Jumat, 18 Juni 2010

KONSEP MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

 
Oleh:
Sri Rakhmawanti, Nur Kumala Dewi, Hendra Kesuma

 
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) atau School Based Management (SBM) merupakan strategi untuk mewujudkan sekolah yang efektif dan produktif. MBS merupakan paradigma baru manajemen pendidikan, yang memberikan otonomi yang luas pada sekolah dan pelibatan masyarakat dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah leluasa mengelola sumber daya, sumber dana, sumber belajar dan mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat.

MBS merupakan salah satu wujud reformasi pendidikan yang memberikan otonomi kepada sekolah untuk mengatur kehidupan sesuai dengan potensi, tuntutan dan kebutuhannya. Otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para tenaga kependidikan, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan. Pada sistem MBS, sekolah memiliki full authority and responsibility dalam menetapkan program-program pendidikan dan berbagai kebijakan sesuai dengan visi, misi dan tujuan pendidikan (Mohrman and Wihlsetter, 1994). Untuk mewujudkan visi, misi dan tujuan tersebut, sekolah dituntut untuk menetapkan berbagai program dan kegiatan, menentukan prioritas, mengendalikan pemberdayaan berbagai potensi sekolah dan lingkungan sekitar, serta mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat dan pemerintah.

Dalam sistem MBS, semua kebijakan dan program sekolah ditetapkan oleh Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan. Badan ini merupakan lembaga yang ditetapkan berdasarkan musyawarah dari pejabat daerah setempat, komisi pendidikan pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), pejabat pendidikan daerah, kepala sekolah, tenaga kependidikan, perwakilan orangtua peserta didik, dan tokoh masyarakat. Lembaga inilah yang menetapkan segala kebijakan sekolah berdasarkan ketentuan-ketentuan tentang pendidikan yang berlaku. Selanjutnya, komite sekolah perlu merumuskan dan menetapkan visi, misi dan tujuan sekolah dengan berbagai implikasinya terhadap program-program kegiatan operasional untuk mencapai tujuan sekolah.

Berikut ini beberapa ciri MBS :

1. Pemberian otonomi luas kepada sekolah

Dengan adanya otonomi yang memberikan tanggung jawab pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategi sesuai kondisi setempat, sekolah dapat lebih memberdayakan tenaga kependidikan, guru agar berkonsentrasi pada tugas utamanya, yaitu mengajar.

2. Partisipasi masyarakat dan orangtua

Melalui komite sekolah dan dewan pendidikan, bersama merumuskan dan mengembangkan program yang dapat meningkatkan kualitas sekolah.

Peran serta masyarakat diperlukan dalam rangka peningkatan mutu pelayanan pendidikan agar kondisi sekolah dapat memenuhi standar minimal dan peningkatan mutu pendidikan dapat dicapai.

Di setiap sekolah dapat dibentuk organisasi seperti badan peran serta masyarakat/komite sekolah/BP3 atau organisasi lain yang bertujuan:

· Membantu kelancaran pendidikan di sekolah.
· Memelihara,meningkatkan dan mengembangkan sekolah.
· Memantau mengawasi dan mengevaluasi penyelenggaraan pendidikan disekolah. (Kepmendiknas)

3. Kepemimpinan yang demokratis dan profesional

Kepala sekolah adalah manajer pendidikan profesional yang direkrut komite sekolah untuk mengelola segala kegiatan sekolah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan. Dalam proses pengambilan keputusan, kepala sekolah mengimplementasikan proses bottom-up secara demokratis sehingga semua pihak memiliki tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil beserta pelaksanaannya.

4. Teamwork yang kompak dan transparan

Dewan pendidikan dan komite sekolah bekerjasama secara harmonis sesuai dengan posisinya masing-masing. Mereka tidak saling menunjukkan kuasa atau paling berjasa, tetapi masing-masing memberikan kontribusi terhadap upaya peningkatan mutu dan kinerja sekolah secara kaffah. Dalam pelaksanaan program misalnya, pihak-pihak terkait bekerjasama secara profesional untuk mencapai tujuan-tujuan atau target yang disepakati bersama. Dengan demikian, keberhasilan MBS merupakan hasil sinergi dari kolaborasi tim yang kompak dan transparan.

