Jumat, 18 Juni 2010

Pendidikan: Sektor Pembangunan yang Tercecer



ABSTRAK:
Siapa pun akan menganggukkan kepala bila ditanya tentang pentingnya pendidikan bagi sebuah peradaban, bagi kokohnya sebuah nation state, atau bagi semakin bermartabatnya umat manusia. Indonesia adalah satu-satunya negara yang mencantumkan tujuan pendidikan secara lengkap, terang dan jelas dalam Undang-Undang Dasar 1945. Tidak satu pun negara di dunia ini seperti Indonesia. Amerika Serikat pun hanya menetapkan tujuan pendidikannya diantara baris-baris Declaration of Independence. Tapi, mengapa justru Indonesia yang terpuruk pendidikannya? Apa yang salah dengan pendidikan negeri ini? Tanpa bermaksud mencari siapa yang salah dan siapa yang benar,. Kenyataan di depan kita bahwa pendidikan negeri ini belum mampu memenuhi pencapaian tujuan yang telah disepakati. Aplikasi proses pendidikan tidak konsisten dengan tujuan yang telah menjadi konvensi bangsa Indonesia. Pemerintah harus bertanggung jawab karena tujuan yang telah tertuang jelas tersebut tidak dilaksanakan secara paripurna. Menurut penulis, satu-satunya jalan keluar terbaik adalah menjadikan Pendidikan sebagai Agenda Nasional Utama.

I. RASIONAL
Bilamana Jacques Delors mengingatkan kita semua bahwa pendidikan adalah harta karun yang tiada ternilai harganya “Education is the treasure”,[1] Paulo Freire menuntut bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalan terang untuk memanusiakan manusia[2], Aristoteles mengatakan pada muridnya bahwa Education is the best provision for old age”, [3] atau yang lebih menyentuh nurani para orang tua bahwa ”didiklah anak-anakmu karena mereka akan hidup di zaman yang berbeda denganmu, dan janganlah kamu meninggalkan generasi yang lemah di belakangmu.”[4]

Enam puluh empat tahun sudah langkah negeri ini seperti terseok bahkan seringkali tampak bergerak membelakangi arah yang semestinya dituju. Fenomena ini tentu saja merupakan perolehan kumulatif yang berkorelasi dengan Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan kita rupanya belum berhasil mencerdaskan dan membangun karakter bangsa yang kuat. Gagal memenuhi tujuan yang diamini bersama dalam konstitusi.

Bersyukur setahun terakhir ini pembangunan pendidikan mulai serius diperhatikan walaupun masih sangat jauh dari harapan pendidikan yang seutuhnya. Rupa-rupanya para profesor, cerdik pandai dan pemerhati pendidikan sudah mulai gerah dengan sikap pemerintah yang seakan-akan menempatkan pembangunan aspek pendidikan pada urutan kesekian di belakang pembangunan ekonomi, kesehatan, infrastruktur, pertahanan keamanan dan politik. Perjuangan anggaran pendidikan 20%, misalnya, memaksa para guru keluar dari ruang kelasnya. Dosen segera menutup laptop dan memenuhi amanah hakekat sejati dari pengabdian masyarakatnya, atau pemerhati pendidikan menunda jadwal rapatnya. Turun ke jalan.

Masih terngiang pula di telinga kita debat panjang Ujian Nasional yang oleh sebagian besar akademisi dianggap sebagai kekeliruan terbesar pemerintah yang memaksakan perilaku Ujian Nasional yang sudah nyata-nyata bertentangan dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Sebagian yang lain melihat bahwa Ujian Nasional itu sesungguhnya penting sebagai salah satu alat untuk mengukur kemajuan pendidikan negeri ini.

