Relevan dan Bermutu. Jakarta: Balai Pustaka

Soedijarto, (1993b). Memantapkan Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.

Soedijarto, (2008). Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara.

Soedijarto, (2010a). Pendidikan Nasional dan Pembangunan Kebudayaan dan Karakter Bangsa (Jati Diri Bangsa) dan Implikasinya terhadap Sistem Kurikulum dan Proses Pembelajaran, Makalah Sarasehan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Depdiknas, 14 Januari 2010.

Soedijarto, (2010b). Ujian Nasional (UN) pada Hakekatnya Tidak Sesuai dengan Hakekat, Tujuan dan Prinsip Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional, Makalah, disajikan dalam Diskusi UN Menuju Pendidikan Bermutu Fraksi PPP DPR RI tanggal 15 Januari 2010.

Sumaryo, (2001). “Pendidikan Yang Membebaskan” dalam Martin Sardy, Mencari Identitas Pendidikan, Bandung: Alumni.

UNESCO, (1994). The Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education. Paris: CSIE.

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Guru dan Dosen.

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2008 tentang Guru dan Dosen.

 

[1] M Agus Nuryatno, Refleksi Pendidikan Bersama Paulo Freire, Artikel, 2007. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/05/opini/275458.htm. (Download 15 Februari 2010.)
[2]
Gatut Saksono, Pendidikan yang Memerdekakan Siswa, (Yogyakarta : CV. Diandra Primamitra Media. 2009). Pp. 223.
[3]
UNESCO, The Salamanca Statement and Framework for Action
on Special Needs Education. (Paris: CSIE, 1994) Pp. 7).
[4]
Alfred North Whitehead, 1929. The Aims of Education and Other Essays, Fifth Edition (1967) New York : The Free Press. Page 98.
[5]
Ibid, Alfred North Whitehead, page 104.
[6]
Happy Susanto, Menuju Pendidikan yang Humanis, BruderFIC.or.id © 2002-2008
http://bruderfic.or.id/
, (Download 18 Februari 2009). Pp. 1.
[7]
Soedijarto, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, (Jakarta, PT. Kompas Media Nusantara, 2008) pp. 9.
[8]
R. Vance Peavy,. Humanistic Education: A Manifesto, (Columbia : University of British Columbia, 1976) Pp 6.
[9]
M. Escobar dkk (ed.), Sekolah Kapitalisme yang Licik, cet. III, (Yogyakarta: LKiS, 2008), Pp. xvi.
[10]
Paulo Freire, “Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan yang Memanusiakan”, dalam Menggugat Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Pp. 457.
[11]
HAR Tilaar, Pendidikan Pasca Amandemen (Refleksi Kritis atas Nasib Bangsa), (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2006) Pp. 103.
[12]
Soedijarto, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, (Jakarta, PT. Kompas Media Nusantara, 2008) pp. 14-15.
[13]
Moacir Gadotti dan Carlos Alberto Torres, Paulo Freire, Education and Humanism, (Canada : Irvin Publishing Comp, 1997) Pp. 95.
[14]
Munif Chatib, Sekolahnya Manusia : Sekolah Berbasis Multiple Intelligence di Indonesia (Bandung : Kaifa, 2009) Pp. 69.
[15]
Paulo Freire, “Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan yang Memanusiakan”, dalam Menggugat Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Pp. 459.
[16]
M. Yunus, Firdaus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005) Pp. 19.
[17]
Op cit, Paulo Freire, 2007 pp. 469.
[18]
Daniel S.Schipani, Religious Education Encounters Liberation Theology (Alabama: Religious Education Press, 1988), Pp. 12.
[19]
Paulo Freire, Education For Critical Consciousness, (New York: The Seabury Press, 1973), p. 18.
[20]
Sumaryo, “Pendidikan Yang Membebaskan” dalam Martin Sardy, Mencari Identitas Pendidikan (Bandung: Alumni, 2001), Pp. 29. Cf Aloys Maryoto, “Pendidikan Sebagai Proses Penyadaran Menurut Paulo Freire” dalam “Fenomena” Edisi 2/Th.V/2004, Pp.18.
[21]
Paulo Freire, Cultural Action for Freedom (Baltimore:Penguin Book, 1970 ), p. 51.
[22]
Ibid Paulo Freire pp. 55
[23]
Ibid Paulo Freire pp. 57
[24]
Philip H. Phenix, Realms of Meaning, A Philosophy of the Curriculum for General ducation, (New York : McGraw-Hill Book Company, 1964) Pp. 6
[25]
L. Subagi, “Kritik Atas: Konsientisasi dan Pendidikan. Teropong Paulo Freire dan Ivan Illich”, dalam Martin Sardy (ed.), Pendidikan Manusia (Bandung: Alumni, 1985), pp. 104-105.
[26]
Paulo Freire, “Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan yang Memanusiakan”, dalam Menggugat Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Pp. 457.
[27]
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas (Jakarta: LP3S, 1972), p. xii.
[28]
Jacques Delors, Learning the Treasure Within: Report to Unesco of the International Commission on education for the Twenty-First Century, (France : Unesco Publishing, 1996) Pp 86 – 96.
[29]
Henry Chamber-Loir dan Siti Maryam Salahuddin, Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1999) pp. 13.
[30]
Munir Chatib, Sekolahnya Manusia, (Bandung, Kaifa, 2009). Pp. 12.
[31]
Samuel Bowles dan Herbert Gintis, Schooling in Capitalist America (Nevada : Pergamon Press, 1976) Pp. 331

Tidak ada komentar:

PENELITIAN KUALITATIF DALAM ILMU-ILMU SOSIAL

A. Pendahuluan   Ketika kita bergaul sehari-hari seringkali kita berargumen satu sama lain. Kita bercakap-cakap untuk mempe...