Menurut Ir. Budi Rahardji dalam bukunya “Manajemen Berbasis Sekolah”, MBS adalah model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan secara bersama/partisipatif dari semua warga sekolah dan masyarakat berdasarkan kebijakan nasional pendidikan.

Otonomi sekolah diartikan sebagai kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kebutuhan warga sekolah yang didukung kemampuan tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.

Empat faktor penting yang perlu diperhatikan dalam implementasi MBS yaitu kekuasaan, pengetahuan dan keterampilan, sistem informasi, serta sistem penghargaan (Depdiknas, 2002).

a. Kekuasaan yang dimiliki sekolah

Kepala sekolah memiliki kekuasaan yang lebih besar untuk mengambil keputusan berkaitan dengan kebijakan dibandingkan dengan sistem manajemen pendidikan yang dikontrol oleh pusat. Besarnya kekuasaan sekolah bergantung bagaimana MBS dapat diimplementasikan.

Kekuasaan lebih besar yang dimiliki oleh kepala sekolah dalam pengambilan keputusan perlu dilaksanakan secara demokratis, antara lain dengan melibatkan semua pihak khususnya guru dan orangtua peserta didik; membentuk pengambilan keputusan dalam hal-hal yang relevan dengan tugasnya; serta menjalin kerjasama dengan masyarakat dan dunia kerja.

b. Pengetahuan dan keterampilan

Kepala sekolah beserta seluruh warganya harus menjadi ”learning person”, yang senantiasa belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya secara terus menerus. Untuk itu sekolah harus memiliki sistem pengembangan sumberdaya manusia yang diwujudkan melalui pelatihan.

c. Sistem informasi yang jelas

Sekolah yang melaksanakan MBS perlu memiliki informasi yang jelas tentang program yang netral dan transparan, karena dari informasi tersebut seseorang akan mengetahui kondisi sekolah. Informasi ini diperlukan untuk monitoring, evaluasi dan akuntabilitas sekolah. Informasi yang amat penting untuk dimiliki sekolah, antara lain berkaitan dengan kemampuan guru, prestasi peserta didik, kepuasan orangtua dan peserta didik, serta visi dan misi sekolah.

d. Sistem Penghargaan

Sekolah yang melaksanakan MBS perlu menyusun sistem penghargaan bagi warganya yang berprestasi untuk mendorong kariernya. Sistem ini diharapkan mampu meningkatkan motivasi dan produktivitas kerja dari kalangan warga sekolah. Oleh karena itu, sistem penghargaan yang dikembangkan harus bersifat proporsional, adil, dan transparan.

IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH


Otonomi sekolah ditandai dengan diterapkan kebijakan mengenai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yaitu perangkat kurikulum yang memuat Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar secara umum yang dapat dikembangkan oleh sekolah sesuai dengan kemampuan sekolah dan kondisi lingkungan dan masyarakat tempat sekolah berada. Namun penerapan KTSP pun mengalami kendala yang dialami mayoritas sekolah. Kendalanya antara lain kepala sekolah dan guru belum memiliki kompetensi yang cukup untuk bisa mengembangkan dokumen KSTP bagian pembelajaran seperti silabus dan RPP secara mandiri sesuai dengan karakteristik sekolah. Umumnya sekolah masih mengadopsi atau istilahnya ”copy paste” dari contoh yang ada, sehingga terkadang menimbulkan kesulitan bagi kepala sekolah dan guru ketika akan melakukan penilaian karena kesesuaiannya dengan karakteristik sekolah masih rendah. Kesulitan dalam hal penilaian juga disebabkan karena kemampuan kepala sekolah dan guru yang belum memadai. Selain itu, kewenangan diberikan kepada kepala sekolah dan perangkatnya untuk mengatur manajemen sekolah termasuk pengelolaan pembelajaran, pengelolaan kelas, pengelolaan organisasi dan pengelolaan keuangan. Untuk pengelolaan keuangan, kewenangan sekolah negeri ditandai dengan disediakannya dana BOS dan BOP untuk sekolah yang hitungan adalah nominal rupiah per peserta didik. Namun, ini pun menimbulkan persoalan. Hitungan BOS dan BOP berdasarkan jumlah peserta didik yang ada di sekolah. Untuk mendapatkan dana BOS dan BOP yang banyak maka sekolah menyiasati dengan menerima banyak peserta didik meskipun jumlah rombongan belajar nantinya melebihi kapasitas yang dipersyaratkan standar. Ada kebijakan yang kontradiktif di sini, yaitu kepala sekolah diberi kewenangan untuk mengelola sekolah termasuk keuangan (artinya termasuk mencari sumber dana) namun untuk sekolah negeri tidak diperkenankan memungut uang dari manapun karena sudah ada BOS dan BOP.