Contoh lain, pada tataran praktik kita diembuskan pula dengan bermacam ragam berita yang memilukan hati tentang perilaku menyimpang civitas akademik. Guru yang menghukum siswanya[5]. Kepala sekolah yang menilep dana BOS bagai drakula yang bertengger di balik pilar-pilar kokoh sekolah.[6] Kepala Dinas nepotis yang merupakan kepanjangan tangan dari birokrat pemenang Pilkada. Mahasiswa anarkis yang mudah terprovokasi. Perguruan Tinggi yang melaksanakan kelas jauh dan menjajakan gelar akademik instan walau perkuliahan hanya dilaksanakan di gedung balai desa. Dan masih banyak lagi wajah bopeng pendidikan yang lainnya.[7]

Pendidikan yang berkualitas dalam ranah manusia yang cerdas. Sebuah ungkapan yang sangat mudah diucap namun membutuhkan jutaan tetes keringat untuk merealisasikannya, ratusan ribu kesabaran untuk membedahnya, atau puluhan ribu prihatin yang dapat menyentuh filosofinya. Mengapa? Sebab hanya dengan tetesan keringat yang memadai, kesabaran dan prihatin yang mengakar yang dapat menguatkan otot kakinya agar dapat mengejar ketertinggalannya yang terpaut begitu renggang.

Bangsa ini bukan hanya tertinggal dalam angka-angka sebagaimana yang tercantum dalam hasil Survey Bank Dunia, akan tetapi lebih dari itu. Pendidikan kita kehilangan kesejatiannya. Tugas kita semua, guru, dosen, orang tua, masyarakat, media massa, akademisi, birokrat, teknokrat, aristokrat, sekolah, perguruan tinggi dan sebagainya adalah mengawal pendidikan negeri ini yang memenuhi entitas ’marwah” (harga dirinya).

Bagaimana menegakkan, mewariskan, membudayakan dan melestarikan nilai-nilai fundamental kebangsaan dan kenegaraan Indonesia sebagaimana demikian terang bagai buku yang terbuka diamanatkan dalam fungsi sistem pendidikan nasional; termasuk kewajiban semua keluarga warga negara Indonesia yang memiliki kesetiaan dan kebanggaan nasional; juga merupakan kewajiban semua infrastruktur dan suprastruktur dalam sistem bangsa yang besar ini, bilamana pendidikan yang menjadi roh bangsa ini dikesampingkan, dinomorduakan walaupun secara akal sehat setiap pengambil kebijakan yang beradab adalah berkat pendidikan yang pernah diampunya.

II. PERMASALAHAN
Demikian peliknya simpul problem yang dihadapi bangsa ini dalam mengelola pendidikan sehingga hampir sulit mengurainya. Permasalahan terbesar adalah bahwa pendidikan negeri ini merupakan salah satu sektor emas pembangunan bangsa yang tercecer. Masih dipandang sebelah mata. Makalah ini diharapkan dapat memberikan solusi tentang Pembangunan Pendidikan. Namun, agar makalah ini dapat lebih mudah dipahami, berikut disederhanakan arah pembahasannya untuk menemukan jawaban-jawaban dari permasalahan dominan berikut.

1. Bagaimana hubungan pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional dengan Pembangunan Sektor Pendidikan di Indonesia?

2. Apakah langkah-langkah strategis dalam mengembangkan sektor pembangunan pendidikan dalam mendukung akselerasi pembangunan bangsa?

III. PEMBAHASAN

A. Tujuan Pendidikan dan Hubungannya dengan Pembangunan Sektor Pendidikan

C.E. Beeby (1975) mengilustrasikan bahwa sejak awal kemerdekaan tidak tampak adanya bukti-bukti pemikiran atau kebijakan yang serius dan sistematis mengenai cocok-tidaknya sistem pendidikan dan persekolahan kita dengan kebutuhan bangsa merdeka yang dilayaninya. Gagasan-gagasan pendidikan negeri ini kabur dan hampir tidak beranjak dari konsep kebijakan politik etis pemerintah kolonial Belanda.[8]

Apanya yang tidak berubah? Terjadi pengabaian terhadap pendidikan yang mengakibatkan kemerosotan kualitas kehidupan bangsa yang berlarut (Soedijarto, 2008). Semasa Orde Baru, karena diawali situasi keuangan yang sulit, upaya pencerdasan bangsa dimaknai sebagai pengembangan SDM di bawah payung pertumbuhan ekonomi semata. Meskipun pertambahan jumlah sekolah cukup tinggi dan hampir berbanding sejajar dengan pertumbuhan penduduk, namun penurunan mutu terus berlangsung sehingga menghasilkan kualitas manusia Indonesia yang di era reformasi ini semakin jelas kelemahannya.[9]

Perlu diperjelas bahwa permasalahan pendidikan di negeri ini bermula dari ketidakpedulian, ketidaktahuan atau mungkin ketidakmautahuan para penyelenggara Negara tentang peran penting pendidikan dalam kemajuan bangsa. Pendidikan selalu digampangkan dengan dianggap sebatas sekolah atau pemberantasan buta huruf. Akhirnya kini pendidikan kita mengalami masalah kronis pada setiap ranahnya.

Secara fundamental pendidikan kita belum memiliki kejelasan filosofi yang mampu menjawab pertanyaan mengenai untuk apa pendidikan/ persekolahan diselenggarakan. Kita memang memiliki UUD 1945, UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen beserta anak-pinaknya sebagai formulasi aspirasi yang memandu segenap aktivitas pendidikan. Tetapi objektivikasi perangkat normatif itu kedalam politik dan operasi pendidikan kita senantiasa samar. Kekaburan paradigma ini menyebabkan penyelenggaraan pendidikan kita mengalami ketidaktepatan sasaran (mismatch).[10] Tidak menjawab kebutuhan dan persoalan masyarakat pendukungnya.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa Tujuan pendidikan Nasional sudah termaktub secara jelas baik dalam Preambule UUD 1945 “Mencerdaskan kehidupan bangsa” dan pengejawantahannya tertuang dalam Bab XII Pasal 31 dan 32. Tujuan pendidikan kita sebenarnya sudah sangat jelas. “... sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.”[11] Tujuan pendidikan ini demikian menjanjikan bahwa manusia-manusia Indonesia berpotensi menjadikan negara ini sebagai sebuah nation state yang kuat dan bermartabat. Alhasil, penyelenggaraan pendidikan nasional tidak didukung sepenuhnya kepada pencapaian tujuan tersebut. Impian founding fathers tentang masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, dan cerdas baik kognitif, afektif maupun psikomotoriknya justru tidak tepat sasaran. Gejala umum mismatch tersebut ditunjukkan oleh kapabilitas lulusan yang selain tidak memiliki kesesuaian kualifikasi dalam konteks perekonomian, juga ketidaksiapan mental; misalnya nalar dan etos kerja, keterampilan, entrepreneurship, dan leadership untuk menangani keberlangsungan sebuah tatanan masyarakat yang semakin kompleks, maju dan modern yang beradab.[12]

Tujuan-tujuan apa saja yang terkandung di dalamnya? Tujuan mulia bagai sepuluh jari yang menjadi impian tertinggi dan agung bagi pendidikan negeri ini. Berikut penulis coba petakan.[13]

Bila dikaitkan dengan tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh para pemikir dan ahli pendidikan dunia, maka tujuan pendidikan Indonesia demikian berkilau. Phenix mengemukakan bahwa sesunguhnya tujuan pendidikan itu adalah proses yang diharapkan mampu melahirkan makna-makna utama dari eksistensi kemanusiaan “General education is the process of engendering essential meanings.” (Phenix, 1964).[14] Sedangkan Delors mengatakan bahwa pendidikan tidak hanya harus beradaptasi dengan perubahan dunia secara alamiah, tetapi harus juga merupakan proses yang terus-menerus membentuk manusia - seluruh pengetahuan dan bakat mereka, serta kritis dan memiliki kemampuan untuk bertindak. Pendidikan adalah kekayaan yang tiada ternilai harganya. “Education is not only must it adapt to changes in the natural of work, but it must also constitute a continuous process of forming whole human beings- their knowledge and aptitudes, as well as the critical faculty and the ability to act. Education is a treasure.” (Delors, 1996) Pernyataan ini selanjutnya dirumuskan kedalam empat pilar utama pendidikan, yaitu learning to know, learning to do, learning to live together dan learning to be.[15] Sementara itu, Dewey (1964) secara singkat merumuskan tujuan pendidikan adalah memungkinkan individu untuk melanjutkan pendidikan mereka - atau bahwa muaranya adalah kemampuan untuk terus-menerus menyuburhidupkan pengembangan kapasitas. “the aim of education is to enable individuals to continue their education - or that the object and reward of learning is continued capacity for growth.”[16]

Tujuan Pendidikan Nasional di atas selanjutnya diejawantahkan kedalam tujuan institusi dan dilaksanakan secara integratif oleh lembaga-lembaga mata pisau di bawahnya dalam bentuk kurikulum (Sekarang menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang disempurnakan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Lembaga-lembaga seperti keluarga, sekolah, diklat, kursus, dan sejenisnya baik melalui pendidikan formal, informal maupun nonformal. Baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.