Partisipasi masyarakat ditandai dengan dibentuknya Komite Sekolah yang berfungsi sebagai mitra sekolah dalam pengambilan keputusan berkenaan dengan efektifitas proses pembelajaran. Meskipun demikian, partisipasi masyarakat dalam pengembangan dan pelaksanaan program sekolah masih relatif rendah. Partisipasi masyarakat dalam hal ini orang tua peserta didik masih terbatas pada pemberian bantuan finansial untuk mendukung kegiatan operasional sekolah. Para orang tua peserta didik belum dilibatkan secara langsung untuk duduk bersama-sama merencanakan dan mengembangkan program-program pendidikan.

Kepemimpinan ditandai dengan berubahnya paradigma mengenai peran kepala sekolah. kepala sekolah bukan lagi merupakan guru dengan tugas tambahan administrasi tetapi peran kepala sekolah lebih luas lagi yaitu sebagai educator, manager, administrator, supervisor, leader, innovator dan motivator pendidikan (EMASLIM). Dalam implementasi MBS, kepala sekolah merupakan ”the key person” keberhasilan peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Perubahan paradigma menuntut kepala sekolah menjadi seorang yang profesional. Namun pada kenyataannya, kepala sekolah di Indonesia belum dapat dikatakan sebagai manajer profesional, karena pengangkatannya tidak didasarkan pada kemampuan dan pendidikan profesional, tetapi lebih pada pengalaman sebagai guru. Hal ini disinyalir pula oleh laporan Bank Dunia (1999) bahwa salah satu penyebab makin menurunnya mutu pendidikan persekolahan di Indonesia adalah kurang profesionalnya para kepala sekolah sebagai manajer pendidikan di tingkat lapangan. Dengan demikian, pelaksanaan MBS memerlukan perubahan sistem pengangkatan kepala sekolah dari pengangkatan karena kepangkatan atau pengalaman sebagai guru menuju pengangkatan berdasarkan kemampuan dan ketrampilan profesional bidang manajemen pendidikan. Beberapa tahun terakhir ini, suatu upaya mulai dikembangkan dan diimplementasikan yaitu program pemilihan guru berprestasi. Program ini dimaksudkan untuk memotivasi para guru agar lebih giat meningkatkan kompetensinya semaksimal mungkin. Pemilihan guru berprestasi dilakukan dengan serangkaian tes antara lain tes tertulis, unjuk kerja (performance), portofolio dengan metode studi dokumen dan observasi. Guru berprestasi berpotensi untuk dijadikan kepala sekolah. Selain itu, dikembangkan dan diimplementasikan pula program pemilihan kepala sekolah dan pengawas sekolah berprestasi

Hasil penelitian penerapan MBS

Penelitian penerapan MBS ini dilaksanakan oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2007 untuk memotret profil penerapan MBS di SMPN Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan. Berikut ini hasil penelitian tersebut :

· Penerapan MBS

Rata-rata penerapan MBS di SMPN Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan mencapai 85,5%. Ini berarti tiga perempat indikator penerapan MBS telah dilaksanakan dengan optimal.

· Manajemen Kepala Sekolah.

Rata-rata keterlaksanaan manajemen kepala sekolah di SMPN Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan mencapai 91,7%.

· Manajemen Guru.

Rata-rata keterlaksanaan manajemen guru di SMPN Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan mencapai 84,2%.

· Peranserta Masyarakat.

Rata-rata peranserta masyarakat pada penyelenggaraan kegiatan sekolah di SMPN Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan mencapai 64,5%.

· Pengelolaan/penataan Kelas.

Rata-rata keterlaksanaan pengelolaan/penataan kelas di SMPN Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan mencapai 83,5%.