Penanganan pembangunan sektor pendidikan bila dikaitkan dengan pencapaian tujuan pendidikan nasional dapat dilihat dari tiga ranah utama yaitu, ranah struktural, finansial, dan ranah kultural (Brunner, 1973).[17]

1. Ranah Struktural

Aplikasi penanganan pendidikan pada ranah struktural, politik pendidikan kita dari masa ke masa dijalankan dengan orientasi kekuasaan. Tidak mengacu pada prinsip-prinsip ilmiah ilmu pengetahuan, ilmu pendidikan, kearifan budaya lokal, dan pengalaman negara-negara maju. Kebijakan pendidikan nasional seringkali didasarkan atas trial and error, hit and run (tidak konseptual) dan kick and rush (plesetan dari “cekik dan peras” atau proyekisme) sehingga menghasilkan berbagai anomali dalam dalam operasinya. Munculnya BHP, SSN, RSBI, BNSP yang super power, ujian nasional, dll. merupakan peradangan sebagai akibat langsung dari bisul politik pendidikan yang tidak mendasarkan diri pada pencapaian tujuan pendidikan secara paripurna.[18]

Birokrasi pendidikan hendaknya tidak dikelola oleh kebanyakan orang yang tidak memiliki kompetensi, track record dan pemihakan pada masalah pendidikan; tidak memuliakan ilmu pengetahuan, pendidikan dan guru. Perilakunya berorientasi kekuasaan, kepentingan dan masih bersemangat korupsi. Akibatnya, berbagai kebijakan dalam tataran implementasinya seringkali mengalami kendala pada meja birokrat pendidikan.

2. Ranah Finansial

Secara finansial, meskipun ketentuan UUD 45 pasal 31 ayat 4 berbunyi “memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD,” pemerintah terkesan segan memenuhinya. Setelah berkali-kali Mahkamah Konstitusi (MK) memutus pemerintah bersalah, barulah setahun terakhir ini anggaran pendidikan mencapai 20% APBN, itu pun termasuk gaji guru dan anggaran pendidikan kedinasan. Pada tingkat daerah, tidak lebih dari 10% pemerintah daerah yang telah mengalokasikan 20% APBD untuk pendidikan dalam skema perhitungan yang benar.[19]

Bukanlah ketiadaan dana yang melatari keengganan pemerintah meningkatkan anggaran pendidikan. Tetapi lebih disebabkan kekeliruan memaknai hakikat pendidikan. Pendidikan dipersepsi “an-sich,” terlepas dari pembangunan ekonomi dan budaya sehingga belanja bidang pendidikan dianggap bukan “investasi” yang berimplikasi pada bidang lainnya. Selain itu, ada pikiran bahwa tanggung jawab pemerintah terhadap pembiayaan pendidikan tidaklah sepenuhnya, karena pasal 36 UU Sisdiknas mengharuskan adanya peran serta masyarakat. Padahal dalam penjelasan ayat tersebut, peran masyarakat sebenarnya lebih bersifat filantrofi.

3. Ranah kultural


Masyarakat kita belum menjadi sebuah masyarakat pembelajar (learning society). Belajar dan sekolah masih sebatas formalitas karena gelar dan sertifikat merupakan status sosial dan persyaratan utama dalam mencari pekerjaan. Mudah dipahami jika masyarakat kita sekarang mudah terserang “diploma diseases” yang melahirkan praktik perdagangan ijazah, jual beli nilai, kelas jauh, dan praktik-praktik irrasional lainnya yang serba instan.

B. Langkah-Langkah Strategis Penguatan Pembangunan Sektor Pendidikan dalam Mendukung Akselerasi Pembangunan Bangsa
Ada sepenggal besar yang hilang dari pendidikan kita yaitu pendidikan karakter. Hal ini menurut penulis yang turut memberikan andil terpuruknya pendidikan. Karakter kuat untuk membangun bangsa yang dimiliki para pemimpin bangsa menjadi masukan mentah bagi tidak diperhatikannya pendidikan. William J. Bennett (Ed., 1997) mengemukakan bahwa dalam pendidikan moral, pendidik perlu mengajarkan tentang nilai-nilai moral seperti: rasa hormat kepada orang tua dan guru, jujur, terbuka, toleransi, adil, religius, bertanggung jawab terhadap masyarakat dan negara, serta memiliki rasa kasih sayang dan cinta terhadap Tuhan, masyarakat, dan lingkungan. [20] Dengan menggunakan ilustrasi cerita-cerita, Bennett mengungkapkan beberapa cara untuk mengembangkan karakter bangsa yang baik, antara lain sebagai berikut.

1. Self-discipline (disiplin diri) perlu ditanamkan pada peserta didik, para pendidik/guru, para pelatih, pembimbing, dan pada semua komponen yang terkait dengan kegiatan proses pembelajaran.

2. Compassion (rasa terharu) yang disertai rasa kasih. Di samping disiplin diri, kita sering menyaksikan adanya rasa keterharuan, yang kadang-kadang menutup hati atau kesadaran moral. Bagaimana caranya untuk meningkatkan rasa kasihan kepada orang lain pada peserta didik? Dalam hal ini, berikanlah mereka cerita-cerita dan pribahasa yang bermanfaat sebanyak mungkin.

3. Responsibility (tanggung jawab). Orang yang tidak bertanggung jawab adalah suatu ciri bahwa orang itu belum matang, sebaliknya adanya rasa tanggung jawab adalah ciri kematangan seseorang. Jika kita berupaya untuk membantu peserta didik menjadi orang yang bertangung jawab, maka sesungguhnya kita membantu mereka menjadi matang. Tanggung jawab, dan upaya untuk menjadi bertanggung jawab, harus menggunakan kekuatan yang ada pada setiap orang; dan setiap orang harus melakukannya terus-menerus.

4. Friendship (persahabatan). Cerita-cerita mengenai persahabatan yang baik merupakan paradigma moral bagi semua hubungan antarmanusia. Pengertian persahabatan ini lebih luas daripada kenalan dan di dalamnya termasuk lebih luas dari afeksi.

5. Work (pekerjaan), apa yang harus dikerjakan supaya kita meningkat? Ini pertanyaan yang menyangkut pekerjaan, dan sekaligus pertanyaan yang menyangkut kehidupan.

6. Courage (keberanian dan keteguhan hati). Di samping bekerja, menghayati dan menikmati makna kerja bagi kehidupan manusia, perlu menanamkan keberanian dan keteguhan hati atau ketekunan dalam menghadapi perasaan takut, sifat ragu-ragu, gugup, bimbang, dan sifat-sifat lainnya yang sering mengganggu.

7. Perseverance (ketekunan), perlu dibina terus. Bagaimana caranya mendorong peserta didik supaya tekun dan tetap melaksanakan usaha-usaha untuk meningkatkan keberanian dan ketekunannya sendiri? Dalam hal ini, peserta didik harus melaksanakan sendiri, dan orang tua/pendidik berada bersama-sama mereka, serta mengawasi dari belakang (Tut Wuri Handayani), dengan membimbing dan mengarahkan serta memberikan contoh-contoh yang positif.

8. Honesty (kejujuran). Supaya bisa menjadi orang jujur, berbuatlah secara nyata, secara murni, dan bisa dipercaya. Kejujuran ini bisa diwujudkan atau diekspresikan dalam bentuk rasa hormat kepada diri sendiri dan pada orang lain. Hal ini perlu dilatih dan dipelajari sepanjang hidup supaya menjadi orang yang memiliki integritas dan kemauan yang mulia.

9. Loyality (loyalitas). Faktor kejujuran harus diiringi dengan prinsip loyalitas, sehingga persahabatan dan hubungan-hubungan antar manusia bisa diterima dengan baik. Loyalitas atau kesetiaan berkaitan dengan hubungan kekeluargaan, persahabatan, afiliasi keagamaan, kehidupan profesional dan lain-lain, yang kesemuanya itu dapat berubah atau berkembang.

10. Faith (keyakinan/kepercayaan). Hal terakhir yang sangat penting bagi kehidupan manusia adalah keyakinan atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Hal ini merupakan dimensi yang sangat penting yang merupakan sumber moral manusia.