· Pemanfaatan Sumber Belajar.

Rata-rata keterlaksanaan pemanfaatan sumber belajar di SMPN Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan mencapai 80,9%.

· Pengorganisasian Siswa.

Rata-rata keterlaksanaan pengorganisasian siswa di SMPN Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan mencapai 89,4%.

· Metode Pembelajaran.

Rata-rata penggunaan metode pembelajaran di SMPN Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan mencapai 96,7%.

· Penilaian.

Rata-rata keterlaksanaan penilaian di SMPN Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan mencapai 69,7%.

· Sikap dan Perilaku Siswa.

Rata-rata peningkatan sikap dan perilaku siswa di SMPN Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan mencapai 89,4%.

Melihat hasil analisis data dari setiap indikator penerapan MBS, indikator yang rata-ratanya belum mencapai 65% adalah peranserta masyarakat dan penilaian. Hal-hal yang belum terpenuhi dalam indikator partisipasi masyarakat antara lain:

1. Masyarakat belum ikut serta mensosialisasikan program sekolah ke masyarakat sekitar.
2. Belum adanya kelompok orang tua siswa (paguyuban kelas) yang membantu di kelas.
3. Belum adanya guru intip (orang tua yang membantu di kelas, contoh sebagai guru tamu).
4. Masyarakat belum ikut serta menyediakan peralatan sekolah.
5. Belum adanya bukti fisik saran-saran (komunikasi) dg ortu/toga/tomas guna perbaikan kelas (proses PBM).

Hal-hal yang belum terpenuhi dalam indikator penilaian antara lain:

1. Belum digunakannya berbagai bentuk penilaian. Penilaian yang biasa digunakan mayoritas dalam bentuk tes baik ulangan harian, ulangan umum maupun ulangan akhir semester. Untuk penilaian perilaku dan portofolio belum dilakukan. Ini dikarenakan kepala sekolah dan guru belum memiliki kompetensi yang cukup untuk dapat melakukan penilaian perilaku dan portofolio. Kepala sekolah dan guru merasa kesulitan dengan bentuk penilaian tersebut.

2. Umpan balik dari hasil penilaian juga belum tampak sehingga program tindak lanjut menjadi terabaikan. Program tindak lanjut yang biasa dilakukan sekolah adalah ujian perbaikan jika nilai ujian kurang. Sedangkan program pengayaan atau remedial untuk mencapai ketuntasan minimal terabaikan. Alasan yang dikemukakan adalah waktu pembelajaran efektif di sekolah sangat terbatas.

DAFTAR PUSTAKA


Fiedler, Fred E, Martin M. Chamers. (1974). Leadership and Effective Management. Illinois: Scott, Foresman and Company.
Fullan, Michael, The New Meaning Educational Change, Teachers College Press, Columbia University, New York, 2007.

Gilbert, Christine, Local Management of Schools, Kogan Page Ltd, 1990.

Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI tentang Pedoman Penyusunan Standar Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun 2002, CV. Mini Jaya Abadi Jakarta, 2002.

Murgatryod, Stephen and Colin Morgan, Total Quality Management and the School, Philadelpia : Open University Press, 1994.

Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah : konsep, strategi dan implementasi, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2003.

Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional : dalam konteks menyukseskan MBS dan KBK, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005.

Mohrman, Wihlsetter and Associaties. (1994). School-Based Management: Organizing for High Performance. San Francisco: Jossey Bass Pub.

Sagala, Syaiful, Manajemen Berbasis Sekolah & Masyarakat : strategi memenangkan persaingan mutu, PT. Nimas Multima, Jakarta, 2006.

Stenhouse, Lawrence, An Introduction to Curriculum Research and Development, Heinemann Eductional Books Ltd, London, 1978.

Stewart, Aileen Mitchell (1978). Empowering People. Singapore: Institute of Management

Williams, Vivian, Towards Self-Managing Schools, Redwood Books. 
 





Tidak ada komentar:

PENELITIAN KUALITATIF DALAM ILMU-ILMU SOSIAL

A. Pendahuluan   Ketika kita bergaul sehari-hari seringkali kita berargumen satu sama lain. Kita bercakap-cakap untuk mempe...