Menurut Sommers (1993) bahwa salah satu metode penting dalam penguatan karakter bangsa adalah metode “values clarification” (klarifikasi nilai).[21] Dengan menggunakan metode ini, pendidik/guru tidak secara langsung menyampaikan kepada peserta didik tentang “benar” atau “salah”, tetapi sebaliknya peserta didik harus diberikan kesempatan untuk menyatakan nilai-nilai dengan caranya sendiri. Lebih lanjut disarankan, bahwa (1) sekolah harus memiliki aturan-aturan tingkah laku yang menekankan pada kesopanan, kebaikan-kebaikan, disiplin diri, dan kejujuran; (2) pendidik/guru-guru jangan mengindoktrinasi peserta didik, jika mereka minta dengan tegas atas dasar kesopanan, kejujuran, dan keterbukaan; (3) peserta didik harus diberikan ceritra-ceritra yang menekankan pada prinsip-prinsip kebaikan, dan para peserta didik hendaknya gemar membaca, mempelajari dan mendiskusikan tentang isu-isu moral. Dalam kaitan ini, para pendidik harus membantu peserta didik agar mengenal nilai-nilai moral yang diwariskan melalui literatur, internet, agama, dan filsafat. Hal ini penting karena hal-hal yang berkaitan dengan kebaikan dapat dipikirkan dan dipelajari melalui pendidikan moral.

Terakhir, Alfie Kohn (1991) antara lain menyebutkan bahwa untuk membantu peserta didik supaya bisa tumbuh menjadi dewasa, kepada mereka harus ditanamkan nilai-nilai disiplin sejak dini melalui proses interaksi antarpeserta didik, dengan guru-guru, dan orang tua. Melalui interaksi dengan teman sejawat, dengan guru-guru, orang tua, pembuat kebijakan dan lain-lain, akan dapat ditumbuhkan nilai-nilai prososial. Dalam hubungan ini dapat digunakan diantara empat pendekatan untuk mengubah perilaku dan sikap, sebagai berikut: (1) Punishing (menghukum), (2) bribing (menyogok/menyuap), (3) encouraging commitment to values (mendorong komitmen terhadap nilai).[22]

Untuk menjawab permasalahan terakhir, diperlukan reformasi total pendidikan. Salah satu contoh adalah pencanangan Guru sebagai Profesi merupakan gagasan reformasi dalam bidang pendidikan. Namun, bila pemerintah sudah merasa puas dengan gerakan itu saja, pendidikan nasional dapat dipastikan kurang memiliki efektifitas dan makna yang menyentuh sebelum pemerintah menjadikannya sebagai sebuah Gerakan Nasional dengan gerbangnya PENDIDIKAN SEBAGAI AGENDA NASIONAL UTAMA. Setelah itu barulah langkah-langkah terpadu dijalankan seperti:

(1) Meletakkan pendidikan nasional yang berkeadilan dan hak semua warga negara sebagai bagian dari strategi pembangunan ekonomi dan kebudayaan jangka menengah dan jangka panjang. Sistem pendidikan nasional hendaknya memiliki rancang bangun yang relevan dengan kepentingan membangun negara bangsa (nation state) yang modern di era milenium ini.

(2) Tindak politik pendidikan hendaklah selalu didahului oleh studi dan kajian terhadap situasi dan teori. Misalnya, Gubernur, Bupati/Walikota memiliki staf khusus bidang pendidikan.

Bila dipandang perlu ada komisi yang independen yang bertugas sebagai pemikir dan pengawas kebijakan pendidikan di daerah. Bukankah Restorasi Meiji Jepang diawali pembentukan tim yang dipimpin Pangeran Iwakura Tomomi. Tim berkeliling dunia selama dua tahun (1871-1873) dengan misi mencari blue print untuk memodernisasi Jepang secepat mungkin, termasuk cetak biru sistem pendidikan yang terbaik bagi Jepang.

Jabatan Kepala Dinas Dikpora janganlah dijadikan sekedar hadiah hiburan untuk sebuah partai politik karena pendidikan adalah pertaruhan masa depan bangsa. Kepala Dinas Dikpora dan struktur ke samping dan ke bawahnya haruslah personal yang bukan sekedar memiliki kapabilitas, tetapi juga memiliki ideologi pendidikan yang memadai.

(3) Membuat rencana jangka panjang kebijakan pembangunan pendidikan di Provinsi, Kabupaten/Kota tentang guru dan tenaga kependidikan yang terintegrasi dengan berbagai sektor. Jati diri guru harus segera dikembalikan sebagai profesi yang bermartabat dan berbudaya. Model rekrutmen, pengembangan karir dan penggajian guru diatur dalam undang-undang tersendiri. Hal-hal yang melecehkan profesi guru seperti diseret dalam kepentingan politik penguasa, proyekisme, honor guru tidak tetap/swasta yang sangat rendah dan berbagai bentuk anomali lainnya harus dihentikan. Organisasi profesi guru/PGRI menjadi mitra strategis pemerintah dalam merumuskan, mengimplementasikan dan mengevaluasi kebijakan tentang guru.

(4) Merombak kurikulum, orientasi dan metodologi pembelajaran. Jumlah mata pelajaran harus dikurangi, menempatkan pendidikan yang membentuk karakter sebagai acuan utama dan porsi yang cukup, pengadaan buku, sarana dan prasarana diwajibkan melalui uji kelayakan.

(5) Mengefektifkan penggunaan dana pendidikan melalui penertiban proyek-proyek yang ada. Quality and relevance of spending menjadi acuan dalam alokasi anggaran. Melakukan kerjasama dengan KPK dan berbagai lembaga penegak hukum untuk memberantas korupsi di jajaran Dikpora dan sekitarnya. Melibatkan berbagai komponen masyarakat termasuk organisasi profesi seperti PGRI dalam melakukan pengawasan eksternal dalam penggunaan dana pendidikan. Menetapkan sekolah gratis hingga jenjang pendidikan menengah dengan baik sesuai unit cost yang dibutuhkan, tanpa mengurangi kesejahteraan guru. Mencapai Angka Partisipasi Pendidikan Tinggi sekurang-kurangnya 50%.

(6) Mengubah paradigma masyarakat terhadap pendidikan melalui pengembangan pendidikan diploma atau politeknik yang difasilitasi dengan lapangan kerja sejalan dengan visi dan kebijakan dalam bidang perekonomian dan ketenagakerjaan.

(7) Karena masyarakat juga merupakan ranah pendidikan, maka lakon para pemimpin, media massa dan masyarakat itu sendiri perlu pembudayaan penggunaan akal sehat. Learning society tidak mungkin tercipta jika negeri ini tidak mengedepankan pendidikan.

(8) Mengupayakan satu sistem pendidikan nasional yang relevan terhadap manajemen, pembiayaan, proses pembelajaran dan sistem evaluasi yang mampu menanamkan jati diri bangsa yang utuh. Sebab, bilamana sistem pendidikan tidak dilaksanakan secara nyata dengan mengesampingkan filosofi pendidikan dan kebudayaan nasional maka akan berpengaruh secara sistemik terhadap berbagai pola pikir dan pola tindak masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan.

IV. PENUTUP

Terakhir, harapan kita semua untuk Pemerintah, Pemerintah Daerah, Anggota Dewan, praktisi pendidikan, akademisi dan segenap komponen, bahwa pendidikan adalah sebuah kompleksitas yang berhubungan dengan kemanusiaan dalam dimensi-dimensi ruang dan waktu. Maka menangani pendidikan memerlukan kesungguhan dan kearifan. Hanya dengan demikian derajat bangsa ini akan terangkat. Arti 64 tahun akan membawa makna yang dalam sehingga jati diri bangsa ini dapat segera menjelang, terpatri dalam setiap sanubari masyarakat Indonesia yang cerdas dan berbudi pekerti luhur.

Amin!

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Faudzi, (2008). Pemikiran Ali Bin Abi Thalib, Bandung : PT. Angkasa. Hal. 25.

Beeby, C.E. (1975). The Quality of Education in Developing Countries, Cambridge Mass: Harvard University Press.

Bennett, William J. (1997). The Book of Virtues for Young People: A Treasury of Great Moral Stories. New York: Simon & Schuster

Brunner, S. Jerome, (1973) . The Relevance of Education, New York : Norton Company Inc.

Darmaningtyas, (2006). Menggugat Pendidikan Indonesia, Yogyakarta : LP3ES.

Delors, Jacques, (19..) Learning: The Treasure Within, Report to UNESCO of the International Commision on Education for Twenty-First Century, France : UNESCO Publishing.


Dewey, John, (1964). Democracy and Education, Introduction of the Philosophy of Education, New York : The Macmillan Company.

http://bsnp-indonesia.org/id/?cat=5, Banner, Download tanggal 7 Pebruari 2010.

Kohn, Alfie. (1991). Caring Kids: The Role of The School. California: Phi Delta Kappa.

Metro TV, Metro Malam, 12 Januari 2010.

Paulo Freire, (2003). Education For Critical Consciousness, New York: The Seabury Press. Hal. 24.

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2008 tentang Guru dan Dosen.

Phenix, Philip H., (1964). Realms of Meaning, A Philosophy of the Curriculum for General Education, New York : McGraw-Hill Book Company.

Soedijarto, (2008). Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara.

Soedijarto, (2010). Pendidikan Nasional dan Pembangunan Kebudayaan dan Karakter Bangsa (Jati Diri Bangsa) dan Implikasinya terhadap Sistem Kurikulum dan Proses Pembelajaran, Makalah Sarasehan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Depdiknas, 14 Januari 2010.

Sommers, Ch. H. (1993). Teaching Te Virtues: A Blueprint for Moral Education. Chicago Tribune Magazine, September 12, 1993.

Suara NTB, (12 Desember 2009), NTB : 5000 Ijazah Ilegal Kelas Jauh, Halaman 3.

Tilaar, H.A.R., (2002). Perubahan Sosial dan Pendidikan, Jakarta : Grasindo.

Tilaar, H.A.R. (2009), Membenahi Pendidikan Nasional, Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Guru dan Dosen.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

[1]
Jacques Delors, (1996) Learning: The Treasure Within, Report to UNESCO of the International Commision on Education for Twenty-First Century, France : UNESCO Publishing. Hal. 14.
[2]
Paulo Freire, (2003). Education For Critical Consciousness, New York: The Seabury Press. Hal. 24.
[3]
http://bsnp-indonesia.org/id/?cat=5, Banner, Download tanggal 7 Pebruari 2010.
[4]
Ahmad Faudzi, (2008). Pemikiran Ali Bin Abi Thalib, Bandung : PT. Angkasa. Hal. 25.
[5]
Metro TV, Metro Malam, 12 Januari 2010.
[6]
Darmaningtyas, (2006). Menggugat Pendidikan Indonesia, Yogyakarta : LP3ES.
[7]
Suara NTB, (12 Desember 2009), NTB : 5000 Ijazah Ilegal Kelas Jauh, Halaman 3.
[8]
C.E. Beeby, (1975). The Quality of Education in Developing Countries, Cambridge Mass: Harvard University Press.
[9]
Soedijarto, (2008). Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara
[10]
Tilaar, H.A.R. (2009), Membenahi Pendidikan Nasional, Jakarta : PT. Rineka Cipta.
[11]
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
[12]
Tilaar, H.A.R., (2002). Perubahan Sosial dan Pendidikan, Jakarta : Grasindo.
[13]
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[14]
Phenix, Philip H., (1964). Realms of Meaning, A Philosophy of the Curriculum for General Education, New York : McGraw-Hill Book Company.
[15]
Delors, Jacques, (19..) Learning: The Treasure Within, Report to UNESCO of the International Commision on Education for Twenty-First Century, France : UNESCO Publishing.
[16]
Dewey, John, (1964). Democracy and Education, Introduction of the Philosophy of Education, New York : The Macmillan Company.
[17]
Brunner, S. Jerome, (1973). The Relevance of Education, New York: Norton Library.
[18]
Darmaningtyas, (2006) Op Cit hal. 23.
[19]
Darmanigtyas, (2006). Op Cit 32.
[20]
Bennet, William J., (1997).The Book of Virtues: A Treasury of Great Moral Stories, New York: Simon & Schuster
[21]
Sommers, McCrock, (1993). Teaching the Virtue, a Blueprint for Moral Education.
[22]
Alfie Kohn (1991). Caring Kids:The Role of School, California: Phi Delta Kappa.

Tidak ada komentar:

PENELITIAN KUALITATIF DALAM ILMU-ILMU SOSIAL

A. Pendahuluan   Ketika kita bergaul sehari-hari seringkali kita berargumen satu sama lain. Kita bercakap-cakap untuk mempe...